Anda di halaman 1dari 17

KAIDAH-KAIDAH UMUM, MAKNA DAN APLIKASINYA

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Qowaid Fiqhiyyah
Dosen Pengampu Alim Khoiri, S.H.I, M.Sy

Penyusun:
Canceriska Nurlaili (932103814)
Elvi Nur Jannah
Thoriqul Hasan (932102915)

KELAS E
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah Peminatan Sejarah Kebudayan Islam ini dengan lancar
tanpa halangan yang berarti.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak yang
telah memberikan dukungan, oleh karenanya pada kesempatan ini kami
menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Alim Khoiri, S.H.I, M.Sy selaku dosen pengajar matakuliah Qowaid
Fiqh.
2. Rekan-rekan satu offering yang telah memberikan semangat dan dukungan
kepada kami, serta
3. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan karunia, barokah dan kasih sayang
yang tiada hentinya atas bantuan dari semua pihak tersebut di atas.
Kami menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyelesaian makalah ini
masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala
rendah hati kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan sebagai
pengalaman dalam memperbaiki diri.
Besar harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat
dijadikan tambahan pengetahuan bagi semua pihak.

Kediri, 22 Mei 2017

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang .......................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
C. Tujuan ....................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 2

A. Kaidah Pertama ......................................................................................... 2


B. Kaidah Kedua............................................................................................ 2
C. Kaidah Ketiga ........................................................................................... 3
D. Kaidah Keempat........................................................................................ 4
E. Kaidah Kelima .......................................................................................... 5
F. Kaidah Keenam ......................................................................................... 7
G. Kaidah Ketujuh ......................................................................................... 7
H. Kaidah Kedelapan ..................................................................................... 8
I. Kaidah Kesembilan ................................................................................... 9
J. Kaidah Kesepuluh ................................................................................... 10
K. Kaidah Kesebelas .................................................................................... 11
L. Kaidah Keduabelas ................................................................................. 12
M. Kaidah Ketigabelas ................................................................................. 12

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 13

A. Kesimpulan ............................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kaidah umum fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang
mengelompokkan masalah-masalah fiqih spesifik menjadi beberapa kelompok,
juga merupakan pedoman yang memudahkan penyimpulan hukum bagi suatu
masalah, yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa
dibawah satu kaidah.
Berhubung hukum fiqih lapangannya luas, meliputi berbagai peraturan
dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan dengan Allah
maupun dengan sesama manusia. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan
dengan situasi tertentu, maka mengetahui kaidah-kaidah yang juga berfungsi
sebagai pedoman berfikir dalam menentukan hukum suatu masalah yang tidak
ada nashnya adalah perlu sekali.
Dalam makalah ini tidak akan membahas keseluruhan kaidah tersebut,
akan tetapi hanya sedikit mengupas beberapa kaidah dan sekaligus dijelaskan
makna dan aplikasinya untuk memudahkan membaca.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja kaidah-kaidah umum dalam Qowaid Fiqh?
2. Apa makna kaidah-kaidah umum dalam Qowaid Fiqh?
3. Bagaimana pengaplikasian kaidah-kaidah umum Qowaid Fiqh?

C. Tujuan
1. Memahami kaidah-kaidah umum dalam Qowaid Fiqh.
2. Memahami makna kaidah-kaidah umum dalam Qowaid Fiqh.
3. Memahami pengaplikasian kaidah-kaidah umum Qowaid Fiqh.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kaidah Pertama




Ijtihad tidak dibatalkan dengan ijtihad lainnya
Maksud kaidah ini adalah suatu hasil ijtihad pada masa lalu, tidak
berubah karena ada hasil ijtihad baru dalam suatu kasus hukum yang sama.
Hasil ijtihad lama masih tetap berlaku pada masa itu dan hasil ijtihad yang
sekarang berlaku pada masa sekarang.1
Kaidah ini berkaitan dengan keputusan-keputusan hakim yang
didasarkan atas ijtihadnya apabila ia seorang mujtahid atau atas dasar ijtihad
orang lain apabila ia seorang mugallid.
Kaidah ini didasarkan pada ijma (konsensus): bahwasannya saat
menjabat khalifah, Abu Bakar memutuskan sejumlah perkara hukum,
kemudian Umar berijtihad di dalam masalah yang sama berbeda dengan hasil
ijtihad Abu Bakar, namun ia tidak menggugurkan keputusan Abu Bakar. Hal
ini disetujui oleh para sahabat lainnya. Alasannya, kedudukan ijtihad yang
pertama atas dasar hasil ijtihad yang kedua yang bertentangan dengannya
meniscayakan ketidakmapanan hukum dan ketidakbakuan transaksi mereka.
Kondisi ini tentu saja menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi manusia.
Kaidah ini memberikan pengertian tersirat bahwa jika keputusan
hukum seseorang hakim atau mujtahid bertentangan dengan ketetapan nash
syara atau ijma maka gugurlah hukum tersebut. Sebab nash tidak berada
dalam satu tingkatan dengan ijtihad namun berada pada tingkat yang lebih
tinggi dan lebih kuat.

B. Kaidah Kedua

1
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), 91.

2
3


Pengikut hukumnya tetap sebagai pengikut yang mengkuti
Kaidah ini berarti bahwa at-tabi (sesuatu yang mengikut) tidak dapat
lepas dalam al matbi (sesuatu yang diikutinya). Aturan-aturan hukum
partikular yang dapat dikonkretisasi dari kaidah ini adalah sebagai berikut:
1. Anak binatang dalam kandungan mengikut induknya dalam transaksi jual
beli. Ia tidak boleh dijual maupun dihibahkan secara terpisah dari
induknya.
2. Sumber air minum dan jalan termasuk dalam tanah yang diperjual belikan
sebagai item ikutan jika memang dijelaskan pada saat transaksi sebab
keduanya termasuk diantara hak bersama yang telah dikenal luas. Bahkan
menurut pandangan yang shohih dalam madzhab Hanafi keduanya tidak
boleh dijual secara terpisah dari tanahnya.
3. Jika tanggungan orang yang berhutang telah terbayar lunas maka bebaslah
tanggungan orang yang menjaminnya.

C. Kaidah Ketiga


Penerapan kalimat lebih utama daripada pengabaiannya
Kaidah ini berarti bahwa apabila sulit menghadirkan makna hakiki
dari suatu ungkapan linguistik, maka ia dapat diartikan menurut makna
metafora (majaz). Contohnya, jika seorang bersumpah, saya tidak akan
memakan buah kurma ini atau tepung ini maka ia berarti melanggar sumpah
jika sampai memakan buah dan apa-apa yang dihasilkan dari pohon kurma
tersebut. Ia dinilai juga melanggar sumpahnya jika memakan roti yang terbuat
dari tepung. Hal tersebut dikarenakan sulit membawa makna ungkapan
sumpah tersebut pada makna hakikinya, sebab bagaimanapun juga pohon
kurma itu sendiri tidak dapat dimakan demikian pula dengan tepung kecuali
setelah menjadi buah atau diolah menjadi roti.
Barulah jika memang terjadi kesulitan untuk membawa paksa suatu
ungkapan pada pengertian hakiki maupun metaforanya, sementara disana juga
tidak ada petunjuk kontekstual (qarinah) yang menguatkan salah satunya,
4

maka ungkapan linguistik tersebut dapat diabaikan. Misalnya seorang suami


berseloroh pada istrinya yang mempunyai bapak yang sudah makruf,
perempuan ini adalah anakku, maka tidak serta hal itu membuatnya
menjadi mahramnya. Nasab disini tidak dapat dimaknai menurut pengertian
hakiki, mengingat perempuan tersebut mempunyai garis keturunan yang jelas
pada orang lain. Kemudian jika dipalingkan pada makna metafora, yaitu
kemahraman maka hal itu juga tidak dapat dibenarkan, sebab perempuan
tersebut berstatus sebagai istrinya yang sah dan halal secara syari.

D. Kaidah Keempat



Hak mendapatkan hasil itu disebabkan keharusan mengganti kerugian
Kaidah ini aslinya adalah hadist Rasulullah yang di riwayatkan
Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, an Nasai, ibnu Majah, dan Ibnu Hibban
dari Aisyah ra.
Hadis tersebut berkaitan dengan seorang laki-laki yang menjual
seorang budak, lalu budak itu bermukim ditempat pembeli selama beberapa
hari dan selama itu ia telah memperkerjakannya. Si pembeli kemudian
menemukan cacat pada budak tersebut dan langsung mengadukannya kepada
Rasulullah. Budak itupun dikembalikan pada penjual yang memprotes,
wahai Rasulullah, tetapi ia telah memperkerjakan budakku (mengambil
manfaat). Rasulullah menjawab, hak mendapatkan hasil itu disebabkan oleh
keharusan mengganti kerugian.
Kharaj adalah apa-apa yang dihasilkan oleh sesuatu dan mengambil
manfaat. Kharaj sebuah pohon adalah buahnya dan kharaj dari binatang
adalah air susunya.
Pengertian yang tersirat dari kaidah ini adalah bahwa jika sesuatu
berada dalam jaminan atau tanggungan seseorang, maka hasil yang
dikeluarkan merupakan hak orang tersebut selama berada dalam
tanggungannya. Namun dengan syarat bahwa jaminan atau tanggungan
tersebut harus masuk dalam kepemilikan. Inilah kesepakatan para ulama.
5

E. Kaidah Kelima




Suatu perkara tidak dapat disandarkan kepada orang yang diam
Kaidah ini mengandung pengertian bahwa jika konsekuensi hukum
transaksi tergantung pada keridhaan atau izin seseorang, atau dengan kata lain
jika suatu tindakan tidak dapat memberikan konsekuensi hukum kecuali jika
orang lain ridha dengannya, sementara orang tersebut diam dalam segala
kondisi, maka sikap diamnya tidak dapat dianggap sebagai ungkapan ridha
atau bentuk izin. Akan tetapi ia harus mengungkapkannya dengan ekspresi
yang menunjukkan keridhaan maupun izinnya, baik melalui ucapan, isyarat,
tulisan, atau yang lainnya.
Contoh, jika seseorang ditawari ijab dalam transaksi jual beli, lalu ia
diam, maka sikap diamnya serta merta tidak dapat diartikan sebagai
menerima transaksi tersebut (qabul). Begitu juga halnya jika seseorang
membeli barang yang cacat, maka kediamannya tidak dapat dimaknai sebagai
sikap ridha menerima cacat barang tersebut selama tidak ada halangan
maupun kondisi yang mencegah seseorang untuk tidak melakukan tindakan
diam.
Disini para ahli hukum Islam berpendapat bahwa jika seandainya ada
penghalang yang menghalangi seseorang dalam mengungkapkan
keinginannya untuk menyetujui sesuatu secara lugas maka tindakan diamnya
dapat dianggap sebagai persetujuan atau izinya. Misalnya seorang gadis yang
dilamar. Perasaan malu kadang menghalanginya untuk mengungkapkan
persetujuannya secara lugas dan terus terang untuk memperlangsungkan
perkawinan dan tidak ada yang menghalanginya untuk menolak, maka
tindakan diamnya dapat dianggap sebagai persetujuan. Sehingga jika ditanya
sang bapak apakah ia menerima lamaran si fulan? Kemudian ia diam, maka
sikap diamnya merupakan persetujuannya untuk melangsungkan perkawinan
dan merupakan izinya bagi orangtua untuk melangsungkan akad nikah
dirinya.
Konteks lain yang membuat tindakan diam dianggap sebagai bentuk
kerelaan adalah jika keterangan sangat dibutuhkan dari seseorang saat itu juga
6

namun ia dian tidak memberikan keterangan, maka sikap diamnya dapat


dianggap sebagai keterangan. Jika memang ia mampu memberikan
keterangan, namun memilih tidak menjelaskannya.
Contoh, apabila seorang diam dan tidak mengingkari status seorang
bayi sebagai anaknya pada saat ia mendapat ucapan selamat setelah
kelahirannya, atau bungkam tidak menyatakan pengingkaran atas status si
anak selama masa tidak menenerima ucapan selamat, maka tindakan diamnya
dianggap sebagai pengakuannya atas status anak tersebut sebagai anak
kandungnya. Pengingkarannya atas nasab anak tersebut setelah masa tersebut
tidak dapat diterima, meski ia berdalih belum pernah menyatakan secara lugas
bahwa bayi tersebut adalah anak kandungnya. Ketentuan ini untuk menjaga
hak anak yang ditetapkan berdasarkan bukti konstektual yang mengitarinya
(qarinah) dan penetapan sikap diam anak perawan yang masih belia sebagai
izin dan keridhaannya menurut kesepakatan ulama.
Tindakan diam juga dianggap sebagai bentuk kerelaan jika disana ada
sejenis pelimpahan kuasa (taslith) yang mendahului suatu transaksi.
Misalnya, apabila pihak penerima hibah memegang hibah dalam sebuah
majlis hibah sementara pemberi hibah diam maka diam pemberi hibah
dianggap sebagai keridhaan, sebab hibab meniscayakan izin pihak penghibah
untuk berbuat terhadap objek hibah sesuai dengan keinginan pihak penerima
hibah. Hal tersebut dapat direalisasikan baik dengan tindakan maupun
ucapan. Namun, perlu diperhatikan bahwa kata-kata hanyalah alat pengantar
tindakan. Maka apabila objek hibah sudah dikuasai atau diterima pihak
penerima hibah setelah ijab dari orang yang menghibahkan maka mentuk
diamnya bermakna kerelaan untuk perpindahan tangan objek hibah tanpa
penolakan kepada pihak hibah. Diam tersebut diindikasikan sebagai izin yang
menguatkan transaksi hibah dan sebagai bentuk tindakan penerimaan.
Apabila tidak demikian, niscaya penghibah akan melarang kepemilikan objek
hibah pada pihak penerima dengan suatu tindakan yang terjadi di hadapannya.
7

Oleh karena itu, tindakan diam dalam kasus ini dijadikan sebagai evidensi
sirkumstansial atas kerelaan transaksi hibah secara tindakan.2

F. Kaidah Keenam


Sesuatu yang terlarang untuk di ambil, maka terlarang juga untuk
diberikan
Maksud kaidah ini adalah segala bentuk barang atau perbuatan yang
dilarang (haram) untuk mengambilnya, maka memberikan barang tersebut
kepada orang lain juga dihukumi haram. Artinya, memberikan sesuatu yang
haram kepada orang lain atau mengambilnya dari orang lain juga hukumnya
sama-sama haram. Karena sudah kewajiban setiap pribadi muslim untuk
menghilangkan segala bentuk kemungkaran, kerusakan dan semua yang
diharamkan. Apabila seorang muslim tidak mampu mencegah hal haram atau
kemungkaran, maka hendaknya ia bisa memberikan kontribusi dengan tidak
menambah kemungkaran atau keharaman itu dan tidak malah justru
menjerumuskan diri sendiri dan orang lain kepada kemungkaran atau
keharaman itu, misalnya mengambil sesuatu yang haram dari orang lain,
apalagi jika kemudian diberikan lagi keharaman itu kepada orang lain.
Sangat banyak contoh aplikasi kaidah ini dalam bidang muamalah
yang antara lain seperti haramnya memberi dan menerima suap, haramnya
bersedkah dengan hasil korupsi, mencuri, menipu dan lain-lain. Begitu juga
haramnya memebri atau menjual kepada orang lain (muslim) makanan najis,
seprti daging babi, juga haram hukumnya member orang lain makanan halal,
tapi hasil mencuri dan lain-lain. Sebagaimana juga haram hukumnya menjual
atau menerima barang hasil curian dan semisalnya.3
G. Kaidah Ketujuh



Tulisan itu seperti ucapan

2
Nasr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawaid Fiqhiyyah (Jakarta:
Amzah, 2009), 22-26.
3
Abbas Arfan, 99 Kaidah Fiqh Muamalah Kulliyah: Tipologi dan Penerapannya dalam Ekonomi
Islam dan Perbankan Syariah (Malang: Uin Maliki Press, 2013), 223-224.
8

Maksud dari kaidah ini adalah jika ada uzur antara pihak-pihak yang
bertransaksi dalam sebuah akad jual beli misalnya, sehingga mereka tidak
berakad dengan ijab dan qabul secara lisan dalam satu majelis, maka tulisan
bisa menggantikan posisi ucapan lisan dengan syarat tulisan tersebut bisa
dipahami oleh pembaca yang bertransaksi dengan baik dan benar sehingga
tidak terjadi salah paham. Karena ucapan lisan adalah pokok, sedangkan
tulisan adalah pengganti.
Contoh aplikasi kaidah ini dalam fiqh muamalah untuk zaman dulu
adalah dengan surat menyurat dalam jual beli misalnya, sehingga akad baru
sah ketika sudah sampai dan dibaca oleh pihak kedua. Akan tetapi untuk
zaman modern sekarang, walau kedua belah pihak yang bertransaksi jual beli
secara lisan lewat telephon, internet atau lainnya sehingga tidak diperlukan
lagi akad lewat surat menyurat seperti zaman dulu. Namun kaidah ini masih
bisa diaplikasikan untuk hal-hal tertentu dalam fiqh muamalah modern,
seperti pemberian surat kuasa (wakalah) dari seseorang kepada orang lain
yang dipercaya untuk melakukan transaksi tertentu seperti jual beli, sewa
menyewa, pengambilan uang tunai dan lain sebagainya. Atau seperti akad
jual beli atau sewa menyewa lewat SMS handphone atau internet, karena
kedudukan tulisan itu seperti ucapan.4

H. Kaidah Kedelapan



Tidak dibolehkan bagi siapapun untuk melakukan tindakan hukum terhadap
benda/hak milik orang lain tanpa izin pemilik
Maksud dan penjelasan ini adalah tidak diperbolehkan atau tidak halal
bagi siapapun juga untuk melakukan tasarruf (tindakan hukum, seperti
melakukan akad jual beli dan lainnya) terhadap benda/hak milik orang lain
tanpa izin pemiliknya, baik tasarruf fili (perbuatan), seperti memakai benda
milik orang lain, atau tasarruf qawli (perkataan), seperti melakukan akad jual
beli benda orang lain atau menyewakan benda orang lain, baik harta benda itu
milik pribadi orang lain atau milik teman yang berserikat dengannya, selama

4
Ibid., 239-240.
9

semua tasarruf tersebut tanpa mendapat izin terlebih dahulu atau restu yang
di dapat belakangan. Sehingga jika benda yang dipakai tanpa izin itu rusak,
maka ia harus bertanggungjawab.
Karena milik orang lain adalah sesuatu yang terjaga kehormatannya.
Kehormatan ini tidak boleh dirusak dengan melakukan tasarruf tanpa izin
pemiliknya, baik izin yang jelas (langsung) atau tidak langsung. Izin yang
jelas atau langsung adalah seperti seseorang mewakilkan kepada orang lain
untuk menjual rumahnya. Sedangkan izin tidak langsung seperti gembala
menyembelih kambing majikannya yang hampir mati.
Adapun yang senilai dengan posisi izin adalah perwakilan, perwalian,
atau wasiat. Maka tasarruf terhadap harta/hak orang lain tanpa izin atau tanpa
sifat yang memperbolehkannya adalah haram menurut syariat Islam dan
tasarruf itu batal secara hukum.
Contoh aplikasi kaidah ini adalah bahwasannya masing-masing
anggota dalam perseroan/perserikatan milik bersama dianggap sebagai orang
lain berkaitan dengan hak milik perseroan tersebut. Oleh karena itu, masing-
masing anggota bukanlah wakil dari temannya, sehingga tidak boelh men-
tasarruf-kan bagian temannya kecuali telah mendapat izin dari teman
kongsinya. Apalagi orang lain yang tidak punya bagian hak suatu benda
dalam perkongsian, oleh karena itu jika ada orang yang menjual atau
menyewakan benda milik orang lain, maka jual beli dan sewa itu tidak sah.
Adapun contoh men-tasarruf-kan hak orang lain adalah seperti
seseorang yang mengaku sebagai wali anak yatim agar ia bisa men-tasarruf-
kan harta anak yatim tersebut. Atau mengaku sebagai wali calon pengantin
agar punya hak menikahkan. 5

I. Kaidah Kesembilan



Seseorang bisa ditetapkan hukum dengan pengakuannya
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa seseorang bisa ditetapkan
dengan pengakuannya sendiri tentang hak-hak orang lain yang ada pada

5
Ibid., 254-256.
10

dirinya. Dengan syarat ia sebagai subjek hukum yang telah memiliki


kecakapan bertindak hukum secara sempurna, yaitu baligh (dewasa), berakal,
bebas menentukan pilihan dan bukan orang yang tertuduh dalam
pengakuannya. Selain itu, perkara yang diakui bukanlah yang mustahil secara
akal maupun syara. Juga disyaratkan bagi muqir lah (orang yang ikrar itu
ditujukan padanya) adalah yang mempunyai hak. Artinya, dia orang yang bisa
memiliki sesuatu. Maka, tidak sah pengakuan hutang terhadap orang gila atau
binatang. Disyaratkan bagi muqir lah tidak mendustakan pengakuan muqir
dan hakim juga tidak mendustakannya.
Kemudian, jika pengakuan telah memenuhi syarat-syaratnya, maka
hukum pengakuan adalah tetapnya hak yang diakui dalam tanggungan orang
yang mengaku untuk orang yang diakui. Namun penetapan hak ini bukan
melalui pegakuan. Karena pengakuan hanya menyingkap bagi kita tetapnya
hak dalam tanggungan orang yang mengaku di waktu yang lalu dengan salah
satu sebab yang dibenarkan syara selain pengakuan, misalnya hutang.
Pengakuan bukanlah menetapkan hak ini untuk orang lain. Oleh karena itu,
hak ini tetap untuk orang yang diakui tanpa perlu menerima atau
membenarkannya. Karena pengakuan adalah pemberitahuan, sedangkan
pemberitahuan itu tidak membutuhkan pembenaran dan penerimaan. Hanya
saja, pengakuan jika dikaitkan dengan hak penolakan orang yang diakui,
maka menjadi insaha dan bukan ikhbar, sehingga tertolak oleh penolakan dan
akibatnya pengakuan itu menjadi batal.
Diantara contoh aplikasi kaidah ini adalah apabila seseorang
mengakui telah menjual rumah dengan pembayaran diutang, maka dia wajib
menyerahkan rumah tersebut meskipun harga belum lunas. Hal itu karena
telah terjadi akad pembelian itu dengan diutang, maka tidak ada salah bagi
pembeli untuk mendapatkan hak miliknya. Meskipun dalam pembayaran
belum lunas, sebab jika tidak diserahkan, hal itu merupakan kesalahan.
Karena dalam akad telah sah terjadinya pembelian rumah dengan diutang.6

J. Kaidah Kesepuluh

6
Ibid., 284-286.
11


Kemurahan itu tidak dapat dihubungkan dengan maksiat
Contoh: shalat qashar, jama dan berbuka puasa, semuanya itu
merupakan keringanan bagi orang yang berpergian jauh. Tetapi kalau sejak
semula, kepergiannya itu dengan niat yang tidak baik, maka rukshah tidak
berlaku baginya.

K. Kaidah Kesebelas


Yang sudah dipekerjakan, tidak dapat dipekerjakan lagi
Contoh:
1. Sebuah rumah yang sudah digadaikan tidak dapat digadaikan lagi
2. Seorang wanita yang telah dikawinkan dengan seorang pria, tidak boleh
dan tidak sah dikawinkan lagi dengan pria lain.
12

L. Kaidah Keduabelas


Wajib itu tidak dapat ditinggalkan kecuali karena wajib
Suatu perkara yang tingkatnya wajib hanya dapat digugurkan atau
disinggung dengan sesuatu perkara yang setara atau wajib pula. Contoh:
Menurut hukum, membedah perut itu adalah haram. Jadi perut dijaga jangan
sampai terbedah. Tetapi seandainya ada seorang ibu yang sulit/tidak bisa
melahirkan, kecuali dengan pembedahan, maka kewajiban menjaga perut agar
tidak terbedah dapat ditinggalkan, karena adanya kewajiban membedah perut
demi keselamatan ibu dan bayi yang tengah menderita.

M. Kaidah Ketigabelas


Ridla terhadap sesuatu, berarti ridla terhadap apa yang timbul
daripadanya
Contoh: Orang yang sedang melakukan puasa tidak dilarang berkumur
disiang hari, karenanya kalau sebagian air kumur itu ada yang tertelan, puasa
orang tersebut tidak menjadi batal.
Kaidah ini mengecualikan tindakan-tindakan yang disyaratkan
akibatnya tidak akan membahayakan, seperti: suami memukul isterinya, guru
memukul muridnya, takzir yang dilakukan hakim. Meskipun kesemuanya itu
diizinkann, tetapi jika pukulan itu mengakibatkan kematian, maka
suami/guru/hakim tersebut wajib membayar diyat.7

7
Moh Adib Bisri, Terjemah Al Faraidul Bahiyyah (Kudus: Menara Kudus, ) 49.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan Kesimpulan Kesimpulan Kesimpulan Kesimpulan
Kesimpulan Kesimpulan Kesimpulan Kesimpulan Kesimpulan Kesimpulan
Kesimpulan Kesimpulan Kesimpulan Kesimpulan Kesimpulan Kesimpulan
Kesimpulan Kesimpulan Kesimpulan

13
DAFTAR PUSTAKA

Arfan, Abbas. 99 Kaidah Fiqh Muamalah Kulliyah: Tipologi dan Penerapannya


dalam Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah. Malang: Uin Maliki Press, 2013.

Bisri, Moh Adib. Terjemah Al Faraidul Bahiyyah. Kudus: Menara Kudus.

Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih. Jakarta: Prenada Media Group, 20061.

Washil, Nasr Farid Muhammad, et al,. Qawaid Fiqhiyyah. Jakarta: Amzah, 2009.

Anda mungkin juga menyukai