NIKAH MUT’AH
Disusun Oleh :
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat
dan hidayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Tak lupa ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dosen Pembimbing atas
bimbingan, dorongan dan ilmu yang telah diberikan kepada kami. Sehingga kami dapat
menyusun dan menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya dan insya Allah sesuai
yang kami harapkan. Dan kami ucapkan terimakasih pula kepada rekan-rekan dan
semua pihak yang terkait dalam penyusunan makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 3
A. Pengertian Nikah Mut’ah............................................................................... 3
B. Sejarah Nikah Mut’ah.................................................................................... 4
C. Hukum Nikah Mut’ah Dalam Tinjauan Fiqh................................................. 6
D. Dampak Pelaksanaan Nikah Mut’ah.............................................................. 8
E. Hikmah Dilarangnya Nikah Mut’ah.............................................................. 8
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
3. Bagaimana hukum nikah mut’ah dalam tinjauan fiqh ?
4. Bagaimana dampak pelaksanaan nikah mut’ah ?
5. Bagaimana hikmah dilarangnya nikah mut’ah ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian nikah mut’ah
2. Untuk mengetahui sejarah nikah mut’ah
3. Untuk mengetahui hukum nikah mut’ah dalam tinjauan fiqh
4. Untuk mengetahui dampak pelaksanaan nikah mut’ah
5. Untuk mengetahui hikmah dilarangnya nikah mut’ah
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
masih perawan dengan seorang laki-laki sehingga wanita tersebut menjadi
halal baginya, dan tidak ada penghalang syar’i baik itu dari nasab, atau sebab
tertentu, atau karena sesusuan, atau karena dalam masa iddah, atau terikat
dalam suatu pernikahan, dengan mahar yang telah disepakati dan sampai
dengan batas waktu tertentu.
4
d. Beberapa orang laki-laki mengunjungi seorang wanita untuk melakukan
hubungan sebadan dengannya, apabila wanita tersebut hamil dan
melahirkan seorang anak maka laki-laki tadi dengan kehendaknya sendiri
berkumpul dan orang-orang ahli firasat yang memutuskan siapa diantara
mereka yang berhak menjadi ayah dari anak yang dilahirkan oleh si wanita
tadi.
Islam menghendaki cara yang pertama dan tidak mewariskan tradisi
jahiliyah lainnya yang amat buruk dan keji. Hal tersebut dimaksudkan untuk
memelihara hubungan kekeluargaan yang harmonis, mengatur keturunan yang
syah, memelihara kelangsungan hidup manusia, membenteng kaum laki-laki
buat sorong, menjaga kesucian dan mengangkat harkat dan martabat kaum
wanita untuk mencapai keridhaan Allah dalam mengarungi bahtera rumah
tangga yang sakinah mawaddah warahmah.
2. Periode Awal Islam
Pada periode awal Islam, nikah mut’ah memang pernah terjadi, saat itu
kaum muslim dalam kondisi berperang melawan kaum kafir dan melakukan
perjalanan jauh meninggalkan negerinya. Karenanya, mereka tidak dapat
menyalurkan hasrat biologisnya secara sempurna. Beberapa di antara mereka,
sebelumnya sudah terbiasa dengan kehidupan seksual ala Arab yang
mempunyai banyak istri. Mereka berhubungan seksual dengan istri yang
mereka kehendaki dan meninggalkan istri yang tidak lagi menarik.ketika
mereka menjadi Muslim dengan aturan yang ketat dalam hal hubungan
seksual, maka sulit bagi mereka untuk berperang tanpa diperbolehkan
melakukan nikah mut’ah. Karena untuk kepentingan sesaat maka nikah ini
disebut mut’ah, bersenang-senang yang bersifat sementara dan tidak ada
ikatan permanen dengan lembaga pernikahan
Di awal masa perkembangan Islam dan juga dalam konteks peperangan,
Nabi memberi kelonggaran dilakukannya nikah mut’ah. Namun, ketika
waktunya sudah dinilai tepat oleh Nabi, maka nikah mut’ah dilarang atau
diharamkan.
5
Menurut riwayat Muslim, larangan nikah mut’ah itu baru terjadi dalam
tahun penaklukkan kota Makkah (yaumul fathi). Artinya pada waktu
penaklukkan itu masih boleh, baru sesudah itu terdapat larangan.
Apabila pada waktu perang Khaibar dilakukan pelarangan dan kemudian
di dalam tahun penaklukkan itu terjadi pelarangan, berarti, begitu para ahli
hadits, terjadi penaskhan hukum dua kali. Dan menurut para ulama tidak
mungkin penaskhan itu terjadi dua kali. Akan tetapi Imam Asy Syafi’i secara
formil berpegangan kepada kedua kali penaskhan itu seraya mengatakan :
tidak pernah saya mengetahui sesuatu yang dihalalkan oleh Allah lalu
diharamkan, kemudian dihalalkan dan kemudian diharamkan lagi selain
daripada nikah mut’ah.
Ketika Umar menjadi kholifah beliau pernah berpidato yang isinya
melarang nikah mut’ah itu. Para sahabat menyetujui tindakan ini. Sekiranya
sayidina Umar bertentangan dengan sunah tentulah para sahabat tidak akan
membenarkannya. Sedang Ja’far bin Muhammad ketika ditanya oleh Baihaqy
tentang pernikahan mut’ah menjawab dengan: pernikahan mut’ah itu sama
dengan zina.
Yang menarik disoal dalam hai ini adalah menyangkut sejak kapan dan
dalam peristiwa diharamkannya pernikahan mut’ah tersebut, sebagai mana
nikah jenis ini diharamkan kalangan sunni? Ternyata terjadi khilaf pendapat di
kalangan Ulama Sunni sendiri, apalagi menyangkut dengan tempat dan waktu
pelarangan tersebut. Menurut mereka, Rasulullah diriwayatkan telah melarang
nikah mut’ah pada beberapa peristiwa, yaitu Fathu Makkah, Awthas, Haji
wada’, Perang Tabuk, Umrah al-Qadha’, Perang Hunain, Dan perang Khaibar.
Dalam mut’ah kemudian beliau melarangnya.
6
2. Pandangan Ulama Sunni dan Syi’ah
Para ulama Sunni dan Syi’ah sepakat bahwa nikah mut’ah berdasarkan
keputusan Nabi saw adalah halal, dan bahwasanya kaum muslim telah
melakukannya pada masa hidup beliau. Akan tetapi mereka berbeda pendapat
tentang ada atau tidaknya nash (penindakan-berlakuan hukum). Madzhab
Sunni mengatakan bahwa nikah mut’ah telah dihapuskan dan diharamkan
sesudah dihalalkan.
y J s ù L ä ê ÷è t G ô JtGó ™$ # ¾ Ï m Î / £ `å k ÷]ÏB £`è dq è?$ t«sù$
…… Æ èdu ‘qã _ é & Z p ŸÒ ƒÌ sù 4 $V JŠÅ 3 ym
Artinya:
“…Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka,
berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban….” (Q.S.
An-Nisa’ [4]: 24)
Kelompok syi’ah berpendapat bahwa nikah mut’ah dulu dihalalkan dan
akan tetap halal hingga hari Kiamat. Landasan lain yang dijadikan pendapat
madzhab Syi’ah adalah, “Para sahabat pada masa Nabi saw, melakukan
mut’ah. Demikian juga, pada masa Abu Bakar dan Umar (Shahih, Riwayat
Muslim).
Realitas pemahaman pada kelompok Syi’ah, tidak semua pemikir Syi’ah,
sepakat terhadap nikah mut’ah yang banyak dihalalkan kalangan Syi’ah
berdasarkan ayat 24 surat An-Nisa’ di atas. Dalam pandangan Muhammad
Malullah, berdalil dengan ayat ini untuk membenarkan nikah mut’ah adalah
batil. Kebatilannya dengan melihat hal berikut :
1. Turunnya ayat yang mulia ini hanya berkenaan dengan pernikahan yang
sah (benar). Ayat tersebut merupakan penggalan dari ayat yang terdapat
pada surat An-Nisa’ yang berbicara tentang para wanita yang dihalalkan
dan diharamkan Allah untuk dinikahi.
2. Sesungguhnya bersenang-senang yang dimaksudkan di kalangan Syi’ah
bukanlah dengan istri dan bukan juga dengan budak wanita yang dimiliki.
Mereka mengatakan bahwa wanita-wanita yang dimaksud dalam ayat
tersebut tidaklah termasuk keempat istri yang diperkenankan dalam islam.
Karena ia (wanita) tersebut tidak ditalak dan tidak mewarisi, tetapi disewa.
7
3. Wanita yang dijadikan pasangan mut’ah, menurut Syi’ah, tidak ditalak.
Sementara pernikahan yang langgeng tidaklah terjadi perpisahan antara
pasangan suami istri, melainkan dengan cara talak. Ini karena nikah
mut’ah di kalangan Syi’ah terjadi dengan syarat sampai batas waktu
tertentu dan dengan imbalan tertentu. Kapan saja batas waktu itu habis,
saat itu pula terjadi perpisahan secara otomatis.
4. Warisan itu adalah salah satu hak dari hak-hak yang ditetapkan untuk para
istri. akan tetapi, menurut kalangan Syi’ah, perempuan tidak dapat
mewarisi.
8
2. Muth’ah juga membahayakan perempuan karena ia ibarat sebuah benda yang
panda dari satu tangan ke tangan lain.
3. Muth’ah juga merugikan anak-anak karena mereka tidak mendapatkan rumah
untuk tinggal dan pemeliharaan serta pendidikan yang baik.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Nikah mut’ah adalah ikatan tali perkawinan antara seorang laki- laki dan
wanita, dengan mahar yang telah disepakati, yang disebut dalam akad, sampai
pada batas waktu yang telah ditentukan. Dengan berlalunya waktu yang telah
disepakati, atau pengurangan batas waktu yang diberikan oleh laki-laki, maka
berakhirlah ikatan pernikahan tersebut tanpa memerlukan proses perceraian.
2. Sejarah nikah mut’ah :
Kebolehan nikah Muth’ah pada permulaan islam karena adanya dharurat dan
hanya dilakukan pada waktu perang dan perjalanan jauh.
3. Hukum nikah mut’ah :
a. Empat Madzhab menghukumi haram
b. Ulama Sunni menghukumi haram dan Syiah Imamiyah menghukumi halal
4. Dampak pelaksanaan nikah mut’ah :
Anak yang lahir dari pernikahan mut’ah menjadi anaknya. Di samping itu
tidak ada talak dan tidak ada li’an. Juga tidak ada waris-mewarisi antara suami
dan isteri. Anak berhak mewarisi dari bapak dan ibunya, demikian pula bapak
dan ibu berhak mewarisi dari anaknya. Masa ‘iddahnya dua kali masa haid
apabila masih berhaid, dan apabila sudah tidak berhaid (menopause), masa
‘iddahnya empat puluh hari.
5. Hikmah Nikah Mut’ah antara lain: Nikah Muth’ah hanya bertujuan
melampiaskan syahwat, bukan untuk memperoleh keturunan keturunan dan
memeliharanya, yang merupakan tujuan nikah sebenarnya, serta Muth’ah juga
membahayakan perempuan karena ia ibarat sebuah benda yang panda dari satu
tangan ke tangan lain, dan Muth’ah juga merugikan anak-anak karena mereka
tidak mendapatkan rumah untuk tinggal dan pemeliharaan serta pendidikan
yang baik.
10
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Haris Na’im. Buku Daros : Fiqh Munakahat. STAIN Kudus. 2008
Teuku Eddy Faisal Rusydi. Pengesahan Kawin Kontrak. Pilar Media. Yogyakarta.
2007
Zakiah Daradjat. Ilmu Fiqh : Jilid 2. Dana Bakti Wakaf. Jakarta. 1995
http://pandidikan.blogspot.com/2011/02/nikah-mutah.html
11