Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

NIKAH MUT’AH

Disusun Oleh :

SRI DEWI ASTUTI


NPM. 414010098

FAKULAS AGAMA ISLAM (FAI)


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BUTON
KAMPUS B PASARWAJO
2017
i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat
dan hidayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.

Kami telah menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya dan semaksimal


mungkin. Namun tentunya sebagai manusia biasa tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan. Harapan kami, semoga bisa menjadi koreksi di masa mendatang agar lebih
baik lagi dari sebelumnya.

Tak lupa ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dosen Pembimbing atas
bimbingan, dorongan dan ilmu yang telah diberikan kepada kami. Sehingga kami dapat
menyusun dan menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya dan insya Allah sesuai
yang kami harapkan. Dan kami ucapkan terimakasih pula kepada rekan-rekan dan
semua pihak yang terkait dalam penyusunan makalah ini.

Mudah-mudahan makalah ini bisa memberikan sumbang pemikiran sekaligus


pengetahuan bagi kita semuanya. Amin.

Pasarwajo, Januari 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i


KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1


A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 3
A.    Pengertian Nikah Mut’ah............................................................................... 3
B.     Sejarah Nikah Mut’ah.................................................................................... 4
C.    Hukum Nikah Mut’ah Dalam Tinjauan Fiqh................................................. 6
D.    Dampak Pelaksanaan Nikah Mut’ah.............................................................. 8
E.     Hikmah Dilarangnya Nikah Mut’ah.............................................................. 8

BAB III PENUTUP ................................................................................................. 10


A. Kesimpulan ................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah


Allah mensyariatkan hukum, baik yang mengatur tentang hak yang harus
dimiliki oleh seseorang atau hak yang harus ditunaikannya ataupun mengenai
ucapan dan perbuatannya, dengan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan
(kebaikan) hidupnya baik secara kelompok maupun secara perorangan, jasmani
maupun rokhaninya, di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu dalam
pengetrapan hukum tersebut, sangat diperhatikan perkembangan dan keadaan
manusia baik fisik maupun akalnya, dari semenjak masih dalam kandungan
sampai akhir hayatnya.
Hubungan antara seorang laki-laki dan wanita adalah merupakan tuntunan
yang telah diciptakan oleh Allah dan untuk menghalalkan hubungan ini maka
disyariatkan akad nikah. Pernikahan adalah suatu cara yang dipilih Allah sebagai
jalan bagi manusia untuk mendapatkan keturunan, setelah masing-masing siap
melakukan perannya yang positif dalam  mewujudkan tujuan pernikahan.
Berdasar nash-nash baik Al Quran maupun As Sunnah, Islam sangat
menganjurkan kaum Muslimin yang mampu untuk melangsungkan pernikahan.
Namun demikian, kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta
tujuan melaksanakannya, maka melakukan pernikahan itu dapat dikenakan hokum
wajib, sunnah, haram, makruh ataupun mubah.
Ada pula pernikahan yang terlarang dalam Islam, salah satunya nikah mut’ah
atau kawin kontrak. Pernikahan tersebut dibatasi oleh waktu tertentu, tidak
selayaknya pernikahan biasa yang berlangsung seumur hidup. Dalam makalah ini
akan dibahas secara detail menganai nikah mut’ah dalam tinjauan fiqih.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masaah di atas, maka dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1.      Bagaimana pengertian nikah mut’ah ?
2.      Bagaimana sejarah nikah mut’ah ?

1
3.      Bagaimana hukum nikah mut’ah dalam tinjauan fiqh ?
4.      Bagaimana dampak pelaksanaan nikah mut’ah ?
5.      Bagaimana hikmah dilarangnya nikah mut’ah ?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui pengertian nikah mut’ah
2.      Untuk mengetahui sejarah nikah mut’ah
3.      Untuk mengetahui hukum nikah mut’ah dalam tinjauan fiqh
4.      Untuk mengetahui dampak pelaksanaan nikah mut’ah
5.      Untuk mengetahui hikmah dilarangnya nikah mut’ah

2
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Nikah Mut’ah


Nikah menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata Nakaha-
Yankihu-Nikahan, yang berarti kawin. Menurut istilah nikah adalah ikatan suami
istri yang sah yang menimbulkan akibat hukum dan hak serta kewajiban bagi
suami istri. Kata lain yang dipakai untuk menggambarkan pernikahan adalah kata
zawaja, yang kata bendanya zauj, yang berarti pasangan atau jodoh.
Mut’ah berasal dari kata mata’a yamta’u mat’an wa mat’atan yang berarti
kesenangan atau kenikmatan, barang yang menyenangkan atau bersenang-senang
untuk mendapatkan kelezatan.
Untuk lebih jelasnya berikut ini akan dipaparkan beberapa pengertian tentang
nikah mut’ah menurut Sunni dan Syi’ah Imamiyah, sebagai berikut:
1.      Menurut Tokoh-tokoh Sunni
Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni mengatakan: “Mut’ah adalah
seorang laki-laki yang menyewa seorang wanita dengan memberikan mahar
sampai waktu yang telah ditentukan atas kesepakatan bersama, yang telah
dibatasi waktunya baik sebulan atau dua bulan, sehari atau dua hari kemudian
dia tinggalkan setelah batas waktunya habis.”
Syaikh Muhammad Amin mengatakan: “Nikah mut’ah ialah seorang laki-
laki melakukan akad dengan seorang wanita untuk dinikahi dengan mahar
tertentu dan dengan batas waktu tertentu pula, seperti si laki-laki mengatakan
kepada si wanitanya; “Aku menikahimu dengan Lima Junaihat (jenis mata
uang) dengan waktu seminggu kemudian wanita tersebut menerimanya.”

2.      Menurut Tokoh-tokoh Syi’ah Imamiyah


Sayyid Muhammad Husein Fadlullah mengatakan: “Nikah mut’ah adalah
hubungan suami-istri yang bersifat sementara yang dilakukan melalui akad
(ijab qabul) tertentu yang disebutkan di dalamnya masa (batas waktu
pernikahan) dan mahar di samping pokok pernikahan itu sendiri.
Allamah Sayyid Murtadha al-Asykari mengatakan: “Nikah mut’ah ialah
seorang wanita menikah atau dinikahkan oleh perantaranya atau walinya jika

3
masih perawan dengan seorang laki-laki sehingga wanita tersebut menjadi
halal baginya, dan tidak ada penghalang syar’i baik itu dari nasab, atau sebab
tertentu, atau karena sesusuan, atau karena dalam masa iddah, atau terikat
dalam suatu pernikahan, dengan mahar yang telah disepakati dan sampai
dengan batas waktu tertentu.

B.     Sejarah Nikah Mut’ah


1.      Periode Jahiliyah
Institusi Arab lama memberikan gambaran kepada kita ada beberapa
kebiasaan-kebiasaan yang mengatur tentang hubungan perkawinan dan
kekeluargaan yang kurang begitu jelas. Setidaknya ada empat macam bentuk
perkawinan yang diselenggarakan masyarakat jahiliyah dan ini telah menjadi
tradisi sehingga Islam datang dan mengubahnya sedikit demi sedikit. Berikut
ini empat macam bentuk perkawinan yang dimaksud:
a. Seorang laki-laki melamar seorang wanita dengan seizin walinya dan
kemudian mengawininya dengan memberikan mahar kepada si wanita
tadi, dan ini adalah bentuk perkawinan yang dikehendaki oleh Islam dan
tetap di lestarikan sampai hari ini.
b. Suatu tradisi masyarakat jahiliyah, yakni seorang suami mengatakan
kepada istrinya untuk pergi menuju seseorang yang ditunjuk dan
dikehendaki oleh suaminya untuk bergaul dengan laki-laki yang ditunjuk
tadi. Suaminya kemudian keluar dari masyarakat untuk beberapa waktu,
dan setelah istrinya mengandung dengan laki-laki yang ditunjuk oleh
suaminya tadi, maka suaminya pulang kepada istrinya. Ini berasal dari
adanya keinginan untuk menyelamatkan bibit bangsawan.
c. Sejumlah laki-laki mendatangi seorang wanita dan mereka
menyetubuhinya, jika wanita tersebut hamil dan melahirkan seorang anak,
maka wanita tadi akan memanggil semua laki-laki yang pernah
menggaulinya tadi seraya menunjuk ke salah seorang dari mereka sebagai
ayah dari anak yang dilahirkannya dan laki-laki tersebut tidak boleh
menolaknya.

4
d. Beberapa orang laki-laki mengunjungi seorang wanita untuk melakukan
hubungan sebadan dengannya, apabila wanita tersebut hamil dan
melahirkan seorang anak maka laki-laki tadi dengan kehendaknya sendiri
berkumpul dan orang-orang ahli firasat yang memutuskan siapa diantara
mereka yang berhak menjadi ayah dari anak yang dilahirkan oleh si wanita
tadi.
     Islam menghendaki cara yang pertama dan tidak mewariskan tradisi
jahiliyah lainnya yang amat buruk dan keji. Hal tersebut dimaksudkan untuk
memelihara hubungan kekeluargaan yang harmonis, mengatur keturunan yang
syah, memelihara kelangsungan hidup manusia, membenteng kaum laki-laki
buat sorong, menjaga kesucian dan mengangkat harkat dan martabat kaum
wanita untuk mencapai keridhaan Allah dalam mengarungi bahtera rumah
tangga yang sakinah mawaddah warahmah.
2.      Periode Awal Islam
Pada periode awal Islam, nikah mut’ah memang pernah terjadi, saat itu
kaum muslim dalam kondisi berperang melawan kaum kafir dan melakukan
perjalanan jauh meninggalkan negerinya. Karenanya, mereka tidak dapat
menyalurkan hasrat biologisnya secara sempurna. Beberapa di antara mereka,
sebelumnya sudah terbiasa dengan kehidupan seksual ala Arab yang
mempunyai banyak istri. Mereka berhubungan seksual dengan istri yang
mereka kehendaki dan meninggalkan istri yang tidak lagi menarik.ketika
mereka menjadi Muslim dengan aturan yang ketat dalam hal hubungan
seksual, maka sulit bagi mereka untuk berperang tanpa diperbolehkan
melakukan nikah mut’ah. Karena untuk kepentingan sesaat maka nikah ini
disebut mut’ah, bersenang-senang yang bersifat sementara dan tidak ada
ikatan permanen dengan lembaga pernikahan
Di awal masa perkembangan Islam dan juga dalam konteks peperangan,
Nabi memberi kelonggaran dilakukannya nikah mut’ah. Namun, ketika
waktunya sudah dinilai tepat oleh Nabi, maka nikah  mut’ah dilarang atau
diharamkan.

5
Menurut riwayat Muslim, larangan nikah mut’ah itu baru terjadi dalam
tahun penaklukkan kota Makkah (yaumul fathi). Artinya pada waktu
penaklukkan itu masih boleh, baru sesudah itu terdapat larangan.
Apabila pada waktu perang Khaibar dilakukan pelarangan dan kemudian
di dalam tahun penaklukkan itu terjadi pelarangan, berarti, begitu para ahli
hadits, terjadi penaskhan hukum dua kali. Dan menurut para ulama tidak
mungkin penaskhan itu terjadi dua kali. Akan tetapi Imam Asy Syafi’i secara
formil berpegangan kepada kedua kali penaskhan itu seraya mengatakan :
tidak pernah saya mengetahui sesuatu yang dihalalkan oleh Allah lalu
diharamkan, kemudian dihalalkan dan kemudian diharamkan lagi selain
daripada nikah mut’ah.
Ketika Umar menjadi kholifah beliau pernah berpidato yang isinya
melarang nikah mut’ah itu. Para sahabat menyetujui tindakan ini. Sekiranya
sayidina Umar bertentangan dengan sunah tentulah para sahabat tidak akan
membenarkannya. Sedang Ja’far bin Muhammad ketika ditanya oleh Baihaqy
tentang pernikahan mut’ah menjawab dengan: pernikahan mut’ah itu sama
dengan zina.
Yang menarik disoal dalam hai ini adalah menyangkut sejak kapan dan
dalam peristiwa diharamkannya pernikahan mut’ah tersebut, sebagai mana
nikah jenis ini diharamkan kalangan sunni? Ternyata terjadi khilaf pendapat di
kalangan Ulama Sunni sendiri, apalagi menyangkut dengan tempat dan waktu
pelarangan tersebut. Menurut mereka, Rasulullah diriwayatkan telah melarang
nikah mut’ah pada beberapa peristiwa, yaitu Fathu Makkah, Awthas, Haji
wada’, Perang Tabuk, Umrah al-Qadha’, Perang Hunain, Dan perang Khaibar.
Dalam mut’ah kemudian beliau melarangnya.

C.    Hukum Nikah Mut’ah Dalam Tinjauan Fiqh


1.      Pandangan Empat Madzhab
Empat mazhab sepakat bahwa nikah mut’ah adalah batal. Yang mana
pernikahan itu adalah seorang laki-laki menikahi seorang perempuan selama
batas waktu tertentu. Umpamanya, seseorang mengatakan,”aku nikahi kamu
selama satu bulan atau satu tahun,” dan sejenisnya.

6
2.      Pandangan Ulama Sunni dan Syi’ah
Para ulama Sunni dan Syi’ah sepakat bahwa nikah mut’ah berdasarkan
keputusan Nabi saw adalah halal, dan bahwasanya kaum muslim telah
melakukannya pada masa hidup beliau. Akan tetapi mereka berbeda pendapat
tentang ada atau tidaknya nash (penindakan-berlakuan hukum). Madzhab
Sunni mengatakan bahwa nikah mut’ah telah dihapuskan dan diharamkan
sesudah dihalalkan.
y J s ù L ä ê ÷è t G ô JtGó ™$ # ¾ Ï m Î / £ `å k ÷]ÏB £`è dq è?$ t«sù$
……                Æ èdu ‘qã _ é & Z p ŸÒ ƒÌ sù 4 $V JŠÅ 3 ym
Artinya:
“…Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka,
berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban….” (Q.S.
An-Nisa’ [4]: 24)
Kelompok syi’ah berpendapat bahwa nikah mut’ah dulu dihalalkan dan
akan tetap halal hingga hari Kiamat. Landasan lain yang dijadikan pendapat
madzhab Syi’ah adalah, “Para sahabat pada masa Nabi saw, melakukan
mut’ah. Demikian juga, pada masa Abu Bakar dan Umar (Shahih, Riwayat
Muslim).
Realitas pemahaman pada kelompok Syi’ah, tidak semua pemikir Syi’ah,
sepakat terhadap nikah mut’ah yang banyak dihalalkan kalangan Syi’ah
berdasarkan ayat 24 surat An-Nisa’ di atas. Dalam pandangan Muhammad
Malullah, berdalil dengan ayat ini untuk membenarkan nikah mut’ah adalah
batil. Kebatilannya dengan melihat hal berikut :
1. Turunnya ayat yang mulia ini hanya berkenaan dengan pernikahan yang
sah (benar). Ayat tersebut merupakan penggalan dari ayat yang terdapat
pada surat An-Nisa’ yang berbicara tentang para wanita yang dihalalkan
dan diharamkan Allah untuk dinikahi.
2. Sesungguhnya bersenang-senang yang dimaksudkan di kalangan Syi’ah
bukanlah dengan istri dan bukan juga dengan budak wanita yang dimiliki.
Mereka mengatakan bahwa wanita-wanita yang dimaksud dalam ayat
tersebut tidaklah termasuk keempat istri yang diperkenankan dalam islam.
Karena ia (wanita) tersebut tidak ditalak dan tidak mewarisi, tetapi disewa.

7
3. Wanita yang dijadikan pasangan mut’ah, menurut Syi’ah, tidak ditalak.
Sementara pernikahan yang langgeng tidaklah terjadi perpisahan antara
pasangan suami istri, melainkan dengan cara talak. Ini karena nikah
mut’ah di kalangan Syi’ah terjadi dengan syarat sampai batas waktu
tertentu dan dengan imbalan tertentu. Kapan saja batas waktu itu habis,
saat itu pula terjadi perpisahan secara otomatis.
4. Warisan itu adalah salah satu hak dari hak-hak yang ditetapkan untuk para
istri. akan tetapi, menurut kalangan Syi’ah, perempuan tidak dapat
mewarisi.

D.    Dampak Pelaksanaan Nikah Mut’ah


Golongan Syiah Imamiyah membolehkan nikah mut’ah dengan syarat-syarat :
kalimat yang digunakan untuk pernikahan itu adalah zauwajtuka atau unkihuka
(aku kawinkan atau aku nikahkan engkau) atau matta’tuka (aku kawinkan mut’ah
engkau), dan istri orang Islam atau ahlulkitab, tetapi terutama adalah perempuan
mukmin yang menjaga diri dan disepakati bersama.
Pernikahan mut’ah ini apabila maskawinnya tidak disebut sedang batas
waktunya tidak, pernikahan menjadi batal, sedang apabila maskawin disebut dan
batas waktunya tidak disebut, pernikahannya berubah menjadi pernikahan biasa.
Anak yang lahir dari pernikahan mut’ah menjadi anaknya. Di samping itu
tidak ada talak dan tidak ada li’an. Juga tidak ada waris-mewarisi antara suami
dan isteri. Anak berhak mewarisi dari bapak dan ibunya, demikian pula bapak dan
ibu berhak mewarisi dari anaknya. Masa ‘iddahnya dua kali masa haid apabila
masih berhaid, dan apabila sudah tidak berhaid (menopause), masa ‘iddahnya
empat puluh hari.

E.     Hikmah Dilarangnya Nikah Mut’ah


Adapun hikmah dari nikah mut’ah adalah sebagai berikut:
1. Nikah Muth’ah hanya bertujuan melampiaskan syahwat, bukan untuk
memperoleh keturunan keturunan dan memeliharanya, yang merupakan tujuan
nikah sebenarnya.

8
2. Muth’ah juga membahayakan perempuan karena ia ibarat sebuah benda yang
panda dari satu tangan ke tangan lain.
3. Muth’ah juga merugikan anak-anak karena mereka tidak mendapatkan rumah
untuk tinggal dan pemeliharaan serta pendidikan yang baik.

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.      Nikah mut’ah adalah ikatan tali perkawinan antara seorang laki- laki dan
wanita, dengan mahar yang telah disepakati, yang disebut dalam akad, sampai
pada batas waktu yang telah ditentukan. Dengan berlalunya waktu yang telah
disepakati, atau pengurangan batas waktu yang diberikan oleh laki-laki, maka
berakhirlah ikatan pernikahan tersebut tanpa memerlukan proses perceraian.
2.      Sejarah nikah mut’ah :
Kebolehan nikah Muth’ah pada permulaan islam karena adanya dharurat dan
hanya dilakukan pada waktu perang dan perjalanan jauh.
3.      Hukum nikah mut’ah :
a.       Empat Madzhab  menghukumi haram
b.      Ulama Sunni menghukumi haram dan Syiah Imamiyah menghukumi halal
4.      Dampak pelaksanaan nikah mut’ah :
Anak yang lahir dari pernikahan mut’ah menjadi anaknya. Di samping itu
tidak ada talak dan tidak ada li’an. Juga tidak ada waris-mewarisi antara suami
dan isteri. Anak berhak mewarisi dari bapak dan ibunya, demikian pula bapak
dan ibu berhak mewarisi dari anaknya. Masa ‘iddahnya dua kali masa haid
apabila masih berhaid, dan apabila sudah tidak berhaid (menopause), masa
‘iddahnya empat puluh hari.
5.     Hikmah Nikah Mut’ah antara lain: Nikah Muth’ah hanya bertujuan
melampiaskan syahwat, bukan untuk memperoleh keturunan keturunan dan
memeliharanya, yang merupakan tujuan nikah sebenarnya, serta Muth’ah juga
membahayakan perempuan karena ia ibarat sebuah benda yang panda dari satu
tangan ke tangan lain, dan Muth’ah juga merugikan anak-anak karena mereka
tidak mendapatkan rumah untuk tinggal dan pemeliharaan serta pendidikan
yang baik.

10
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Haris Na’im. Buku Daros : Fiqh Munakahat. STAIN Kudus. 2008

Dedi Supriyadi. Fiqh Munakahat Perbandingan. CV.Pustaka Setia. Bandung.


2011

H. Abdurrohman Kasdi. Masail Fiqhiyah : Kajian Fiqih atas Masalah-masalah


Kontemporer. Nora Media Enterprise. STAIN Kudus. 2011

Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi. Fiqih Empat


Mazhab. Hasyimi. Bandung. Cet. XVI. 2013

Teuku Eddy Faisal Rusydi. Pengesahan Kawin Kontrak. Pilar Media. Yogyakarta.
2007

Zakiah Daradjat. Ilmu Fiqh : Jilid 2. Dana Bakti Wakaf. Jakarta. 1995
http://pandidikan.blogspot.com/2011/02/nikah-mutah.html

11

Anda mungkin juga menyukai