Anda di halaman 1dari 23

KAWIN KONTRAK (NIKAH MUT`AH) / NIKAH SIYAHI /

NIKAH MISYAR

Mata Kuliah : Hukum Perkawinan Di Indonesia dan Negara Islam

Dosen Pengampu : 1. Dr. H. Jalaluddin, M.Hum


: 2. Dr. Hj. Mariani, SH, M.Ag

Disusun Oleh:

NASRULLAH
NIM: 170211050161

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


PASCA SARJANA
HUKUM KELUARGA (HK)
BANJARMASIN
2018
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat, taufik, hidayah serta inayahnya kepada kita semua sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Sholawat dan salam
semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW,
yang telah menuntun kita dari jaman Jahiliyah menuju jaman Islamiyah yaitu
berupa ajaran agama Islam.
Makalah ini disusun agar kita mengetahui dan memahami mengenai
Kawin Kontrak Menurut Pandangan Islam. Makalah ini disusun tidak mudah
seperti membalikkan telapak tangan, banyak hambatan-hambatan terutama
disebabkan oleh ketidaktahuan ilmu pengetahuan. Namun dengan segala ikhtiar,
kemauan, kerja keras, motivasi dari pihak-pihak yang terkait, dan atas kehendak-
NYA saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Tidak ada gading yang tak retak. Kami menyadari bahwa laporan ini
masih jauh dari kata sempura bahkan masih banyak kekurangannya. Oleh karena
itu saya mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun.
Semoga makalah yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Amin Yarobbal’alamin.

Banjarmasin, Juni 2018

Penulis,

NASRULLAH

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 1
C. Tujuan .......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Kawin Kontrak / Nikah Mut`ah .............................................. 3
B. Sejarah Kawin Kontrak Pada Masa Raulullah SAW ................................ 5
C. Landasan Hukum Kawin Kontrak Menurut Undang-Undang Dan Syari’at
Islam .......................................................................................................... 7
D. Dampak Negatif Dan Positif Adanya Kawin Kontrak ............................. 12
E. Sebab-Sebab Diharamkannya Nikah Mut’ah ........................................... 14
F. Prinsip Dalam Perkawinan Misyar ........................................................... 16
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................. 18
B. Saran ........................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dengan berjalan waktu fenomena dan segala permasalah yang timbul


semakin kompleks. Banyak permasalahan yang terjadi pada dewasa ini belum atau
bahkan tidak terjadi sama sekali pada zaman Rasulullah SAW. dan para ulama
ahli fiqh lainnya. Sehingga sering sekali terjadi silang pendapat untuk
menyelesaikannya.
Dalam kehidupan manusia, pada usia tertentu, bagi seorang pria maupun
seorang wanita timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan lawan jenisnya.
Hidup bersama antara seorang pria dan wanita tersebut tidak selalu ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan biologis, namun juga keinginan mendapat anak
keturunannya, maupun hanya untuk memenuhi hawa nafsu belaka.
Allah menetapkan adanya aturan tentang pernikahan bagi manusia.
Tujuannya untuk menyelamatkan dan mengatur kehidupan manusia. Manusia
tidak boleh berbuat semaunya seperti binatang, kawin dengan lawan jenis
semaunya. Allah telah memberikan batas dengan peraturan-peraturannya, yaitu
dengan syari’at yang terdapat dalam kitab-Nya dan hadist rasul-Nya dengan
hukum-hukum pernikahan. Pernikahan adalah sunatullah, hukum alam di dunia
dan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita.
Namun, dewasa ini mulai populer adanya kawin kontrak. Atau dalam
istilah fiqih disebut dengan nikah mut’ah. Bagaimanakah islam menanggapi
fenomena tersebut? Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai
kawin kontrak menurut sudut pandang Islam.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian kawin kontrak?


2. Bagaimanakah sejarah kawin kontrak pada masa Rasulullah SAW?

1
2
3. Apa landasan hukum kawin kontrak menurut undang-undang dan syari’at
Islam?
4. Apa dampak negatif dan positif kawin kontrak?
5. Apa penyebab dilakukannya kawin kontrak?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian kawin kontrak.


2. Untuk mengetahui dan memahami sejarah kawin kontrak pada masa
Rasulullah SAW.
3. Untuk mengetahui dan memahami landasan hukum kawin kontrak
menurut undang-undang dan syari’at Islam.
4. Untuk mengetahui dan memahami dampak negatif dan positif adanya
kawin kontrak.
5. Untuk mengetahui dan memahami penyebab dilakukannya kawin
kontrak.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kawin Kontrak / Nikah Mut`ah

Dalam bahasa Indonesia, “perkawinan” berasal dari kata “kawin” yang


menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan
hubungan kelamin, atau bersetubuh.1

Sedangkan “kontrak” berarti persetujuan yang bersanksi hukum antara


dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan. Kawin
kontrak dalam istilah fiqih dikenal sebagai nikah mut’ah. Dalam istilah yang lain,
nikah mut’ah disebut juga nikah sementara (nikah muaqqot) atau nikah terputus
(nikah munqothi’).

Menurut Dr. H. Mahjuddin, M.Pd. I, kawin kontrak merupakan tradisi


masyarakat jahiliyah.2 Yang pengertiannya menurut Sayyid Syabiq, “kawin
kontrak adalah adanya seorang pria mengawini wanita selama sehari, atau
seminggu, atau sebulan.” Dan dinamakan muth’ah karena laki-laki mengambil
manfaat serta merasa cukup dengan melangsungkan perkawinan dan bersenang-
senang sampai kepada waktu yang telah ditentukannya.3

Nikah mut’ah adalah nikah untuk bersenang-senang dalam masa tertentu.


Misalnya dikatakan oleh walinya,” Aku nikahkan engkau dengan Fatimah untuk
sebulan saja”.4

Perkawinan adalah sunatullah, hukum alam di dunia. Perkawinan yang


merupakan sunatullah pada dasarnya adalah mubah tergantung pada tingkat
maslahatnya. Disini, perbedaan tingkat larangan sesuai dengan kadar kemampuan
merusak dan dampak negatif yang ditimbulkannya.

1
Anton Muliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, Balai Pustaka,1994), hlm. 456.
2
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), hlm. 51.
3
Sayyid Syabiq, Fikih Sunnah 6 (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1980), hlm. 63.
4
M.A.Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada,2010), hlm. 89.
3
4

Secara istilah, kawin kontrak adalah pernikahan antara laki-laki dan


perempuan dengan menyebutkan batas waktu tertentu ketika akad nikah, misalnya
satu minggu, satu bulan, satu tahun, dan sebagainya. Apabila telah sampai pada
waktu yang ditetapkan, maka pernikahan itu putus dengan sendirinya tanpa kata
thalaq dan tanpa warisan5. Nikah mut’ah cenderung bertujuan untuk hiburan,
bersenang-senang, dan melampiaskan hawa nafsu semata.

Dalam nikah mut’ah si wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai
hak waris jika si suami meninggal. Dengan begitu, tujuan nikah mut’ah ini tidak
sesuai dengan tujuan nikah menurut ajaran Islam sebagaimana disebutkan di atas,
dan dalam nikah mut’ah ini pihak wanita teramat sangat dirugikan.

Oleh karenanya nikah mut’ah ini dilarang oleh Islam. Dalam hal ini syaikh
al-Bakri dalam kitabnya I’anah at-Thalibin menyatakan:

“Kesimpulannya, nikah mut’ah ini haram hukumnya. Nikah ini disebut nikah
mut’ah karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk
membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang
keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan
konsekwensi langgengnya pernikahan”.

Kawin kontrak dalam Islam disebut dengan istilah nikah mut’ah.


Hukumnya adalah haram dan akad nikahnya tidak sah alias batal. Hal ini sama
saja dengan orang sholat tanpa berwudhu’, maka sholatnya tidak sah alias batal.
Tidak diterima oleh Allah SWT sebagai ibadah. Demikian pula orang yang
melakukan kawin kontrak akad nikahnya tidak sah alias batal, dan tidak diterima
Allah SWT sebagai amal ibadah.

5
Team Musyawarah Guru Bina PAI Madrasah Aliyah, Al Hikmah Fiqih ( Sragen: Akik
Pusaka, 2008), hlm. 10.
5

B. Sejarah Kawin Kontrak Pada Masa Raulullah SAW.

Jika kita tengok sejarah awal Islam, dimana ketika itu masyarakat jahiliyah
tidak memberikan kepada wanita hak-haknya sebagaimana mestinya karena
wanita ketika itu lebih dianggap sebagai barang yang bisa ditukar seenaknya,
dapat kita ketahui betapa ajaran Islam menginginkan agar para wanita dapat
diberikan hak-haknya sebagaimana mestinya.

Pada zaman Rasulullah, saat itu Rasulullah mengizinkan tentaranya yang


terpisah jauh dari istrinya untuk melakukan nikah mut’ah, dari pada melakukan
penyimpangan. Namun kemudian Rasulullah mengharamkannya ketika
melakukan pembebasan kota Mekah pada tahun 8 H / 630 M.

Nikah mut’ah diawal-awal Islam dihukumi halal lalu dinaskh (dihapus).


Nikah ini menjadi haram hingga hari kiamat. Demikianlah yang menjadi
pegangan jumhur (mayoritas) sahabat, tabi’in dan para ulama madzhab (Shahih
Fiqh Sunnah, 2: 99). Dari Sabroh Al Juhaniy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami untuk
melakukan nikah mut’ah pada saat Fathul Makkah ketika memasuki kota Makkah.
Kemudian sebelum kami meninggalkan Makkah, beliau pun telah melarang kami
dari bentuk nikah tersebut.” (HR. Muslim no. 1406)

Dalam riwayat lain dari Sabroh, ia berkata bahwa dia pernah ikut
berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat penaklukan kota
Mekkah. Ia berkata:

“Kami menetap selama 15 hari (kira-kira antara 30 malam atau 30 hari).


Awalnya Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam mengizinkan kami untuk
melakukan nikah mut’ah dengan wanita... Kemudian aku melakukan nikah mut’ah
(dengan seorang gadis). Sampai aku keluar Mekkah, turunlah pengharaman
nikah mut’ah dari Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam.” (HR. Muslim no.
1406).
6

Saat kekhalifahan Ali mulai terdapat perdebatan soal kawin mut'ah antara
Sunni dan Syiah. Sunni mengatakan, kawin mutah telah dilarang oleh Nabi
Muhammad SAW pada berbagai kesempatan. Dan menurut Syiah, Nabi juga
pernah memperbolehkannya dalam berbagai kesempatan. Yang telah menjadi
kesepakatan sejarah, Umar bin Khatthab ra. saat menjabat Khalifah telah
melarangnya.

Adapun para ulama berpendapat yang berbeda-beda tentang hukum


kawin kontrak atau nikah mut’ah diantaranya, ialah Ada pendapat yang
membolehkan nikah mut’ah ini berdasarkan fatwa sahabat Ibnu Abbas r.a.,
padahal fatwa tersebut telah direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri, sebagaimana
disebutkan dalam kitab fiqh as-sunnah:

Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in bahwa nikah


mut’ah hukumnya boleh, dan yang paling populer pendapat ini dinisbahkan
kepada sahabat Ibnu Abbas r.a., dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan:
sedangkan Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah ini tidaklah secara mutlak,
akan tetapi hanya ketika dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika banyak yang
melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia
merefisi pendapatnya tersebut. Ia berkata:

“inna lillahi wainna ilaihi raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu
(hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan. Saya tidak
menghalalkan nikah mut’ah kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana
halalnya bangkai, darah dan daging babi ketika dalam keadaan dharurat, yang
asalnya tidak halal kecuali bagi orang yang kepepet dalam keadaan dharurat.
Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang awalnya
haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi
boleh”
7

Namun demikian, pendapat yang menghalalkan nikah mut’ah tersebut


tidaklah kuat untuk dijadikan dasar hukum. Sedangkan pendapat yang
mengharamkannya dasar hukumnya sangat kuat, sebab dilandaskan di atas hadis
shahih sebagai berikut :

‫ام‬
َ ‫ع‬َ ‫ع ْن ْال ُمتْعَ ِة‬
َ ‫سله َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫ َن َهى َر‬:‫َّللاُ َع ْنه قَا َل‬
‫سو ُل ه‬ ‫ي ه‬ َ ‫ض‬
ِ ‫ي َر‬ َ ‫ع ْن‬
ٍّ ‫ع ِل‬ َ
)‫َخ ْيبَ َر (متفق عليه‬
“Diriwayatkan bahwa sahabat Ali r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. melarang nikah
mut’ah ketika perang Khaibar” Hadis dianggap shahih oleh imam Bukhari dan
Muslim”

“Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w.


bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan
nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari
kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka
segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan
kepada wanita yang kalian mut’ah” HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu
Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.

Hadis-hadis tersebut cukup kuat untuk dijadikan pijakan menetapkan


hukum haram bagi nikah mut’ah, dan sangat terang benderang menjelaskan bahwa
Islam melarang nikah mut’ah. Oleh karena itu, jika saat ini ada yang
melaksanakan nikah mut’ah maka ia telah dianggap melanggar ajaran Islam dan
secara otomatis nikahnya tersebut batal.

C. Landasan Hukum Kawin Kontrak Menurut Undang-Undang Dan


Syari’at Islam

1. Menurut undang-undang perkawinan di Indonesia.

Kawin kontrak merupakan salah satu jenis perkawinan yang masuk ke


dalam kategori “perkawinan yang timpang” karena tidak memenuhi ketiga aspek
tersebut melainkan hanya dilakukan berdasarkan nafsu duniawi semata.
8

Dalam sudut pandang hukum, kawin kontrak pada dasarnya tidak


diperkenankan oleh hukum perkawinan Indonesia yaitu yang terangkum dalam
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 1 Undang-undang
Perkawinan menyatakan bahwa ” Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.”6
Selanjutnya Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa “Perkawinanan adalah
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”.
Ketentuan diatas mengandung pengertian bahwa apabila sebuah
perkawinan dilakukan tidak berdasarkan agama dan kepercayaan dari masing-
masing pihak, maka secara hukum tidak akan diakui keabsahannya. Ketentuan
agama dalam hal ini tidak hanya diberi pengertian terpenuhinya syarat-syarat
konkrit seperti adanya dua calon mempelai, persetujuan orang tua, maupun mahar,
dan lain-lainnya, tetapi juga harus terpenuhinya tujuan dari perkawinan itu sendiri
yaitu untuk membentuk sebuah keluarga yang bahagia berdasarkan ketuhanan
Yang Maha Esa.

Oleh karena itu, kawin kontrak bukan merupakan perkawinan yang sah
karena pada dasarnya dilakukan bukan karena adanya tujuan yang mulia untuk
mematuhi perintah Tuhan dan untuk membentuk keluarga yang bahagia,
melainkan hanya untuk memenuhi tujuan-tujuan yang didasari kepentingan yang
bertentangan dengan hukum perkawinan itu sendiri, misalnya demi memenuhi
kebutuhan ekonomi / hawa nafsu.

6
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan
(Yogyakarta:Liberty, 2007), hlm. 138.
9

Selain itu dalam hukum perkawinan dikenal adanya asas pencatatan


perkawinan yang tertuang dalam pasal 2 ayat (2 ) Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 bahwa ” Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.”7
Kawin kontrak bukan hanya tidak dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku tetapi proses dari perkawinannya itu sendiri berlangsung
secara diam-diam bahkan tidak banyak orang yang mengetahuinya.
Adapun pengertian “sah” dalam pandangan para pelaku kawin kontrak
hanya didasarkan pada terpenuhinya persyaratan dua calon mempelai, persetujuan
orang tua, penghulu, dan mahar, sehingga mereka berpikir bahwa secara agama
perkawinan tersebut sah meskipun tidak dicatat. Ini adalah pemahaman yang
keliru karena berdasarkan hukum perkawinan, perkawinan itu akan sah apabila
dicatat oleh lembaga yang berwenang melakukan pencatatan. Mengenai asas
pencatatan ini pun tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang
merupakan pelaksanaan dari pasal 2 ayat (2) Undang undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Kemudian jika dilihat dari Syarat-syarat perkawinan
yaitu yang termuat dalam pasal 6 ayat (1) yang berbunyi : ” Perkawinan harus
didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.“8
Kenyataannya, kawin kontrak lebih banyak terjadi bukan berasal dari
persetujuan calon mempelai tetapi terjadi karena paksaan dari orang tua (jika
pihak perempuan) yang karena faktor ekonominya kurang mampu sehingga tega
menjual anak-anaknya sendiri untuk tujuan menyambung hidup. Persetujuan yang
terjadi pada umumnya hanya terucap secara lisan saja berdasarkan paksaan, bukan
karena hati nurani. Dan ini sudah melanggar ketentuan dari tujuan perkawinan itu
sendiri yang harus didasari oleh kehendak dan tujuan yang baik untuk memenuhi
perintah Tuhan.

7
Kementrian Agama, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Humaniora Utama Press, 1992), hlm. 18.
8
Soemiyati, Op. Cit., hlm. 140.
10

Sedangkan dari pihak laki-laki sudah jelas tujuannya hanya sebatas


pemuas nafsu biologis semata atau juga tujuan-tujuan lainnya yang hanya
berorientasi pada kepentingan sepihak. Pasal 7 ayat (1) undang-undang
perkawinan menyatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 (enam belas) tahun.”

Dalam undang-undang Perkawinan dikenal asas bahwa para pihak harus


sudah aqil balig. “Aqil” dalam hal ini adalah ‘berakal” dan balig adalah “dewasa
secara fisik”. Banyak pihak yang mengartikan dewasa itu hanya sebagai “balig”,
padahal kedewasaan itu ditunjang oleh “aqil” sehingga seseorang tersebut
mempunyai akal untuk berfikir atau mempertimbangkan sesuatu itu apakah benar
atau tidak, apakah berakibat buruk atau tidak.

Demikian pula pada masalah perkawinan, kedua calon mempelai itu


dituntut tidak hanya dewasa secara fisik tetapi juga dewasa secara pemikiran
sehingga akan mampu menjalankan bahtera perkawinannya secara sehat.Jika
merujuk pada keterangan para pelaku kawin kontrak, pada umumnya syarat aqil
dan balig itu hanya dimiliki oleh satu pihak (misalnya dari pihak laki-laki yang
rata-rata sudah berusia dewasa dan memiliki akal untuk mempertimbangkan baik
dan buruknya perkawinan kontrak namun mereka mengabaikan hal tersebut)
namun di lain pihak.

Calon mempelai perempuan berusia di bawah 16 tahun atau berusia di atas


enam belas tahun namun belum memiliki kedewasaan yang cukup untuk
mempertimbangkan baik buruknya melakukan kawin kontrak sehingga mereka
menurut saja ketika orang tua memaksanya atau keadaan ekonomi menuntutnya
untuk dilakukan perkawinan komersial tersebut. Oleh karena itu jenis perkawinan
ini sangat bertentangan dengan nilai kepatutan di masyarakat, serta bertentangan
dengan agama dan hukum negara.
11

Di Indonesia perkawinan adalah sah apabila dilakukan sesuai dengan


agama dan kepercayaannya masing-masing. UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dan hukum islam memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya
dilihat dari aspek formalnya semata-mata, tetapi juga dilihat dari aspek agama dan
sosial. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan sedangkan aspek
formal adalah menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan di KUA atau
catatan sipil.

Kawin kontrak merupakan sebuah fenomena terselubung dalam


masyarakat sekarang ini. Pelaksanaan kawin kontrak sangat bertentangan dengan
UU No.1 Tahun 1974, karena dalam kawin kontrak yang ditonjolkan hanya nilai
ekonomi, dan perkawinan ini hanya bersifat sementara. Menurut UU No.1 Tahun
1974, perkawinan haruslah bersifat kekal untuk selama-lamanya.

2. Menurut syari’at Islam.

Memang benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal
Islam, tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-
Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim:
“Yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan
dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang
Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian
dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas,
kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”.

Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena


ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang
ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa
peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan
keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.
Haramnya nikah mut’ah, menurut Bahtsul Masail DPP Ittihadul
Muballighin, berlandaskan dalil-dalil Hadits Nabi dan juga pendapat para ulama
12
dari empat madzhab. Dalil dari Hadits Nabi yang diriwayatkan Imam Muslim
dalam kitabnya Shahih Muslim menyatakan bahwa:
Dari Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani, ia berkata: Kami bersama Nabi
Muhammad SAW dalam suatu perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan
bersama saudara sepupu kami dan bertemu dengan seorang wanita. Jiwa muda
kami mengagumi wanita tersebut, sementara dia mengagumi selimut (selendang)
yang dipakai oleh saudaraku itu. Kemudian wanita tadi berkata: Ada selimut
seperti selimut. Akhirnya aku menikahinya dan tidur bersamanya satu malam.
Keesokan harinya aku pergi ke Masjid Al-Haram, dan tiba-tiba aku melihat Nabi
SAW sedang berpidato di antara pintu Ka’bah dan Hijir Ismail. Beliau bersabda:
“Wahai sekalian manusia, Aku pernah mengizinkan kepada kalian untuk
melakukan nikah mut’ah. Maka sekarang siapa yang mempunyai istri dengan
cara nikah mut’ah, haruslah ia menceraikannya, dan segala sesuatu yang telah
kalian berikan kepadanya janganlah kalian ambil lagi. Karena Allah Azza wa
Jalla telah mengharamkan nikah mut’ah sampai hari kiamat. (Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Muslim , Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah, Imam
al-Nasa’i , Imam al- Darimi, Imam Ibnu Syahin).

Kawin kontrak dalam Islam disebut dengan istilah nikah mut’ah. Hukumnya
adalah haram dan akad nikahnya tidak sah alias batal. Hal ini sama saja dengan
orang sholat tanpa berwudhu’, maka sholatnya tidak sah alias batal. Tidak
diterima oleh Allah SWT sebagai ibadah. Demikian pula orang yang melakukan
kawin kontrak akad nikahnya tidak sah alias batal, dan tidak diterima Allah SWT
sebagai amal ibadah.

D. Dampak Negatif Dan Positif Adanya Kawin Kontrak.

1. Dampak Positif.

Selain dampak negatif, nikah mut’ah pun ternyata juga mempunyai


dampak postif. Dampak positifnya adalah memerlukan seseorang, karena ia
khawatir terjerumus ke dalam fitnah dan salah satu cara pemeliharaan diri dari
zina dan perbuatan keji, hal ini adalah pendapat Jumhur ulama, sebagaimana
disebutkan oleh penulis kitab Al-Mughni, yaitu Muwaffiquddin Ibnu Qudamah
Rahimahullah.
13

2. Dampak negatif.

a. Kawin kontrak merupakan bentuk pelecehan terhadap martabat kaum wanita.


Jadi pihak wanita sangat dirugikan.
b. Kawin kontrak mengganggu keharmonisan keluarga dan meresahkan
masyarakat.
c. Kawin kontrak berakibat menelantarkan generasi yang dihasilkan oleh
perkawinan itu.
d. Kawin kontrak bertentangan dengan Undang Undang Perkawinan No.1/1974
pasal 1 dan 2.
e. Kawin kontrak dicurigai dapat menimbulkan dan menyebarkan penyakit
kelamin.
f. Kawin kontrak sangat potensial untuk merusak kepribadian dan budaya luhur
bangsa Indonesia.
g. Penyia-nyiaaan anak. Anak hasil kawin kontrak sulit disentuh oleh kasih
saying orang tua (ayah). Kehidupannya yang tidak mengenal ayah
membuatnya jauh dari tanggung jawab pendidikan orang tua, asing dalam
pergaulan, sementara mentalnya terbelakang. Keadaannya akan lebih parah
jika anak tersebut perempuan. Kalau orang-orang menilainya sebagai
perempuan murahan, bisakah dia menemukan jodohnya dengan cara yang
mudah? Kalau iman dan mentalnya lemah, tidak menutup kemungkinan dia
akan mengikuti jejakibunya.
h. Kemungkinan terjadinya nikah haram. Minimnya interaksi antara keluarga
dalam kawin kontrak apalagi setelah perceraian, membuka jalan terjadinya
perkawinan antara sesama anak seayah yang berlainan ibu, atau bahkan
perkawinan anak dengan ayahnya. Sebab tidak ada saling kenal di antara
mereka.
14
i. Menyulitkan proses pembagian harta warisan. Ayah anak hasil kawin kontrak
lebih-lebih yang saling berjauhan – sudah biasanya sulit untuk saling
mengenal. Penentuan dan pembagian harta warisan tentu tidak mungkin
dilakukan sebelum jumlah ahli waris dapat dipastikan.
j. Pencampuradukan nasab lebih-lebih dalam kawin kontrak bergilir. Sebab
disini sulit memastikan siapa ayah dari anak yang akan lahir.

E. Sebab-Sebab Diharamkannya Nikah Mut’ah

Sebagaimana telah diketahui bahwa, tujuan diutusnya Rasulullah saw


adalah rahmat bagi seluruh alam, Karena itu, maka Allah swt mengharamkan
Nikah Mut’ah kerna tidak sesuai dengan misi yang diemban Rasulullah saw.
Memang pada mulanya nikah ini dibolehkan, akan tetapi, hal ini hanya sebatas
keringanan bagi Sahabat-Sahabat Rasulullah saw. Dimana kita ketahui, bahwa
jarak antara keislaman mereka masih dekat dengan kebiasaan-kebiasaan yang
mereka tumbuh didalamnya sebelum datangnya islam.

Keringanan ini juga hanya terjadi dalam peperengan, maka tidak masuk
akal dalam keadaan seperti ini, meminta mereka menahan syahwat mereka dengan
berpuasa. Karena tidak benenar dalam peperengan melemahkan seorang Mujahid
dengan cara apapun dan dalam keadaan apapun. Keadaan inilah yang menjadi
dasar dibolehkannya Nikah Mut’ah.

Setelah hilangnya sebab-sebab di atas, Allah menghapusnya melalui


firmannya dan Lisan Rasulnya saw. Karena, Nikah Mut’ah menyusahkan
perempuan dan anak yang lahir dari mereka. Dan setelah diharamkan, tidak ada
dari sahabat dan tabi’in yang melakukan itu lagi.

Bila dilihat dari definisi Nikah Mut’ah, pernikahan seperti ini terjadi
kontradiksi terhadap arti nikah sesungguhnya. Sebab tujuan sebuah pernikahan
adalah suatu ikatan yang kuat dan perjanjian yang teguh yang ditegakkan diatas
landasan niat untuk bergaul antara suami istri dengan abadi supaya memetik buah
15
kejiwaan yang telah digariskan Allah swt dalam Al-Qur'an yaitu ketentraman,
kecintaan, dan kasih sayang. Sedangkan tujuan yang bersifat duniawi adalah demi
berkembangnya keturunan dan kelangsungan hidup manusia.9

Dalam prinsip-prinsip sebuah pernikahan, Nikah Mut'h, sangat tidak sesuai


dengan nikah yang telah Allah swt syari'atkan. Dimana diketahui bahwa, Nikah
mut'ah dibatasi oleh waktu, dengan demikian, Nikah Mut'ah berakhir dengan
habisnya waktu yang ditentukan dalam aqad atau faskh, sedangkan dalam syari'at,
pernikahan berakhir dengan talak atau meninggal dunia, dengan kata lain tidak
dibatasi oleh waktu.

Selain dibatasi oleh waktu, Nikah Mut'ah juga tidak membatasi jumlah
istri yang boleh dinikahi. Maka boleh bagi seorang pria menikah lebih dari empat
orang istri. Dan ini dapat dilakukan tanpa wali atau tanpa persetujuan walinya,
dan dalam pernikahan ini tidak diperlukan saksi, pengumuman, perceraian,
pewarisan dan pemberian nafkah setelah selesainya waktu yang telah disepakati.
Kecuali sebelumnya telah terjadi kesepakatan atau apabila si perempuan itu hamil.

Bila ditinjau dari segi mudhoratnya (dampak negatif), Nikah Mut'ah


merupakan bentuk pelecehan terhadap kaum wanita, merusak keharmonisan
keluarga, menelantarkan generasi yang dihasilkan dari pernikahan tersebut,
menimbulkan dan menyebarkan penyakit kelamin, meresahkan masyarakat, dan
karena tidak diwajibkan adanya wali dan saksi, bisa jadi, seseorang
mengumpulkan antara dua bersaudara, atau antara anak dan ibunya atau bibinya
dan tidak menutup kemungkinan, ia menikahi anaknya sendiri dari hasil
Pernikahan Mut'ah yang dilakukan sebelumnya, bahkan, bisa jadi ia
mengumpulkannya dengan ibunya karena ketidak tahuannya dan tidak adanya
orang yang mengetahuinya.

9
Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2002. hlm 25.
16

Dengan demikian, jelaslah bagi kita sebab-sebab diharamkannya Nikah


Mut'ah, selain tidak sesuai dengan misi diutusnya Rasulullah saw (rahmatan
lilalaamin) dan syari'at yang dibawanya, Nikah Mut'ah juga memiliki banyak
mudhorat (dampak negatif), yang berdampak pada Agama, masyarakat maupun
akhlak, oleh kerna itu, Rasulullah saw mengharamkannya, karena didalamnya
terdapat berbagai macam kerusakan.

F. Prinsip Dalam Perkawinan Misyar

Ada beberapa prinsip perkawinan menurut hukum Islam, yang perlu


diperhatikan agar perkawinan itu benar-benar berarti dalam hidup manusia
melaksanakan tugasnya mengabdi pada Tuhan. Pada hakekatnya, nikah misyar
tidak jauh berbeda dengan nikah biasa, artinya segala sesuatu yang menjadi syarat
dan rukun dari nikah biasa terdapat pula pada pernikahan misyar. Sehingga
prinsip-prinsip perkawinan misyar dengan pernikahan dalam Islam, yaitu:

a. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama

Bahwa perkawinan adalah sunnah Nabi, itu berarti bahwa tuhan


melaksanakan perkawinan itu pada hakekatnya merupakan dari ajaran agama-
agama mengatur perkawinan itu, memberi batasan dan rukun dan syarat-syarat
yang perlu. Apabila rukun dan syarat tidak terpenuhi, batal atau fasidlah
perkawinan itu. Dengan demikian dalam perkawinan misyar ada ketentuan lain
disamping rukun dan syarat, seperti harus ada mahar dalam perkawinan dan juga
harus ada kemampuan. Selain itu untuk memenuhi kebutuhan biologis (naluri
seks) sekaligus memuliakan dan menjaga agar tidak tergelincir dalam perbuatan
zina, sudah menjadi kodrat iradat Allah. Manusia diciptakan berpasang-pasangan
dan diciptakan oleh Allah mempunyai keinginan untuk berhubungan antara laki-
laki dan perempuan artinya dalam hal ini saling memerlukan satu sama lainnya.12

12
Abd. al-Muhaimin As’ad, Risalah Nikah Penuntun perkawinan, Surabaya: Bulan Terang, 1993,
cet. I, hlm. 33
17
b. Kerelaan dan persetujuan

Sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang hendak
melangsungkan pernikahan ialah “Ikhtiyar” (tidak dipaksa) pihak yang
melangsungkan perkawinan itu dirumuskan dengan kata-kata kerelaan calon istri
dan suami atau persetujuan mereka.13 Prinsip hakiki dari suatu perkawinan adalah
ada kerelaan kedua calon sumi dan istri. Karena kerelaan itu merupakan urusan
hati yang tidak diketahui oleh orang lain, maka perlu adanya ungkapan konkrit
yang menunjukkan ijab dan qabul. Ijab merupakan lambang kerelaan dari
perempuan untuk menyerahkan diri sebagai istri dari laki-laki calon suminya.
Sedangkan kabul sebagai lambang kerelaan laki-laki untuk mempersunting dan
menjadikan perempuan itu sebagai istrinya.14 Prinsip kerelaan ini dalam
perkawinan misyar merupakan unsur yang utama untuk melaksanakan perkawinan
ini. Dimana kerelaan sang istri yang disadari dari sikap mengalah istri untuk tidak
diberikan hak nafkah dari suami berupa materi.

c. Perkawinan untuk selamanya

Tujuan perkawinan antara lain untuk dapat keturunan dan untuk


ketenangan, ketentraman dan antara cinta serta kasih sayang. Kesemuanya ini
dapat di capai hanya dengan prinsip bahwa perkawinan adalah untuk selamanya,
bukan hanya dalam waktu tertentu saja. Itulah prinsip perkawinan dalam Islam
yang harus atas dasar kerelaan hati dan sebelumnya yang bersangkutan. Telah
melihat terlebih dahulu sehingga nantinya tidak menyesal setelah melangsungkan
perkawinan dan dengan melihat dan mengetahui lebih dahulu akan dapat
mengekalkan persetujuan antara suami dan istri.15

13 Abd. Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 120
14 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 303
15 Dirjen Bimbingan Islam Depag, hlm. 70-73
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan.

1. Kawin Kontrak adalah pernikahan antara laki-laki dan perempuan dengan


menyebutkan batas waktu tertentu ketika akad nikah, misalnya satu minggu,
satu bulan, satu tahun, dan sebagainya. Jika massanya sudah selesai, maka
dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.
2. Sejarah kawin kontrak: pada zaman Rasulullah, saat itu Rasulullah
mengizinkan tentaranya yang terpisah jauh dari istrinya untuk melakukan
Kawin kontrak, dari pada melakukan penyimpangan. Namun kemudian
Rasulullah mengharamkannya ketika melakukan pembebasan kota Mekah
pada tahun 8 H / 630 M. Kawin kontrak diawal-awal Islam dihukumi halal lalu
dinaskh (dihapus). Kawin ini menjadi haram hingga hari kiamat.
3. Kawin kontrak atau nikah muth’ah haram hukumnya. Karena sangat
bertentangan dengan Al-Qur’an.
4. Kawin kontrak selain mempunyai dampak negatif, disisi lain ada dampak
positifnya. Tetapi dampak positif ini hanya berlaku pada saat perang pada
zaman Rasulullah karena untuk mmbangkitkan semangat para sahabat yang
jauh dari istrinya untuk jihad dijalan Allah SWT.
5. Jelaslah bahwa kawin kontrak itu hukumnya haram. Maka dari itu, orang yang
melakukan kawin kontrak sesungguhnya bukan menikah secara halal, tapi
telah berbuat zina yang merupakan dosa besar dalam Islam. Na’uzhu billahi
min dzalik. Allah SWT berfirman (yang artinya),”Dan janganlah kamu
mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang sangat keji dan
suatu jalan yang buruk.” (QS Al Israa` [17] : 32).

B. Saran

Kawin Kontrak merupakan pernikahan yang dilarang oleh Islam. Jadi


harus ditemukan jalan keluar untuk mencegah maraknya kawin kontrak. Solusinya
18
19

adalah dengan mengadakan seminar dan penyuluhan mengenai hukum kawin


kontrak serta menjelaskan sebab akibat kawin kontrak. Dengan tujuan tersebut
supaya masyarakat sadar bahwa sebuah perkawinan merupakan bagian hidup yang
sakral.
Hendaklah kita semua dapat memilih jalan yang benar dan dan diridhoi
Allah dalam menyalurkan nafsu seksual kita, yaitu pernikahan yang sah, bukan
pernikahan secara kawin kontrak. Walaupun kawin kontrak itu dapat
menghasilkan materi (uang) dan kenikmatan, tapi ingatlah itu hanya sesaat di
dunia yang fana ini. Akibatnya di akhirat bukanlah surga, melainkan neraka.
Camkan sabda Nabi Muhammad SAW, ”Yang paling banyak memasukkan
manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, yaitu mulut dan kemaluan.” (HR
Tirmidzi, no 2072, hadits shahih). Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Agama RI. Al-Quran dan Tafsirnya. Jakarta: Widya Cahaya, 2011.

Kementrian Agama. Kompilasi Hikum Islam. Bandung: Humaniora Utama Press,


1992.

Mahjuddin. Masailul Fiqhiyah. Jakarta: Kalam Mulia, 2003.

Muliono, Anton. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai


Pustaka,1994Sabiq, sayyid.

Fikih Sunnah 6. Bandung: PT. Alma’arif, 1980.

Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan.


Yogyakarta: Liberty, 2007.

Team Musyawarah Guru Bina PAI Madrasah Aliyah. Al Hikmah Fiqih. Sragen:
Akik Pusaka, 2008.

Tihami, M. A. dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah


Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Sumber lain:
http://ekspresihati.info/renungan/poligami-nikah-siri-dan-kawin-kontrak.html
http://rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3651-bentuk-nikah-yang terlarang-2-
kawin-kontrak.html
http://www.antaranews.com/news/166046/kawin-kontrak-menyimpang-dari
ajaran-islam
http://www.kosmaext2010.com/mutah-atau-kawin-kontrak-makalah-teknik
penulisan-ilmiah.php
http://fitriap09.blogspot.com/2011/05/kawin-kontrak-menurut-pandangan
islam.html
http://yenigaluh.forumotion.com/t376-kawin-kontrak
http://www.maswins.com/2011/09/yang-sebenarnya-tentang-nikah-mutah.html
http://hukum.kompasiana.com/2010/05/20/kawin-kontrakkatakan-tidaksebelum
menyesal/
http://wawanhermawan90.blogspot.com/2012/01/makalah-kawin-kontrak.html
http://hidayah-cahayapetunjuk.blogspot.com/2013/05/nikah-mutah.html

Anda mungkin juga menyukai