MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Khazanah Keilmuan Pesantren II”
Pada Program Pasca Sarjana PAI Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA)
Guluk-Guluk Sumenep
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. ABU YAZID, MA., LL.M
Disusun Oleh:
FAHRI FARGHIZ
SEMESTER II-A
PROGRAM PASCA SARJANA (PAI)
INSTITUT ILMU KEISLAMAN ANNUQAYAH (INSTIKA)
GULUK-GULUK SUMENEP
AGUSTUS 2020
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan pada Ilahi Rabbi Allah SWT. Shalawat dan
Salam senantiasa terlimparuahkan kepada baginda Rasulillah Muhammad SAW
beserta seluruh keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan pada seluruh ummatnya
yang telah mengikuti jejaknya hingga hari kiamat.
Atas berkat rahmat, taufiq dan hidayah Allah SWT penulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah ini dengan baik dan lancar tanpa halangan
apapun.
Makalah ini berjudul “Tradisi Bayani, Burhani dan Irfani serta
Hubungannya Dengan Khazanah Keilmuan Pesantren” kami susun guna
memenuhi tugas mata kuliah Khazanah Keilmuan Pesantren 2 dengan harapan
memberikan sebuah manfaat kepada seluruh umat utamanya kepada saya sendiri
Dalam kesempatan yang berbahagia ini, penulis menghaturkan terima
kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Seluruh Civitas Akademika INSTIKA, Utamanya Civitas Akademika
Pascasarjana;
2. Bapak Prof. Dr. Abu Yazid, MA., LL.M selaku dosen pengampu mata kuliah
Khazanah Keilmuan Pesantren 2 yang telah memberikan bimbingan dan
arahan kepada kami;
3. Semua pihak yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam penulisan
makalah ini
Penulis menyadari bahwa no body perpect, tentunya tulisan ini masih jauh
dari kesempurnaan dan banyak kekurangannya. Untuk itu kritik dan saran dari
segenap pembaca sangat penulis mengharapkan guna penyempurnaan penulisan
makalah ini.
Dan akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya. Amien Ya Rabbal A’lamin.
ii
DAFTAR ISI
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang hingga saat ini menjadi kunci yang paling
mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu saja
tanpa ada sebuah dinamika atau diskursus ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan itulah lazim dikenal dengan istilah epistemologis.
Lebih lanjut Ahmad Tafsir mengungkapkan bahwa Epistemologi membicarakan
sumber ilmu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu, epistemologis ini menempati posisi yang sangat strategis, karena ia
membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui cara
yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin
dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutannya kepiawaian dalam
menentukan epistemologis, akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu
pengetahuan yang dihasilkan.
Sejarah telah mencatat bahwa peradaban Islam pernah menjadi kiblat ilmu
pengetahuan dunia sekitar abad ke-7 sampai abad ke-15. Setelah itu, masa keemasan itu
mulai melayu, statis, bahkan mundur hingga abad ke-21 ini. Hal itu terjadi, karena Islam
dalam kajian pemikirannya paling tidak menggunakan beberapa aliran besar dalam
kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model sistem
berpikir dalam Islam, yakni bayani, irfani dan burhani yang masing-masing mempunyai
pandangan yang berbeda tentang pengetahuan.
Selain sebagai instrumen untuk mencari kebenaran, ketiga epistemologi tersebut juga
bisa digunakan sebagai sarana identifikasi cara berfikir seseorang. Seorang filosof dengan
corak berfikir burhani akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu dari akal atau panca
indera. Dengan kedua sarana ini manusia memunculkan dua dikotomi antara apa yang
disebut rasional dan irrasional. Rasional adalah sebuah kebenaran, sebaliknya irrasional
adalah sebuah kesalahan. Selanjutnya orang yang memiliki corak berfikir bayani akan
menjawab bahwa sumber kebenaran itu dari teks. Rasio tidak memiliki tempat dalam
pembacaan mereka terhadap kebenaran. Ketercukupan golongan ini terhadap teks
memasukkan mereka pada golongan fundamental literalis. Sedangkan orang yang
2
memiliki corak berfikir irfani akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu dari wahyu,
ilham, wangsit dan sejenisnya. Pola berfikir demikian akan membangun sebuah struktur
masyarakat yang memiliki hirarki atas bawah. Untuk lebih memahami mengenai bayani,
Burhani dan Irfani penulis akan menjelaskannya dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi Tradisi Bayani, Burhani dan Irfani?
2. Bagaimana Hubungan Tradisi Bayani, Burhani dan Irfani dengan Khazanah Keilmuan
Pesantren?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui definisi Tradisi Bayani, Burhani dan Irfani
2. Untuk mengetahui bagaimana Hubungan Tradisi Bayani, Burhani dan Irfani dengan
Khazanah Keilmuan Pesantren
3
BAB II
PEMBAHASAN
1
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Besar Al-Munawwir, Jakarta: Pustaka Progressif, 1997), 920
4
Adapun secara terminologi al-bayan adalah ilmu baru yang dapat menjelaskan
sesuatu atau ilmu yang dapat mengeluarkan sesuatu dari kondisi samar kepada kondisi
jelas.
Sedangkan dalam bahasa filsafat yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat
diartikan sebagai Model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini
teks sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran sebuah kitab.
Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya.
2
A. Khudori Soleh, Model-Model Epistemologi Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2000), 194
5
kepastian hukumnya dalam teks, karena adanya kesamaan illah. Ada beberapa
hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas, yaitu:
a) Adanya al ashl yakni nash suci yang memberikan hukum dan dipakai
sebagai ukuran. Dinamakan juga Muqoyas-alaih, mahmul-alaih,
musyabbah-bih.3
b) Al-Far’ yaitu sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash. Dinamakan
juga muqoyyas, musyabbah.4
c) Hukum al-ashl yaitu ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl untuk di
jadikan hukum far’.
d) ‘Illah yaitu menyifatkan sesuatu kepada dasar, dan diatasnya di di bina
hukum nya, dan dengan nya itu di ketahui adanya hukum pada far’.5
Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari kurma. Arak dari perasan
kurma disebut far` (cabang) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash, dan ia
akan diqiyaskan pada khamr. Khamr adalah ashl (pokok) sebab terdapat dalam teks
(nash) dan hukumnya haram6[8], alasannya (illah) karena memabukkan. Hasilnya arak
adalah haram karena ada persamaan antara arak dan khamr yakni sama-sama
memabukkan.
Karena otoritas ada pada teks dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks,
sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain, maka ketika
berhadapan, nalar bayani menghasilkan sikap mental yang dogmatis.
c. Pendekatan Bayani
Pendekatan bayani sudah lama dipergunakan oleh para fuqaha', mutakallimun dan
ushulliyun. Bayani adalah pendekatan untuk:
1) Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna
yang dikandung dalam (atau dikendaki) lafadz, dengan kata lain pendekatan
ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari lafz dan 'ibarah yang
zahir pula.
2) Istinbat hukum-hukum dari al-nusus al-diniyah dan al-Qur'an khususnya.
3
Syekh Abdul Wahhab Khallaf, ﻟﻔﻘﻪ ﻋﻠﻢ ﺃﺻﻮﻝ ﺍ, diterjemahkan Halimuddin. S.H, (Jakarta: Rinneka Cipta
2005), 68
4
Ibid, 68
5
Ibid, 73
6
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Ma’idah[5]: 90)
6
2. Burhani
a. Definisi
Burhani merupakan bahasa Arab yang secara harfiyah berarti mensucikan atau
menjernihkan. Menurut ulama ushul, al-burhan adalah sesuatu yang memisahkan
kebenaran dari kebatilan dan membedakan yang benar dari yang salah melalui
penjelasan.
Epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu
pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan
untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal
mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk.
aliran rasional ini, sangat ditentukan oleh seberapa besar optimalisasi fungsi daya-daya
inderawi dan rasio. Aliran ini meyakini bahwa daya-daya inderawi dan rasio itulah
yang bisa menjadikan seseorang mempunyai pengetahuan realitas di sekeliling dan
kemampuan mengabstraksikannya sehingga dapat menuntunnya untuk sampai pada
pengetahuan/pemahaman kebenaran (al-ma’rifat). Menurut al-Jabiri ada beberapa
tokoh yng menerapkan dasar-dasar episteme burhani diantaranya: Ibnu Rusyd, Ibnu
Khaldun, dan Al-Razi.
Ibnu Rusyd membagi jalan untuk mencapai pengetahuan dalam dua bagian, indera
dan rasio. Namun, pengetahuan yang dihasilkan oleh rasio yang bisa dianggap sebagai
pengetahuan sejati, sedang pengetahuan hasil indera tidak mencapai derajat tersebut.
Sebab, pengetahuan yang diperoleh lewat indera masih bisa tertipu oleh bayangan
objek kajiannya sendiri. Pengetahuan model ini masih merupakan persepsi individual
dan sangat subjektif.
Selanjutnya, Ibnu Rusyd membagi akal dalam dua bagian,; praktis dan teoritis.
Akal praktis ini lazim dimiliki semua orang, karena akal ini bisa diperoleh lewat
pengalaman yang didasarkan perasaan dan imajinasi. Sehingga akal ini tidak stabil,
mudah berubah, berkembang, atau menyusut berdasarkan pengalaman, imajinasi,
gambaran, dan persepsi yang diterima. Sedangkan akal teoritis berkaitan dengan
proses perolehan pengetahuan. Dalam hal ini akal mempunyai tiga tahapan kerja, 1)
abstraksi, 2) kombinasi, dan 3) penilaian.
1) Abstraksi adalah proses penggambaran atau pencerapan gagasan universal atas
objek-objek yang ditangkap indera.
2) Yang dimaksud dengan kombinasi di sini bahwa akal mengkombinasikan dua
atau lebih dari abstraksi-abstraksi indera sehingga menjadi konsep.
3) Kemudian penilaian diberikan ketika konsep-konsep yang dihasilkan harus
dihadapkan pada proposisi-proposisi benar atau salah.
Namun, dengan pengunggulan rasio seperti yang Ibn Rusyd lakukan disinyalir
telah memunculkan sisi kelemahan berupa pertumpuan pada penalaran rasional murni
dalam mengkaji realitas materiil-kealaman sehingga kurang bertumpu pada
pengamatan dan eksperimentasi dalam menghasilkan “teori-teori” umum fenomena
materiil-kealaman. Sebab, di sini akal (rasio) dianggap mempunyai kemampuan
alamiah bawaan dalam menetapkan benar-salahnya fenomena empiris. Kemampuan
ini tidak berpangkal dari indera, tetapi ia muncul dari akal itu sendiri. Oleh karena itu,
8
7
Prof. Dr. Hasyimsyah Nasution. M.A, Filsafat Islam, (Bandung: Gaya Media Pratama, 1999), 99
8
Ibid, 101
9
justru kelak melahirkan ilmu Islam yang lengkap (komprehensif), luar biasa dan
kevalidan nya tidak diragukan.
d. Pendekatan Burhani
Rasionalitas syari’ah dibangun atas dasar maksud dan tujuan yang diberikan sang
pembuat syari’ah, dan akhirnya bermuara pada upaya membawa manusia kepada nilai-
nilai kebijakan. Bisa dikatakan kemudian bahwa gagasan maqashid al-syari’ah
sebanding dengan gagasan hukum kausalitas dialam ini dalam disiplin filsafat.
Rasionalitas filsafat dibangun atas landasan keteraturan alam ini, dan juga pada
landasan prinsip kausalitas.9
Pandangan yang berpegang pada maqashid alsyari’ah sebagai acuan membangun
rasionalisme menjadi karakteristik dari pemikiran islam Andalusia. Hal ini diawali
oleh Ibn Hazm yang kemudian dimatangkan oleh Ibn Rusyd, kemudian dilanjutkan as-
syatibi. As-Syatibi menyatakan membangun dimensi rasionalisme dalam disiplin
syari’ah atas dasar prinsip qath’i dengan mengacu pada metode rasionalisme atau
burhani, sehingga disiplin ushul fiqh pun didasarkan pada prinsip kulliyyah assyari’ah
(ajaran-ajaran universal dari syari’ah) dan pada prinsip maqasid syariah. Prinsip
kulliyyah assyariah berposisi sebagaimana halnya dengan posisi al-kulliyyah al-
aqliyyah (prinsip-prinsip universal) dalam filsafat. Sementara maqhasid assyariah
serupa dengan posisi al-sabab al-ga’iy (sebab akhir) yang berfungsi sebagai unsur-
unsur pembentuk penalaran rasional.
Menurut Al-Razi, semua pengetahuan pada prinsipnya dapat diperoleh manusia
selama ia menjadi manusia. Akal yang menjadi hakekat kemanusiaan, dan akal adalah
satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang
konsep baik dan buruk setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong
kosong, dugaaan belaka dan kebohongan.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Ibnu Rusyd (1126-1198 M) ketika secara jelas
menyatakan bahwa metode burhani (demonstrative) untuk kalangan elite terpelajar,
metode dialektika (jadal) untuk kalangan menengah dan metode retorik (khithabi)
untuk kalangan awam.
9
Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, diterjemahkan oleh, Ahmad Baso, (Yogyakarta:
LkiS,2000), 163-164,166
10
3. ‘Irfani
a. Definisi ‘Irfani
‘Irfani merupakan bahasa Arab yang memiliki dua makna asli, yaitu sesuatu yang
berurutan yang sambung satu sama lain dan bermakna diam dan tenang. Namun secara
harfiyah al-‘irfa adalah mengetahui sesuatu dengan berfikir dan mengkaji secara
dalam. Dengan demikian al-‘irfan lebih khusus dari pada al-‘ilm.
Secara termenologi, ‘Irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh
lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasyf) setelah melalui
riyadhah.
c. Pendekatan Burhani
‘Irfani mengandung beberapa pengertian antara lain : 'ilmu atau ma'rifah; metode
ilham dan kashf yang telah dikenal jauh sebelum Islam; dan al-ghanus atau gnosis.
Ketika ‘Irfani diadopsi ke dalam Islam, para ahl al-'irfan mempermudahnya menjadi
pembicaraannya mengenai; al-naql dan al-tawzif; dan upaya menyingkap wacana
qur'ani dan memperluas 'ibarahnya untuk memperbanyak makna. Jadi pendekatan
‘Irfani adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh
para mutasawwifun dan 'arifun untuk mengeluarkan makna batin dari batin lafz dan
'ibarah; ia juga merupakan istinbat al-ma'rifah al-qalbiyyah dari Al-Qur'an.
Pendekatan ‘Irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen
pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah dan intuisi. Sedangkan metode yang
dipergunakan meliputi manhaj kashfi dan manhaj iktishafi. Manhaj kashfi disebut juga
manhaj ma'rifah ‘Irfani yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi kashf dengan
riyadah dan mujahadah.
10
Muhammad Ramli, “Asal-usul Kitab Kuning, Sejarah dan Perkembangannya”,
https://www.kompasiana.com, akses, 16 Maret 2020
12
Seorang ulama akan diragukan kredibilitasnya sebelum dapat menguasai kitab kuning dengan
baik.
Selain nama kitab kuning terdapat nama lain yang merujuk kepada arti yang sama, yaitu
kitab klsik, kitab gundul dan kutub al-qudamah sebagaimana yang diusulkan oleh KH.
Masyhuri Syahid, MA dalam Simposium Nasional I di Bogor 25-27 Januari 1994.11
Istilah kitab kuning kemudian di kalangan santri diartikan sebagai kitab-kitab keagamaan
berbahasa Arab dan menggunakan aksara Arab. Namun Azyumardi Azra memberikan
definisi yang lebih umum. Menurutnya, kitab kuning tidak hanya mengunakan bahasa Arab,
akan tetapi juga bahasa lokal Nusantara seperti Melaku dan Jawa yang ditulis dengan aksara
Arab. Hal ini menunjukkan bahwa kitab kuning tidak hanya ditulis oleh intelektual muslim
dari Timur Tengah melainkan juga ulama Nusantra.12 Walaupun secara madzhab, ulama
Nusantara tetap mengikuti ulama Timur Tengah baik dalam fikih, aqidah dan tasawuf.
Kitab-kitab yang dikaji dapat dikelompokkan kepada kitab nahwu (sintak), sharrof
(morfologi), fikih, ushul fikih, hadits, tafsir, tauhid, tasawwuf, dan cabang ilmu lainnya
seperti tarikh dan balaghah. Di pesantren terdapat tradisi menerjemah kitab-kitab klasik
atau yang disebut kitab kunig dengan metode sorogan dan bendongan.
Khazanah keilmuan klasik dikaji sedemikian rupa dengan cara menerjemah, memberi
komentar atau syarh dan mengomentari komentar atau hasyiah. Dalam mengkaji khazanah
keilmuan klasik tersebut di lingkungan pesantren diterapkan secara bertahap dari tahap
eleminter sampai dengan kelas musyawarah sebagai tahap tertinggi. 13
Kitab kuning sebagai rujukan keilmuan otoritatif di pesantren, menurut Damanhuri
tidak hanya berfungsi sebagai pelestarian dari khazanah keilmuan Islam, tatapi juga sebagai
indikasi dari kapasitas intelektual muslim pesantren dalam hal memahami, menginterpretasi
dan mengkontekstualisasi prinsip-prinsip hukum Islam untuk dapat menjawab tantangan
modernisasi global. Dalam upaya kontekstualisasi hukum Islam, pesantren menggunakan
beberapa cara, yaitu; penerjemahan terhadap karya-karya fikih mazhab, menulis kitab syarh
dari kitab fikih terkemuka dan menulis kitab sendiri dengan tetap merujuk pada sumber-
sumber otoritatif mazhab karya ulama sebelumnya. 14
11
https://www.nu.or.id/post/read/40844/kitab-kuning, 16 Maret 2020.
12
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, cet. Ke-1
(Jakarta: Logos , 1999), 111
13
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, cet. Ke-6, (Jakarta:
LP3ES, 1994), 31
14
Damanhuri, “Kitab Kuning: Warisan Keilmuan Ulama Dan Kontekstualisasi Hukum Islam Nusantara”,
‘Anil
Islam, (Volume 10, Nomor 2, Desember 2017), 334
13
Dalam menghadapi pemasalahan sosial yang luas dan selalu berbanding lurus dengan
berkembangan zaman, maka kitab kuning yang lebih bercorak fikih, biasanya tidak hanya
dipahami dengan pendekatan leteralis atau qauli. Akan tetapi harus dengan pendekatan
metodologis atau manhaji yang lebih tanggap terhadap perkembangan sosial dan
perkembangan zaman. 15
Kedua pendekatan tersebut harus dikolaborasi sedemikian rupa untuk
menkontekstualisasikan kitab kuning sebagai warisan intelektual ulama terhadap hukum
Islam di Nusantara. Upaya kontekstualisasi hukum tersebut dapat di lihat dari peran
ulama Nusantara dalam melakukan ijtihad, sehingga dapat menghasilkan hukum baru sebagai
respon dari kebudayaan Nusantara yang memang tidak ada dalam teks kitab karya ulama
Timur Tengah. Maka corak fikih Nusantara akan berbeda dengan fikih Arab. Misanya dalam
hukum perkawianan, seorang suami tidak dapat menjatuhkan talaq kepada istrinya jika tidak
melalui pengadilan. Hukum ini tidak ditemukan dalam fiqih Syafi’ie, hanya ada dalam
fiqih Nusantara.16
Dengan demikian, ulama Nusantara telah mampu menerapkan ajaran agama sesuai
dengan karakter penduduk lokal dengan tetap berpengang kepada kitab kuning dan maqashid
syari’ah dalam yudisprudensi Islam. Dengan tradisi ini, pesantren mampu menyerap
khazanah intelektual muslim klasik untuk mengembangkan sistem nilai dalam kehidupan
beragama dan bersosial. 17 Hal itu sesuai dengan prinsip pesantren yang terus berpegang dan
memelihara radisi tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik.
18
Sembodo Ardi Widodo, “Nalar Bayâni, ‘irfâni dan burhâni, 81. Lihat juga kitab al-Hushun al-
Hamidiyah karya Sayyid Husain Afandi, (Surabaya: Al-Hidayah, tt.), 19
19
Sembodo Ardi Widodo, “Nalar Bayâni, 83
15
menggunakan epistimologi bayani seperti kitab Ta’limul Muta’allim. Sedangkan kitab akhlak
yang mayoritas pembahsannya adalah menggunakan nalar irfani, walaupun ada yang merujuk
kepada nash tetapi jumlahnya sedikit, yaitu kitab ‘Idzdztun Nasyiin. Kitab yang sudah lumrah
dipesantren ini, epistimologi yang dibangun adalah merujuk kepada pengalaman individu,
sosial dan politik yang disajikan dengan buntuk nasehat- nasehat kepada kaula muda20
Serupa dengan kitab ini adalah kitab Nshaihul Ibad, yaitu kitab yang berisi nasehat-nasehat
moral bagi para hamba Allah. Kitab ini juga didominasi oleh pengalaman intuitif atau irfani
para ulama seperti mimpi seorang wali yang dikemas dengan maqalah-maqalah.
Selain epistimologi bayani dan irafani yang berhubungan dengan keilmuan pesantren,
epistimologi burhani juga dapat dijumpai dalam beberapa kitab kuning yang menjadi
rujukan keilmuan pesantren. Umpamanya kitab Ihya’ Ulumuddin karya al- Ghazali. Kitab ini
termasuk salah satu kitab yang tidak asing di pesantren karena al- Ghazali yang dianggap
sebagai ulama pertama yang berhasil mengkompromikan antara filsafat dengan agama
dengan karyanya yang monomental ini. Kitab ini tidak hanya memakai nalar bayani dan
irfani, tetapi juga burhani. Ketiga epistimologi ini sama-sama digunakan walalupun
epitimologi burhani lebih sedikit dari bayani dan irfani.
Dalam penerapan naral bayani, al-Ghazali dalam kitab ini banyak metujuk kepada ilmu
syar'i yang empat, al-Qur'an, sunnah, ijma', dan atsar shahabah. Sedangkan dalam nalar
irfani, al-Ghazali banya manampilkan pengalaman ulama sufi yang tidak diperoleh dengan
belajar tetapi dengan ilmu kasyf. Sementara nalar burhani diterapkan dalam menjelaskan
tentang kedalaman suatu fenomena dengan menggunakan logika atau pemikiran filosofis,
seperti keajaiban hati, makna jiwa, ruh, dan akal.21
Dengan pembahan ini, epistimologi bayani, irfani dan burhani memiliki hubungan erat
dengan tradisi keilmuan pesantren, walalupun dengan porsi yang berbeda dalam setiap
disiplin ilmu yang dikaji. Dengan melestarikan tradisi ini, pesantren mampu menyerap
khazanah keilmuan klasik di satu sisi, dan di sisi lain pesantren mampu menjawab tantangan
zaman dengan mengkontekstulisasikan tradisi keilmuan klasik warisan para ulama. Tradisi
keilmuan yang ini, dalam sejarah bangsa Indonesia, hanya dapat ditemui dalam sistem
pendidikan pesantren. Lembaga pendidikan Islam tertua yang tetap berdiri kokoh sampai era
globalisasi ini.
20
Ibid, 84
21
Ibid, 86
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Definisi Bayani, Burhani dan ‘Irfani secara singkat adalah:
a. Bayani Bayani didefinisikan sebagai nalar keilmuan yang merujuk kepada otoritas
teks kegamaan, yaitu al-Quran dan Hadits. Teks kegamaan tersebut diberi
makna tekstual sesuai dengan makna yang ada dalam bahasa Arab atau
difamahami dan ditafsiri dengan makna lain sesuai dengan konteksnya dengan
tetap berpegang kepada penjelasan dari teks yang lain.
b. Irfani adalah nalar keilmuan yang berdasar kepada pengalaman batin atau
qalb. Dalam epistimologi irfani kemudian lahir istilah seperti kasyf, zuhd dan
yang lainnya. Sistem nalar ini digeluti oleh para sufi yang pengetahuan mereka
bukan lagi bertumpu pada teks, melainkan kepada mengalaman batin, yang dalam
tingkatan tertentu seorang sufi dengan kesucian hatinya mampu mendapatkan
pengetahuan langsung dari Tuhan kepada mereka.
c. Burhani adalah proses penalaran yang menetapkan benar tidaknya suatu preposisi
melalui cara deduksi, yaitu melalui cara pengaitan antar preposisi yang
kebenarannya bersifat postulatif. Dalam hal ini, burhani adalah satu jenis dari
logika yang sifatnya lebih khusus. Dalam nalar burhani kebenaran yang hendak
dicapai adalah bertumpu kepada kekuatan intelektual manusia, baik berupa
indera, pengalaman, maupun rasio terhadap alam semesta dengan berdasarkan
kepada hubungan kausalitas yang terjadi.
2. Hubungan Bayani, Burhani dan ‘Irfani dengan Khazanah Keilmuan Pesantren adalah:
Tradisi bayani, irfani dan burhani memiliki hubungan erat dengan khazanah
keilmuan pesantren, baik dalam fiqih, akidah ataupun akhlak dan tasawuf. Hubungann
tersebut terlihat dari epistimologi yang digunakan dalam beberapa kitab rujukan
otoritatif. Seperti kitab-kitab fiqih yang berorientasi kepada otoritas nash al-
qur’an, hadits kemudian qiyas. Sedangkan kitab-kitab akidah menggunakan
epistimologi istidlal. Dengan demikian, tradisi bayani sangat berhubungan dengan
fikih dan akidah. Tradisi irfani biasanya sangat berhubungan dengan disiplin akhlak
17
dan tasawuf. Terbukti dengan banyaknya pengalaman batin para sufi, seperti ilmu
kasyf yang sajikan dalam mayoritas kitab-kitab akhlak dan tawawuf. Sementara
tradisi burhani juga berhubungan dengan kajian akhlak dan tasawuf, walaupun tidak
dominan. Tradisi ini terlihat dalam kitab Ihya’ Ulumuddin yang terdapat penjelasan
tentang kedalaman suatu fenomena dengan menggunakan logika atau pemikiran
filosofis, seperti keajaiban hati, makna jiwa, ruh, dan akal.
DAFTAR PUSTAKA