Anda di halaman 1dari 21

TRADISI BAYANI, BURHANI DAN IRFANI

SERTA HUBUNGANNYA DENGAN KHAZANAH KEILMUAN PESANTREN

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Khazanah Keilmuan Pesantren II”
Pada Program Pasca Sarjana PAI Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA)
Guluk-Guluk Sumenep

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. ABU YAZID, MA., LL.M

Disusun Oleh:
FAHRI FARGHIZ

SEMESTER II-A
PROGRAM PASCA SARJANA (PAI)
INSTITUT ILMU KEISLAMAN ANNUQAYAH (INSTIKA)
GULUK-GULUK SUMENEP
AGUSTUS 2020
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan pada Ilahi Rabbi Allah SWT. Shalawat dan
Salam senantiasa terlimparuahkan kepada baginda Rasulillah Muhammad SAW
beserta seluruh keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan pada seluruh ummatnya
yang telah mengikuti jejaknya hingga hari kiamat.
Atas berkat rahmat, taufiq dan hidayah Allah SWT penulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah ini dengan baik dan lancar tanpa halangan
apapun.
Makalah ini berjudul “Tradisi Bayani, Burhani dan Irfani serta
Hubungannya Dengan Khazanah Keilmuan Pesantren” kami susun guna
memenuhi tugas mata kuliah Khazanah Keilmuan Pesantren 2 dengan harapan
memberikan sebuah manfaat kepada seluruh umat utamanya kepada saya sendiri
Dalam kesempatan yang berbahagia ini, penulis menghaturkan terima
kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Seluruh Civitas Akademika INSTIKA, Utamanya Civitas Akademika
Pascasarjana;
2. Bapak Prof. Dr. Abu Yazid, MA., LL.M selaku dosen pengampu mata kuliah
Khazanah Keilmuan Pesantren 2 yang telah memberikan bimbingan dan
arahan kepada kami;
3. Semua pihak yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam penulisan
makalah ini
Penulis menyadari bahwa no body perpect, tentunya tulisan ini masih jauh
dari kesempurnaan dan banyak kekurangannya. Untuk itu kritik dan saran dari
segenap pembaca sangat penulis mengharapkan guna penyempurnaan penulisan
makalah ini.
Dan akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya. Amien Ya Rabbal A’lamin.

Sumenep, 09 Agustus 2020


Fahri Farghiz

ii
DAFTAR ISI

Halaman Cover .......................................................................................................................... i


Kata Pengantar .......................................................................................................................... ii
Daftar Isi .................................................................................................................................. iii
BAB I: PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2
C. Tujuan Pembahasa ........................................................................................................ 2
BAB II: PEMBAHASAN ....................................................................................................... 3
A. Konsepsi Bayani, Burhani dan Irfani ........................................................................... 3
1. Bayani ........................................................................................................................
2. Burhani ......................................................................................................................
3. Irfani ..........................................................................................................................
B. Khazanah Keilmuan Pesantren ........................................................................................
C. Hubungan Bayani, Burhani dan Irfani Dengan Khazanah Keilmuan Pesantren .............
BAB III: PENUTUP ..................................................................................................................
A. Kesimpulan ......................................................................................................................
B. Saran-Saran ......................................................................................................................
Daftar Pustaka

iii
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang hingga saat ini menjadi kunci yang paling
mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu saja
tanpa ada sebuah dinamika atau diskursus ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan itulah lazim dikenal dengan istilah epistemologis.
Lebih lanjut Ahmad Tafsir mengungkapkan bahwa Epistemologi membicarakan
sumber ilmu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu, epistemologis ini menempati posisi yang sangat strategis, karena ia
membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui cara
yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin
dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutannya kepiawaian dalam
menentukan epistemologis, akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu
pengetahuan yang dihasilkan.
Sejarah telah mencatat bahwa peradaban Islam pernah menjadi kiblat ilmu
pengetahuan dunia sekitar abad ke-7 sampai abad ke-15. Setelah itu, masa keemasan itu
mulai melayu, statis, bahkan mundur hingga abad ke-21 ini. Hal itu terjadi, karena Islam
dalam kajian pemikirannya paling tidak menggunakan beberapa aliran besar dalam
kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model sistem
berpikir dalam Islam, yakni bayani, irfani dan burhani yang masing-masing mempunyai
pandangan yang berbeda tentang pengetahuan.
Selain sebagai instrumen untuk mencari kebenaran, ketiga epistemologi tersebut juga
bisa digunakan sebagai sarana identifikasi cara berfikir seseorang. Seorang filosof dengan
corak berfikir burhani akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu dari akal atau panca
indera. Dengan kedua sarana ini manusia memunculkan dua dikotomi antara apa yang
disebut rasional dan irrasional. Rasional adalah sebuah kebenaran, sebaliknya irrasional
adalah sebuah kesalahan. Selanjutnya orang yang memiliki corak berfikir bayani akan
menjawab bahwa sumber kebenaran itu dari teks. Rasio tidak memiliki tempat dalam
pembacaan mereka terhadap kebenaran. Ketercukupan golongan ini terhadap teks
memasukkan mereka pada golongan fundamental literalis. Sedangkan orang yang
2

memiliki corak berfikir irfani akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu dari wahyu,
ilham, wangsit dan sejenisnya. Pola berfikir demikian akan membangun sebuah struktur
masyarakat yang memiliki hirarki atas bawah. Untuk lebih memahami mengenai bayani,
Burhani dan Irfani penulis akan menjelaskannya dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi Tradisi Bayani, Burhani dan Irfani?
2. Bagaimana Hubungan Tradisi Bayani, Burhani dan Irfani dengan Khazanah Keilmuan
Pesantren?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui definisi Tradisi Bayani, Burhani dan Irfani
2. Untuk mengetahui bagaimana Hubungan Tradisi Bayani, Burhani dan Irfani dengan
Khazanah Keilmuan Pesantren
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsepsi Bayani, Burhani dan ‘Irfani


Secara etimologi kata epistemologi berasal dari bahasa yunani yaitu episteme dan logos.
Episteme berarti pengetahuan sedangkan logos berarti teori, uraian, atau alasan. Jadi
epistemologi adalah sebuah teori tentang pengetahuan.
Epistemologi secara sederhana dapat di definisikan sebagai cabang filsafat yang mengkaji
asal mula, stuktur, metode pengetahuan.
Oleh karena itu, epistemologi bersangkutan dengan masalah-masalah:
1. Filsafat, sebagai cabang ilmu dalam mencari hakikat dan kebenaran pengetahuan.
2. Metode, memliliki tujuan untuk mengantarkan manusia mencapai pengetahuan
3. Sistem, bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.
Epistemologi atau filsafat pengetahuan pada dasarnya juga merupakan suatu upaya secara
rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam
interaksinya dengan diri, interaksi dengan lingkungan sosial, dan juga interaksinya dengam
alam sekitarnya. Oleh karena itu, epistemologi juga disebut sebagai suatu disiplin yang
bersifat evaluatif, normatif, dan kritis. Evaluatif berarti menilai. Ia menilai apakah suatu
kenyakinan, sikap, pernyataan pendapat, dan teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin
kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat dipertanggung jawabkan secara nalar.
Normatif berarti menentukan norma atau tolak ukur. Dalam hal ini adalah tolak ukur
kenalaran bagi kebenaran pengetahuan.
Mukti ali menyatakan dalam mempelajari dan memahami Islam ada 3 cara yang jelas
yakni , Naqly (Bayani), Aqly (Rasional/Burhani), dan Kasfy (mistik/’Irfani). Selanjutnya
penulis akan menerangkan apa yang dimaksud 3 cara untuk memahami islam tersebut.
1. Bayani
a. Definisi
Secara etimologi, bayani mempunyai arti penjelasan, keterangan, ketetapan, data,
keterangan.1

1
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Besar Al-Munawwir, Jakarta: Pustaka Progressif, 1997), 920
4

Adapun secara terminologi al-bayan adalah ilmu baru yang dapat menjelaskan
sesuatu atau ilmu yang dapat mengeluarkan sesuatu dari kondisi samar kepada kondisi
jelas.
Sedangkan dalam bahasa filsafat yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat
diartikan sebagai Model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini
teks sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran sebuah kitab.
Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya.

b. Metode Berfikir Bayani


Bayani adalah metode pemikiran khas arab yang didasarkan atas otoritas teks
(Nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks
sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan nya tanpa perlu pemikiran,
secara langsung maksudnya memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga
memerlukan tafsir dan penalaran. Sumber pengetahuan bayani adalah al-qur’an dan
hadis. Karena itulah, epistemologi bayani menaruh perhatian besar dan teliti terhadap
transmisi teks dari generasi ke genarasi. Ini penting bagi bayani, karena sebagai
sumber pengetahuan benar tidak nya transmisi teks menetukan benar salahnya
ketentuan hukum yang diambil.2
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua cara yaitu:
1) Berpegang pada redaksi (lafadz teks) dengan menggunakan kaidah bahasa
Arab sebagai alat analisa. Syafi’i mengklasifikasi dan menetapkan aspek bayan
dalam wacana Al-Qur’an dan membaginya menjadi 4, yaitu:
a) Teks yang tidak membutuhkan ta’wil karena telah jelas dengan sendirinya
b) Teks yang membutuhkan penyempurnaan dan penjelasan.
c) Teks yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an dan teks tersebut dijelaskan
oleh nabi.
d) Teks yang tidak disebut dalam Al-Qura’an namun di jelaskan oleh nabi
sehingga memiliki kekuatan seperti Al-Qur’an.
2) Menggunakan metode qiyas (analogi) dan inilah prinsip utama epistemologi
bayani. Dalam kaidah ushul fiqh, qiyas diartikan sebagai memberikan
keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada

2
A. Khudori Soleh, Model-Model Epistemologi Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2000), 194
5

kepastian hukumnya dalam teks, karena adanya kesamaan illah. Ada beberapa
hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas, yaitu:
a) Adanya al ashl yakni nash suci yang memberikan hukum dan dipakai
sebagai ukuran. Dinamakan juga Muqoyas-alaih, mahmul-alaih,
musyabbah-bih.3
b) Al-Far’ yaitu sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash. Dinamakan
juga muqoyyas, musyabbah.4
c) Hukum al-ashl yaitu ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl untuk di
jadikan hukum far’.
d) ‘Illah yaitu menyifatkan sesuatu kepada dasar, dan diatasnya di di bina
hukum nya, dan dengan nya itu di ketahui adanya hukum pada far’.5
Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari kurma. Arak dari perasan
kurma disebut far` (cabang) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash, dan ia
akan diqiyaskan pada khamr. Khamr adalah ashl (pokok) sebab terdapat dalam teks
(nash) dan hukumnya haram6[8], alasannya (illah) karena memabukkan. Hasilnya arak
adalah haram karena ada persamaan antara arak dan khamr yakni sama-sama
memabukkan.
Karena otoritas ada pada teks dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks,
sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain, maka ketika
berhadapan, nalar bayani menghasilkan sikap mental yang dogmatis.

c. Pendekatan Bayani
Pendekatan bayani sudah lama dipergunakan oleh para fuqaha', mutakallimun dan
ushulliyun. Bayani adalah pendekatan untuk:
1) Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna
yang dikandung dalam (atau dikendaki) lafadz, dengan kata lain pendekatan
ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari lafz dan 'ibarah yang
zahir pula.
2) Istinbat hukum-hukum dari al-nusus al-diniyah dan al-Qur'an khususnya.

3
Syekh Abdul Wahhab Khallaf, ‫ﻟﻔﻘﻪ‬ ‫ﻋﻠﻢ ﺃﺻﻮﻝ ﺍ‬, diterjemahkan Halimuddin. S.H, (Jakarta: Rinneka Cipta
2005), 68
4
Ibid, 68
5
Ibid, 73
6
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Ma’idah[5]: 90)
6

2. Burhani
a. Definisi
Burhani merupakan bahasa Arab yang secara harfiyah berarti mensucikan atau
menjernihkan. Menurut ulama ushul, al-burhan adalah sesuatu yang memisahkan
kebenaran dari kebatilan dan membedakan yang benar dari yang salah melalui
penjelasan.
Epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu
pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan
untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal
mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk.

b. Metode Berfikir Burhani


Dalam bahasa Arab, Al-Burhan berarti argument (al-hujjah) yang dalam bahasa
Inggris demonstration yang berarti keterangan dan penjelasan. Dalam perspektif
logika, burhani adalah aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran suatu
pengetahuan melalui metode penyimpulan.
Istilah burhani yang mempunyai akar pemikiran dalam filsafat aristoteles ini,
digunakan oleh al jabiri sebagai sebutan terhadap sebuah sistem pemikiran yang
menggunakan pemikiran tersendiri dan memiliki pandangan dunia tertentu, tanpa
bersandar kepada otoritas pengetahuan lain. Metode burhani lebih bersandar pada
kekuatan indra, pengalaman, dan akal di dalam mencapai pengetahuan.
Epistemologi burhani digunakan untuk mengukur benar atau tidaknya sesuatu
dengan berdasarkan komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman dan
akal tanpa dasar teks wahyu suci. Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhani
adalah realitas dan empiris; alam, sosial, dan humanities. Artinya ilmu diperoleh
sebagai hasil penelitian, hasil percobaan, hasil eksperimen, baik di laboratorium
maupun di alam nyata baik yang bersifat sosial maupun alam.

c. Aliran Pemikiran Epistemologi Burhani (Rasional)


Perbedaan yang mencolok antara aliran rasional dengan aliran konservatif adalah
menyangkut cara pandang yang digunakan oleh keduanya dalam memperbincangkan
masalah wacana pendidikan. Aliran rasional menggunakan analisis rasional- filosofis
secara signifikan, tidak sepertihalnya aliran konservatif yang cenderung normatif
oriented. Keberhasilan usaha mentrasnformasikan ragam potensi yang ada dalam
7

aliran rasional ini, sangat ditentukan oleh seberapa besar optimalisasi fungsi daya-daya
inderawi dan rasio. Aliran ini meyakini bahwa daya-daya inderawi dan rasio itulah
yang bisa menjadikan seseorang mempunyai pengetahuan realitas di sekeliling dan
kemampuan mengabstraksikannya sehingga dapat menuntunnya untuk sampai pada
pengetahuan/pemahaman kebenaran (al-ma’rifat). Menurut al-Jabiri ada beberapa
tokoh yng menerapkan dasar-dasar episteme burhani diantaranya: Ibnu Rusyd, Ibnu
Khaldun, dan Al-Razi.
Ibnu Rusyd membagi jalan untuk mencapai pengetahuan dalam dua bagian, indera
dan rasio. Namun, pengetahuan yang dihasilkan oleh rasio yang bisa dianggap sebagai
pengetahuan sejati, sedang pengetahuan hasil indera tidak mencapai derajat tersebut.
Sebab, pengetahuan yang diperoleh lewat indera masih bisa tertipu oleh bayangan
objek kajiannya sendiri. Pengetahuan model ini masih merupakan persepsi individual
dan sangat subjektif.
Selanjutnya, Ibnu Rusyd membagi akal dalam dua bagian,; praktis dan teoritis.
Akal praktis ini lazim dimiliki semua orang, karena akal ini bisa diperoleh lewat
pengalaman yang didasarkan perasaan dan imajinasi. Sehingga akal ini tidak stabil,
mudah berubah, berkembang, atau menyusut berdasarkan pengalaman, imajinasi,
gambaran, dan persepsi yang diterima. Sedangkan akal teoritis berkaitan dengan
proses perolehan pengetahuan. Dalam hal ini akal mempunyai tiga tahapan kerja, 1)
abstraksi, 2) kombinasi, dan 3) penilaian.
1) Abstraksi adalah proses penggambaran atau pencerapan gagasan universal atas
objek-objek yang ditangkap indera.
2) Yang dimaksud dengan kombinasi di sini bahwa akal mengkombinasikan dua
atau lebih dari abstraksi-abstraksi indera sehingga menjadi konsep.
3) Kemudian penilaian diberikan ketika konsep-konsep yang dihasilkan harus
dihadapkan pada proposisi-proposisi benar atau salah.

Namun, dengan pengunggulan rasio seperti yang Ibn Rusyd lakukan disinyalir
telah memunculkan sisi kelemahan berupa pertumpuan pada penalaran rasional murni
dalam mengkaji realitas materiil-kealaman sehingga kurang bertumpu pada
pengamatan dan eksperimentasi dalam menghasilkan “teori-teori” umum fenomena
materiil-kealaman. Sebab, di sini akal (rasio) dianggap mempunyai kemampuan
alamiah bawaan dalam menetapkan benar-salahnya fenomena empiris. Kemampuan
ini tidak berpangkal dari indera, tetapi ia muncul dari akal itu sendiri. Oleh karena itu,
8

tidak mengherankan bila konstruksi pemikiran/pengetahuan lebih didasarkan pada


model penalaran deduktif-rasional dari pada model penalaran induktif-empiris.
Kemudian Ibnu Khaldun juga termasuk dalam ilmuan muslim yang mengimani
episteme burhani dalam hal ini seperti apa yang ada dalam Al-Muqodimah buku
karangan Ibnu Khaldun, menurut Al-Jabiri menjelaskan bahwasanya Ibnu Khaldun
juga menggunakan Episteme Burhani yaitu melalui pendekatan Deduktif, langkah
awal ibnu khaldun menyingkap sejumlah tabir para pendahulu, kemudian ia
menganalisis satu peristiwa ke peristiwa berikutnya dalam setiap babnya dengan tidak
lupa menarik kesimpulan dan pelajaran dari setiap kasus dan peristiwa itu, dengan
demikian jelaslah bahwasanya Ibn Khaldun berusaha menjadikan sejarah sebagai ilmu
Burhani, yaitu Sejarah ilmiah yang berintikan penelitian, penyelidikan, dan analisis,
yang mendalam akan sebab sebab dan latar belakang terjadinya sesuatu dengan pasti
dan real ( nyata ) dapat di buktikan secara empiris.7
Selanjutnya yang juga berpendapat epistemologi burhani adalah yang paling
mendekati kebenaran adalah imam Al-Razi . Beliau adalah seorang rasionalis murni,
hal itu tampak dalam pendahuluan karyanya, al-thibb al-ruhani, ia menulis: ”Tuhan,
segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar dengannya kita dapat
memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat; inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita.
Dengan akal, kita melihat segala yang berguna bagi kita dan yang mebuat hidup kita
baik, dengan akal kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi
dari kita. Dengan akal pula, kita dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, suatu
pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh. Jika akal sedemikian mulia dan
penting, maka kita tidak boleh melecehkannya, kita tidak boleh menetukan nya, sebab
ia adalah penentu, atau mengendalikannya, sebab ia adalah pengendali, atau
memerintahnya, sebab ia adalah pemerintah, tetapi kita harus merujuk kepadanya
dalam segala hal dan menentukan segala masalah dengannya; kita harus sesuai dengan
perintannya.8
Dalam menelaah epistemologi burhani tidak akan terlepas dari dua metodologi
sebelumnya, Yaitu epistemologi bayani dan ‘Irfani. Dari perpaduan ini muncul nalar
aduktif yakni mencoba memadukan model berfikir deduktif dan induktif antara hasil
bacaan yang bersifat kontekstual terhadap nash dan hasil hasil penelitian empiris,

7
Prof. Dr. Hasyimsyah Nasution. M.A, Filsafat Islam, (Bandung: Gaya Media Pratama, 1999), 99
8
Ibid, 101
9

justru kelak melahirkan ilmu Islam yang lengkap (komprehensif), luar biasa dan
kevalidan nya tidak diragukan.

d. Pendekatan Burhani
Rasionalitas syari’ah dibangun atas dasar maksud dan tujuan yang diberikan sang
pembuat syari’ah, dan akhirnya bermuara pada upaya membawa manusia kepada nilai-
nilai kebijakan. Bisa dikatakan kemudian bahwa gagasan maqashid al-syari’ah
sebanding dengan gagasan hukum kausalitas dialam ini dalam disiplin filsafat.
Rasionalitas filsafat dibangun atas landasan keteraturan alam ini, dan juga pada
landasan prinsip kausalitas.9
Pandangan yang berpegang pada maqashid alsyari’ah sebagai acuan membangun
rasionalisme menjadi karakteristik dari pemikiran islam Andalusia. Hal ini diawali
oleh Ibn Hazm yang kemudian dimatangkan oleh Ibn Rusyd, kemudian dilanjutkan as-
syatibi. As-Syatibi menyatakan membangun dimensi rasionalisme dalam disiplin
syari’ah atas dasar prinsip qath’i dengan mengacu pada metode rasionalisme atau
burhani, sehingga disiplin ushul fiqh pun didasarkan pada prinsip kulliyyah assyari’ah
(ajaran-ajaran universal dari syari’ah) dan pada prinsip maqasid syariah. Prinsip
kulliyyah assyariah berposisi sebagaimana halnya dengan posisi al-kulliyyah al-
aqliyyah (prinsip-prinsip universal) dalam filsafat. Sementara maqhasid assyariah
serupa dengan posisi al-sabab al-ga’iy (sebab akhir) yang berfungsi sebagai unsur-
unsur pembentuk penalaran rasional.
Menurut Al-Razi, semua pengetahuan pada prinsipnya dapat diperoleh manusia
selama ia menjadi manusia. Akal yang menjadi hakekat kemanusiaan, dan akal adalah
satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang
konsep baik dan buruk setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong
kosong, dugaaan belaka dan kebohongan.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Ibnu Rusyd (1126-1198 M) ketika secara jelas
menyatakan bahwa metode burhani (demonstrative) untuk kalangan elite terpelajar,
metode dialektika (jadal) untuk kalangan menengah dan metode retorik (khithabi)
untuk kalangan awam.

9
Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, diterjemahkan oleh, Ahmad Baso, (Yogyakarta:
LkiS,2000), 163-164,166
10

3. ‘Irfani
a. Definisi ‘Irfani
‘Irfani merupakan bahasa Arab yang memiliki dua makna asli, yaitu sesuatu yang
berurutan yang sambung satu sama lain dan bermakna diam dan tenang. Namun secara
harfiyah al-‘irfa adalah mengetahui sesuatu dengan berfikir dan mengkaji secara
dalam. Dengan demikian al-‘irfan lebih khusus dari pada al-‘ilm.
Secara termenologi, ‘Irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh
lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasyf) setelah melalui
riyadhah.

b. Metode berfikir ‘Irfani


Pengetahuan ‘Irfani didasarkan pada kasyf atau tersingkapnya rahasia-rahasia
realitas oleh Tuhan. Karena itu pengetahuan ‘Irfani tidak diperoleh berdasarkan
analisa teks dan logika tetapi dengan olah rohani, dimana dengan kesucian hati
diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam
pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan
demikian pengetahuan ‘Irfani setidaknya diperoleh melalui 3 tahap yaitu: Persiapan,
Penerimaan dan Pengungkapan dengan lisan atau tulisan.
1. Tahap pertama persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan, seseorang
harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh
tahapan (maqamat) yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak.
2. Tahap kedua penerimaan . Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme,
seseorang akan mendapat limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara
iluminatif menurut tahap ini mencakup “ma’rifah”, “mahabbah”, “fana”, “baqa”,
dan kemudian “kasyaf” . Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas
kesadaran diri yang demikian mutlak. Sehingga dengan kesadaran itu ia mampu
melihat realitas dirinya sendiri (musyahadah) sebagai obyek yang diketahui.
3. Tahap ketiga pengungkapan.Yakni pengalaman mistik di interpretasikan dan
diungkapkan kepada orang lain lewat ucapan atau tulisan. Tahap ini adalah
pengalaman rohani yang hanya bisa di rasakan oleh orang yang mencapai
tingkatan tertinggi pada pengalaman kejiwaan nya menuju tuhan.
11

Tokoh sufi yang berhasil mencapai tingkatan ini diantara nya:


1. Ibnu ‘Arobi dengan Kosep wahdatul wujud nya.
2. Abu Yazid Al-Busthomi dengan konsep ittihad nya.
3. Husein bin manshur al-hallaj dengan konsep hulul nya.

c. Pendekatan Burhani
‘Irfani mengandung beberapa pengertian antara lain : 'ilmu atau ma'rifah; metode
ilham dan kashf yang telah dikenal jauh sebelum Islam; dan al-ghanus atau gnosis.
Ketika ‘Irfani diadopsi ke dalam Islam, para ahl al-'irfan mempermudahnya menjadi
pembicaraannya mengenai; al-naql dan al-tawzif; dan upaya menyingkap wacana
qur'ani dan memperluas 'ibarahnya untuk memperbanyak makna. Jadi pendekatan
‘Irfani adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh
para mutasawwifun dan 'arifun untuk mengeluarkan makna batin dari batin lafz dan
'ibarah; ia juga merupakan istinbat al-ma'rifah al-qalbiyyah dari Al-Qur'an.
Pendekatan ‘Irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen
pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah dan intuisi. Sedangkan metode yang
dipergunakan meliputi manhaj kashfi dan manhaj iktishafi. Manhaj kashfi disebut juga
manhaj ma'rifah ‘Irfani yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi kashf dengan
riyadah dan mujahadah.

B. Khazanah Keilmuan Pesantren


Sebelum membahas tentang hubungan tradisi bayani, irfani dan burhani dengan
khazanah keilmuan pesantren, penulis akan memaparkan khazanah keilmuan pesantren itu
sendiri. Khazanah keilmuan yang dimaksud adalah tradisi keilmuan yang tetap dilestarikan
di pesantren, yaitu kajian terhadap kitab-kitab karya ulama abad pertangahan. Baik karya
ulama Timur Tengah atau para ulama Nusantara. Kitab-kitab tersebut di pesantren di
kenal dengan sebutan kitab kuning.
Asal mula dari penamaan kitab kuning bukan dari kalangan pesantren sendiri, akan tetapi
dari luar pesatren yang berkonotasi merendahkan. Buku-buku yang biasa ditulis dalam kertas
kuning tersebut dianggap kolot, rendahan, ketinggalan zaman, stagnan dan menjadi penyebab
utama keterbelakangan umat Islam. 10 Namun dalam perkembangannya nama kitab kuning
menjadi kebanggaan tersendiri bagi cendikiawan muslim khususnya di kalangan kaum santri.

10
Muhammad Ramli, “Asal-usul Kitab Kuning, Sejarah dan Perkembangannya”,
https://www.kompasiana.com, akses, 16 Maret 2020
12

Seorang ulama akan diragukan kredibilitasnya sebelum dapat menguasai kitab kuning dengan
baik.
Selain nama kitab kuning terdapat nama lain yang merujuk kepada arti yang sama, yaitu
kitab klsik, kitab gundul dan kutub al-qudamah sebagaimana yang diusulkan oleh KH.
Masyhuri Syahid, MA dalam Simposium Nasional I di Bogor 25-27 Januari 1994.11
Istilah kitab kuning kemudian di kalangan santri diartikan sebagai kitab-kitab keagamaan
berbahasa Arab dan menggunakan aksara Arab. Namun Azyumardi Azra memberikan
definisi yang lebih umum. Menurutnya, kitab kuning tidak hanya mengunakan bahasa Arab,
akan tetapi juga bahasa lokal Nusantara seperti Melaku dan Jawa yang ditulis dengan aksara
Arab. Hal ini menunjukkan bahwa kitab kuning tidak hanya ditulis oleh intelektual muslim
dari Timur Tengah melainkan juga ulama Nusantra.12 Walaupun secara madzhab, ulama
Nusantara tetap mengikuti ulama Timur Tengah baik dalam fikih, aqidah dan tasawuf.
Kitab-kitab yang dikaji dapat dikelompokkan kepada kitab nahwu (sintak), sharrof
(morfologi), fikih, ushul fikih, hadits, tafsir, tauhid, tasawwuf, dan cabang ilmu lainnya
seperti tarikh dan balaghah. Di pesantren terdapat tradisi menerjemah kitab-kitab klasik
atau yang disebut kitab kunig dengan metode sorogan dan bendongan.
Khazanah keilmuan klasik dikaji sedemikian rupa dengan cara menerjemah, memberi
komentar atau syarh dan mengomentari komentar atau hasyiah. Dalam mengkaji khazanah
keilmuan klasik tersebut di lingkungan pesantren diterapkan secara bertahap dari tahap
eleminter sampai dengan kelas musyawarah sebagai tahap tertinggi. 13
Kitab kuning sebagai rujukan keilmuan otoritatif di pesantren, menurut Damanhuri
tidak hanya berfungsi sebagai pelestarian dari khazanah keilmuan Islam, tatapi juga sebagai
indikasi dari kapasitas intelektual muslim pesantren dalam hal memahami, menginterpretasi
dan mengkontekstualisasi prinsip-prinsip hukum Islam untuk dapat menjawab tantangan
modernisasi global. Dalam upaya kontekstualisasi hukum Islam, pesantren menggunakan
beberapa cara, yaitu; penerjemahan terhadap karya-karya fikih mazhab, menulis kitab syarh
dari kitab fikih terkemuka dan menulis kitab sendiri dengan tetap merujuk pada sumber-
sumber otoritatif mazhab karya ulama sebelumnya. 14

11
https://www.nu.or.id/post/read/40844/kitab-kuning, 16 Maret 2020.
12
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, cet. Ke-1
(Jakarta: Logos , 1999), 111
13
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, cet. Ke-6, (Jakarta:
LP3ES, 1994), 31
14
Damanhuri, “Kitab Kuning: Warisan Keilmuan Ulama Dan Kontekstualisasi Hukum Islam Nusantara”,
‘Anil
Islam, (Volume 10, Nomor 2, Desember 2017), 334
13

Dalam menghadapi pemasalahan sosial yang luas dan selalu berbanding lurus dengan
berkembangan zaman, maka kitab kuning yang lebih bercorak fikih, biasanya tidak hanya
dipahami dengan pendekatan leteralis atau qauli. Akan tetapi harus dengan pendekatan
metodologis atau manhaji yang lebih tanggap terhadap perkembangan sosial dan
perkembangan zaman. 15
Kedua pendekatan tersebut harus dikolaborasi sedemikian rupa untuk
menkontekstualisasikan kitab kuning sebagai warisan intelektual ulama terhadap hukum
Islam di Nusantara. Upaya kontekstualisasi hukum tersebut dapat di lihat dari peran
ulama Nusantara dalam melakukan ijtihad, sehingga dapat menghasilkan hukum baru sebagai
respon dari kebudayaan Nusantara yang memang tidak ada dalam teks kitab karya ulama
Timur Tengah. Maka corak fikih Nusantara akan berbeda dengan fikih Arab. Misanya dalam
hukum perkawianan, seorang suami tidak dapat menjatuhkan talaq kepada istrinya jika tidak
melalui pengadilan. Hukum ini tidak ditemukan dalam fiqih Syafi’ie, hanya ada dalam
fiqih Nusantara.16
Dengan demikian, ulama Nusantara telah mampu menerapkan ajaran agama sesuai
dengan karakter penduduk lokal dengan tetap berpengang kepada kitab kuning dan maqashid
syari’ah dalam yudisprudensi Islam. Dengan tradisi ini, pesantren mampu menyerap
khazanah intelektual muslim klasik untuk mengembangkan sistem nilai dalam kehidupan
beragama dan bersosial. 17 Hal itu sesuai dengan prinsip pesantren yang terus berpegang dan
memelihara radisi tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik.

C. Hubungan Bayani, Burhani dan ‘Irfani Dengan Khazanah Keilmuan Pesantren


Dalam khazanah keilmuan pesantren tidak akan terlepas dari tradisi Bayani, Irfani dan
Burhani. Tradisi pesantren yang tetap berpegang kepada refrensi otoritatif, yaitu kitab-
kitab kuning, mayoritas dikaji dengan epistimilogi bayani dan irfani, sedangkan epistimilogi
burhani jaga digunakan walaupun dengan persentase yang sangat kecil.
Seluruh pesantren yang tersebar di Indonesia sangat dipengaruhi oleh keilmuan yang
merujuk kepada kitab kuning. Maka kajian ilmu pesantren dalam bidang aqidah, fikih dan
akhlaq tetap berorientasi kepada karya intelktual para ulama klasik. Pemikiran al-Asy’ari dan
al-Maturidi misalnya mewarnai pemikiran teologi pesantren. Sementara dalam fikih,
15
Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah,
Cet. VII (Tangerang Selatan: Mizan Online Bookstore: www.mizan.com xi, 2017), ix
16
Ahmad Baso, Islam Nusantara: Ijtihad Jenius dan Ijma’ Ulama Indonesia, Cet. I (Jakarta: Pustaka
Afid,
2015), 134
17
Abu Yasid, Paradigma Baru Pesantren (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018), 13
14

didominasi pemikiran al-Syafi’ie. Sedangkan pemikiran al-Ghazali dan Junaid menjadi


rujukan pesantren dalam bidang akhlak.
Mayoritas kitab kuning di pesantren, seperti kitab Kifayah al-'Awam, yaitu kitab yang
membahas aqidah, sangat tampak dengan penggunaan nalar Bayani. Yaitu dengan pendekatan
istidlal. Misalnya sifat Allah yang ke-empat, mukhalafatuhu lil hawaditsi (Allah berbeda
dengan yang baharu). Dengan artian Allah sama sekali tidak memiliki unsur kesamaan
dengan makhluk seperti manusia, jin atau malaikat. Ketidaksamaan ini mencakup kepada
dzat atau sifatnya, sepeti Allah tidak berbentuk, bertempat ataupun yang lainnya.
Dalalilnya, jika ada yang sama dengan makhluk satu aspekpun, maka Allah adalah juga baru,
jika Allah baru maka pasti butuh kepada yang memperbaharui dan terjadilah tasalsul dan
daur yang keduanya adalah mustahil bagi Allah.18
Demikian pula dengan sifat yang pertama, wujud (ada Allah), yaitu dengan dalil
adanya alam semesta. Alam ini tidak mungkin ada dengan sendirinya karena ketiadaan tidak
mungkin menjadikan alam ada. Sehingga adanya alam pasti membutuhkan dzat yang
mengadakan dan Dzat yang mengadakan itu mustahil tidak ada.
Metode dalam pembuktian wajibnya kedua sifat tersebut adalah bukti bahwa di
pesantren dalam mengkkaji masalah aqidah didominasi oleh metode istidlal yang merupakan
sumber otaritas dari epistimologi bayani.
Apabila dalam bidang teologi pesantren lebih didominasi oleh istidlal, maka dalam fikih
pesantren lebih cendrung kepada dalil nash dan qiyas sebagai tumpuan nalar bayani-nya.
Misalnya kitab fiqih eleminter, yaitu kitab Taqrib karya Abu Suja’ yang kemudian diberi
hasyiyah menjadi kitab Kifayatul Akhyar karya Abu Bakar Al-Hisni.
Dalam kitab Kifayatul Akhyar sestematikanya pada setiap bab pembahasan pasti
dimulai dengan definisi, secara bahasa dan isltilah syari’at. Setelah itu dibahas secara
detail dan sitematis hukum dari kasus tertentu dengan menapilkan perbedaan pendapat para
ulama mengenai masalah furu’. Kemudian dijelaskan pendapat yang lebih kuat dan disertai
dengan dalil nash dari masing-masing pendapat. Jika tidak ada dalil nash al-Qur’an
maupun hadits maka yang digunakan adalah qiyas. 19
Berbeda dengan disiplin aqidah dan fiqih yaitu akhlaq atau tasawuf. Jika dalam aqidah
dan fiqih cendrung kepada nalar bayani, maka akhlaq lebih cendrung kepada nalar irfani atau
pengalaman intuitif individu seorang ulama. Walaupun ada kitab akhlak yang tetap

18
Sembodo Ardi Widodo, “Nalar Bayâni, ‘irfâni dan burhâni, 81. Lihat juga kitab al-Hushun al-
Hamidiyah karya Sayyid Husain Afandi, (Surabaya: Al-Hidayah, tt.), 19
19
Sembodo Ardi Widodo, “Nalar Bayâni, 83
15

menggunakan epistimologi bayani seperti kitab Ta’limul Muta’allim. Sedangkan kitab akhlak
yang mayoritas pembahsannya adalah menggunakan nalar irfani, walaupun ada yang merujuk
kepada nash tetapi jumlahnya sedikit, yaitu kitab ‘Idzdztun Nasyiin. Kitab yang sudah lumrah
dipesantren ini, epistimologi yang dibangun adalah merujuk kepada pengalaman individu,
sosial dan politik yang disajikan dengan buntuk nasehat- nasehat kepada kaula muda20
Serupa dengan kitab ini adalah kitab Nshaihul Ibad, yaitu kitab yang berisi nasehat-nasehat
moral bagi para hamba Allah. Kitab ini juga didominasi oleh pengalaman intuitif atau irfani
para ulama seperti mimpi seorang wali yang dikemas dengan maqalah-maqalah.
Selain epistimologi bayani dan irafani yang berhubungan dengan keilmuan pesantren,
epistimologi burhani juga dapat dijumpai dalam beberapa kitab kuning yang menjadi
rujukan keilmuan pesantren. Umpamanya kitab Ihya’ Ulumuddin karya al- Ghazali. Kitab ini
termasuk salah satu kitab yang tidak asing di pesantren karena al- Ghazali yang dianggap
sebagai ulama pertama yang berhasil mengkompromikan antara filsafat dengan agama
dengan karyanya yang monomental ini. Kitab ini tidak hanya memakai nalar bayani dan
irfani, tetapi juga burhani. Ketiga epistimologi ini sama-sama digunakan walalupun
epitimologi burhani lebih sedikit dari bayani dan irfani.
Dalam penerapan naral bayani, al-Ghazali dalam kitab ini banyak metujuk kepada ilmu
syar'i yang empat, al-Qur'an, sunnah, ijma', dan atsar shahabah. Sedangkan dalam nalar
irfani, al-Ghazali banya manampilkan pengalaman ulama sufi yang tidak diperoleh dengan
belajar tetapi dengan ilmu kasyf. Sementara nalar burhani diterapkan dalam menjelaskan
tentang kedalaman suatu fenomena dengan menggunakan logika atau pemikiran filosofis,
seperti keajaiban hati, makna jiwa, ruh, dan akal.21
Dengan pembahan ini, epistimologi bayani, irfani dan burhani memiliki hubungan erat
dengan tradisi keilmuan pesantren, walalupun dengan porsi yang berbeda dalam setiap
disiplin ilmu yang dikaji. Dengan melestarikan tradisi ini, pesantren mampu menyerap
khazanah keilmuan klasik di satu sisi, dan di sisi lain pesantren mampu menjawab tantangan
zaman dengan mengkontekstulisasikan tradisi keilmuan klasik warisan para ulama. Tradisi
keilmuan yang ini, dalam sejarah bangsa Indonesia, hanya dapat ditemui dalam sistem
pendidikan pesantren. Lembaga pendidikan Islam tertua yang tetap berdiri kokoh sampai era
globalisasi ini.

20
Ibid, 84
21
Ibid, 86
16

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Definisi Bayani, Burhani dan ‘Irfani secara singkat adalah:
a. Bayani Bayani didefinisikan sebagai nalar keilmuan yang merujuk kepada otoritas
teks kegamaan, yaitu al-Quran dan Hadits. Teks kegamaan tersebut diberi
makna tekstual sesuai dengan makna yang ada dalam bahasa Arab atau
difamahami dan ditafsiri dengan makna lain sesuai dengan konteksnya dengan
tetap berpegang kepada penjelasan dari teks yang lain.
b. Irfani adalah nalar keilmuan yang berdasar kepada pengalaman batin atau
qalb. Dalam epistimologi irfani kemudian lahir istilah seperti kasyf, zuhd dan
yang lainnya. Sistem nalar ini digeluti oleh para sufi yang pengetahuan mereka
bukan lagi bertumpu pada teks, melainkan kepada mengalaman batin, yang dalam
tingkatan tertentu seorang sufi dengan kesucian hatinya mampu mendapatkan
pengetahuan langsung dari Tuhan kepada mereka.
c. Burhani adalah proses penalaran yang menetapkan benar tidaknya suatu preposisi
melalui cara deduksi, yaitu melalui cara pengaitan antar preposisi yang
kebenarannya bersifat postulatif. Dalam hal ini, burhani adalah satu jenis dari
logika yang sifatnya lebih khusus. Dalam nalar burhani kebenaran yang hendak
dicapai adalah bertumpu kepada kekuatan intelektual manusia, baik berupa
indera, pengalaman, maupun rasio terhadap alam semesta dengan berdasarkan
kepada hubungan kausalitas yang terjadi.

2. Hubungan Bayani, Burhani dan ‘Irfani dengan Khazanah Keilmuan Pesantren adalah:
Tradisi bayani, irfani dan burhani memiliki hubungan erat dengan khazanah
keilmuan pesantren, baik dalam fiqih, akidah ataupun akhlak dan tasawuf. Hubungann
tersebut terlihat dari epistimologi yang digunakan dalam beberapa kitab rujukan
otoritatif. Seperti kitab-kitab fiqih yang berorientasi kepada otoritas nash al-
qur’an, hadits kemudian qiyas. Sedangkan kitab-kitab akidah menggunakan
epistimologi istidlal. Dengan demikian, tradisi bayani sangat berhubungan dengan
fikih dan akidah. Tradisi irfani biasanya sangat berhubungan dengan disiplin akhlak
17

dan tasawuf. Terbukti dengan banyaknya pengalaman batin para sufi, seperti ilmu
kasyf yang sajikan dalam mayoritas kitab-kitab akhlak dan tawawuf. Sementara
tradisi burhani juga berhubungan dengan kajian akhlak dan tasawuf, walaupun tidak
dominan. Tradisi ini terlihat dalam kitab Ihya’ Ulumuddin yang terdapat penjelasan
tentang kedalaman suatu fenomena dengan menggunakan logika atau pemikiran
filosofis, seperti keajaiban hati, makna jiwa, ruh, dan akal.
DAFTAR PUSTAKA

A. Khudori Soleh, Model-Model Epistemologi Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2000)


Abu Yasid, Paradigma Baru Pesantren (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018)
Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai
Fakta Sejarah, Cet. VII (Tangerang Selatan: Mizan Online Bookstore: www.mizan.com xi,
2017), ix
Ahmad Baso, Islam Nusantara: Ijtihad Jenius dan Ijma’ Ulama Indonesia, Cet. I
(Jakarta: Pustaka Afid, 2015)
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Besar Al-Munawwir, Jakarta: Pustaka Progressif, 1997)
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, cet.
Ke-1 (Jakarta: Logos , 1999)
Damanhuri, “Kitab Kuning: Warisan Keilmuan Ulama Dan Kontekstualisasi Hukum Islam
Nusantara”, ‘Anil Islam, (Volume 10, Nomor 2, Desember 2017)
https://www.nu.or.id/post/read/40844/kitab-kuning, 16 Maret 2020.
Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, diterjemahkan oleh, Ahmad Baso,
(Yogyakarta: LkiS,2000)
Muhammad Ramli, “Asal-usul Kitab Kuning, Sejarah dan Perkembangannya”,
https://www.kompasiana.com, akses, 16 Maret 2020
Prof. Dr. Hasyimsyah Nasution. M.A, Filsafat Islam, (Bandung: Gaya Media Pratama, 1999)
Sembodo Ardi Widodo, “Nalar Bayânî, ‘irfânî dan burhânî, 81. Lihat juga kitab al-
Hushun al-Hamidiyah karya Sayyid Husain Afandi, (Surabaya: Al-Hidayah, tt.)
Syekh Abdul Wahhab Khallaf, ‫ﻟﻔﻘﻪ‬
‫ﻋﻠﻢ ﺃﺻﻮﻝ ﺍ‬, diterjemahkan Halimuddin. S.H, (Jakarta:
Rinneka Cipta 2005)
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, cet. Ke-6,
(Jakarta: LP3ES, 1994)

Anda mungkin juga menyukai