HIRABAH (PERAMPOKAN)
Disusun Oleh:
NABILA NURUL HIKMAH
(20110099)
NURUL AZZURA
(20110095)
Bismillahhirrahmanirrahim
Puji syukur kehadiran Allah SWT.yang telah melimpahkan karunia, taufiq,
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Makalah ini
dengan baik.
Shalawat dan salam semoga tetap mengalir deras pada pejuang kita yang
namanya populer dan berkibar diseluruh dunia yakni Nabi besar Muhammad Saw.
Yang mana dengan perjuangan beliau kita dapat berada dalam cahaya islam dan
iman.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa salam penulisan Makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangan. Oleh karenanya, penulis
mengharapkan saran dan masukkan dari pembaca.Saran dan masukkan yang
membangun dan positif yang diberikan agar kedepannya akan membuat makalah
menjadi lebih baik dalam penyusunan maupun penggunaannya.
Penyusun
xi
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan .......................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
umum, baik dari kalangan muslim, maupun kafir. Dan hirabah juga dapat disebut
penodong yaitu merampas dan mengambil harta milik orang lain dengan cara
memaksa korbannya. Pada umumnya kata penodong lebih lazim dipakai terhadap
tindak pidana yang dilakukan diluar rumah.. Dalam hukum Islam, penodong atau
adalah mencuri berarti mengambil barang orang lain secara diam-diam, sedangkan
hirabah adalah mengambil barang orang lain dengan cara anarkis. Misalnya
Pada dasarnya, setiap manusia yang ada di muka bumi ini memiliki fitrah
yang telah dianugrahkan oleh Allah SWT. Fitrah manusia tersebut ketika sampai
pada puncaknya akan memberikan dampak negative ketika tidak dapat diolah dan
dunia hukum dikategorikan sebagai perbuatan tindak pedana. Setiap tindak pidana
1
pasti memiliki sanksi hukum. Akan tetapi, masyarakat mungkin masih belum
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hirabah
secara terminologis berarti memerangi, atau dalam kalimat حارب هللاberarti seorang
bermaksiat kepada Allah. Adapun makna lain dapat diartikan dengan qatta’ut ath-
thariq.1
oleh pemakan riba atau harta manusia secara bathil; kedua, harb adalah lawan dari
1
Nurul Irfan dan Laily Nusroh Masyrofah, Fiqh Jinayat, (Jakarta, Amzah : 2015), hal.
122
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeven :
2
3
Para pelaku perampokan qatta ut-thariq adalah mereka yang melakukan
terbuka. Saya (Imam Syafi’i) berpendapat bahwa kejahatan ini lebih besar
untuk menyerang dan merampas harta benda yang dibawa oleh para pengguna
jalan dengan cara paksa, sehingga mereka terhalang, tidak bisa lewat karena
jalannya terputus. Hal ini bisa dilakukan secara kelompok maupun individual
pedang, senjata, tongkat maupun alat yang lainnya, yang tentu saja lalu lintas
bekerja sama secara langsung, maupun kerjasama tidak langsung dengan saling
membantu satu sama lain. Beliau menjelaskan tentang teknik hirabah baik dari
4
Muhammad Abu Zahroh, Jarimah wal ‘Uqubah fii Fiqh Islamiy, (Kairo, Darl Arobi :
1998), hal. 106
4
permusuhan.5 Imam Malik menyatakan bahwa hal ini tidak terjadi karena
jalan kota besar atau di luar kota, maka seorang kepala negara, wajib
menindaknya, sebab kalau hal ini dibiarkan terus pasti akan semakin kuat
pergerakan teror dan akan semakin besar kerusakan yang terjadi, berupa
pembunuhan dan perampasan harta benda. Kalau para pelaku sudah bisa
ditangkap sebelum berhasil merampas harta benda dan membunuh jiwa, maka
sanksi hukumannya berupa ta’zir dan penahanan atas kebijakan penguasa sebab
dalam hal ini sudah masuk dalam sebuah kemaksiatan besar, oleh sebab itu harus
diberikan sanksi ta’zir, seperti seseorang berencana mencuri dan sudah melubangi
dinding atau seseorang yang akan berzina sudah melakukan adegan ciuman. Akan
tetapi kalau pelaku sudah mengambil sejumlah harta yang tersimpan di tempat
melakukan potong tangan pada tangan kanan dan potong kaki pada kaki kiri
pelaku. Alasannya adalah hadits riwayat Syafi’i dari Ibnu Abbas, sesungguhnya
Ibnu Abbas berkata tentang sanki pelaku perampokan, yaitu kalau mereka telah
membunuh jiwa dan merampas harta benda, maka sanksi mereka berupa hukuman
mati dan salib, tetapi bila tidak merampas harta, maka diberikan hukuman mati
tanpa disalib, apabila hanya merampas harta maka pelaku dipotong tangan dan
5
adalah tentang kewajiban tegas bagi para imam kepada pelaku teror, sebab kalau
tidak ditindak tegas, maka akan semakin parah kerusakan yang ditimbulkannya.
perampok adalah orang yang menghunuskan senjata untuk merampas, baik terjadi
dengan peralatan khusus seperti tambang, batu, mencekik dengan tangan atau
menggigit atau dengan alat lainnya, tetap disebut sebagai perampok, walaupun
keamanan di jalan dan menimbulkan rasa takut di jalan dan tempat keramaian
6. Sayyid Sabiq
akhlak, hak dan hukum. Tidak dibedakan apakah pelakunya Muslim maupun
kafir dzimmi. Selama pertumpahan dilakukan di negri Islam dan dilakukan kepada
6
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut, PT. Alma’arif: 1987) hal. 193
6
Sayyid Sabiq menyebut bahwa unsur terjadinya di negara Islam menjadi unsur
hirabah. Pelakunya tidak harus muslim, tetapi dapat juga non-muslim yang
meliputi perampokan itu ditinjau dari segi arti majas, bukan arti hakikat, sebab
yang sembunyi dari kepala negara dan dari ketaatan untuk menjaga ketertiban dan
keamanan. Oleh karena itu, cakupan makna kata sariqoh tidak meliputi
disebut dengan pencurian besar, sebab kalau hanya diberi istilah pencurian maka
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hirabah adalah tindakan kekerasan
yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang dalam rangka mengambil
harta atau tidak, melakukan pembunuhan atau tidak, yang bertujuan untuk
menghalang-halangi orang lain dalam melewati sebuah jalan dan harus diberikan
7
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islamiy, (Beirut, Mu’assah Ar-Risalah :
1992), jilid II, hal. 638
7
2. Dalil tentang hirabah
Dasar hukum dari Jarimah hirabah adalah firman Allah dalam surat Al-
Maidah ayat 33 sebagai berikut:
صلَّبُوا أ َْو ُت َقطَّ َع أَيْ ِدي ِه ْم ِ ين حُيَا ِربُو َن اللَّهَ َو َر ُسولَهُ َويَ ْس َع ْو َن يِف اأْل َْر
َ ُض فَ َس ًادا أَ ْن يُ َقَّتلُوا أ َْو ي
ِ َّ ِ
َ إمَّنَا َجَزاءُ الذ
ِ ِ ِ ِ ِ ف أَو يْن َفوا ِمن اأْل َر
ٍ ِ ِ
يم ٌ الد ْنيَا َوهَلُ ْم يِف اآْل خَر ِة َع َذ
ٌ اب َعظ ُّ ي يِف
ٌ ك هَلُ ْم خْز
َ ض َذل ْ َ ْ ُ ْ َوأ َْر ُجلُ ُه ْم م ْن خاَل
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah (mereka) dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kakinya secara silang, atau dibuang dari
negeri tempat kediamannya. Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk
mereka didunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang berat”.(Qs.5 Al-
Maidah:33)
Dalil Hadit tentang hirabah (perampokan)
a. Hirabah merupakan kejahatan yang berat
Hirabah atau perampok jalanan termasuk kategori kejahatan berat.Maka
dari itu Al-Qur’an menyebut orang-orang yang terlibat aktif dalam aksi kejahatan
ini dalamung kapan yang sangat tegas. Al-Qur’an menyebut mereka sebagai
kelompok yang memerangi Allah SWT dan rasul-Nya serta menimbulkan
kerusakan dibumi, dan Allah memperberat hukuman bagi mereka yang tidak
diterapkan pada kejahatan lainnya.
Rasulullah SAW. Mengumumkan bahwa siapa yang melakukan tindak
kejahatan semacam ini, maka ia tidak berhak menjadi bagian dari umat Islam.
Rasulullah SAW, bersabda:
فليس منا,السال ح
ٌ من محل علىنا
“siapa yang menghadapi kami dengan membawa senjata, maka dia tidak
termasuk golongan kami.” (HR Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu Umar)
Jika dia tidak memiliki kemuliaan dengan menjadi umat Islam, sementara
dia masih hidup, maka setelah mati pun ia tidak mendapatkan kemuliaan. Sebab
manusia akan meninggal dunia sesuai dengan kondisi mereka ketika hidup,
sebagaimana mereka dibangkitkan pun dalam kondisi mereka meninggal dunia.
8
Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
فمىتته جاهلىٌة,من خرخ على الطٌاعة و فارق اجلماعة و مات
“siapa yang menentang ketaatan dan membelot dari jamaah lantas mati,
makakematiannyaadalah (kematian) jahiliah.” (HR. Muslim)
b. Larangan merampas
ِ ِ ٍ ث ح َّدثَنَا عُ َقْيل َعن ابْ ِن ِشه
ُاب َع ْن أَيِب بَ ْك ِر بْ ِن َعْبد الرَّمْح َ ِن َع ْن أَيِب ُهَر ْيَرةَ َرض َي اللَّهُ َعْنه َ ْ ٌ َ ُ َّدثَيِن اللَّْي
ِ ِ ِ َّ قَ َال قَ َال النَّيِب صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم اَل يزيِن
ب َو ُه َو
ُ ني يَ ْشَر ُ ني َيْزيِن َو ُه َو ُم ْؤم ٌن َواَل يَ ْشَر
َ ب اخْلَ ْمَر ح َ الزايِن ح َْ َ َ َ ْ َ ُ َ ُّ
ِ ِِ ِ ِ ِ
ني َيْنتَ ِهُب َها َو ُه َو َ َّْاس إِلَْيه ف َيها أَب
َ ص َار ُه ْم ح ِ
ُ ني يَ ْس ِر ُق َو ُه َو ُم ْؤم ٌن َواَل َيْنتَه
ُ ب نُ ْهبَةً َي ْرفَ ُع الن َ ُم ْؤم ٌن َواَل يَ ْس ِر ُق ح
صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َوقَ َال بَ َاي ْعنَاهُ َعلَى أَ ْن اَل ِ َ الن َقب ِاء الَّ ِذين بايعوا رس ِ ِ ِ
َ ول اللَّه ُ َ َُ َ َ َ ُّ َرض َي اللَّهُ َعْنهُ أَنَّهُ قَ َال إيِّن م ْن
ِ
َ ص َي بِاجْلَن َِّة إِ ْن َف َع ْلنَا َذل
ك ِ الن ْفس الَّيِت حَّرم اللَّه واَل َنْنتَ ِهب واَل َنع
ْ َ َ َُ َ َ
يِن ِ ِ َّ ِ ِ
َ َّ نُ ْشر َك بالله َشْيئًا َواَل نَ ْسر َق َواَل َنْز َ َواَل َن ْقتُ َل
ك إِىَل اللَّ ِه ِ ِ
َ ضاءُ ذَل َ فَِإ ْن َغ ِشينَا ِم ْن ذَل
َ َك َشْيئًا َكا َن ق
(BUKHARI 3604): Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah
menceritakan kepada kami Al Laits dari Yazid bin Abu Habib dari Abu Al Khair
9
dari ash Shunabihi dari 'Ubadah bin ash Shamit radliallahu 'anhu, dia berkata: Aku
termasuk orang yang berbai'at kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. dan
katanya; "Kami berbai'at kepada beliau untuk tidak menyekutukan Allah dengan
suatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh jiwa yang
diharamkan Allah, tidak merampok dan tidak berbuat maksiat yang balasannya
adalah surga bila kami memenuhi semuanya. Namun bila kami melanggar maka
keputusannya ada pada Allah".
10
pidana ini sama statusnya. Dengan demikian, perempuan yang ikut serta dalam
melakukan perampokan tetap harus dikenakan hukuman had. Menurut Imam
Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Zhahiriyah dan Syi’ah Zaidiyah, perempuan
yang turut serta melakukan perampokan tetap harus dikenakan hukuman. Dengan
demikian, mereka tidak membedakan antara pelaku laki-laki dan perempuan
seperti halnya dalam jarimah hudud yang lain.
Untuk para pelaku hirabah adalah dapat dilakukan kelompok ataupun
perorangan yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Untuk menunjukan
kemampuan ini, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad mensyaratkan bahwa
pelaku tersebut harus memiliki dan menggunakan senjata atau alat lain yang
disamakan dengan senjata, melainkan cukup berpegang kepada kekuatan dan
kemampuan fisik. Bahkan Imam Malik mencukupkan dengan digunakannya tipu
daya, taktik atau strategi tanpa penggunaan kekuatan atau dalam keadaan tertentu
dengan menggunakan anggota badan seperti tangan dan kaki.
Sedangkan persyaratan harta yang diambil dalam jarimah hirabah adalah:
1. Barang atau harta yang diambil harus tersimpan
2. Milik orang lain
3. Tidak ada syubhat
4. Memenuhi Nisab
Hanya saja syarat nishab ini masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Imam
Malik berpendapat, dalam jarimah hirabah tidak disyaratkan nishab untuk barang
yang diambil. Pendapat ini diikuti oleh sebagian fuqaha Syafi’iyah. Imam Ahmad
dan Syiah Zaydiyah berpendapat bahwa dalam jarimah hirabah juga berlaku
nishab dalam harta yang diambil oleh semua pelaku secara keseluruhan dan tidak
memperhitungkan perolehan perorangan. Dengan demikian, meskipun
pemabagian harta untuk masing-masing peserta (pelaku) tidak mencapai nishab,
semua pelaku tetap harus dikenakan hukuman Had. Imam Abu Hanifah dan
sebagian Syafi’iyah berpendapat bahwa perhitungan nishab bukan secara
keseluruhan pelaku, melainkan secara perseorangan. Dengan demikian, apabila
harta yang diterima oleh masing-masing peserta itu tidak tidak mencapai nishab
11
maka pelaku tersebut tidak dikenakan hukuman had sebagai pengambil harta.
Hanya saja dalam hal ini perlu diingat adanya perbedaan pendapat antara
Hanafiyah da Syafi’iyah mengenai pelaku jarimah hirabah sebagaimana telah
dikemukakan dalam uraian yang lalu.
Persyaratan lain untuk dapat dikenakannya hukuman had dalam jarimah
hirabah ini adalah menyangkut tempat dilakukannya jarimah hirabah. Syarat-
syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Jarimah perampokan harus terjadi di negeri islam. Dikemukakan oleh
Hanafiyah. Dengan demikian, apabila jarimah hirabahterjadi di luar negeri Islam
(dar al-harb) maka pelaku tersebut tidak dikenakan hukuman had. Akan tetapi
jumhur ulama yang terdiri atas Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan
Zhahiriyah tidak mensyaratkan hal ini. Dengan demikian menurut jumhur, pelaku
tersebut tetap dikenakan hukuman had, baik jarimah hirabah terjadi di negeri
Islam maupun di luar negeri Islam.
2. Perampokan harus terjadi di luar kota, jauh dari keamanan. Pendapat ini
dikemukakan oleh Hanafiyah. Akan tetapi Malikiyah, Syafi’iyah, Hanafiyah dan
Imam Abu Yusuf murid dari Imam Abu Hanifah tidak mensyaratkan hal ini.
Dengan demikian, menurut mereka (jumhur), perampokan yang terjadi di dalam
kota dan di luar kota hukumnya sama, yaitu bahwasannya pelaku tetap harus
dikenakan hukuman had.
3. Malikiyah dan Syafi’iyah mensyaratkan adanya kesulitan atau keadilan
kendala untuk meminta pertolongan. Sulitnya pertolongan tersebut mungkin
karena peristiwanya terjadi di luar kota, lemahnya petugas keamanan atau karena
upaya penghadangan oleh para perampok atau karena korban tidak mau meminta
pertolongan kepada pihak keamanan, karena berbagai pertimbangan. Dengan
demikian apabila upaya dan kemungkinan pertolongan mudah dilakukan maka
para pelaku tidak dikenakan hukuman.
Ada pula persyaratan yang berkaitan dengan korban. Para ulama sepakat,
bahwa orang yang menjadi korban perampokan adalah orang yang ma’shum ad-
dam, yaitu orang yang dijamin keselamatan jiwa dan hartanya oleh Islam.orang
tersebut adalah orang muslim atau dzimmi. Orang Islam dijamin karena
12
keislamannya, sedangkan kafir dzimmi dijamin berdasarkan perjanjian keamanan.
Orang kafir musta’mam (Mu’ahad) sebenarnya juga termasuk orang yang
mendapatkan jaminan, tetapi karena jaminannya itu tidak mutlak maka hukuman
had terhadap pelaku perampokan atas musta’mam ini masih diperselisihkan oleh
para fuqaha. Menurut Hanafiyah perampokan terhadap musta’mam tidak
dikenakan hukuman had.
9
Jazuli H. A, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997) cet. 2, hal. 89
Mustafa Diem Al-Bigho, At-Tadzhib fii Adillatil Matnil Ghayyah wa Taqrib, terj. Rizki
10
13
selanjutnya mereka dimandikan, dikafani, dishalati dan dikuburkan apabila
mereka orang Islam.
Ibnu Katsir mengutip pendapat Imam Malik akan hal ini
bahwasannya hukuman sepenuhnya menjadi ketetapan imam (penguasa),
kata maaf dari keluarga si korban tidak menghapuskan ketentuan hukuman
tersebut. (Tafsir Ibnu Katsir, Darl Hilal Kairo : Terj. Abdul Ghafar Jilid 3,
hal.94)
3. Apabila mereka hanya merampas harta benda, tidak disertai dengan
pembunuhan. Maka hukuman bagi mereka adalah dipotong tangan dan
kaki secara bersilang. Jika mereka melakukannya lagi, maka mereka
dipotong untuk kedua kalinya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bercerita sebagaimana yang
dilakukan kepada Arab Badui, maka dipotong tangannya yang sering
dilakukan untuk kejahatan dan kakinya yang sering digunakan untuk
berjalan. Lalu, tangan dan kakinya diberikan minyak yang mendidih dan
sejenisnya agar darah tidak terus keluar yang mungkin menyebabkan
kematian. Demikian juga dilakukan kepada tangan pencuri. (Majmu’
Fatawa, Ibnu Taimiyyah)
4. Apabila mereka hanya menakuti orang yang sedang melakukan perjalanan
tanpa mengambil harta mereka, maka mereka dihukum penjara dan ta’zir
seperti dipukul dan sebagainya yang dianggap perlu dilakukan oleh hakim
agar mereka jera. Dan dianjurkan untuk tidak memenjarakan di kampung
halaman mereka agar mereka lebih jera.
14
digolongkan kepada tindak pidana pencurian dalam arti majazi, bukan dalam arti
hakiki.
Secara hakiki pencurian adalah pengambilan harta milik orang lain secara
diam-diam. Sedangkan perampokan adalah pengambilan harta secara
terangterangan dan kekerasan,12 sehingga dengan demikian hirâbah (perampokan)
dapat disebut dengan istilah siraqah kubrâ (pencurian berat). Hirâbah
(perampokan) dinamakan dengan pencurian besar/berat, karena dampak
mudharatnya, tidak hanya menimpa para pemilik harta yang dirampas saja, akan
tetapi juga menimpa semua masyarakat secara umum. Dengan demikian, ancaman
hukuman/sanksi hadd-nya diperberat. Perbedaan yang asasi antara pencurian
dengan perampokan terletak pada cara pengambilan harta, yaitu pada jarîmah
pencurian mengambil barang secara diam-diam, sedangkan jarîmah perampokan
mengambil barang itu dengan cara terang-terangan dan disertai dengan kekerasan.
Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama di
atas, maka dapat dijelaskan bahwa inti persoalan jarîmah hirâbah, yakni keluarnya
sekelompok orang dengan maksud untuk mengambil harta dengan terang-terangan
dan kekerasan, baik mengambil barang atau tidak.
Antara definisi Imam Malik dengan Zhâhiriyyah terdapat sedikit
perbedaan saja. Imam Malik memberikan definisi perampokan lebih
mementingkan kekuatan otak, taktik dan strategi jika dibandingkan dengan
kekuatan fisik. Sedangkan Zhâhiriyyah memberikan definisi perampokan itu
sangat umum, sehingga pencurian pun dapat dikategorikan ke dalam tindak pidana
perampokan. Meskipun demikian, menurut Zhâhiriyyah jika tindak pidana
pencurian itu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, atau kemudian melakukan
zina, atau membunuh, maka hukumannya tidak termasuk sebagai perampokan,
akan tetapi dihukum sebagai pencuri, berzina, dan pembunuh.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
12
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 93.
15
Dalam ensiklopedi hukum Islam, hirabah diartikan sebagai aksi kelompok
orang dalam suatu negara untuk melakukan kekacauan, pembunuhan, perampasan
harta, pemerkosaan yang secara terang-terangan mengganggu dan menentang
aturan yang berlaku, perikemanusiaan dan agama. Mengenai unsur hirabah sendiri
terbagi menjadi berapa macam yaitu Keluar untuk mengambil harta secara
kekerasan, kemudian pelaku hanya mengintimidasi tanpa mengambil harta dan
tanpa membunuh, Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian
mengambil harta tanpa membunuh. Dalam penjatuhan hukuman-hukuman
diantaranya yaitu Mereka yang membunuh orang yang melakukan perjalanan
tanpa merampas hartanya, maka sebagai hukumannya adalah dibunuh (qishas),
Mereka yang membunuh serta merampas harta orang lain yang melakukan
perjalanan, maka hukuman bagi mereka ada dibunuh dan disalib, diarak ke
kerumunan selama tiga hari sampai mayatnya membusuk untuk selanjutnya
mereka dimandikan, dikafani, dishalati dan dikuburkan apabila mereka orang
Islam.
Perampokan atau hirabah adalah salah satu bentuk tindak pidana sangat
merugikan orang lain karena sama saja tidak mensyukuri nikmat yang telah Allah
berikan, merampas hak-hak orang lain yang berstatus sebagai korban perampokan,
hukuman bagi pelaku hirabah ini sesuai dengan tingkatan kejahatannya, apabila
pelaku perampokan hanya mengambil harta dengan cara merampas, maka ia
dihukum potong tangan dan kaki dengan bersilang. Apabila pelaku perampokan
membunuh dan mengambil harta maka ia dihukum mati dan disalib. Jika pelaku
perampokan hanya menakut-nakuti maka ia dihukum dengan diasingkan atau
penjara.
DAFTAR PUSTAKA
16
Nurul Irfan dan Laily Nusroh Masyrofah, Fiqh Jinayat, Jakarta, Amzah : 2015
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeven :
1997
jilid VII
Muhammad Abu Zahroh, Jarimah wal ‘Uqubah fii Fiqh Islamiy, Kairo, Darl
Arobi : 1998
Risalah : 1992
Abu Bakar Al-Jazairiy, Minhajul Muslim, terj. Musthofa Aini, dkk. Jakarta:Darul
Haq , 2017
Mustafa Diem Al-Bigho, At-Tadzhib fii Adillatil Matnil Ghayyah wa Taqrib, terj.
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, diterjemahkan oleh Imam Ghazali Said, dan
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005
17