Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

HIRABAH (PERAMPOKAN)

Makalah ditulis untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hadits Ahkam

Dosen Pengampu: Tgk. Muhammad Khaled, M.H

Disusun Oleh:
NABILA NURUL HIKMAH
(20110099)

UYUN RAIYANIN NAILA


(20110094)

NURUL AZZURA
(20110095)

FAKULTAS HUKUM KELUARGA ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) AL-AZIZIYAH
SAMALANGA KAB. BIREUEN
1442 H / 2021 M
KATA PENGANTAR

Bismillahhirrahmanirrahim
Puji syukur kehadiran Allah SWT.yang telah melimpahkan karunia, taufiq,
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Makalah ini
dengan baik.
Shalawat dan salam semoga tetap mengalir deras pada pejuang kita yang
namanya populer dan berkibar diseluruh dunia yakni Nabi besar Muhammad Saw.
Yang mana dengan perjuangan beliau kita dapat berada dalam cahaya islam dan
iman.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa salam penulisan Makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangan. Oleh karenanya, penulis
mengharapkan saran dan masukkan dari pembaca.Saran dan masukkan yang
membangun dan positif yang diberikan agar kedepannya akan membuat makalah
menjadi lebih baik dalam penyusunan maupun penggunaannya.

Samalanga, 30 September 2021

     Penyusun

xi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... x

KATA PENGANTAR ................................................................................... xi

DAFTAR ISI ................................................................................................ xii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3

A. Dalil Dan Pengertian Hirabah............................................................... 3


B. Syarat Perampokan Yang Dijadikan Hudud......................................... 3
C. Bentuk Sanksi Hirabah......................................................................... 6
D. Perbedaan Perampokan Dan Pencurian ..................................................

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 9

A. Kesimpulan .......................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hirabah adalah keluarnya sekelompok bersenjata di daerah Islam dan

melakukan kekacauan, penumpahan darah, perampasan harta, merusak

kehormatan, merusak tanaman, peternakan, citra agama, akhlaq, dan ketertiban

umum, baik dari kalangan muslim, maupun kafir. Dan hirabah juga dapat disebut

penodong yaitu merampas dan mengambil harta milik orang lain dengan cara

memaksa korbannya. Pada umumnya kata penodong lebih lazim dipakai terhadap

tindak pidana yang dilakukan diluar rumah.. Dalam hukum Islam, penodong atau

perampok diistilahkan dalam kitab-kitab fikih klasik muharrib. Secara harfiyah

hirabah pada umumnya cenderung mendekati pengertian pencuri. Perbedaannya

adalah mencuri berarti mengambil barang orang lain secara diam-diam, sedangkan

hirabah adalah mengambil barang orang lain dengan cara anarkis. Misalnya

merampok, mengancam atau menakut-nakuti orang.

Pada dasarnya, setiap manusia yang ada di muka bumi ini memiliki fitrah

yang telah dianugrahkan oleh Allah SWT. Fitrah manusia tersebut ketika sampai

pada puncaknya akan memberikan dampak negative ketika tidak dapat diolah dan

dikontrol dengan baik. Manusia yang selalu merasa kekurangan dalam

kehidupannya akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.

Misalnya ingin cepat kaya, dengan cara ia melakukan pencurian, korupsi,

penipuan, perampokan, dan lain-lainnya. Perbuatan-perbuatan tersebut dalam

dunia hukum dikategorikan sebagai perbuatan tindak pedana. Setiap tindak pidana

1
pasti memiliki sanksi hukum. Akan tetapi, masyarakat mungkin masih belum

mengetahui hal ini khususnya mengenai sanksinya dalam hukum islam.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah dalil dan pengertian hirabah?

2. Bagaimanakah syarat perampokan yang dijadikan hudud?

3. Bagaimanakah bentuk sanksi hirabah?

4. Bagaimanakah perbedaan perampokan dan pencurian?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui dalil dan pengertian hirabah

2. Untuk mengetahui syarat perampokan yang dijadikan hudud

3. Untuk mengetahui bentuk sanksi hirabah

4. Untuk mengetahui perbedaan perampokan dan pencurian

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. DALIL DAN PENGERTIAN HIRABAH

1. Pengertian Hirabah

Hirabah adalah bentuk mashdar dari kata ‫ حرابة‬-‫ة‬99‫ محارب‬-‫ يحارب‬-‫حراب‬yang

secara terminologis berarti memerangi, atau dalam kalimat ‫حارب هللا‬berarti seorang

bermaksiat kepada Allah. Adapun makna lain dapat diartikan dengan qatta’ut ath-

thariq.1

Dalam ensiklopedi hukum Islam, hirabah diartikan sebagai aksi kelompok

orang dalam suatu negara untuk melakukan kekacauan, pembunuhan, perampasan

harta, pemerkosaan yang secara terang-terangan mengganggu dan menentang

aturan yang berlaku, perikemanusiaan dan agama. Muhammad Abduh

mengistilahkan bahwa harb terbentuk dari empat macam, pertama, dikenakan

oleh pemakan riba atau harta manusia secara bathil; kedua, harb adalah lawan dari

salama (keselamatan); ketiga, mengenai kaum Badui yang tidak hentinya

melakukan kekerasan dan merampas harta; keempat, saling melakukan

pembunuhan dengan orang kafit tapi bukan dalam rangka jihad.2

Pengertian hirabah secara istilah dapat didefinisikan sebagai berikut:

1. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya Al-Umm3

1
Nurul Irfan dan Laily Nusroh Masyrofah, Fiqh Jinayat, (Jakarta, Amzah : 2015), hal.
122
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeven :
2

1997), hal. 256

Asy-Syafi’i, Al-Umm, ( Palestina, Maktabah Al-Kulliyah Al-Azhariyyah, 1961), jilid


3

VII, hal 265

3
Para pelaku perampokan qatta ut-thariq adalah mereka yang melakukan

peperangan dengan membawa senjata kepada sebuah komunitas orang sehingga

para pelaku merampas harta kekayaan mereka secara terang-terangan di tempat

terbuka. Saya (Imam Syafi’i) berpendapat bahwa kejahatan ini lebih besar

dosanya bila dilakukan di kota besar walaupun hukumannya sama.

2. Muhammad Abu Zahrah4 mengutip kalangan mazhab Hanafi

Kalangan Hanafiyyah mendefinisikan qatta’u ath-thariq adalah keluar

untuk menyerang dan merampas harta benda yang dibawa oleh para pengguna

jalan dengan cara paksa, sehingga mereka terhalang, tidak bisa lewat karena

jalannya terputus. Hal ini bisa dilakukan secara kelompok maupun individual

yang mempunyai kemampuan untuk memutus jalan. Baik dapat menggunakan

pedang, senjata, tongkat maupun alat yang lainnya, yang tentu saja lalu lintas

terhambat karena tindakan ini, baik tindakan perampokan dilakukan secara

bekerja sama secara langsung, maupun kerjasama tidak langsung dengan saling

membantu satu sama lain. Beliau menjelaskan tentang teknik hirabah baik dari

segi senjata maupun jumlah pelaku.

3. Al-Qurthubi ketika menjelaskan tentang surah Al-Maidah : 33

Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang melakukan hirabah.

Imam Malik rahimahullah menjelaskan pelaku hirabah adalah orang yang

menyengsarakan masyarakat, baik dalam kota maupun di luar kota. Mereka

merampas harta dan membunuh bukan karena perseteruan, dendam dan

4
Muhammad Abu Zahroh, Jarimah wal ‘Uqubah fii Fiqh Islamiy, (Kairo, Darl Arobi :
1998), hal. 106

4
permusuhan.5 Imam Malik menyatakan bahwa hal ini tidak terjadi karena

permasalahan yang muncul sebelumnya antara korban dan pelaku.

4. Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah Muhadzdzab

Terhadap orang yang menghunus senjata dan meneror (orang) di jalan-

jalan kota besar atau di luar kota, maka seorang kepala negara, wajib

menindaknya, sebab kalau hal ini dibiarkan terus pasti akan semakin kuat

pergerakan teror dan akan semakin besar kerusakan yang terjadi, berupa

pembunuhan dan perampasan harta benda. Kalau para pelaku sudah bisa

ditangkap sebelum berhasil merampas harta benda dan membunuh jiwa, maka

sanksi hukumannya berupa ta’zir dan penahanan atas kebijakan penguasa sebab

dalam hal ini sudah masuk dalam sebuah kemaksiatan besar, oleh sebab itu harus

diberikan sanksi ta’zir, seperti seseorang berencana mencuri dan sudah melubangi

dinding atau seseorang yang akan berzina sudah melakukan adegan ciuman. Akan

tetapi kalau pelaku sudah mengambil sejumlah harta yang tersimpan di tempat

penyimpanannya dan mencapai nishab pencurian, maka seorang imam wajib

melakukan potong tangan pada tangan kanan dan potong kaki pada kaki kiri

pelaku. Alasannya adalah hadits riwayat Syafi’i dari Ibnu Abbas, sesungguhnya

Ibnu Abbas berkata tentang sanki pelaku perampokan, yaitu kalau mereka telah

membunuh jiwa dan merampas harta benda, maka sanksi mereka berupa hukuman

mati dan salib, tetapi bila tidak merampas harta, maka diberikan hukuman mati

tanpa disalib, apabila hanya merampas harta maka pelaku dipotong tangan dan

kaki secara bersilang. An-Nawawi menyetujui pendapat Syafi’i yaitu memberikan

hukuman sesuai tindakannya, dan yang menarik yang dikemukakan An-Nawawi


5
Imam Qurthubi, Jami’ Ahkamil Quran, (Beirut, Maktabah Ashriyyah : 2005), hal. 383

5
adalah tentang kewajiban tegas bagi para imam kepada pelaku teror, sebab kalau

tidak ditindak tegas, maka akan semakin parah kerusakan yang ditimbulkannya.

5. Al-Qarafi mengutip pendapat Muhammad Abu Zahroh

Dalam kitab Adz-dzakirah dan Al-Jawahir, Al-Qarafi mengatakan bahwa

perampok adalah orang yang menghunuskan senjata untuk merampas, baik terjadi

di kota-kota besar maupun di padang pasir, baik dilakukan oleh segerombolan

orang ataupun tidak, pelakunya laki-laki maupun perempuan, tidak ditentukan

dengan peralatan khusus seperti tambang, batu, mencekik dengan tangan atau

menggigit atau dengan alat lainnya, tetap disebut sebagai perampok, walaupun

sampai tidak membunuh jiwa, pokoknya setiap orang yang mengganggu

keamanan di jalan dan menimbulkan rasa takut di jalan dan tempat keramaian

dapat disebut dengan al-muharrib.

6. Sayyid Sabiq

Hirabah atau yang disebut dengan qatta’u ath-thariq adalah sekelompok

orang yang menyandang senjata di negri Islam dengan tujuan menciptakan

kekacauan, pertumpahan darah, perampasan harta, merusak kehormatan, merusak

tanaman dan membunuh binatang. Semua dilakukan dengan melanggar agama,

akhlak, hak dan hukum. Tidak dibedakan apakah pelakunya Muslim maupun

kafir dzimmi. Selama pertumpahan dilakukan di negri Islam dan dilakukan kepada

orang-orang yang darahnya terpelihara, tetap saja dinamakan sebagai

perampokan, baik pelakunya orang Islam maupun kafir dzimmi.6

6
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut, PT. Alma’arif: 1987) hal. 193

6
Sayyid Sabiq menyebut bahwa unsur terjadinya di negara Islam menjadi unsur

hirabah. Pelakunya tidak harus muslim, tetapi dapat juga non-muslim yang

tunduk kepada pemerintahan Islam.

7. Abdul Qadir Audah

Hirabah ialah perampokan ataua pencurian besar, cakupan pencurian yang

meliputi perampokan itu ditinjau dari segi arti majas, bukan arti hakikat, sebab

pencurian itu mengambil (harta) secara sembunyi-sembunyi sedangkan pada

perampokan pengambilan harta secara terang-terangan. Akan tetapi, memang

pada perampokan juga terdapat unsur sembunyi-sembunyi, yaitu sikap pelaku

yang sembunyi dari kepala negara dan dari ketaatan untuk menjaga ketertiban dan

keamanan. Oleh karena itu, cakupan makna kata sariqoh tidak meliputi

perampokan kecuali dengan penjelasan-penjelasan lain, sehingga perampokan

disebut dengan pencurian besar, sebab kalau hanya diberi istilah pencurian maka

perampokan tidak masuk dalam kata tersebut. Keharusan diberikannya penjelasan

termasuk tanda-tanda bahwa kata tersebut masuk dalam kategori majas.7

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hirabah adalah tindakan kekerasan

yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang dalam rangka mengambil

harta atau tidak, melakukan pembunuhan atau tidak, yang bertujuan untuk

menghalang-halangi orang lain dalam melewati sebuah jalan dan harus diberikan

hukuman sesuai dengan kategori tindakan yang dilakukan, yang dilakukan di

kota-kota maupun bukan kota.

7
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islamiy, (Beirut, Mu’assah Ar-Risalah :
1992), jilid II, hal. 638

7
2. Dalil tentang hirabah

Dasar hukum dari Jarimah hirabah adalah firman Allah dalam surat Al-
Maidah ayat 33 sebagai berikut:
‫صلَّبُوا أ َْو ُت َقطَّ َع أَيْ ِدي ِه ْم‬ ِ ‫ين حُيَا ِربُو َن اللَّهَ َو َر ُسولَهُ َويَ ْس َع ْو َن يِف اأْل َْر‬
َ ُ‫ض فَ َس ًادا أَ ْن يُ َقَّتلُوا أ َْو ي‬
ِ َّ ِ
َ ‫إمَّنَا َجَزاءُ الذ‬
ِ ِ ِ ِ ِ ‫ف أَو يْن َفوا ِمن اأْل َر‬
ٍ ِ ِ
‫يم‬ ٌ ‫الد ْنيَا َوهَلُ ْم يِف اآْل خَر ِة َع َذ‬
ٌ ‫اب َعظ‬ ُّ ‫ي يِف‬
ٌ ‫ك هَلُ ْم خْز‬
َ ‫ض َذل‬ ْ َ ْ ُ ْ ‫َوأ َْر ُجلُ ُه ْم م ْن خاَل‬
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah (mereka) dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kakinya secara silang, atau dibuang dari
negeri tempat kediamannya. Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk
mereka didunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang berat”.(Qs.5 Al-
Maidah:33)
Dalil Hadit tentang hirabah (perampokan)
a. Hirabah merupakan kejahatan yang berat
Hirabah atau perampok jalanan termasuk kategori kejahatan berat.Maka
dari itu Al-Qur’an menyebut orang-orang yang terlibat aktif dalam aksi kejahatan
ini dalamung kapan yang sangat tegas. Al-Qur’an menyebut mereka sebagai
kelompok yang memerangi Allah SWT dan rasul-Nya serta menimbulkan
kerusakan dibumi, dan Allah memperberat hukuman bagi mereka yang tidak
diterapkan pada kejahatan lainnya.
Rasulullah SAW. Mengumumkan bahwa siapa yang melakukan tindak
kejahatan semacam ini, maka ia tidak berhak menjadi bagian dari umat Islam.
Rasulullah SAW, bersabda:
‫ فليس منا‬,‫السال ح‬
ٌ ‫من محل علىنا‬
“siapa yang menghadapi kami dengan membawa senjata, maka dia tidak
termasuk golongan kami.” (HR Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu Umar)
Jika dia tidak memiliki kemuliaan dengan menjadi umat Islam, sementara
dia masih hidup, maka setelah mati pun ia tidak mendapatkan kemuliaan. Sebab
manusia akan meninggal dunia sesuai dengan kondisi mereka ketika hidup,
sebagaimana mereka dibangkitkan pun dalam kondisi mereka meninggal dunia.

8
Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
‫ فمىتته جاهلىٌة‬,‫من خرخ على الطٌاعة و فارق اجلماعة و مات‬

“siapa yang menentang ketaatan dan membelot dari jamaah lantas mati,
makakematiannyaadalah (kematian) jahiliah.” (HR. Muslim)
b. Larangan merampas
ِ ِ ٍ ‫ث ح َّدثَنَا عُ َقْيل َعن ابْ ِن ِشه‬
ُ‫اب َع ْن أَيِب بَ ْك ِر بْ ِن َعْبد الرَّمْح َ ِن َع ْن أَيِب ُهَر ْيَرةَ َرض َي اللَّهُ َعْنه‬ َ ْ ٌ َ ُ ‫َّدثَيِن اللَّْي‬
ِ ِ ِ َّ ‫قَ َال قَ َال النَّيِب صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم اَل يزيِن‬
‫ب َو ُه َو‬
ُ ‫ني يَ ْشَر‬ ُ ‫ني َيْزيِن َو ُه َو ُم ْؤم ٌن َواَل يَ ْشَر‬
َ ‫ب اخْلَ ْمَر ح‬ َ ‫الزايِن ح‬ َْ َ َ َ ْ َ ُ َ ُّ
ِ ِِ ِ ِ ِ
‫ني َيْنتَ ِهُب َها َو ُه َو‬ َ ْ‫َّاس إِلَْيه ف َيها أَب‬
َ ‫ص َار ُه ْم ح‬ ِ
ُ ‫ني يَ ْس ِر ُق َو ُه َو ُم ْؤم ٌن َواَل َيْنتَه‬
ُ ‫ب نُ ْهبَةً َي ْرفَ ُع الن‬ َ ‫ُم ْؤم ٌن َواَل يَ ْس ِر ُق ح‬

َ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِم ْثلَهُ إِاَّل الن ُّْهبَة‬ ٍِ ِ


َ ِّ ‫ُم ْؤم ٌن َو َع ْن َسعيد َوأَيِب َسلَ َمةَ َع ْن أَيِب ُهَر ْيَر َة َع ْن النَّيِب‬
(BUKHARI 2295): Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin 'Ufair
berkata, telah menceritakan kepadaku Al Laits telah menceritakan kepada kami
'Uqail dari Ibnu Syihab dari Abu Bakar bin 'Abdurrahman dari Abu Hurairah
radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang
pezina tidak sempurna imannya ketika sedang berzina, dan seorang peminum
khamar tidak sempurna imannya ketika sedang minum-minum dan seorang
pencuri tidak sempurna imannya ketika sedang mencuri dan seorang yang
merampas hak orang agar pandangan manusia tertuju kepadanya tidak sempurna
imannya ketika dia merampasnya". Dan dari Sa'id dan Abu Salamah dari Abu
Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti hadits ini
juga kecuali tentang An-Nublah (merampas hak orang).
ِ ‫الص ِام‬
‫ت‬ َّ ‫الصنَاحِبِ ِّي َع ْن ُعبَ َاد َة بْ ِن‬ ٍ ِ‫ث َع ْن يَِز َيد بْ ِن أَيِب َحب‬
ُّ ‫يب َع ْن أَيِب اخْلَرْيِ َع ْن‬ ُ ‫َح َّدثَنَا ُقَتْيبَةُ َح َّدثَنَا اللَّْي‬

‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َوقَ َال بَ َاي ْعنَاهُ َعلَى أَ ْن اَل‬ ِ َ ‫الن َقب ِاء الَّ ِذين بايعوا رس‬ ِ ِ ِ
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َُ َ َ َ ُّ ‫َرض َي اللَّهُ َعْنهُ أَنَّهُ قَ َال إيِّن م ْن‬
ِ
َ ‫ص َي بِاجْلَن َِّة إِ ْن َف َع ْلنَا َذل‬
‫ك‬ ِ ‫الن ْفس الَّيِت حَّرم اللَّه واَل َنْنتَ ِهب واَل َنع‬
ْ َ َ َُ َ َ
‫يِن‬ ِ ِ َّ ِ ِ
َ َّ ‫نُ ْشر َك بالله َشْيئًا َواَل نَ ْسر َق َواَل َنْز َ َواَل َن ْقتُ َل‬
‫ك إِىَل اللَّ ِه‬ ِ ِ
َ ‫ضاءُ ذَل‬ َ ‫فَِإ ْن َغ ِشينَا ِم ْن ذَل‬
َ َ‫ك َشْيئًا َكا َن ق‬
(BUKHARI 3604): Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah
menceritakan kepada kami Al Laits dari Yazid bin Abu Habib dari Abu Al Khair

9
dari ash Shunabihi dari 'Ubadah bin ash Shamit radliallahu 'anhu, dia berkata: Aku
termasuk orang yang berbai'at kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. dan
katanya; "Kami berbai'at kepada beliau untuk tidak menyekutukan Allah dengan
suatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh jiwa yang
diharamkan Allah, tidak merampok dan tidak berbuat maksiat yang balasannya
adalah surga bila kami memenuhi semuanya. Namun bila kami melanggar maka
keputusannya ada pada Allah".

B. SYARAT PERAMPOKAN YANG DIJADIKAN HUDUD


Syarat umum bagi pelaku perampokan untuk mendapatkan hukuman had
adalah harus Mukallaf, sesuai hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan
Abu Daud : Dari aisyah ra ia berkata:”Telah bersabda Rasulullah saw:
Dihapuskan ketentuan dari tiga hal: dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari
orang yang gila sampai ia sembuh dan dari anak kecil sampai ia dewasa.”(Hadits
riwayat Ahmad, abu Daud, Nasa’I, Ibn Majah dan Hakim).
Mengenai pelaku jarimah hirabah, para ulama berbeda pendapat. Menurut
pendapat Hanafiyah, pelaku hirabah adalah setiap orang yang melakukan secara
langsung atau tidak langsung perbuatan tersebut.dengan demikian menurut
Hanafiyah adalah orang yang ikut terjun secara langsung dalam mengambil harta,
membunuh atau mengintimidasi termasuk pelaku perampokan. Demikian pula
orang yang ikut memberikan bantuan, baik dengan cara permufakatan, suruhan
maupun pertolongan, juga termasuk pelaku perampokan. Pendapat tersebut
disepakati oleh imam Malik, Imam Ahmad, dan Zhahiriyah. Akan tetapi Imam
Syafi’i berpendapat bahwa yang dianggap sebagai pelaku perampokan adalah
orang yang secara langsung melakukan perampokan, walaupun ia hadir ditempat
kejadian, tidak dianggap sebagai pelaku perampokan, melainkan hanya sebagai
pembantu yang diancam dengan hukuman Ta’zir.
Imam Abu Hanifah juga mensyaratkan pelaku hirabah harus laki-laki dan
tidak boleh perempuan. Dengan demikian, apabila diantara peserta pelaku hirabah
terdapat seorang perempuan maka ia tidak dikenakan hukuman had. Akan tetapi
Imam Ath-Thahawi menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki dalam tindak

10
pidana ini sama statusnya. Dengan demikian, perempuan yang ikut serta dalam
melakukan perampokan tetap harus dikenakan hukuman had. Menurut Imam
Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Zhahiriyah dan Syi’ah Zaidiyah, perempuan
yang turut serta melakukan perampokan tetap harus dikenakan hukuman. Dengan
demikian, mereka tidak membedakan antara pelaku laki-laki dan perempuan
seperti halnya dalam jarimah hudud yang lain.
Untuk para pelaku hirabah adalah dapat dilakukan kelompok ataupun
perorangan yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Untuk menunjukan
kemampuan ini, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad mensyaratkan bahwa
pelaku tersebut harus memiliki dan menggunakan senjata atau alat lain yang
disamakan dengan senjata, melainkan cukup berpegang kepada kekuatan dan
kemampuan fisik. Bahkan Imam Malik mencukupkan dengan digunakannya tipu
daya, taktik atau strategi tanpa penggunaan kekuatan atau dalam keadaan tertentu
dengan menggunakan anggota badan seperti tangan dan kaki.
Sedangkan persyaratan harta yang diambil dalam jarimah hirabah adalah:
1. Barang atau harta yang diambil harus tersimpan
2. Milik orang lain
3. Tidak ada syubhat
4. Memenuhi Nisab

Hanya saja syarat nishab ini masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Imam
Malik berpendapat, dalam jarimah hirabah tidak disyaratkan nishab untuk barang
yang diambil. Pendapat ini diikuti oleh sebagian fuqaha Syafi’iyah. Imam Ahmad
dan Syiah Zaydiyah berpendapat bahwa dalam jarimah hirabah juga berlaku
nishab dalam harta yang diambil oleh semua pelaku secara keseluruhan dan tidak
memperhitungkan perolehan perorangan. Dengan demikian, meskipun
pemabagian harta untuk masing-masing peserta (pelaku) tidak mencapai nishab,
semua pelaku tetap harus dikenakan hukuman Had. Imam Abu Hanifah dan
sebagian Syafi’iyah berpendapat bahwa perhitungan nishab bukan secara
keseluruhan pelaku, melainkan secara perseorangan. Dengan demikian, apabila
harta yang diterima oleh masing-masing peserta itu tidak tidak mencapai nishab

11
maka pelaku tersebut tidak dikenakan hukuman had sebagai pengambil harta.
Hanya saja dalam hal ini perlu diingat adanya perbedaan pendapat antara
Hanafiyah da Syafi’iyah mengenai pelaku jarimah hirabah sebagaimana telah
dikemukakan dalam uraian yang lalu.
Persyaratan lain untuk dapat dikenakannya hukuman had dalam jarimah
hirabah ini adalah menyangkut tempat dilakukannya jarimah hirabah. Syarat-
syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Jarimah perampokan harus terjadi di negeri islam. Dikemukakan oleh
Hanafiyah. Dengan demikian, apabila jarimah hirabahterjadi di luar negeri Islam
(dar al-harb) maka pelaku tersebut tidak dikenakan hukuman had. Akan tetapi
jumhur ulama yang terdiri atas Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan
Zhahiriyah tidak mensyaratkan hal ini. Dengan demikian menurut jumhur, pelaku
tersebut tetap dikenakan hukuman had, baik jarimah hirabah terjadi di negeri
Islam maupun di luar negeri Islam.
2. Perampokan harus terjadi di luar kota, jauh dari keamanan. Pendapat ini
dikemukakan oleh Hanafiyah. Akan tetapi Malikiyah, Syafi’iyah, Hanafiyah dan
Imam Abu Yusuf murid dari Imam Abu Hanifah tidak mensyaratkan hal ini.
Dengan demikian, menurut mereka (jumhur), perampokan yang terjadi di dalam
kota dan di luar kota hukumnya sama, yaitu bahwasannya pelaku tetap harus
dikenakan hukuman had.
3. Malikiyah dan Syafi’iyah mensyaratkan adanya kesulitan atau keadilan
kendala untuk meminta pertolongan. Sulitnya pertolongan tersebut mungkin
karena peristiwanya terjadi di luar kota, lemahnya petugas keamanan atau karena
upaya penghadangan oleh para perampok atau karena korban tidak mau meminta
pertolongan kepada pihak keamanan, karena berbagai pertimbangan. Dengan
demikian apabila upaya dan kemungkinan pertolongan mudah dilakukan maka
para pelaku tidak dikenakan hukuman.
Ada pula persyaratan yang berkaitan dengan korban. Para ulama sepakat,
bahwa orang yang menjadi korban perampokan adalah orang yang ma’shum ad-
dam, yaitu orang yang dijamin keselamatan jiwa dan hartanya oleh Islam.orang
tersebut adalah orang muslim atau dzimmi. Orang Islam dijamin karena

12
keislamannya, sedangkan kafir dzimmi dijamin berdasarkan perjanjian keamanan.
Orang kafir musta’mam (Mu’ahad) sebenarnya juga termasuk orang yang
mendapatkan jaminan, tetapi karena jaminannya itu tidak mutlak maka hukuman
had terhadap pelaku perampokan atas musta’mam ini masih diperselisihkan oleh
para fuqaha. Menurut Hanafiyah perampokan terhadap musta’mam tidak
dikenakan hukuman had.

C. BENTUK SANKSI HIRABAH


Jika di antara muharibin tertangkap sebelum bertaubat, maka hukuman
tetap berlaku kepadanya. Jika mereka bertaubat nasuha sebelum tertangkap,
misalnya mereka meninggalkan kejahatan kemudian menyerahkan diri kepada
pihak berwajib, maka hak Allah gugur dari mereka yang tersisa adalah hak-hak
manusia. Dalam hal ini mereka harus diadili dalam kasus pembunuhan dan
perampasan harta, dimana mereka wajib mengganti harta yang telah mereka curi,
dan mereka harus di-qishas dalam kasus pembunuhan kecuali pemberan diyat
diterima dari mereka atau mereka dimaafkan oleh keluarga korban karena hal itu
diperbolehkan8 berdasar firman Allah, “Kecuali orang yang bertaubat (di antara
mereka) sebelum kamu menguasai (menangkap) mereka, maka ketahuilah
bahwasannya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Maidah : 34)
Pembuktian hirabah bisa dilakukan dengan dua orang saksi laki-laki
secara umum atau bisa dengan pengakuan.9 Hukuman bagi muharrib10dibagi
menjadi,
1. Mereka yang membunuh orang yang melakukan perjalanan tanpa
merampas hartanya, maka sebagai hukumannya adalah dibunuh (qishas).
2. Mereka yang membunuh serta merampas harta orang lain yang melakukan
perjalanan, maka hukuman bagi mereka ada dibunuh dan disalib, diarak ke
kerumunan selama tiga hari sampai mayatnya membusuk untuk
8
Abu Bakar Al-Jazairiy, Minhajul Muslim, terj. Musthofa Aini, dkk. (Jakarta:Darul Haq ,
2017), hal. 933-934

9
Jazuli H. A, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997) cet. 2, hal. 89

Mustafa Diem Al-Bigho, At-Tadzhib fii Adillatil Matnil Ghayyah wa Taqrib, terj. Rizki
10

Fauzan, (Sukmajaya: Fathan Media Prima, 2017), hal. 322-323

13
selanjutnya mereka dimandikan, dikafani, dishalati dan dikuburkan apabila
mereka orang Islam.
Ibnu Katsir mengutip pendapat Imam Malik akan hal ini
bahwasannya hukuman sepenuhnya menjadi ketetapan imam (penguasa),
kata maaf dari keluarga si korban tidak menghapuskan ketentuan hukuman
tersebut. (Tafsir Ibnu Katsir, Darl Hilal Kairo : Terj. Abdul Ghafar Jilid 3,
hal.94)
3. Apabila mereka hanya merampas harta benda, tidak disertai dengan
pembunuhan. Maka hukuman bagi mereka adalah dipotong tangan dan
kaki secara bersilang. Jika mereka melakukannya lagi, maka mereka
dipotong untuk kedua kalinya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bercerita sebagaimana yang
dilakukan kepada Arab Badui, maka dipotong tangannya yang sering
dilakukan untuk kejahatan dan kakinya yang sering digunakan untuk
berjalan. Lalu, tangan dan kakinya diberikan minyak yang mendidih dan
sejenisnya agar darah tidak terus keluar yang mungkin menyebabkan
kematian. Demikian juga dilakukan kepada tangan pencuri. (Majmu’
Fatawa, Ibnu Taimiyyah)
4. Apabila mereka hanya menakuti orang yang sedang melakukan perjalanan
tanpa mengambil harta mereka, maka mereka dihukum penjara dan ta’zir
seperti dipukul dan sebagainya yang dianggap perlu dilakukan oleh hakim
agar mereka jera. Dan dianjurkan untuk tidak memenjarakan di kampung
halaman mereka agar mereka lebih jera.

D. PERBEDAAN PERAMPOKAN DAN PENCURIAN


Di dalam hukum pidana Islam tindak pidana perampokan diatur dalam
Fikih Jinayah pada Bab hudud pada urutan keempat, yakni kejahatan hirâbah atau
qath’ al-thâriq. Para fukaha sepakat bahwa hirâbah adalah mengangkat senjata dan
mengganggu lalu lintas di luar kota.11 Hirâbah atau perampokan dapat
11
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, diterjemahkan oleh Imam Ghazali Said, dan Achmad
Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 663.

14
digolongkan kepada tindak pidana pencurian dalam arti majazi, bukan dalam arti
hakiki.
Secara hakiki pencurian adalah pengambilan harta milik orang lain secara
diam-diam. Sedangkan perampokan adalah pengambilan harta secara
terangterangan dan kekerasan,12 sehingga dengan demikian hirâbah (perampokan)
dapat disebut dengan istilah siraqah kubrâ (pencurian berat). Hirâbah
(perampokan) dinamakan dengan pencurian besar/berat, karena dampak
mudharatnya, tidak hanya menimpa para pemilik harta yang dirampas saja, akan
tetapi juga menimpa semua masyarakat secara umum. Dengan demikian, ancaman
hukuman/sanksi hadd-nya diperberat. Perbedaan yang asasi antara pencurian
dengan perampokan terletak pada cara pengambilan harta, yaitu pada jarîmah
pencurian mengambil barang secara diam-diam, sedangkan jarîmah perampokan
mengambil barang itu dengan cara terang-terangan dan disertai dengan kekerasan.
Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama di
atas, maka dapat dijelaskan bahwa inti persoalan jarîmah hirâbah, yakni keluarnya
sekelompok orang dengan maksud untuk mengambil harta dengan terang-terangan
dan kekerasan, baik mengambil barang atau tidak.
Antara definisi Imam Malik dengan Zhâhiriyyah terdapat sedikit
perbedaan saja. Imam Malik memberikan definisi perampokan lebih
mementingkan kekuatan otak, taktik dan strategi jika dibandingkan dengan
kekuatan fisik. Sedangkan Zhâhiriyyah memberikan definisi perampokan itu
sangat umum, sehingga pencurian pun dapat dikategorikan ke dalam tindak pidana
perampokan. Meskipun demikian, menurut Zhâhiriyyah jika tindak pidana
pencurian itu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, atau kemudian melakukan
zina, atau membunuh, maka hukumannya tidak termasuk sebagai perampokan,
akan tetapi dihukum sebagai pencuri, berzina, dan pembunuh.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

12
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 93.

15
Dalam ensiklopedi hukum Islam, hirabah diartikan sebagai aksi kelompok
orang dalam suatu negara untuk melakukan kekacauan, pembunuhan, perampasan
harta, pemerkosaan yang secara terang-terangan mengganggu dan menentang
aturan yang berlaku, perikemanusiaan dan agama. Mengenai unsur hirabah sendiri
terbagi menjadi berapa macam yaitu Keluar untuk mengambil harta secara
kekerasan, kemudian pelaku hanya mengintimidasi tanpa mengambil harta dan
tanpa membunuh, Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian
mengambil harta tanpa membunuh. Dalam penjatuhan hukuman-hukuman
diantaranya yaitu Mereka yang membunuh orang yang melakukan perjalanan
tanpa merampas hartanya, maka sebagai hukumannya adalah dibunuh (qishas),
Mereka yang membunuh serta merampas harta orang lain yang melakukan
perjalanan, maka hukuman bagi mereka ada dibunuh dan disalib, diarak ke
kerumunan selama tiga hari sampai mayatnya membusuk untuk selanjutnya
mereka dimandikan, dikafani, dishalati dan dikuburkan apabila mereka orang
Islam.
Perampokan atau hirabah adalah salah satu bentuk tindak pidana sangat
merugikan orang lain karena sama saja tidak mensyukuri nikmat yang telah Allah
berikan, merampas hak-hak orang lain yang berstatus sebagai korban perampokan,
hukuman bagi pelaku hirabah ini sesuai dengan tingkatan kejahatannya, apabila
pelaku perampokan hanya mengambil harta dengan cara merampas, maka ia
dihukum potong tangan dan kaki dengan bersilang. Apabila pelaku perampokan
membunuh dan mengambil harta maka ia dihukum mati dan disalib. Jika pelaku
perampokan hanya menakut-nakuti maka ia dihukum dengan diasingkan atau
penjara.

DAFTAR PUSTAKA

16
Nurul Irfan dan Laily Nusroh Masyrofah, Fiqh Jinayat, Jakarta, Amzah : 2015

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeven :

1997

Asy-Syafi’i, Al-Umm, Palestina, Maktabah Al-Kulliyah Al-Azhariyyah, 1961),

jilid VII

Muhammad Abu Zahroh, Jarimah wal ‘Uqubah fii Fiqh Islamiy, Kairo, Darl

Arobi : 1998

Imam Qurthubi, Jami’ Ahkamil Quran, (Beirut, Maktabah Ashriyyah : 2005

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Beirut, PT. Alma’arif: 1987

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islamiy, Beirut, Mu’assah Ar-

Risalah : 1992

Abu Bakar Al-Jazairiy, Minhajul Muslim, terj. Musthofa Aini, dkk. Jakarta:Darul

Haq , 2017

Jazuli H. A, Fiqh Jinayah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997

Mustafa Diem Al-Bigho, At-Tadzhib fii Adillatil Matnil Ghayyah wa Taqrib, terj.

Rizki Fauzan, Sukmajaya: Fathan Media Prima, 2017

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, diterjemahkan oleh Imam Ghazali Said, dan

Achmad Zaidun, Jakarta: Pustaka Amani, 2002

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005

17

Anda mungkin juga menyukai