Anda di halaman 1dari 6

A.

Definisi Syaru man Qoblana

Yang dimaksud dengan syar'un man qablana, ialah: Hukum syariat orang-orang
(umat) sebelum kita.
Syar'u man qablana adalah syari'at yang dibawa para rasul dahulu, sebelum
diutusnya Nabi Muhammad yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka
diutus kepadanya, seperti syari'at Nabi Ibrahim, syari'at Nabi Musa, syari'at Nabi
Daud, syari'at Nabi Isa, dan sebagainya.
Para ahli ushul fiqh membahas persoalan syariat sebelum Islam dalam kaitannya
dengan Syariat Islam, apakah hukum-hukum yang ada bagi umat sebelum Islam
menjadi hukum juga bagi Umat Islam. Para ulama ushul fiqh sepakat
menyatakan bahwa seluruh syariat yang diturunkan Allah sebelum Islam melalui
para Rasul-Nya telah dibatalkan secara umum oleh Syariat Islam. Mereka juga
sepakat mengatakan bahwa pembatalan syari'at syari'at sebelum Islam itu tidak
secara menyeluruh dan rinci, karena masih banyak hukum hukum syari'at
sebelum Islam yang masih berlaku dalam syari'at Islam, seperti beriman kepada
Allah, hukuman bagi orang yang melakukan zina, hukuman qishash dan
hukuman bagi tindak pidana pencurian. Ada pula syari'at umat yang dahulu itu
sama namanya, tetapi berbeda pelaksanaannya dengan syari'at Nabi
Muhammad, seperti puasa (lihat surat al-Baqarah (2): 183), hukuman qishash
(lihat surat al-Maidah (5): 32) dan sebagainya.

B.

Dasar Hukum Syaru man Qoblana

Pada asas syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat-umat dahulu mempunyai
asas yang sama dengan syari'at yang diperuntukkan bagi umat Nabi
Muhammad, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah :
"Dia (Allah) telah menerangkan kepadamu sebagian (urusan) agama, apa yang
Ia wajibkan kepada Nuh dan yang Kami wajibkan kepadamu dan apa yang Kami
wajibkan kepada Ibrahim, Musa dan lsa, (yaitu) hendaklah kamu tetap
menegakkan (urusan) agama itu dan janganlah kamu bercerai berai padanya..."
(Asy-Syura (42): 13)
Di antara asas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsepsi
ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadla dan qadar, tentang janji dan
ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai perinciannya atau detailnya ada yang
sama dan ada yang berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan
tempat.

C.

Pembagian Syaru man Qablana

Sesuai dengan ayat dalam Al Quran Surah Asy Syura (42): 13 di atas, kemudian
dihubungkan antara syari'at Nabi Muhammad dengan syari'at umat-umat
sebelum kita, maka ada tiga macam bentuknya, yaitu:

1. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita; tetapi


Qur'an dan Hadits tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau
menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad . Untuk bentuk pertama
ini, ada ulama yang menjadikannya sebagai dasar hujjah, selama tidak
bertentangan dengan syari'at Nabi Muhammad .
2. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian
dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad . Para ulama tidak
menjadikan bentuk kedua ini sebagai dasar hujjah
3. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian
Qur'an dan Hadits menerangkannya kepada kita.
Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ketiga ini. Sebagian ulama
Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafi'iyah dan sebagian
ulama Hanabilah berpendapat bahwa syari'at itu berlaku pula bagi umat Nabi
Muhammad . Berdasarkan inilah ulama-ulama Hanafiyyah menetapkan hukuman
qishash kepada seorang muslim yang membunuh kafir dzimi. Mereka
menetapkan hukum itu berdasar ayat 45 Surat aI-Midah. Sebagian ulama lain
menetapkan bahwa dalam hal hokum semacam ini tidaklah menjadi hukum bagi
kita, karena perincian syariat yang telah lalu tidaklah merupakan hukum yang
bersifat umum yang mashlahah untuk setiap waktu dan tempat, hanya syariait
islamiyyah yang berlaku bagi setiap waktu dan tempat dibawa oleh Nabi
Muhammad , hal ini dikuatkan oleh firman Allah (Al-Maidah (5): 143)
Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu umat yang pertengahan (adil
dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) mu. Dan kami tidak menjadikan
kiblat yang engkau menghadap kepadanya (Baitil Maqdis), melainkan agar Kami
mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik atas kedua
tumitnya (membelot). Dan sungguh (perpindahan kiblat) itu terasa berat, kecuali
bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan
menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada manusia.
Pembagian Syaru Man Qablana dan contohnya :
1. Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syariat kita (dimansukh). Contoh :
Pada syariat nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali
dipotong apa yang kena najis itu.
2. Ajaran yang ditetapkan oleh syariat kita. Contoh : Perintah menjalankan
puasa.
3.

Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syariat kita.

a. Yang diberitakan kepada kita baik melalui al-Qur'an atau as-Sunnah, tetapi
tidak tegas diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat
sebelum kita.

b.

Yang tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh syari'at kita

4.

Nasikh Mansukh dan pendapat para ulama dalam Syarun Man Qablana

Persoalan yang dibahas para ulama ushul fiqh dalarn masalah syar'u man
qablana adalah mengenai status hukum syari'at sebelurn Islam dalam kaitannya
dengan sebelum dan sesudah Rasulullah diutus menjadi Rasul.
Apakah Rasulullah sebelum diutus menjadi Rasul terikat dengan hukum hukum
syari'at sebelum Islam?
Dalam menanggapi masalah ini terdapat perbedaan pendapat. Jumhur
Mutakallimin (ahli kalarn) dan sebagian ulama Malikiyyah mengatakan bahwa
Nabi Muhammad sebelum diutus menjadi Rasulullah, tidak terikat dengan syariat
sebelum Islam. Alasan mereka adalah apabila Rasulullah . sebelurn menjadil
Rasul terikat dengan syari'at syariat sebelum Islam, maka akan ada dalil yang
menunjukkan hal itu. Dari penelusuran terhadap kehidupan Nabi Muhammad ,
menurut mereka, tidak ditemukan dalil yang menegaskan bahwa beliau terikat
dengan syari'at sebelum Islam.
Ulama Hanafiyyah, Hanabilah, ibn al Hajib (570 646 H/1 174 1248 M ahli ushul
fiqh Maliki) dan al Baidhawi (w. 685 H/1286 M./ahli ushul fiqh Syafii),
mengatakan bahwa Rasulullah sebelum menjadi Rasul terikat dengan syariat
sebelurn Islam. Alasan mereka adalah:
a. Setiap Rasul Allah diseru untuk mengikuti syari'at rasul rasul sebelumnya.
Nabi Muhammad juga termasuk ke dalam seruan ini.
b. Banyak sekali riwayat yang menunjukkan bahwa Muhammad sebelum
menjadi rasul telah melakukan perbuatan/amalan tertentu yang sumbernya
bukan akal semata, seperti ia melaksanakan shalat, haji,.umrah, mengagungkan
Ka'bah dan thawaf di sekelilingnya dan menvembelih binatang.
Imam al Ghazali, al Amidi,' dan 'Abdul Jabbar (ulama Mu'tazilah), bersikap
tawaqquf (tidak berkornentar) terhadap permasalahan ini, karena tidak adanya
dalil yang pasti dalam. masalah ini. Menurut mereka, apabila ada alasan dari
nash (ayat atau hadits) yang menunjukkan bahwa Muhammad saw. terikat
dengan hukum tertentu, maka mereka terima. Apabila tidak ada dalil yang
menerangkannya, maka mereka tidak mengambil sikap.
Apakah syari'at sebelum Islam mengikat bagi Rasulullah setelah menjadi Rasul
dan mengikat juga bagi umat Islam?
Dalam masalah ini para ulama sepakat mengatakan bahwa untuk masalah
aqidah, syari'at Islam tidak membatalkannya. Kepercayaan dan keyakinan
kepada Allah sejak zaman Nabi Adam berlaku sampai sekarang. Demikian juga
dalam masalah hukuman pencurian, perzinaan, pembunuhan, dan kekafiran.
Hukum hukurn. syari'at sebelurn Islam yang tidak terdapat dalam Qur'an dan
sunnah tidak menjadi syari'at bagi Rasulullah dan umatnya.

Adapun hukum hukum syari'at sebelum Islam yang ada ketegasan berlakunya
bagi umat Islam dalarn Qur'an, para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa
hukum hukum itu berlaku dan mengikat bagi umat Islam, seperti puasa dan
penyembelihan binatang.
Selain itu, terdapat hukum hukum yang tercantum. dalam Qur'an, tetapi tidak
ada ketegasan berlakunya bagi umat Muhammad, namun diketahui secara pasti
bahwa hukum itu berlaku bagi umat sebelum Islam dan tidak ada pembatalan
dari Qur'an atau Sunnah Rasul. Mengenai masalah ini terdapat perbedaan
pendapat. MisaInya, persoalan qishash dalam syari'at Yahudi yang dipaparkan
dalam al-Qur'an surat al-Maidah (5): 45:
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga
dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishashnya.
Menurut jurnhur Ularna yang terdiri atas ularna Hanafiyyah, Malikiyah, sebagian
ularna Syafiiyyah dan salah satu pendapat Imarn Ahmad ibn Hanbal
menyatakan bahwa apabila hukum hukum syari'at sebelurn Islam itu
disampaikan kepada Rasulullah melalui wahyu, yaitu Qur'an, bukan melalui kitab
agarna mereka yang telah berubah, dengan syarat tidak ada nash yang menolak
hukum hukum itu, maka urnat Islam terikat dengan hukum hukum itu. Alasan
yang mereka kemukakan adalah:
a. Syariat sebelurn syariat Islam itu juga syari'at yang diturunkan Allah dan
tidak ada indikasi yang menunjukkan pembatalan syari'at tersebut, karenanya
Umat Islam terikat dengan syari'at itu. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam
surat Al-Anaam (6): 90:
Mereka itulah orang orang yang telah diberi petunjuk oleb Allab, maka ikutilah
petunjuk mereka...
Dalam ayat lain Allah berfirman,
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad). Ikutilah Agama Ibrahim
yang hanif.. (Q.S. al Nahl (16): 123)
Kedua ayat ini, menurut jurnhur ularna, merupakan alasan yang amat jelas
menunjukkan bahwa urnat Islam terikat terhadap syari'at sebelum Islam yang
disarnpaikan kepada Rasulullah melalui wahyu (al Qur'an). Dalarn ayat lain Allah
berfirman untuk mengikuti syari'at Nabi Nuh , yaitu:
Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang apa yang telah disyari'atkan-Nya
kepada Nuh dan kepada yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang
telah Kami wasiatkan kepada Ibrabim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama
dan janganlah kamu berpecab belah karenanya.. (Q.S. As Syura (42): 13)
Ayat lain yang dikemukakan Jumhur sebagai alasan adalah surat Al-Maidah (5):
44-45.

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat yang di dalamnya (berisi)


petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan
perkara orang-orang Yahudi oleh Nabi-nabi yang menyerahkan diri (kepada
Allah), dan (demikian juga) orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta
mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab Allah dan mereka
menjadi saksi terhadapnya. (Sebab itu) maka janganlah kamu takut kepada
manusia, tetapi takutlah kepada-Ku, dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku
dengan harga sedikit. Dan barang siapa yang tidak memutuskan (perkara)
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir.
Dan kami telah menetapkan atas mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga
dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qisasnya. Barang siapa
yang melepaskan (hak qisas) nya, maka itu menjadi tebusan dosa baginya. Dan
barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itulah orang yang zalim.
b.

Mereka juga beralasan kepada sabda Rasulullah berikut:

Siapa yang tertidur dan 1upa untuk salat, maka kerjakanlah shalat itu ketika ia
ingat/bangun, kemudian Rasulullab membacakan ayat: Kerjakanlah shalat itu
untuk mengingat-Ku (HR, al Bukhari, Muslim, al Tirmidzi, al Nasa'i dan Abu Daud)
Menurut jurnhur ularna, ayat yang dibacakan Rasulullah dalam sabda beliau itu
merupakan ayat yang ditujukan kepada Nabi Musa. Ularna Asy'ariyyah,
Mu'tazilah, Syi'ah, sebagian ularna Syafiiyyah dan salah satu pendapat Imarn
Ahmad ibn Hanbal (164 241 H/780 855M) mengatakan bahwa syari'at sebelurn
Islam tidak menjadi syari'at bagi Rasulullah dan umatnya. Pendapat ini juga
dikemukakan Imam al Ghazali, al Amidi, Ibn Hazm al Zahiri (384 456 M/994 1064
M) dan Fakhruddin al-Razi (544 606 H/1150 1210 M). Alasan mereka adalah:
1) Ketika Rasulullah mengutus Mu'az ibn Jabal untuk menjadi qadi ke Yaman,
Rasulullah bertanya kepadanya:
Bagaimana engkau menetapkan hukum? Muaz menjawab: Dengan Kitabullah,
jika tidak ada dalam Kitabullah, dengan sunnah Rasulullah, dan apabila dalam
sunnah Rasuludah juga tidak ada, maka saya akan ber-ijtibad. "Rasulullah
memuji sikap Muaz ini. (HR al Bukhari dan Muslim)
Dalam kisah ini Rasulullah tidak menganjurkan kepada Mu'az untuk merujuk
syari'at sebelum Islam. Apabila syari'at sebelurn Islam menjadi syari'at bagi
umat Islam, paling tidak Rasulullah akan menganjurkan Mu'az untuk merujuknya
apabila hukum yang ia cari tidak terdapat dalarn al Qur'an atau Sunnah
Rasulullah .
2)

Firman Allah dalam surat Al-Maidah (5): 48:

Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al Quran) kepadamu dengan (membawa)
kebenaran, yang membenarkan terhadap apa yang sebelumnya, yaitu kitabkitab (yang diturunkan sebelumnya) dan yang menjaga atasnya (batu ujian
terhadap Kitab-kitab yang lain), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka

menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka dengan (meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu. Bagi
tiap-tiap umat diantara kamu, Kami telah menjadikan peraturan dan jalan yang
terang, dan sekiranya Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kamu satu
umat saja, akan tetapi Dia hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, (karena itu) maka berlomba-lombalah kamu berbuat kebajikan.
Hanya kepada Allah-lah tempat kembalimu semua, lalu Dia memberitahukan
kepadamu tentang apa yang kamu perselisihkan dalam urusan itu.
Maksudnya setiap urnat mempunyai syari'at sendiri dan suatu umat tidak
dituntut untuk mengambil syari'at umat lain.
3) Syari'at Islam merupakan syari' at yang berlaku untuk seluruh umat
rnanusia, sedangkan syari'at umat sebelum Islam hanya berlaku bagi kaum
tertentu. Dalarn sabda Rasulullah . dikatakan: Para Nabi diutus khusus untuk
kaumnya dan saya diutus untuk seluruh ummat manusia. (HR. al Bukhari,
Muslim dan al Nasa'i)
Mushthafa al-Bugha (guru besar ushul fiqh Universitas Damaskus, Syria),
mengemukakan bahwa apabila diperhatikan ketiga pendapat di atas maka
secara prinsip, hukum hukum syarl'at sebelurn Islam tidak dapat dijadikan
sebagai daill dalarn menetapkan hukum Islam, karena sekalipun ulama yang
menerimanya menetapkan syarl'at sebelum Islam bisa dijadikan alasan untuk
menetapkan hukum syara', namun mereka tetap mengatakan hukum hukum itu
harus terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah, sebagai sumber utama
hukum Islam. Sumber lainnya pun harus mcrujuk kepada al Qur'an dan Sunnah.
Oleh sebab itu, menurut al Bugha, pendirian Jumhur Ulama ini bukanlah suatu
yang harus dipersoalkan, karena apabila ada nash nya dalam al Qur'an atau
dalam Sunnah, maka secara otomatis hukum hukum itu wajib dilaksanakan umat
Islam. Perbedaan pendapat ini hanyalah perbedaan dalam ungkapan saja, karena
hukum hukum yang dise-butkan seperti hukuman pembunuhan, pencurian,
perzinaan dan hukum puasa merupakan hukum yang berlaku dalam Islam dan
wajib dilaksanakan umat Islam.
Muhammad Abu Zahrah, menyatakan apabila syari'at sebelum Islam itu
dinyatakan dengan dalil khusus bahwa hukum hukum itu khusus bagi mereka,
maka tidak wajib bagi umat Islam untuk mengikutinya. Tetapi, apabila hukum
hukum itu bersifat umum maka hukumnya juga berlaku umurn bagi seluruh
umat, seperti hukuman qishash dan puasa yang ada dalam al Qur'an.

Anda mungkin juga menyukai