Anda di halaman 1dari 10

Memahami konsep dasar hermerneutika dalam Hadis

berdasarkan tinjauan para pakar

disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ma’anil hadis

Dosen pengampu :

Dr. Muhid, M. Ag

Disusun oleh :

Husain (07020520040)

PROGRAM STUDI ILMU HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2022

1
Memahami konsep dasar hermerneutika dalam Hadis
berdasarkan pendapat para pakar

Husain1
Abstrak

Permbahasan mengenai penggunaan hermeneutika dalam kajian keislaman telah menjadi


perdebatan yang luar biasa peredebatan yang luar biasa selama beberapa dekade belakangan. Banyak
yang mempermasalahkan akar hermeneutika ditinjau dari aspek asal-usulnya yang berasal dari luar
Islam. Walaupun mungkin secara hakikat dan ditinjau lebih lanjut hermeneutika bisa saja menjadi
solusi dari penafsiran yang menjadi jembatan dalam memahami sebuah teks yang selama ini
mungkin pemahamannya dianggap terlalu fokus hanya pada makda dasar sebuah teks itu sendiri.
Beberapa akademisi Muslim kontemporer telah sukses memperkenalkan corak penafsiran baru ala-
ala hermeneutis yang sempat juga ditentang keberadaannya oleh beberapa akademisi Muslim yang
lain. Objek kajian hermeneutika secara garis besar mampu menjembatani setiap bulir-bulir
Pendidikan, bahkan al-Quran dan sunnah juga. Tanpa sadar juga banyak para akademisi Muslim
terdahulu yang juga menggunakan konsep hermeneutika. Contohnya, penerapan Tafsir, Takwil,
Ta'liq, Tahqiq, and Syarh tidak jauh berbeda dari konsep yang diterapkan oleh hermeneutika. Untuk
itulah sepertinya penerapan penafsiran hermeneutis sepertinya memang dibutuhkan dalam konsep
kajian keislaman khususnya kajian ilmu hadis.

Kata Kunci :
Hermeneutika, Penafsiran, Hadis

The discussion of the use of hermeneutics in Islamic studies has become an extraordinary debate for
the past few decades. Many have questioned the roots of hermeneutics in terms of their origins from
outside Islam. Even though it may be in essence and further reviewed, hermeneutics can be a solution
to interpretation that becomes a bridge in understanding a text which so far may have been
considered to be too focused on the basic meaning of a text itself. Several contemporary Muslim
academics have succeeded in introducing a new style of hermeneutical interpretation which was also
opposed by several other Muslim academics. The object of the study of hermeneutics is broadly
capable of bridging every grain of education, even the Koran and the sunnah as well. Without
realizing it, many previous Muslim academics also used the concept of hermeneutics. For example,
the application of Tafsir, Takwil, Ta'liq, Tahqiq, and Syarh is not much different from the concepts
applied by hermeneutics. For this reason, it seems that the application of hermeneutical
interpretation is indeed needed in the concept of Islamic studies, especially the study of hadith
science.

Keywords :
Hermeneutics, Interpretation, Hadith

1
UIN Sunan Ampel Surabaya, husainbasyaiban13@gmail.com

2
A. Pendahuluan
Hermeneutika berasal dari Bahasa Yunani yang berakar dari kata kerja
hermeneuein yang bermakna menginterpretasi. Istilah ini berkaitan langsung
dengan dewa Hermes dalam metologi Yunani yang bertugas sebagai penyambung
lidah pesan-pesan tuhan kepada manusia. Secara umum fungsi utama dari kajian
hermeneutika adalah untuk membaut sebuah narasi atau pesan agar dipahami secara
umum oleh masyarakat.2
Sedangkan secara istilah hermeneutik diartikan sebagai sebuah metode
penafsiran narasi-narasi yang lain, khususny pada narasi yang jarak tempuh
sejarahnya agak jauh dari kita. Hermeneutik dapat pula diartikan dengan
menerjemahkan dan bertindak sebagai penafsir.3
Dalam dunia kajian keislaman permasalahan mengenai apakah konsep
hermeneutika bisa dipakai atau tidak sebenarnya masih terjadi perdebatan sehingga
kata sepakat masih jauh, termasuk bahkan di Indonesia sendiri. Ormas semisal NU
dalam kajian Bahtsul Masailnya pada muktamar ke-31 di Boyolali, Solo Jawa
Tengah menolak kajian hermeneutika ini secara total dengan alas an bahwa NU
memiliki metodenya sendiri dalam memahami kajian ilmu hadis.4 Ada juga
Sebagian para pengkaji yang menerimanya secara total dan ada juga yang
menerimanya dengan beberapa syarat yang ketat.
Hadis sendiri merupakan sumber kedua syariat Islam setelah alquran sehingga
wajiblah bagi setiap yang mengaku dirinya sebagai umat Islam untuk mengikutinya
dan tunduk patuh terhadapnya serta menyandarkan dirinya kepadanya atas dasar
perintah dari Allah dalam alquran.5Tetapi ada problem besar yang meliputi
pemahaman manusia dalam mengkaji hadis itu sendiri disebabkan minimnya gaya
penafsiran yang bisa dipahami oleh masyarakat. Diantaranya adalah munculnya
berbagai macam masalah-masalah baru yang sebelumnya belum ada penjelasannya
secara syara’ sedangkan pendekatan konvensional yang selama ini kita kenal
dianggap kurang bisa menjawab persoalan yang terus bermunculan pada era
modern saat ini.6
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa dalam emmahami hadis sendiri banyak
ulama yang berbeda pendapat dalam memahaminya, sebagaimana dahulu dimasa
awal, pemahaman hadis harus dipahami sebagaimana penerimaan dan konteks
waktu penerimaannya. Sehingga tafsir yang berfokus pada sisi maknanya atau
konteksnya juga sempat diperdebatkan oleh para ulama bahkan diantara para
sahabat sebagaimana yang tercantum dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori
Muslim sebagai berikut :

2
M. Nur Kholis Setiawan, Emilio Betti dan Hermeneutika Sebagai Auslegung dalam Upaya
Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur’an dan Hadis ; teori dan aplikasi, ed. Syafaatun Al-
Mirzanah dan Sahiron Syamsuddin, (Cet II; Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011), h.4.
3
AlFatih Suryadilaga, Metode Hermeneutika dalam pensyarahan Hadis Hadis : kearah
pemahaman ideal dan komprehensip, Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Quran dan hadis, vol. I, No.2,
Januari 2001,195
4
http://www.nu.or.id. Diakses pada Sabtu, 26 Maret 2022
5
Muhammad bin alawi, al-Manhal al-Latif, (Dar. Kutub al-Ilmiyah) 13
6
Fazlur Rahman, Wacana Studi Hadis Kontemporer, (Yogyakarta : Tiara Wacana).ix

3
‫ﻲ ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ ﻋﻠﯿﮫ‬ ‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﷲ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ أﺳﻤﺎء ﻗﺎل ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺟﻮﯾﺮﯾﺔ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻟﻘَﺎَل اﻟﻨﱠﺒ ﱡ‬
‫ ﻓَﻘَﺎَل‬،‫ﻖ‬ ‫ﱠ‬
ِ ‫ﺼَﺮ ﻓﻲ اﻟﻄِﺮﯾ‬ ْ َ‫ﻀُﮭُﻢ اﻟﻌ‬ُ ‫ ﻓﺄْدَرَك ﺑَْﻌ‬.َ‫ﻈﺔ‬َ ‫ﺼَﺮ إﱠﻻ ﻓﻲ ﺑَِﻨﻲ ﻗَُﺮْﯾ‬ ْ َ‫ﺼ ِﻠّﯿَﱠﻦ أَﺣﺪٌ اﻟﻌ‬
َ ُ‫ ﻻ ﯾ‬:‫ب‬ ِ ‫وﺳﻠﱠَﻢ ﯾَﻮَم اﻷْﺣَﺰا‬
‫ﻲ ِ ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ ﻋﻠﯿﮫ‬ ّ ‫ ﻓَﺬُِﻛَﺮ ذﻟَﻚ ﻟﻠﻨﱠﺒ‬،‫ ﻟَْﻢ ﯾُِﺮْد ِﻣﻨﱠﺎ ذﻟَﻚ‬،‫ﺼ ِﻠّﻲ‬ ُ ‫ وﻗَﺎَل ﺑَْﻌ‬،‫ﺼ ِﻠّﻲ ﺣﺘ ﱠﻰ ﻧَﺄ ِْﺗﯿََﮭﺎ‬
َ ُ‫ ﺑَْﻞ ﻧ‬:‫ﻀُﮭْﻢ‬ َ ُ‫ ﻻ ﻧ‬:‫ﻀُﮭْﻢ‬ ُ ‫ﺑَْﻌ‬
‫ﻒ واِﺣﺪًا ﻣﻨﮭْﻢ‬ ْ ِّ‫ ﻓَﻠَْﻢ ﯾُﻌَﻨ‬،‫وﺳﻠﱠَﻢ‬
Artinya :
Bercerita kepadaku Abdullah bin Muhammad bin Asma’ dia berkata:bercerita kepada
ku Juwairiyah dari Nafi’ dari Ibnu Umar, dia berkata: Nabi SAW bersabda kepada kami
ketika kami datang dari perang ahzab: “janganlah seseorang di antara kalian sholat ashar,
kecuali di perkampungan Quraidhoh” kemudian mereka mendapati waktu ashar di jalan.
Sebagian mereka berkata: ‘kita jangan sholat sebelum sampai di sana, sedangkan sebagian
yang lain berkata: ‘kita akan sholat ashar’. Kemudian mereka menceritakan kepada Nabi
dan Nabi tidak menyalahkan keduanya”7
Berdasar pada nash diatas para sahabat dalam memahami hadis tersebut
sangatlah berbeda, ada sahabat yang menganggap bahwa mereka harus sholat asar
di Bani Quraidhoh sehingga mereka harus sampai kesana sebelum waktu masih
asar, mereka akan sholat walaupun belum sampai disana karena khawatir waktu
Asar akan habis, sedangkan Sebagian sahabat lain berpendapat bahwa sholat Asar
harus dilaksanakan disana entah waktu Asar telah lewat maupun tidak. Melihat dua
perbedaan diantara para sahabat nabi justru memilih untuk diam tidak
mengomentaria papun sembari tidak menyalahkan keduanya ataupun salah satunya.
Menureut pemahaman para ulama konsep yang diterapkan kedua sahabat tadi sama-
sama benar berdasarkan ijtihad masing-masing.
Adapun konsep yang dikaji oleh banyak ulama kontemporer banyak yang
menganggap bahwa mereka menelantarkan metode pemahaman hadis sebab
mereka dianggap terlalu fokus pada kajian alquran sehingga mereka menelantarkan
kajian hadis dalam hal mengeksplorasinya, mereka banyak mengeksplorasi
metode-metode baru dalam mengkaji alquran namun kurang mengeksplorasi
metode-metode baru dalam mengkaji ilmu hadis. Padahal banyak sekali kejadian-
kejadian aktual hari ini yang sangat butuh terhadap hadis sebagai fungsi penjelasan
dari alquran maupun sebagai pembuat syariat baru yang belum disebutkan didalam
alquran. Oleh karena itu, tidak heran jika upaya pemahaman hadis tertinggal jauh
dari penafsiran al-Qur’an, bahkan sebagian besar ulama lebih memilih untuk
berhati-hati untuk mengkaji metode-metode baru dalam hal pemikiran agar tidak
malah terjadi ketimpangan dan juga sebagai upaya untuk memfasilitasi pemahaman
yang komprehensif tentang hadits. bebas tapi terkendali.
Permasalahan muncul karena hadits tidak memiliki kekuatan tingkat qath'iy Al-
Qur'an dan dijamin oleh Allah, sedangkan kualitas hadits hanya sebatas dhonny,
dimana kebenarannya masih perlu diteliti, sehingga para ulama Sibuk membedakan
nilai hadits dari sisi mata rantainya, agar hadits tersebut bisa dikupas dengan
metode baru yang benar-benar harus berasal dari hadis shohih.
Terlepas dari perdebatan yang terjadi diantara para Ulama banyak juga
akhirnya yang tetap menggunakan metode hermeneutika dalam mengkaji hadis
diantaranya ada Abou El Fadl, Fazlur Rahman, Mohammad Arkoun, Hassan
Hanafi, Abdullah Saeed, Aminah Wadud Muhsin, Yusuf Al-Qordhowi dan lain-
lain.

7
Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shahih Bukhori, Jld. II (Dar al-Fikr, 1414/1993), 206

4
B. Teori-teori Para Tokoh Hermeneutika
1. Abou El Fadl
Abou El Fadl merupakan seorang cendikiawan Muslim kelahiran Kuwait
pada tahun 1963. Sejak masih belia ia dididik dengan ilmu-ilmu keislaman
seperti Al-Quran, Hadis, Tafsir, Bahasa Arab, dan lain-lain. Pada awalnya
pemikirannya lebih condong mengikuti pemikiran para Salafi yang dianggap
awal kemunculannya ada di Saudi Arabia, namun tiba-tiba saja semua berubah
drastis dan akhirnya justru mengingkari dan mengkritik pemahaman tersebut
karena dianggap terlalu mengekang Pendidikan dan literasi keislaman sehingga
tidak bisa berkembang.8 Fokus kajian Abou El Fadl sebenarnya lebih tertuju
secara khusus pada kajian gender yang selama ini ia anggap dikekang oleh para
ulama yang lain.
Hal pertama yang disorot oleh Abou El fadl adalah kompetensi kualifikasi
hadis-hadis yang dijadikan sebagai sumber hukum. Menurutnya sumber
penalaran eksklusif tertinggi hanya dimiliki oleh tuhan bukan yang lain.
Sehingga setiap sumber-sumber yang akan dijadikan pijakan harus benar-benar
mewakili tuhan sehingga dubutuhkan kualifikasi yang lebih lanjut. Menurut
Abou El Fadl al-Quran telah memenuhi kualifikasi tersebut berdasarkan janji
yang Allah turunkan sendiri dalam al-Quran, namun ia seringkali
mempertanyakan kualifikasi hadis. Menurutnya Hadis tidak mendapatkan
jaminan akan kemurniannya dari Allah atau bahkan dari Rasulullah dan
dibutuhkan kualifikasi hadis yang lebih lanjut, menurutnya kualifikasi hadis
yang dikeluarkan oleh para ulama dianggap kurang ketat. Hal ini ia kemukakan
saat mengkritik Ulumul hadis yang memuat ilmu rijal dan ilmu jarh wa tadil
yang selama ini digunakan oleh para ulama hadis untuk menguji otentisitas
suatu hadis. Ia menganggap hal tersebut memang membantu tapi tetap tidak
meyakinkan. Sebab kehidupan seseorang merupakan hal yang sangat kompleks
dan kontekstual dan tidak mungkin merangkumnya hanya dengan sebuah
penilaian tungga “bisa dipercaya” atau “tidak bisa dipercaya”.
Kritikan ini pernah ia sampaikan saat para ulama menganggap salah seorang
sahabat nabi yang dianggap periwayatannya shahih yaitu Abu Bakra al-Tsaqafi.
Setelah menelusuri lebih lanjut ia malah menemukan bahwa Abu Bakrah ini
jauh dari konsep ‘adalah sebab ia mengalami berbagai macam kasus bahkan
ditolak persaksiannya oleh Umar.
Maka konsep yang ditawarkan oleh Abou El Fadl adalah konsep
proporsionalitas. Proporsional sendiri menerapkan konsep bahwa
keterpercayaan kita terhadap sebuah Riwayat harus dihubungkan Kembali
dengan dampak hukum, teologis, sosial dan moral yang akan ditimbulkan.
Sedangkan penolakan berbasis iman adalah ketidaksetujuannya terhadap hadis
tertentu yang meski otentik (sahih tetapi ahad) namun memiliki dampak
teologis, sosial, hukum maupun moral yang sangat serius. Abou El Fadl tidak
memiliki argumentasi untuk menolaknya kecuali dengan keyakinan bahwa
Nabi tidak mungkin melakukan atau mengatakan sesuatu yang bertentangan

8
Yusriandi, Hermeneutika Hadis Abou El Fadl dalam Hermeneutika Al- Qur’an dan Hadis,ed.
Sahiron Syamsuddin, (Cet.I; Yogyakarta: elSAQ Press, 2010),h. 413.

5
dengan moralitas Islam. Iapun mengatakan bahwa kita harus mengikuti
keputusan Nabi selama keputusan tersebut memberi informasi mengenai
kehendak Tuhan. Artinya, tidak semua yang dinyatakan dan diperbuat oleh
Nabi memuat informasi kehendak Tuhan, karena sesuatu yang berasal dari Nabi
ada yang berupa af’âl jilbiyah ada pula af’âl tasyri’iyyah. Yang pertama
merupakan tindakan yang Nabi lakukan dalam kapasitasnya sebagai manusia
biasa, tindakan seperti ini tidak mewakili Kehendak Tuhan dan tidak memiliki
konsekuensi hukum. Kategori kedua merupakan tindakan- tindakan yang
menggambarkan Kehendak Tuhan, sehingga memiliki konsekuensi hukum.9

2. Fazlur Rahman
Fazlur Rahman adalah seorang teoritis hadis yang terkenal yang lahri pada
tahun 1919, ia berasal dari keluarga ulama madzhab Hanafi didistrik Hazara
yang berada dibarat laut Pakistan. Keluarganya merupakan orang-orang yang
dieknal kokoh dalam agamanya sebab mereka semua berasal dari lulusan
Pendidikan akademik Islam yang kompeten. Keluarganya pun termasun tekun
dalam menjalankan ibadah-badah wajib dan juga sunnah. Bahkan dia telah
menghafalakn al-Quran diusianya yang masih 10 tahun. Kendati demikian
ayahnya masih terbuka terhadap modernitas dan sangat menghargai Pendidikan
modern, hal inilah yang kemudian hari memopengaruhi pola pikir Fazlur
Rahman kedepan.10
John El Esposito mengkategorikan Fazlur Rahman sebagai tokoh liberal
disebabkan beberapa pemikirannya yang dianggap menyimpang daripada
pendapat kebanyakan kaum intelektual Muslim.11
Fazlur Rahman setelah kepulangannya dari Oxford University, ia diangkat
menjadi direktur Instituet Of Islamic Research dan juga diangkat sebagai
anggota Advisory Council Of Islamic Ideology yaitu dua Lembaga yang
mempunyai hubungan erat dengan data dan bahan yang akan digunakan untuk
meriset untuk merancang undang-undang kenegaraan.
Pemikiran Fazlur Rahman yang dianggap menyimpang adalah seputar
sunnah dan hadis, riba dan bunga bank, zakat dan fatwa kehalalan
penyembelihan binatang secara mekanis. Pemikiran ini menjadi kontroversial
berskala nasioanal Pakistan. Puncak kemarahan kepada Fazlur Rahman adalah
ketidaksepakatannya terhadap karya monumentalnya, Islam. Buku yang ditulis
pada tahun 1966 berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Urdu dan
dilaunchingkan pada September 1967 di jurnal lokal Fikr-u Nazir. Dalam
buku itu Fazlur Rahman menyatakan bahwa al-Qur’an secara keseluruhan
adalah kalam Allah dan dalam pengertian biasa juga seluruhnya merupakan
perkataan Muhammad.

9
Abdul Majid, Hermeneutika Hadis Gender (Studi Pemikiran Khaled M Abou El Fadl dalam
Buku Speaking in god’s name ; Islamic Law, Authority, And, Women) , Jurnal Al-Ulum , vol.
XIII, No.2, Desember 2013,293-320
10
M. Hasbi Aminuddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman (Yogyakarta:UII Press,
2000), hlm.9.
11
John El Esposito (ed). “Fazlur Rahman” dalam The Oxford Encyclopedia Of The Modern
Islamic World, Vol. 3 (New York: Oxford UniversityPress, 1995), hlm. 408.

6
Di tengah situasi yang tidak kondusif tersebut, Rahman mengundurkan diri
dari jabatannya di Pakistan. Berikutnya, Rahman mendapatkan tawaran dari
Universitas California, Los Angeles untuk mengajar. Pada tahun 1968, ia
bersama keluarga memutuskan untuk hijrah ke sana kemudian pada tahun 1969,
ia mengajar di Universitas Chicago dan diangkat menjadi Guru Besar pemikiran
Islam di Universitas tersebut. Maka ia meneruskan karirnya dengan hijrah ke
luar negeri. Ia memilih untuk hidup kembali di dunia barat, tepatnya di Chicago
sejak tahun 1968 hingga akhir hayatnya.
Rahman mendefinisikan sunnah sebagai sebuah bangunan konseptual.
Pentingnya memahami sunnah sebagai sebuah konsep adalah terkait dengan
pemhaman kita terhadap perkembangan hadis, atau setidak-tidaknya selama
Islam zaman pertengahan di mana kata tersebut (selalu) diidentikkan dengan
norma-norma praktis atau model tingkah laku yang terkandung dalam hadis.
Menurut Rahman, secara etimologis kata sunnah berarti jalan yang telah
ditempuh dan dipergunakan oleh orang-orang Arab sebelum Islam untuk tujuan
model tingkah laku yang telah ditentukan oleh nenek moyang suatu suku.
Konsep sunnah dalam konteks tersebut mempunyai dua bagian arti:

(a) sebuah fakta historis mengenai tingkah laku,


(b) Kenormatifannya bagi generasi sesudahnya.
Dengan pengertian seperti inilah al- Qur’an menggunakan kata sunnah untuk
menggambarkan para penentang Islam sebagai pendukung teladan prilaku
nenek moyang mereka yang bertentangan dengan ajaran baru yang dibawa
Islam misalnya :
‫ﺖ اْﻻَﱠوِﻟْﯿَﻦ‬
ُ ‫ﺳﻨ ﱠ‬ َ ‫ﻒ َوِاْن ﯾﱠﻌُْﻮدُْوا ﻓَﻘَْﺪ َﻣ‬
ْ ‫ﻀ‬
ُ ‫ﺖ‬ َ ‫ﻗُْﻞ ِﻟّﻠﱠِﺬْﯾَﻦ َﻛﻔَُﺮ ْٓوا ِاْن ﯾﱠْﻨﺘ َُﮭْﻮا ﯾُْﻐﻔَْﺮ ﻟَُﮭْﻢ ﱠﻣﺎ ﻗَْﺪ‬
َ ۚ َ ‫ﺳﻠ‬
Artinya :

Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu (Abu Sufyan dan kawan-kawannya),
“Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-
dosa mereka yang telah lalu; dan jika mereka kembali lagi (memerangi Nabi)
sungguh, berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu
(dibinasakan).”
QS. Al-Anfal : 39

Dari sini Rahman tampaknya lebih menitikberatkan makna sunnah sebagai


sebuah konsep pengayoman daripada mempunyai kandungan khusus yang
bersifat mutlak. Menurutnya sunnah Nabi lebih tepat dipahami sebagai sebuah
petunjuk arah daripada peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. Inilah
pengertian sunnah yang harus dijadikan landasan bagi kaum muslimin. Lebih
jelas dia mengatakan:
That the prophetic sunnah was a general umbrella-concept rathen than filled with an
absolutely specific content flows directly, at theoretical level, from the fact that the
sunnah si a behavorial term: since not two cases, in practice, are very exactly
indentical in their situational setting- moral, psychological and material-sunnah must,
of necessity, allow of interpretation and adaption.12

12
Fazlur Rahman, Islamic Methodology In History, hlm. 12

7
Artinya : Sunnah Nabi lebih tepat menjadi sebuah konsep pengayoman umum
daripada sekedar berisikan sebuah kandungan khusus yang bersifat mutlak,
pada level teoritis, yang secara langsung berasal dari fakta bahwa sunnah adalah
istilah prilaku: karena tidak ada dua kasus, dalam kenyataannya, menjadi benar-
benar sama dalam lata belakang situasional, moral, psikologis, dan material,
maka sunnah harus menerima interpretasi dan adaptasi.

8
C. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ditengah


perdebatan para ulama dalam memahami konsep hermeneutika dalam
menyikapi dan membentuk kosntruksi baru dalam memahami ilmu hadits
apakah bisa digunakan atau tidak, tentu tidak ada salahnya juga bagi kita untuk
mempelajari beberapa kaidah yang diterapkan para teoritis hermeneutika.
Sekalipun bukan sebagai bentuk kepercayaan ataupun keyakinantapi sebagai
tambahan ilmu pengetahuan.

Dengan demikian, dengan berbagai macam teori yang ada sebuah hadis
benar-benar memiliki makna yang sangat kompleks dan dibutuhkan eksplorasi
lebih untuk menilik makna hadis lebih mendalam.

9
Daftar Pustaka

Setiawan M. Nur Kholis. Emilio Betti dan Hermeneutika Sebagai Auslegung dalam Upaya
Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur’an dan Hadis ; teori dan aplikasi, ed. Syafaatun Al-
Mirzanah dan Sahiron Syamsuddin, (Cet II; Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011).

Suryadilaga AlFatih, Metode Hermeneutika dalam pensyarahan Hadis Hadis : kearah pemahaman
ideal dan komprehensip, Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Quran dan hadis, vol. I, No.2.

http://www.nu.or.id. Diakses pada Sabtu, 26 Maret 2022

Muhammad, al-Manhal al-Latif, (Dar. Kutub al-Ilmiyah) 131 Fazlur Rahman, Wacana Studi Hadis
Kontemporer, (Yogyakarta : Tiara Wacana).ix

Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shahih Bukhori, Jld. II (Dar al-Fikr, 1414/1993).

Yusriandi, Hermeneutika Hadis Abou El Fadl dalam Hermeneutika Al- Qur’an dan Hadis,ed.

Sahiron Syamsuddin, (Cet.I; Yogyakarta: elSAQ Press, 2010).

Majid Abdul, Hermeneutika Hadis Gender (Studi Pemikiran Khaled M Abou El Fadl dalam Buku
Speaking in god’s name ; Islamic Law, Authority, And, Women) , Jurnal Al-Ulum , vol. XIII,
No.2.

Aminuddin M. Hasbi, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman (Yogyakarta:UII Press,
2000).

Esposito John El (ed). “Fazlur Rahman” dalam The Oxford Encyclopedia Of The Modern Islamic
World, Vol. 3 (New York: Oxford UniversityPress, 1995).

Rahman Fazlur, Islamic Methodology In History.

10

Anda mungkin juga menyukai