Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HERMENEUTIKA AL QUR’AN PEMIKIRAN HASAN HANAFI

DOSEN PENGAMPU:
Prof. Dr. H. AHMAD SYUKRI SALEH, MA

DISUSUN OLEH:
MUHAMMAD SUBHAN (804202003)

JURUSAN PEMIKIRAN AKIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


KONSENTRASI STUDI QUR’ANUNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
TAHUN 2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan banyak nikmat,
taufik dan hidayah sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Hermeneutika Al- Qur’an Pemikiran Hasan Hanafi” dengan baik tanpa suatu
kendala apapun. Makalah ini telah saya selesaikan dengan maksimal dengan bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu saya mengucapkan banyak terima kasih kepada segenap
pihak yang telah berkontribusi dalam penyelesaian makalah ini.
Meski saya telah menyusun makalah ini dengan maksimal, namun tidak
menutup kemungkinan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu sangat
dibutuhkan kritik dan saran yang konstruktif dari segenap pihak agar saya dapat
memperbaiki makalah selanjutnya. Demikian apa yang bisa dapat saya sampaikan,
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun yang mendengarnya.

Jambi, Juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 4
C. Tujuan Penulisan ................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3
A. Sejarah Hidup Hasan Hanafi ................................................................ 3
B. Karya-Karya Hasan Hanafi...................................................................
6
C. Pemikiran Hasan Hanafi ...................................................................... 7
BAB III PENUTUP......................................................................................... 14
A. Kesimpulan .......................................................................................... 14
B. Saran .................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan perluasan wilayah dan perkembangannya, umat Islam
selalu dihadapkan pada sebuah persoalan kondisi, situasi, masa dan keadaan
yang berbeda, seperti yang pernah ada dimasa Nabi Muhammad saw.
Anggapan mereka terhadap keadaan saat ini sudah tidak bisa selalu dikaitkan
dengan keadaan di masa Nabi Muhammad.
Dimulai dari masa sahabat sampai sekarang, usaha pencarian suatu
metode yang bisa selaras dengan terhadap
pemahaman suatu teks masih terus diupayakan sampai saat ini. Dengan kata
lain, upaya untuk membumikan nilai-nilai al-Qur’an itu sudah menjadi
sebuah keniscayaan bagi umat Islam. Sebab, jika tidak, maka kedua pusaka
yang telah diwariskan ini akan menjadi “sebuah permata di atas singgasana
langit” yang tidak akan pernah bisa mewarnai dan menghiasi peradaban
dunia.
Semua umat Islam pun percaya bahwa ajaran yang ada dalam Islam itu
merupakan norma ideal yang dapat ditempatkan oleh berbagai bangsa
dikarenakan ajaran Islam yang bersifat universal dan tidak bertentangan
dengan rasio. Ajaran Islam yang terbilang netral untuk agama apapun, karena
saat ajaran Islam diaplikasikan sesuai dengan apa yang ada dalam nilai-nilai
al-Qur’an maka siapa saja dapat mengakui dengan adanya kebenaran itu.
Namun, yang terjadi tidaklah demikian, kebanyakan dari kalangan umat Islam
sendiri enggan untuk membumikan nilai al-Qur’an di saat itu bertentangan
dengan dirinya atau berlawanan dengan apa yang sedang dirinya inginkan.
Hal tersebut juga merupakan salah satu sebab Islam menjadi terbelakang.
Seperti yang terjadi saat ini.
Sehingga sampai Dewasa ini perbincangan tentang al-Qur’an sangat
ramai dibicarakan. Teori penafsiran yang sudah ada berabad-abad lamanya itu
permasalahkan dan diragukan oleh sebagian pemikir kontemporer,
dikarenakan tafsir klasik sudah dianggap tidak relevan lagi dengan kebutuhan

1
2

umat Islam pada saat ini. Dari situlah dibutuhkan metode penafsiran baru
yang mampu memberikan respon terhadap kebutuhan zaman. Metode ini
disebut dengan hermeneutika.
Hermeneutika yang digunakan sebagai metode penafsiran itu dibagi
atas tiga bentuk; Pertama, hermeneutika yang dikembangkan tokoh klasik
yaitu Friedrich Schleirmacher (1768-834), Emillo Betti (1890-1968) dan
Wilhelm Dilthey (1833-1911) yang dikenal dengan hermeneutika objektif.
Dalam pandangan tokoh klasik ini, penafsiran diartikan dengan memahami
teks sebagaimana yang dimaksudkan atau dipahami oleh pengarangnya,
dikarenakan teks itu merupakan wujud lain dari sang pengarangnya atau
ungkapan jiwa dari sang pengarang.
Kedua, hermeneutika yang dipelopori oleh tokoh modern yang
mengembangkan metode hermenutika yaitu; Jacques Derrida (1. 1930), Hans-
Georg Gadamer (1900-2002). Menurut tokoh modern ini, metode ini
digunakan bukan mencari apa yang dipahami pengarang, melainkan
memahami apa yang sudah tertera di dalam teks itu sendiri. Inilah perbedaan
yang sangat mendasar di antara hermeneutika objektif dan subjektif. Untuk
mereka yang menggunakan hermeneutika subjektif mengangap bahwa teks
itu bersifat luas dan dapat ditafsirkan oleh siapapun. Sebuah teks dilepas dan
dipublikasikan maka teks telah dianggap berdiri sendiri dan tidak mempunyai
keterkaitan dengan si pengarang. Berangkat dari pemahaman seperti itu, teks
tidak harus ditafsirkan atau dipahami seperti apa yang dimaksud oleh sang
pengarang itu sendiri.
Ketiga, hermeneutika yang dikembangkan oleh tokoh muslim
kontemporer di antaranya Farid Esack (1. 1959) dan Hassan Hanafi (1. 1935).
Metode yang mereka gunakan dewasa ini dikenal dengan hermeneutika
pembebasan. Dalam pandangan mereka metode hermeneutika bukan sekadar
teori penafsiran ataupun pemahaman. Namun, lebih pada aksinya. Hanafi
mendefinisikan hermeneutika adalah suatu ilmu tentang prosesnya wahyu
dari logos hingga praktek, dari huruf sampai kenyataan dan dari fikiran Tuhan
kepada realitas kehidupan manusia.
3

Hanafi; salah satu pemikir muslim kontemporer dan saat ini unggul
dengan hermeneutikanya dalam menafsirkan al-quran. Hanafi merupakan
salah satu doktor yang handal dalam bidang filsafat di sebuah universitas
Kairo. Sedangkan tentang pemikirannya Hanafi sepadan dengan pemikir
kontemporer lainya seperti Fazlur Rahman, Nasr Hamid abu Zaid, Abid al-
Jabiri, Muhammad Arkoun.
Usaha Hanafi dalam pemikirannya yang hendak menjadikan Islam
dapat bergerak menuju pencerahan yang mendunia, sehingga Hanafi disebut
dengan seorang pemikir yang menarik atau unik. Namun, Hanafi tidak bisa
dikatakan sebagai pemikir yang tradisional karena dia membongkar adanya
pemikiran tradisional. Akan tetapi, Hanafi lebih pantas disebut sebagai
pemikir modernitas. Hanafi mengkritik adanya modernitas dan menjadikan
tradisional itu sebagai proyek pada era ini.
Dalam menafsirkan al-Qur’an Hanafi menawarkan sebuah metode yang
menggunakan pendekatan sosial. Menurutnya seorang mufasir tugasnya tidak
hanya mengambil kesimpulan dari teks, melainkan mufasir dapat
menginduksikan suatu makna dari realitas menuju ke dalam teks. Lanjutanya,
sorang penafsir tidak hanya sebagai penerima melainkan juga harus memberi
makna. Jadi, seorang mufasir itu ada hak meletakkan makna dalam struktural
realitas dan rasional.
Sebagai salah satu pemikir kontemporer yang cukup banyak menekuni
tentang perumusan isi hermeneutika al-Qur’an, juga sudah tak asing lagi
dengan penindasan, buta huruf, keterbelakangan sampai penjajahan
multidimensi, yang merupakan salah satu alasan untuk merumuskan suatu
metode pembacaan teks yang membahas tentang kenyataan riil dan aktual
yang disebut dengan hermeneutika empiris.
Hanafi juga mengkritik adanya penafsiran klasik yang menurutnya
sudah tidak relavan lagi pada saat ini. Namun, Hanafi tidak hanya mengkritik
saja melainkan juga menawarkan suatu metode dalam menafsirkan al-Qur’an
sehingga penafsiran yang dihasilkan itu bisa menjadi sebuah solusi untuk
setiap persoalan yang terjadi di era kontemporer saat ini yang dikenal dengan
4

hermeneutika sosial atau disebut dengan metode mawdu`i. Lantas, akankah


berbagai metode yang ditawarkan oleh hasan hanfi itu bisa diaplikasikan di
negara Indonesia ini? Maka dari itu perlu kiranya penulis mengulas tentang
metode yang dibawa oleh Hassan Hanafi ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalahnya adalah
“Bagaimana Hermeneutika Al Qur’an Pemikiran Hasan Hanafi?”.
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penulisan makalah
ini adalah “Untuk Mengetahui Bagaimana Hermeneutika Al Qur’an Pemikiran
Hasan Hanafi”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Hidup Hasan Hanafi
Hassan Hanafi dilahirkan di Kairo Mesir pada tanggal 13 Februari 1935
tepatnya daerah al-Azhar yang sangat berdekatan dengan Benteng Salah al-
din. Nama lengkap beliau adalah Hassan Hanafi Hassanaein. Kakeknya
berasal dari Maroko, sedangkan neneknya berasal dari Kabilah Bani Mur.1
Sejak kecil beliau sudah merasakan pahitnya kehidupan di mana saat itu
negaranya dijajah dan dipengaruhi oleh politik-politik asing dan dari faktor
tersebut beliau juga pernah mendaftarkan diri menjadi sukarelawan perang
pada tahun 1945. Namun, ia ditolak karena usianya masih terlalu muda. Pada
tahun 1951 beliau mengenyam pendidikan sekolah tingkat menengah dan
bergabung di organisasi debat bahasa Inggris Terausan Suez pada tahun 1952.
Beliau juga bergabung dengan para mahasiswa untuk membantu gerakan
revolusi.2
Ketika berumur lima tahun Hanafi sudah hafal al-Qur’an, pendidikan
pertama beliau dimulai dari Sekolah Dasar, tamat pada tahun 1948. Setelah
itu beliau melanjutkan pendidikannya di madrasah tsanawiyah Kholil Aghe
Kairo, sampai tahun 1952 dan pada tahun 1952-1956 beliau memasuki
Universitas Kairo dan mendalami filsafat.3
Kemudian Hanafi mendapatkan gelar sarjananya pada tahun 1956,
Profesi di bidang akademiknya dimulai pada tahun 1967 di mana pada saat itu
beliau diangkat sebagai rektor. Kemudian pada tahun 1973 beliau menjadi
rektor Kepala. Profesor Filsafat pada tahun 1980 pada jurusan Filsafat
Universitas Kairo, serta diberi jabatan sebagai Ketua Jurusan Filsafat pada
Universitas yang sama. Tidak sampai di situ, konstribusi yang disalurkan
melainkan juga aktif memberi kuliah di beberapa negara, seperti di Perancis
pada tahun 1969, Belgia tahun 1970, Temple University Philadelpia AS tahun
1
Marzuki Agung Prasetya, “Model Penafsiran Hassan Hanafi”, dalam Jurnal Penelitian, Vol. 7, No.
2 (Agustus 2013), hal. 365.
2
Ibid., hal. 366
3
Riza Zahriyal Falah Dan Irzum Farihah, “Pemikiran Teologi Hassan Hanafi”, dalam Fikrah:
Jurnal Ilmu Aqidah Dan Studi Keagamaan, Vol. 3, No. 1 (Juni 2015), hal. 223-224.

5
6

1971-1975, di Universitas Kuwait pada tahun 1979 dan Universitas Fez


Maroko tahun 1982-1984. Selanjutnya, beliau diangkat sebagai guru besar
tamu pada Universitas Tokyo tahun 1984-1985, di Persatuan Emirat Arab
pada tahun 1985, dan menjadi penasehat program pada Universitas PBB di
Jepang pada tahun1985-1987. Di Uni Emirat Arab, dan pada tahun 1985-
1987 sebagai Konsultan Akademik di Universitas PBB Tokyo. 4
B. Karya-Karya Hasan Hanafi
Hassan Hanafi dijuluki sang reformis sebab banyak mengarang buku.
Karyanya ini terbagi menjadi tiga periode. Periode pertama dimulai pada
tahun 60 tertuai dalam tesis dan disertasinya yang dimaksudkan untuk
menggabungkan antara masa lalu dengan kenyataan pada masa sekarang.
Periode kedua dimulai pada tahun 1976, dengan karyanya yang
berjudul Qadaya Mu`asirah fi Fikrina al-Ma`asir. Sedangkan pada tahun
1977, karyanya berjudul Qadaya Mu`asirah fi fikrina al-gharbi, dalam
karyanya ini Hanafi memperkenalkan beberapa para pemikir Barat yaitu;
Herbet Marcuse, Max Weber, Hegel, Kant dan Spinoza. Tujuannya, agar para
pembaca dapat mengambil suatu pelajaran bagaimana cara para tokoh
tersebut memahami persoalan masyarakat dan cara mereka dalam melakukan
suatu reformasi. 5
Karya Hanafi pada periode ketiga yaitu: Islam in the modern world
(2000). Dalam karyanya ini Hanafi menempatkan agama beserta fungsinya ke
dalam pembangunan negara di dunia ketiga. Muqaddimah fi `Ilm al-Istiqrab
(1992). Min al-aqidah ila al-thurah (1988), al-Turath wa al-tajdid (1983);
tanggapan atau sikap hanafi terhadap adanya tradisi peradaban Barat. Dalam
karyanya ini membicarakan tentang sebuah cara merekonstruksi suatu ilmu
kalam mulai dari perkembangannya sampai pada abad 20. Memuat tentang
pembaharuan dan tradisi, yang sangat dibutuhkan oleh umat isalm sendiri.
Dirasat islamiyah (1982), dalam karyanya ini memuat tentang metode stiudi
4
Devi Muharrom Sholahuddin, “Studi Metodologi Tafsir Hasan Hanafi,” dalam jurnal, Vol. 1,
No. 1 (Juli 2016), 5-6.
5
Muhammad Aji Nogroho, “Hermeneutika Al-Qur’an Hasan Hanafi; Merefleksikan Teks pada
Realitas Sosial dalam Konteks Kekinian”, dalam Millati; Jurnil Of Islamc Studies And Hemanities,
Vol. 1, No. 2 (Desember 2016), hal. 8-9.
7

keislaman dengan cara melalui ushuluddin, ushul fiqh, filsafat dan seperti apa
pembaharuannya. al-Din wa al-Thaurah fi Misr (1989) dalam karyanya ini
Hanafi membicarakan tentang gerakan keagamaan di era kontemporer serta
membahas integritas umat Islam, seperti halnya dalam tarik menarik masalah
ideologi Barat dan yang bertujuan untuk mengkotomi keilmuan.6
C. Pemikiran Hasan Hanafi
1. Pandangan Hassan Hanafi terhadap al-Qur’an
Menurut Hasan Hanafi, al-Qur’an mempunyai tiga keistimewaan
yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab lainnya. Pertama, al-Qur’an
merupakan fase akhir dari perkembangan wahyu sejak Nabi Adam as
sampai Nabi Muhammad saw. dikarenakan al-Qur’an merupakan bentuk
wahyu terakhir yang bisa dijadikan pedoman tanpa adanya pertimbangan,
atau pembatalan dan penghapusan. Kedua, al-Qur’an terjaga dan bebas
dari berbagai bahaya sebagaimana kitab-kitab suci lainnya. Ketiga, al-
Qur’an merupakan wahyu yang turunnya tidak sekaligus melainkan
diturunkan disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan manusia dan
kondisinya. Sehingga, seluruh ayat tadi terukumulasi selama dua puluh
tiga tahun dan menjadi al-Qur’an seperti yang saat ini.7
2. Kritikan Hassan Hanafi terhadap tafsir klasik
Hassan Hanafi mengkritik adanya tafsir klasik yang menurutnya
tidak memiliki teori solid dan tidak memiliki prinsip yang terseleksi dan
teruji, dikarenakan penafsiran klasik tidak melampui fase syarah, tafs{i>l
dan pengulangan. Menurut Hanafi penafsiran klasik tidak bisa
memberikan solusi yang solid tentang problematika yang ada di
masyarakat, penafsiran klasik hanya cenderung mengabaikan kehidupan
yang terjadi di sekitarnya. Sehingga berakibat pada teks agama yang
berkutat pada dirinya sendiri, karena terlalu fokus pada makna tekstual
ayat. 8

6
Ibid., hal. 8-9
7
Devi Muharrom Sholahuddin, “Studi Metodologi Tafsir Hasan Hanafi,” dalam jurnal, Vol. 1,
No. 1 (Juli 2016), hal. 62-63.
8
Hassan Hanafi, Membumikan Tafsir Revolusioner (Yogyakarta; Titian Ilahi Pers, t. th.), hal. 2.
8

Menurut Hanafi terdapat dua kelemahan dalam penafsiran klasik


yang dianggap berpengaruh besar serta krisis; yaitu krisis orientasi dan
krisis epistemologi, sebagai berikut: Krisis orientasi yang dimaksud yaitu
bahwa Hanafi menyebutkan terdapat tiga kelemahan yang ada dalam
tafsir klasik yang ada dalam ranah krisis orientasi yaitu; Pertama, teori
penafsiran klasik difokuskan pada bentuk wujud Allah dengan membahas
perbuatan, esensi, sifatnya sekaligus memperkuat bahwa alam ini ciptaan
Allah dan manusia akan dimintai pertanggung jawab atas apa yang
dilakukan di dunia. Sedangkan penafsiran yang diinginkan Hanafi adalah
sebuah penafsiran yang mampu menjelaskan sebuah situasi yang
berkaitan dengan manusia dan alam. Kedua, tafsir klasik berkutat di mana
al-Qur’an diturunkan, khususnya dari segi ekonomi dan sosial. Ketiga,
penafsiran klasik ketika menafsirkan tidak pernah diawali dengan kritikan
melainkan mengukuhkan sebuah perbaikan yang telah lahir dari luar teks
keagamaan.
Sedangkan krisis epistemologi dalam pandangan Hassan Hanafi
dalam penafsiran klasik itu hanya membahas tentang permasalahan yang
bertentangan dengan kepentingan suatu masyarakat yang bisa dilihat dari
pengulangan-pengulangan pendapat klasik dalam mendukung suatu
argumentasi. Menurutnya metode kebahasaan itu hanya menjadi sebuah
pembatasan dalam menentukan makna al-Qur’an. Seperti muqayyad dan
mutlaq, muhkam dan mutashabih, `amm dan khas, mujmal dan mubayyan,
hakikat dan majaz yang digunakan untuk menjadi jaminan kebenaran
makna. Padahal menurut Hanafi, metode kabahasaan hanya sebagai
penghepotesaan bahwa makna teks itu tidak jelas sehingga dibutuhkan
keseriusan dalam memahami adanya makna.

3. Hermeneutika ala Hassan Hanafi


9

Hermenutika dalam pandangan Hassan Hanafi tidak hanya diartikan


sebagai teori pemahaman atau interpretasi, namun juga tentang penjelasan
proses turunnya wahyu mulai dari tingkat perkataan sampai mendunia.
Ada yang mengatakan bahwa tokoh pemikir tafsir kontemporer ini
lebih pantas disebut dengan tokoh filsuf muslim ketimbang tokoh
hermeneutika. Hal ini dikarenakan proyek besarnya yang banyak
terfokuskan pada suatu perubahan dalam masyarakat. Sedangkan, al-
Qur’an hanya sebagai pokok pembahasan dalam skala besarnya.9
Pemikiran hermenutika Hassan Hanafi dimulai saat ia menulis tesis
dan disertasinya yang dipulikasikan dalam “Dialog dan Revolusi.” Pada
bagian pertama Hanafi membahas tentang kasus Islam yang berkaitan
dengan metodologi penafsiran serta aplikasi penafsirannya. Bagian kedua
dibagi menjadi dua pembahsan, yang pertama tentang al-Qur’an sebagai
perlawanan zionisme dan teologi tentang tanah, dan di bagian kedua ini
Hanafi membahas tentang agama dan revolusi.
Hermeneutika al-Qur’an yang dibangun oleh Hanafi dibangun atas
dua agenda; Pertama, tentang teori penafsian (persoalan metodis) dan
kedua, adalah matateori penafsiran (persoalan filosofis). Agenda secara
metodis Hanafi memberikan beberapa langkah baru dalam memahami al-
Qur’an yang lebih fokus pada emansipatoris al-Qur’an dan liberasi.
Sedangkan, untuk persoalan filosofis, Hanafi telah banyak berperan di
antaranya sebagai kritikus, komentator, bahkan dekontruksi terhadap teori
penafsiran lama yang sudah dianggap dalam menafsirkan.10
Hanafi tidak hanya memberikan sebuah kritik tentang penafsiran
klasik, melainkan juga mencoba memberikan sebuah penawaran tentang
sebuah metode penafsiran yang menurutnya pantas untuk diterapkan pada
era ini, agar makna teks al-Qur’an bisa sejalan dengan kehidupan manusia
khususnya umat Islam. Metode yang beliau tawarkan yaitu untuk
sekarang dilebeli dengan istilah hemeneutika pembebasan, serta
9
Fadhli Lukman, “Hermeneutika Pembebasan Hassan Hanafi dan Relevansinya Terhadap
Indonesia”, dalam Jurnal Al-Aqidah, Vol. 6, Edisi 2 (Desember 2014), hal. 6-7.
10
Nugroho, “Hermeneutika Al-Qur’an...,” hal. 10.
10

melakukan telaah dari segi askiologi etis dalam ranah produk pemikiran
dan epistemik.
Secara keseluruhan, apa yang telah dilakukan oleh Hanafi,
merupakan bagian dari upaya untuk membangkitkan rasionalisme guna
menghidupkan kembali wajah klasik Islam, seperti melakukan sebuah
perlawanan terhadap dominasi Barat dan memelajari kembali realitas
yang ada di dunia. Hal itu telah Hanafi buktikan dengan sebuah
pernyataannya saat Hanafi mensosialisasikan makna oksidentalisme
sebagai ajang perlawanan pada orientalisme. Oleh karena itu, Hanafi
meniscayakan dengan adanya pemahaman pada al-Qur’an yang aktual
dan progresif dengan teori yang ditawarkan yaitu teori tafsir tematiknya.
Ini merupakan agenda pertama Hanafi yang diharapakan mampu
mencapai suatu proyek besar yang telah dicita-citakan. Dalam karyanya
yang berjudul Islam in The Modern World inilah pokok dari pemikirannya
tertuang.11
Terdapat dua piranti besar dalam membangun hermeneutika Hanafi
yakni ushul fiqh, marxis, fenomenologi dan hermeneutika itu sendiri.
Dengan adanya piranti tersebut, Hanafi mampu membangun hermenutika
yang telah mampu menjadi sebuah wadah dalam gagasan pembebasan
dalam islam; bukunya yang berjudul tafsir revolusioner yang menjadi
landasan ideologis-normatif untuk umat Islam dalam menghadapi
berbagai bentuk ketidakadilan, eksploitasi, dan represi, baik dari luar
maupun dalam. Ia lebih mengutamakan hermeneutika yang mampu
menyelesaikan pelbagai permasalahan kronis yang dialami oleh umat
Islam.12
Dalam mengembangkan teori hermeneutikanya Hanafi
menggunakan pendekatan fenomenologi yang diambil dari teorinya
Edmund Husserl. Melalui pendekatan itulah Hanafi menetapkan lima
tahapan yang harus dilakukan oleh seorang mufasir dalam menafsirkan al-
11
Zuhry, “Tawaran Metode...,” hal. 11.
12
Muhammad Aji Nugroho, “Hermeneutika Al-Quran Hasan Hanafi (Dari Teks Ke Aksi;
Merekomendasikan Tefsir Tematik/ Mawdu`i),” dalam Pdf Proposional, Hl. 7.
11

Qur’an. Langkah tersebut adalah sebagai berikut: 13 Pertama, al-Qur’an


diletakan di dalam tanda kurung; tidak boleh ditolak dan tidak boleh
diafirmasi. Artinya, mufasir tidak perlu menanyakan keaslian atau
keabsahan al-Qur’an. Kedua, menerima al-Qur’an layaknya teks-teks
lainnya, seperti dokumen sejarah, teks filosofis, karya sastra dan lain
sebagainya. Ketiga, dalam penafsiran tidak ada istilah penafsiran
pemahaman benar atau salah. Tidak ada istilah penafsiran salah atau benar
melainkan hanya perbedaan pendekatan yang terkadang didorong oleh
adanya suatu motivasi dan kepentingan dalan diri seorang mufasir.
Keempat, tidak adanya istilah penafsiran tunggal dalam suatu teks yang
ada hanya perbedaan pemahaman dari para penafsir. Kelima, penafsir
harus mampu mencerminkan suatu konflik sosial politik karena di setiap
penafsiran harus menyebutkan sosial politik si penafsir.
Hanafi juga beranggapan bahwa metode penafsiran tematik ini amat
baik untuk digunakan dalam sebuah penafsiran karena dalam metode ini
berusah menghindari sebuah penafsiran yang kesannya bertele-tele, juga
dapat mengarahkan pada sebuah perhatian atas tema-tema sosial yang
terkandung dalam al-Qur’an.14
Adapun teknis atau cara yang digunakan saat menafsirkan suatu ayat
al-Qur’an menurut Hanafi adalah; Pertama, mufasir harus mempunyai
suatu komitmen dalam menafsirkan. Menurut Hanafi, seorang mufasir
yang tidak memiliki komitmen dapat diartikan seorang yang kehilangan
sutu komitmen. Kedua, seorang mufasir harus mempunyai “bekal”
sebelum menafsirkan. Sebab, tidak mungkin seorang bisa menafsirkan
dengan keadaan “tangan kosong” atau tidak mengetahui apa yang
dilakukan. Ketiga, mufasir harus mengumpulkan ayat-ayat yang
mempunyai hubungan tema, disatukan kemudian dipahami dan dipelajari
hingga makna umum dari ayat tersebut ditemukan. Keempat, karena
bahasa merupakan suatu bentuk yang dapat membawa mufasir kedalam

13
Sholahuddin, “Studi Metodologi...,” hal. 59-60.
14
Prasetya, “Model Penafsiran...,” hal. 372.
12

suatu makna. Maka langkah selanjutnya adalah mengumpulkan berbagai


bentuk bahasa. Bentuk bahasa yang dimaksud oleh Hanafi disini yaitu; a)
kata benda verbal, dan selanjutnya kata benda yang menunjukkan lebih
pada substansi benda (nominal). b) verbal time atau kata benda yang ada
kaitannya dengan waktu semisal; yang akan datang (future time), masa
lalu (past), saat ini (present). c) bentuk kata yang tunggal dan jamak. d)
kata tertentu dan yang ditentukan. e) kata benda yang menjadi subyek. f)
kata ganti milik. Kelima, setelah bentuk kebahasaan tadi terkumpulkan
maka selanjutnya mufasir harus membuat susunan yang dimulai dari
makna kemudian menuju suatu objek atau membentuk suatu tema.
Keenam, saat tema tadi sudah terbentuk. Maka, mufasir menggabungkan
kemudian menghubungkan dengan situasi yang nyata untuk mengetahui
suatu permasalahan yang ada. Ketujuh, menggabungkan adanya struktur
ideal dan analisis faktual dalam ilmu sosial. Kedelapan, merancang suatu
model aksi. Ini dilakukan ketika ditemukan suatu kesenjangan sosial,
maka mufasir harus menyertakan dirinya dari teori ke praktek, dari teks
ke aksi dan dari pemahaman ke perubahan.15
Di antara contoh dari penafsiran Hanafi yang menggunakan metode
tematiknya yaitu ketika Hanafi menafsirkan tentang al-Ard{. Sebelumnya
Hanafi mengumpulkan ayat yang berkaitan dengan kata al-Ard{ relevan
untuk saat ini. Penafsiran yang dilakukan oleh Hanafi ini tidak terlepas
dari pengambilalihan tanah yang terjadi masa pemerintahan dulu, pada
masa Anwar Sadat yang berkolaborasi dengan Israel dan pro terhadap
barat.
Ayat yang mampu dikumpulkan oleh Hanafi dan dianggap relevan
sebanyak 462 kali, yang dirinci sebagai berikut; 454 itu tergolong kata
benda yang berdiri sendiri, sedangkan delapan lainnya dihubungkan
dengan sebuah kata ganti kepunyaan, dan dihubungkan dengan orang
pertama yakni Tuhan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa al-Ard itu
sistem kepemilikan karena al-Ard itu ada berstatus makhluk (ada), bukan

15
Sholahuddin, “Studi Metodologi...,” hal. 69-70.
13

kepunyaan setiap individu. Ada satu kata yang berhubungan dengan al-
Ard yang menunjukkan bahwa al-Ard itu berhubungan dengan orang
pertama, dan itu adalah Tuhan. Artinya, Tuhan adalah salah satu yang
berhak dikatakan sebagai pemilik al-Ard.
Setelah Hanafi melakukan analisa terhadap susunan makna, Hanafi
menyimpulkan ada lima orientasi yang terkandung dalam kata al-
ard{ yaitu; Pertama, al-Ard yang diartikan bumi yang saat ini dipijaki.
Menurut Hanafi orang yang berhak menjadi pemilik al-Ard itu adalah
Tuhan dan berhak mewarisinya. Seseorang tak berhak untuk menuntut
bahwa al-Ard itu miliknya sendiri. Kedua, al-Ard sebagai sesuatu yang
indah dan subur. al-Ard juga merupakan tempat yang ditempati oleh
setiap makhluk yang hidup. Sebagai tempat saat perang atau al-Ard
merupakan di mana tempat mereka mengukir sejarah. Ketiga, sebagai
tempat aksi bagi para kholifah Tuhan yang ada di muka bumi. Keempat,
al-ard sebagai sesuatu yang harus manusia lindungi bukan malah merusak
dengan tangan manusia sendiri. Kelima, yang terakhir itu termasuk
sebuah kata perjanjian yang menyeluruh dan diberikan pada setiap
perorangan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hasan Hanafi dilahirkan di al-Azhar Kairo Mesir pada tanggal 13
Februari 1935. Nama lengkap adalah Hassan Hanafi Hassanaein. Selain
aktif sebagai cendikiawan muslim di Mesir, Hanafi juga aktif dalam
media cetak pada saat itu sehingga tulisannya banyak dibaca oleh para
intelektual Eropa, Barat, Arab bahkan orang Indonesia sendiri.
Penafsiran al-Qur’an yang menggunakan hermeneutika itu bersifat
parsial, yang hanya mengkaji suatu hajat dari kehidupan manusia di era
ini. Metode yang ditawarkan oleh Hanafi yaitu metode mawdu`i.
Dalam pemikirannya, Hanafi menekannya pentingnya seorang
mufasir dalam memahami Bahasa Arab, tetap mematuhi tata cara
menafsirkan dengan menggunakan metode tematik yang sudah ada dan
adanya rasa empati pada orang-orang yang tertindas, dan lemah, serta
mampu membawa suatu perubahan bagi masyarakat, serta mampu
menganalisa keadaan disekitar dengan pendekatan ilmu sosial modern.
B. Saran
1. Bagi mahasiawa pascasarjana UIN STS Jambi
Diharapkan bagi mahasiawa pascasarjana UIN STS Jambi untuk
dapat memberikan kritik dan saran kepada penulis agar bisa
memperbaiki makalah ini kedepannya.
2. Bagi Perapustakaan UIN STS Jambi
Diharapkan agar dapat menambah lebih banyak referensi atau
sumber bacaan mengenai Hermeneutika Al Qur’an Pemikiran Hasan
Hanafi

14
DAFTAR PUSTAKA
Falah, Riza Zahriyal Dan Irzum Farihah. 2015. “Pemikiran Teologi Hassan
Hanafi.” dalam Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah Dan Studi Keagamaan. Vol. 3.
No. 1.
Hanafi, Hasan. 2014. Membumikan Tafsir Revolusioner. Yogyakarta; Titian Ilahi
Perss.
Nogroho, Muhammad Aji. 2016. Hermeneutika Al-Qur’an Hasan Hanafi;
Merefleksikan Teks pada Realitas Sosial dalam Konteks Kekinian.” Millati;
Jurnal Of Islamc Studies And Hemanities. Vol. 1. No. 2. Desember.
__________________________. “Hermeneutika Al-Quran Hassan Hanafi (Dari
Teks ke Aksi; Merekomendasikan Tefsir Tematik/ Mawadu`i).” Makalah
Proposional.
Prasetya, Marzuki Agung. 2013. Model Penafsiran Hasan Hanafi, dalam Jurnal
Penelitian. Vol. 7. No. 2. Agustus.
Sholahuddin, Devi Muahammad. 2016. Studi Metodologi Tafsir Hassan Hanafi.
Jurnal. Vol. I. No. 1. Juli.

Zuhry, Muhammad Syafiuddin. 2014. Tawaran Metode Penafsiran Tematik


Hassan Hanafi. Jurnal al-Taqaddum. Vol. 6. No. 2. Nopember.

ii

Anda mungkin juga menyukai