KONSENTRASI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI TAHUN 2021 NAMA : MUSTANIRAH NIM : 801210075 PRODI/KONSENTRASI : MPI/PIAUD SEMESTER/KELAS : II/A MATA KULIAH : SEJARAH PERADABAN ISLAM DOSEN PENGAMPU : Dr. H. HILMI, M. Pd.I Dr. Hj. RAMLAH, M.Pd.I., M. Sy
JAWABAN UJIAN SEMESTER GENAP 2021/2022
1. a. Faktor penyebab kemajuan Dinasti Abbasiyah:
1) Keberhasilan dua khalifah awal, Abu Abbas dan al-Mansur dalam meletakan fondasi kepemimpinan yang kuat dan berwibawa. Keberhasilan keduanya telah mendorong pemerintahan pada masanya dan masa-masa pemerintahan selanjutnya di periode awal mencapai stabilitas politik dan kehidupan masyarakat. 2) Dinasti ini berhasil mengambil pelajaran dari kehancuran Dinasti Umayyah, sehingga mampu menerapkan kembali prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan, dan persaudaraan (musawah, 'adalah, dan ukhuwwah). 3) Terbentuknya Persatuan (ittihad) yang kuat antara para khalifah dan ilmuwan (Umara dan Ulama) dan kecintaan mereka dalam pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu agama. 4) Terjadinya asimilasi yang mendorong gerakan hebat dalam kemajuan ilmu pengetahuan. 5) Pada periode awal kekhalifahan sudah terbentuk tentara yang profesional, yaitu satuan militer yang diorganisasikan dengan baik, sehingga hanya loyal pada kerajaan (dinasti), bukan pada suku atau golongan. b. Faktor penyebab kemunduran Dinasti Abbasiyah: 1) Pola hidup mewah dikalangan pemimpin yang seakan-akan berlombalomba dari pemimpin sebelumnya. 2) Sistem pergantian penguasa yang turun temurun menjadikan persaingan diantara keluarga kerajaan. 3) Konflik keagamaan yang saling berebut pengaruh yang terus berlanjut antara golongan pengikut Muawiyah, Syi’ah, dan Khawarij. 4) Banyaknya dinasti-dinasti yang memerdekakan diri dari pemerintahan Dinasti Abbasiyah. 5) Kemunduran dalam kemiliteran menyebabkan Dinasti Abbasiyah mempekerjakan orang-orang yang professional khususnya tentara Turki menyebabkan tentara Turki berhasil merebut kekuasaan. 6) Kerja sama antara Bani Abbasiyah dengan keturunan Parsi diawal pemerintahannya menyebabkan kekuasan berhasil direbut bangsa Parsi. 7) Hilangnya jiwa jihad dalam pemerintahan yang disebabkan oleh lemahnya rasa patriotisme. 8) Lunturnya sifat amanah para pemimpin. 9) kefanatikan dalam bermadzhab. 10) Besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk tentara mengakibatkan kemerosotan ekonomi. 11) Kurangnya satu kesatuan yang mengakibatkan pada perpecahan. 12) Terjadinya Perang Salib yang berlangsung dengan beberapa gelombang membuat terpecahnya perhatian pemerintah yang memunculkan kelemahan belum lagi budaya buruk yang dibawa tentara salib yang mengakibatkan kemerosotan moral generasi muda. 13) Serangan ganas dari bangsa Mongol ke wilayah kekuasaan Islam tidak hanya menghancurkan peradaban Islam tetapi juga menjadikan akhir kekuasaan dari Dinasti Abbasiyah yang berkuasa krang lebih lima abad. c. Penyebab dinasti-dinasti kecil memisahkan diri dari Baghdad 1) Karena kebijakan penguasa Bani Abbasiyah yang lebih menitikberatkan kemajuan peradaban dibanding dengan mengadakan ekspansi dan politisasi, sehingga memberi peluang terhadap wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan untuk memerdekakan diri dari pemerintahan Abbasiyah. 2) Karena dinasti Abbasiyah tidak diakui di Spanyol dan seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir, sehingga membuat daerah-daerah yang jauh mendirikan dinasti- dinasti kecil. 3) Adanya pemberian hak otonom sehingga tidak terkontrol karena berjauhan dari pemerintahan pusat, dan terlalu luasnya kekuasaan Abbasiyah.
2. a. Perkembangan Islam di Spanyol
Pemerintahan Islam yang pertama kali menduduki Spanyol adalah Khalifah dari Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus (Salwasalsabila, 2008: 21). Sebelum penaklukan Spanyol, umat Islam telah menguasai Afrika Utara dan menjadikannya sebagai salah satu propinsi dari dinasti Bani Umayyah. Dalam sejarah penguasaan Spanyol, ada tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa dalam proses penaklukan Spanyol. Mereka adalah Tharif Ibnu Malik, Thariq Ibnu Ziyad, dan Musa ibn Ibnu Nushair. Tak dapat dipungkiri bahwa Islam memainkan peranan yang penting di Spanyol selama sekitar delapan abad. Masa Islam di Spanyol itu dapat dibagi menjadi enam periode sebagai berikut. 1) Periode Pertama (711-755 M) Spanyol berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Stabilitas politik negeri Spanyol belum tercapai secara sempurna karena banyak gangguan baik gangguan internal maupun eksternal. Gangguan dari dalam antara lain berupa perselisihan dan pertengkaran di kalangan para elit penguasa, terutama akibat perbedaan suku dan golongan. Begitu pula terdapat perbedaan pandangan antara khalifah di Damaskus dan Gubernur Afrika Utara yang berpusat di Qairawan yang masing- masing mengaku paling berhak atas daerah Spanyol. Dengan banyaknya konflik internal dan eksternal, maka dalam periode ini Islam Spanyol belum memasuki kegiatan pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan. Datangnya Abd al Rahman al Dakhil ke Spanyol pada tahun 138 H/755M menjadi tanda berakhirnya periode pertama 2) Periode Kedua (755-912 M) Pada masa ini, Spanyol diperintah oleh seorang amir (panglima atau gubernur) tetapi tidak tunduk kepada pusat pemerintahan yang ketika itu dipegang oleh Khalifah Abbasiyah di Bagdad. Amir pertama adalah Abdurrahman I yang memasuki Spanyol tahun 138 H/755M dan diberi gelar al Dakhil (yang masuk ke Spanyol). Abdurrahman al Dakhil adalah keturunan Bani Umayyah yang berhasil melarikan diri dan lolos dari kejaran Bani Abbasiyah yang telah menaklukkan Bani Umayyah di Damaskus. Pemerintah setelah Abdurrahman al Dakhil adalah Hisyam I, Hakam I, Abd al Rahman al Ausath, Muhammad Ibnu Abd al Rahman, Munzir Ibnu Muhammad, dan Abdullah Ibnu Muhammad. Pada periode ini, umat Islam Spanyol mulai memperoleh banyak kemajuan, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang peradaban. Abd Rahman al Dakhil mendirikan masjid Kordova dan sekolah-sekolah di kota-kota besar Spanyol. Hisyam I dikenal berjasa sebagai pembaharu dalam kemiliteran. Dialah yang memprakarsai tentara bayaran di Spanyol. Ia juga orang pertama yang menjadikan Madzhab Maliki sebagai Madzhab resmi negara. Adapun Abd. Al Rahman al Ausath dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu. Pemikiran filsafat mulai masuk, terutama di zaman Abdurrahman al Ausath, yang mengundang para ahli dari dunia Islam lainnya untuk datang ke Spanyol. Akhirnya, kegiatan ilmu pengetahuan di Spanyol kian berkembang. 3) Periode Ketiga (912-1013 M) Pemerintahan Abd Rahman III yang bergelar al Nasir li dinillah (penegak agama Allah) sampai munculnya raja-raja kelompok (kecil) yang dikenal dengan Muluk al Thawaif masuk dalam periode ketiga. Pada periode ini, Spanyol diperintah oleh penguasa yang bergelar Khalifah. Dengan demikian, pada masa ini terdapat dua khalifah sunni di dunia Islam, Khalifah Abbasiyah di Bagdad dan Khalifah Umayyah di Spanyol, di samping seorang khalifah Syi’ah Fatimiyyah di Afrika Utara. Pada periode ini, umat Islam Spanyol berhasil mencapai puncak kemajuan dan kejayaannya. Hal ini dapat disejajarkan dengan kejayaan daulat Abbasiyah di Bagdad. Abd Rahman III merupakan penguasa Umayyah terbesar di Spanyol. Seluruh gerakan pengacau dan konflik politik dapat diselesaikan sehingga situasi negara relatif aman. Penaklukan kota Elvira, Jain, dan Seville merupakan sebagian bukti keberhasilan Abd. Rahman III dan kekuatan Kristen juga dipaksa menyerah kepadanya. Setelah sukses mengatasi problem politik dalam negeri, ia juga berhasil menggagalkan cita-cita Daulah Fatimiyyah untuk memperluas wilayah kekuasaannya ke negeri Spanyol. Di bawah pemerintahan Khalifah Abd Rahman III, Spanyol mengalami kemajuan peradaban yang menggembirakan, terlebih di bidang Arsitektur. Tercatat tidak kurang dari 300 masjid, 100 istana megah, 13.000 gedung, dan 300 tempat pemandian umum berada di Cordova. Kemasyhurannya sebagai penguasa dikenal sampai di negeri Konstantinopel, Jerman, Perancis, hingga Itali. Bahkan, penguasa negeri-negeri tersebut mengirim para dutanya ke Istana Khalifah. Armada laut yang dibentuk berhasil menguasai jalur lautan tengah bersama dengan armada Fatimiyyah. Kebesaran Abd Rahman III dapat disejajarkan dengan Raja Akbar dari India, Umar bin Khattab, dan Harun al Rasyid. Jadi, Abdurrahman III bukan hanya sebagai penguasa terbaik Spanyol, melainkan juga salah satu penguasa terbaik dunia. 4) Periode keempat (1013-1086 M) Pada periode ini, Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh negeri kecil di bawah pemerintahan raja-raja golongan atau al Muluk al Thawaif, yang antara lain berpusat di suatu kota seperti Seville, Cordova, dan Toledo (Bosworth, 1993: 35-40). Pemerintahan terbesar diantaranya adalah Abbadiyah di Seville. Pada periode ini, umat Islam Spanyol kembali memasuki masa pertikaian internal. Sayangnya, jika terjadi perang saudara, ada di antara pihak-pihak yang bertikai itu, ada pihak-pihak tertentu yang meminta bantuan kepada raja-raja Kristen. Karena menyaksikan kekacauan dan kelemahan yang menimpa keadaan politik Islam, maka orang-orang Kristen pada periode ini mulai mengambil inisiatif penyerangan untuk pertama kalinya. Akibat fatalnya, kekuatan Islam diketahui mulai menurun dan tiba saatnya untuk dihancurkan. 5) Periode kelima (1086-1248 M) Walaupun terpecah dalam beberapa negara, pada periode kelima ini, Spanyol Islam masih mempunyai suatu kekuatan yang dominan, yaitu dinasti Murabithun (1086-1143 M) dan dinasti Muwahhidun (1146-1235M). Dinasti Murabithun pada mulanya adalah sebuah gerakan agama yang didirikan oleh Yusuf Ibnu Tasyfin di Afrika Utara. Pada tahun 1062 M ia berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di Marakesy. Ia masuk ke Spanyol atas undangan penguasa-penguasa Islam di sana yang tengah berjuang mempertahankan negerinya dari serangan kaum Nasrani. Ia dan tentaranya memasuki Spanyol pada tahun 1086 M dan berhasil mengalahkan pasukan Castilia. Perpecahan di kalangan raja-raja Muslim menyebabkan Yusuf bergerak lebih jauh untuk menguasai Spanyol dan ia pun berhasil. Kesuksesan ini ternyata tidak dapat diteruskan oleh penguasa-penguasa sesudahnya karena mereka adalah raja-raja yang lemah. Pada tahun 1143 M, kekuasaan dinasti Murabithun baik di Afrika Utara maupun di Spanyol berakhir. Dinasti Muwahhidun muncul sebagai gantinya. Pada tahun 1212 M, tentara Kristen memperoleh kemenangan besar di Las Navas de Tolesa. Kekalahan-kekalahan yang dialami Muwahhidun menyebabkan penguasanya memilih untuk meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara tahun 1235 M. keadaan Spanyol kembali runyam, berada di bawah penguasapenguasa kecil. Dalam kondisi demikian, umat Islam tidak mampu bertahan dari serangan-serangan Kristen yang semakin besar. Tahun 1238 M, Cordova jatuh ke tangan penguasa Kristen dan Seville jatuh pada tahun 1248 M. Akhirnya, kecuali Granada, seluruh wilayah Spanyol telah lepas dari kekuasaan Islam. 6) Periode keenam (1248-1492 M) Kerajaan Granada merupakan pertahanan terakhir Muslim Spanyol di bawah kekuasaan dinasti Bani Ahmar (1232-1492 M). Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti di zaman Abdurrahman al Nasir. Akan tetapi, secara politik, dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil. Persekutuan antara wilayah Aragon dan Castille melalui perkawinan Ferdinand dan Isabella melahirkan kekuatan besar untuk merebut kekuasaan terakhir umat Islam di Spanyol. Namun beberapa kali serangan mereka belum berhasil menembus pertahanan umat Islam. Abu Hasan yang menjabat pada waktu itu mampu mematahkan serangan tersebut. Bahkan ia menolak membayar upeti kepada pemerintahan Castille. Abu Hasan dalam suatu serangan berhasil menduduki kota Zahra. Untuk membalas dendam, Ferdinand melancarkan serangan mendadak terhadap al Hamra dan berhasil merebutnya. Banyak wanita dan anak kecil yang berlindung di sana dibantai oleh pasukan Ferdinand. Jatuhnya al Hamra ini merupakan pertanda kejatuhan pemerintahan Granada. Situasi pemerintahan pusat di Granada semakin kritis dengan terjadinya beberapa kali perselisihan dan perebutan kekuasaan antara Abul Hasan dengan anaknya yang bernama Abu Abdullah. Granada. Zaghal berusaha mengajak Abu Abdullah menggabungkan kekuatan dalam menghadapi musuh. Tapi ajakan itu ditolaknya. Ketika terjadi pergolakan politik antara Zaghal dan Abu Abdullah, pasukan Kristen melakukan penyerbuan dan berhasil menguasai Alora, Kasr Bonela, Ronda, Malaga, dan Loxa. Pada serangan berikutnya, Zaghal menyerah dan melarikan diri ke Afrika Utara Abu Abdullah dipaksa menyampaikan sumpah setia kepada Ferdinand dan bersedia melepaskan harta kekayaan ummat Islam sebagai imbalan dari diberikannya hak hidup dan kebebasan beragama bagi orang Islam. Peralihan kekuasaan yang menyedihkan itu terjadi pada tanggal 3 Januari 1492M. Dengan demikian, berakhirlah kekuasan Islam di Spanyol. Umat Islam setelah itu dihadapkan kepada dua pilihan, masuk Kristen atau pergi meninggalkan Spanyol. Akibatnya, pada tahun 1609 M, dapat dikatakan tidak ada lagi umat Islam yang hidup di daerah ini. b. Kemajuan Islam yang dicapai di Spanyol, serta faktor penyebab kemunduran Islam di Spanyol 1) Kemajuan Islam yang di capai di Spanyol a) Kemajuan Intelektual (Filsafat, Sains, Fiqih, Musik dan Kesenian, Bahasa dan Santra) b) Kemegahan Pembangunan Fisik (Cardova,Granada) 2) Faktor Penyebab Kemunduran Islam di Spanyol a. Konflik Islam dan Kristen b. Tidak Adanya Ideologi Pemersatu c. Kesulitan Ekonomi d. Tidak Jelasnya Sistem Peralihan Kekuasaan e. Keterpencilan c) Pengaruh peradaban Islam di Spanyol terhadap Eropa Pemikiran para cendekiawan Muslim, khususnya yang hidup di wilayah Andalusia (Spanyol) seperti Ibnu Thufail (Abu Bacer), Ibnu Rusyd (Averroes), Ibnu Khaldun dan lainnya tentu saja mempengaruhi wawasan pemikiran cendekiawan Eropa yang pada saat itu banyak belajar di berbagai Universitas di wilayah Andalusia seperti : Malaga, Salamanca, Cordova, Seville dan Granada. Sejak penaklukkan Spanyol di awal abad ke 8 pada masa pemerintahan khalifah al-Walid, bahasa Arab merupakan Lingua Franca antar bangsa di Spanyol, demikian juga bahasa pengantar di berbagai Universitas. Meskipun kemunculannya terkesan terlambat, Ibnu Khaldun dengan pemikiran filsafat sejarah yang cukup banyak mempengaruhi Eropa melakukan interpretasi terhadap proses sejarah, suatu hal yang belum pernah dilakukan oleh sejarawan sebelumnya. Dalam karyanya Muqaddimah Ibnu Khaldun membahas tentang masyarakat (Barbar, Afrika Utara) dan karakteristiknya jauh sebelum August Comte mencetuskan sosiologi di abad ke-18 M, M.A Enan mengemukakan bahwa cendekiawan Eropa seperti Schmidt sependapat Gumplowicz bahwa sosiologi telah lama ditemukan jauh sebelum August Comte. Disamping sebagai Penemu pertama ilmu sosiologi adalah Ibnu Khaldun, dan terkenal sebagai Bapak Sosiologi Islam, dalam istilah Ali Abd al- Wahid Wafi, Ibn Khaldun juga penemu Filsafat Sejarah (Philosophy of History). Seperti para ahli sebelumnya, P.A Sorokin menganggap Ibnu Khaldun sebagai Pendiri Sosiologi karena sebelumnya belum pernah ada karya yang membicarakan organisasi kemasyarakatan yang dalam istilah Ibnu Khaldun juga disebut sebagai al-Umran al-Basyari bahkan kejeniusan pemikiran Ibnu Khaldun, sebagaimana dikemukakan sebelumnya mendapat pujian dari banyak cendekiawan Eropa. Cendekiawan Muslim yang sangat berpengaruh besar di Eropa lainnya adalah Ibnu Rusyd hanya terkenal di dunia Islam, pemikiran Ibn Rusyd bahkan mempengaruhi dunia Kristen. Berbasis pemikiran Ibn Rusyd (dengan logika Aristoteles) yang menganjurkan kebebasan berfikir, bangsa Eropa berusaha melepaskan diri daru belenggu taklid dari golongan gerejawan, yang saat itu memberi hukuman. Salah satu karya Ibn Rusyd yaitu Tahafut al-Tahafut menjawab 3 poin yang dikritik al- Ghazali dalam Filsafat bahwa alGhazali salah menafsirkan terhadap 3 masalah tersebut yaitu : keqadiman alam, kebangkitan alam, kebangkitan pada hari kiamat dan pengetahuan Tuhan tentang juz’i atau kulli. Von Grunebaum mengemukakan bahwa Ibn Rusyd berusaha melakukan harmonisasi antara Filsafat dan agama karena ia adalah seorang cendekiawan religius, juga seorang filosof yang religius.
3. a. Faktor Terjadinya Perang Salib
1) Agama, Hilangnya kemerdekaan umat Kristiani untuk beribadah ke Yerussalem. Kondisi ini merupakan kebijakan yang dijalankan pemerintahan Bani Saljuk yang menguasai Yerussalem pada tahun 1076 M. Padahal boleh dikatakan bahwa umat Kristiani sangat fanatik dan beranggapan bahwa berziarah ke Makam Nabi Isa di Yerussalem merupakan amalan yang paling baik dan besar pahalanya. Bani Saljuk telah menjalankan kebijakan-kebijakan yang mempersulit dan bahkan menganiaya umat Kristiani yang akan berziarah ke Yerussalem. Kebijakan- kebijakan yang merugikan umat Kristiani ini terdengar sampai di Eropa, rakyat Eropa menjadi gempar, gusar dan bersedih hati dan justru dari peristiwa ini menumbuhkan semangat keagamaan dan loyalitas terhadap sesama umat Kristiani untuk memberikan perlindungan dan pembelaan. Mereka bergerak bersama untuk menuntut balas atas perampasan kemerdekaan dalam menjalankan ajaran agama mereka. Visi mereka satu yaitu merebut Baitul Maqdis dari genggaman kaum Muslimin (Bani Saljuk) dengan keyakinan bila berziarah ke tanah suci mendapat pahala yang besar, sudah barang tentu melepaskan dan memerdekakan Yerussalem darikekuasaan Kaum Muslimin jauh lebih besar pahalanya. 2) Politik, Posisi-posisi kunci di sekitar Asia kecil telah di kuasai Bani Saljuk dan bahkan dijadikan sebagai basis kekuatan dan pertahanan. Kondisi ini memposisikan kota Konstantinopel terancam akan jatuh ke tangan umat Islam (Bani Saljuk). Untuk menghindari jatuhnya kota Konstantinopel ke tangan umat Islam, Kaisar Alexius penguasa Byzantium (Konstantinopel) tidak memiliki pilihan lain kecuali meminta dukungan dan bantuan politik Keuskupan Agung di Roma (Hitti, 2002:211). Pihak Keuskupan Agung sendiri menyambut baik kerja sama ini, karena mereka juga berkewajiban membela kepentingan agama, disamping itu sesungguhnya kepentingan politik bagi Keuskupan juga sangat menggiurkan. Karena itu mulailah pihak Keuskupan mengatur rencana kerja perebutan kembali Baitul Maqdis. Tetapi anehnya agenda mereka di awali dengan propaganda perang suci ke dunia Islam oleh Paus Urbanus II. Bila di analisis, Perang suci (Perang demi membela agama) yang didengungdengungkan Paus Urbanus II ini, tidak lebih dari merealisasikan ambisi politiknya untuk menguasai sebagian daerah yang dikuasai Islam. Karena sesungguhnya kunci dari persoalan ini adalah Bani Saljuk menguasai Baitul Maqdis dengan menerapkan kebijakan yang menyulitkan umat Kristiani untuk beribadah ke sana. Dengan demikian, sejatinya tema propaganda atau kampanye perang suci Paus adalah “pembebasan Baitul Maqdis” bukan perang suci ke dunia Islam. Berdasarkan analisis di atas, maka disimpulkan bahwa pihak Keuskupan sesungguhnya memiliki ambisi politik untuk menaklukan dunia di bawah kekuasaan gereja, demikian pula dengan bangsawanbangsawan Eropa tentu memiliki ambisi politik yang tidak kalah besarnya untuk membentuk kerajaan-kerajaan di daerah-daerah yang dikuasai oleh umat Islam. 3) Ekonomi, Adanya keinginan bangsa Barat menguasai tata niaga di kawasan Laut Tengah sekaligus menjadikan kawasan tersebut sebagai sentral perdagangan Barat di Timur. Kawasan ini memang sangat strategis, sebagai pintu pengembangan perdagangan ke arah timur melalui Laut Merah (Ensiklopedia Islam, 1993:241). Faktor ekonomi pula yang memotivasi masyarakat Eropa kelas rendahan, karena mereka seringkali mendapat tekanan, dibebani berbagai pajak serta sejumlah kewajiban lainnya dari kerajaan dan gereja. Sehingga ketika mereka dimobilisasi oleh pihak gereja untuk turut mengambil bagian dalam Perang Salib dengan janji akan mendapat kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik bila dapat memenangkan peperangan, Di samping itu mereka berharap akan mendapat keuntungan ekonomi di daerah-daerah yang ditaklukan dari tangan Islam. Motivasi-motivasi tersebut di atas, menyebabkan masyarakat kelas rendahan di Eropa menyambut seruan Perang Salib secara spontan dengan berduyung-duyung melibatkan diri dalam perang. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, tampak bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya Perang Salib dan faktor-faktor tersebut terealisasi dengan baik karena didukung oleh beberapa hal sebagai berikut: 1) Lemahnya Persatuan Umat Islam Sebelum genderang Perang Salib berbunyi, dunia Islam tampak dalam kondisi lemah. Bani Saljuk (Daulah Salajikah) kehilangan kekuatan sepeninggal Malik Syah (1092 M). Perebutan daerah Syiria antara Bani Saljuk dan Bani Fatimiyah tidak dapat dielakkan yang menyebabkan terjadinya permusuhan berkepanjangan antara dua kerajaan Islam ini. Akibatnya dinasti-dinasti Islam khususnya dua dinasti tersebut dalam keadaan lemah karena sudah terkuras kekuatan militer maupun finansialnya dalam perang saudara. Kondisi lemah umat Islam ini merupakan peluang emas bagi dunia Eropa untuk melancarkan serangannya 2) Berdirinya Kerajaan-Kerajaan Eropa Baru Bermunculannya kerajaan-kerajaan Eropa yang baru seperti Kerajaan Venesia, Genua dan berkuasanya bangsa Normandia di selatan Italia dan di Kepulauan Sicilia yang semuanya itu merupakan peluang emas bagi dunia Eropa melancarkan serangannya. b. Perjuangan umat Islam beserta tokohnya dalam melawan Kristen dalam perang salib 1) Periode Pertama : Penaklukan Umat Kristiani (1096-1144 M) Seruan Perang Salib yang menggoncang dunia ini, merupakan hasil kerja keras Paus Urbanus II dalam kampanyenya di kalangan Keuskupan Agung. Di samping itu didukung oleh kampanye yang sama dikalangan masyarakat luas yang dilakukan oleh seorang penginjil bernama Peters Amin. Peters Amin sangat gencar dan aktif melakukan kampanye dan boleh di katakan kampanyenya sukses menggugah emosi keagamaan masyarakat Eropa. Hasil kerja keras dari dua juru kampanye (jurkam) Perang Salib yaitu Paus Urbanus II dan Peters Amin, maka dimulai pada 1096 tepatnya musim semi, berkumpullah sebanyak 150.000 tentara Eropa yang sebagian besar berasal dari Perancis dan Normandia. Pasukan Perang Salib ini berkumpul di Konstantinopel. Dalam perjalanan mereka menuju Palestina melalui Asia Kecil, banyak pasukan bergabung, sehingga jumlah pasukan mencapai 300.000 orang. Namun sangat disayangkan, pasukan sebanyak ini tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik, mereka banyak melakukan perbuatan brutal, perampokan, mabuk-mabukan dan perzinahan pada tempat-tempat yang mereka lalui. Tindakan pasukan Salib ini menyebabkan kemarahan bangsa Bulgaria dan Hongaria, yang segera memberikan serangan hingga pasukan Salib berantakan dan sisanya dihadapi langsung oleh pasukan Bani Saljuk. Pada perang pertama ini, rombongan tentara Salib seluruhnya binasa sebelum mereka dapat membebaskan Baitul Maqdis. Reputasi pasukan Salib pertama ini menandakan mereka tidak dibekali pengetahuan strategi perang dan etika perang, dalam hal ini nampaknya Paus Urbanus II dan Peters Amin hanya membekali pasukan Salib tersebut dengan kebencian dan dendam terhadap umat Islam. Hancurnya pasukan Salib pertama, segera disusul oleh bangkitnya pasukan Salib berikutnya setahun kemudian yaitu pada tahun 1097. Kali ini tentara Salib menyebrang selat Bosor, memasuki Asia Kecil dan memblokade kota Nicea. Selama sebulan kota ini dikepung sampai akhirnya dapat ditaklukan pada tanggal 18 Juni 1097 M. Setahun kemudian pasukan Salib dapat melumpuhkan Raha (Edessa), Syiria Utara hingga Antokia. Pada bulan juni 1099, bergerak lagi tentara Salib melanjutkan penyerbuannya. Kali ini sasaran mereka adalah Baitul Maqdis, selama kurang lebih satu bulan mereka mengepung kota suci ini, akhirnya mereka berhasil menguasainya, tepatnya pada tanggal 15 Juli 1099 M. Di kota ini mereka bertindak kejam, melakukan pembantaian bukan saja terhadap umat Islam tetapi juga terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani setempat yang tidak mau bekerjasama dengan mereka. Dengan berhasilnya pasukan Salib menguasai Baitul Maqdis dan kota-kota di sekitarnya, maka mereka dapat mendirikan empat kerajaan Latin, yaitu: a) Kerajaan Latin I di Edessa ( 1096 M) yang dipimpin oleh raja Boldwin. b) Kerajaan Latin II di Antokia (1098 M) yang dipimpin oleh raja Bahemond. c) Kerajaan Latin III di Baitul Maqdis (1099 M) dipimpin oleh raja Godfrey. d) Kerajaan Latin IV di Tripolo (1099 M) dipimpin oleh Raymond. Berdasarkan informasi di atas, maka dalam periode pertama Perang Salib, umat Islam mengalami kekalahan, sementara pasukan Salib dapat merealisasikan tujuan utamanya yaitu menguasai Baitul Maqdis dari kekuasaan Islam. 2) Periode kedua : Reaksi Umat Islam (1144-1192 M) Periode ini merupakan periode kebangkitan umat Islam setelah menderita kekalahan melawan kekuatan tentara Salib yang dapat menguasai wilayah Syiria dan Palestina pada tahun 1144 M. Dibawa pimpinan Imad al-Din Zanki, tentara Islam berjuang dengan sungguhsungguh merebut kembali beberapa kota yang jatuh ke tangan tentara Salib antara lain; Aleppo, Hamimah dan kota-kota lainnya hingga Edessa. Pada tahun 1146 M Imad al-Din Zanki wafat, maka perjuangan dilanjutkan oleh putranya bernama Nur al-Din Zanki. Dibawah pimpinannya, beberapa kota di sekitar Antokia dapat dikuasainya pada tahun 1149 M. Dua tahun kemudian Pasukan Islam merebut kembali kota di sekitar Edessa dan bahkan tentara Islam sempat menangkap Emir Edessa. Selanjutnya pada tahun 1164 M Nur al-Din Zanki berhasil menaklukan kota Antokia dan menyandera Emir Bahemond III dan sekutunya Raymond III. Keduanya dibebaskan setelah membayar tebusan dalam jumlah besar. Peperangan dilanjutkan dengan mengerahkan tentara Islam untuk membebaskan Mesir dalam tahun 1196 M. Jatuhnya daerah-daerah kekuasaan tentara Kristiani ke tangan umat Islam memancing emosi tentara Salib untuk mengobarkan Perang Salib berikutnya, akan tetapi gerakan mereka mendapat perlawanan sengit dari pasukan Nur al-Din Zanki Nasib pemimpin tentara Salib, Louis IV dan Condrad II melarikan diri dan pulang ke negerinya. Pada tahun 1174 M, pasukan Islam berkabung atas wafatnya pemimpin tentara Islam terbaik, Nur al-Din Zanki, selanjutnya pimpinan perang di pegang oleh Shalah al-Din al-Ayyubi (seorang pendiri Dinasti Ayyubiah di Mesir). Dibawa pimpinannya tentara Islam semakin berjaya; keberhasilan pertama yang dicetak pasukan Islam yaitu keberhasilannya mengembalikan Baitul Maqdis kepangkuan umat Islam dalam tahun 1187 M, Mesjid Aqsa pun kembali mengumandangkan Azan, sementara pasukan Salib banyak yang menjadi tawanannya. Perjuangan tentara Salib selanjutnya dipimpin raja Jerman Frederick Barbarosa, Raja Inggris Richardo dan Raja Perancis Philip August. Pada pertempuran ini, Raja Fredirick tewas, sedangkan Philip dan Richardo berhadapan dengan tentara Islam di Akka. Pasukan Islam berhasil mundur teratur untuk menyusun strategi, sementara pasukan Salib tidak berhasil memasuki kota suci Baitul Maqdis. Peperangan ini berlangsung sampai tahun 1192 M. Keunggulan pasukan Salib di Akka, belum dapat memuluskan jalan mereka untuk datang segera membebaskan Baitul Maqdis, sebab mereka masih harus melalui perjuangan yang sangat berat menghadapi tentara Islam yang senantiasa menggalang kekuatan. Di samping itu namaknya Raja Richardo merasa berat dan jenuh melanjutkan peperangan dan memilih menawarkan gencatan senjata melalui surat, maka pada tanggal 2 Juli 1192 M lahirlah apa yang disebut dengan “shulh al-Ramlah,” yang berisi dua kesepakatan, yaitu: a) Daerah pantai sekitar Akka dalam kekuasaan tentara Salib b) Palestina tetap dibawa kekuasaan Islam, akan tetapi jamaah Kristen diizinkan berziarah ke Baitul Maqdis dengan persyaratan tidak boleh membawa senjata. Dengan disahkannya perjanjian tersebut, maka Baitul Maqdis tetap berada di tangan umat Islam. Beberapa bulan setelah pengesahan dua kesepakatan tersebut di atas, pada tanggal 3 Maret 1193 M, Salahuddin al-Ayyubi tutup usia dalam usia 55 tahun dan beliau di makamkan di Syiria. 3) Periode ketiga : Kehancuran Pasukan Salib (1193-1291 M) Skala prioritas pasukan Salib pada periode ini adalah menguasai Mesir. Berdasarkan pertimbangan ekonomi, bahwa jika Mesir dapat di kuasai, mereka dapat memperoleh keuntungan besar dalam peperangan, sebab dari Mesir akan terbuka kesempatan untuk memasuki Laut Merah dan mengembangkan perdagangan ke Hindia dan kepulauan Hindia sebelah Timur (sekarang Indonesia). Beberapa tahun setelah pasukan Salib berhasil menduduki Konstantinopel, pada tahun 1218 M, mereka menyerang Mesir, tetapi tidak berhasil dan hanya dapat menguasai kota Dimyat sebagai pintu gerbang strategi untuk memasuki Mesir. Dalam tahun 1229 M pimpinan tentara Salib Frederick mengadakan perundingan damai dengan Malik al-Kamil penguasa Mesir dari Dinasti Ayyubiah. Isi perjanjian tersebut adalah Baitul Maqdis diserahkan ke tentara Salib dan sebagai gantinya Dimyat diserahkan kepada tentara Islam. Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, Baitul Maqdis kembali kepangkuan pasukan Salib dengan Frederick II sebagai rajanya. Tetapi setelah melalui beberapa pertempuran melawan tentara Salib, Baitul Maqdis dapat direbut kembali oleh penguasa Dinasti Ayyubiah, alMalik al- Shaleh putra al- Malik pada tahun 1247 M. Perlawanan tentara Salib dilanjutkan oleh Dinasti Mamalik pada tahun 1263 M. Al-Malik al-Zahir Baybars berhasil menaklukan kota-kota Caesarea dan Akka. Keberhasilan yang sama juga terjadi dalam menaklukan Yaffa dan kota Antokia yang merupakan benteng pertahanan tentara Salib dalam tahun 1271 M. Perjuangan Baybars dilanjutkan oleh Sultan Qalawun yang memerintah ditahun 1279- 1290 M. Dibawa pemerintahannya Laziqiyah dan Tripoli dapat ditaklukan dalam tahun 1289 M. Pada tahun itu pula Sultan Qalawun mempersiapkan tentaranya untuk menaklukan daerahdaerah yang masih dikuasai tentara Salib, namun dia meninggal sebelum usaha tersebut berhasil. Usahanya dilanjutnya oleh putranya, Asyraf Khalil yang berkuasa dalam tahun 1290-1293 M. Pada tanggal 5 April 1291 M, ia menyerang dan mengepung kota Akka dan berhasil menguasai kota tersebut pada tanggal 28 Mei 1291 M. Selanjutnya, kotakota yang dikuasai tentara Salib satu demi satu jatuh ke tangan pasukan Islam, termasuk Baitul Maqdis. Tanggal 14 Agustus 1291 M kekuasaan tentara Salib sudah lenyap di Timur Tengah. Adapun sisa-sisa tentara Salib, selanjutnya melarikan diri melalui jalan laut dan kebanyakan mereka mengungsi ke Ciprus. Kemenangan demi kemenangan yang diraih tentara Islam pada periode terakhir ini, sangat didukung oleh pimpinan perang yang tangguh dan berani; beberapa pemimpin tentara Islam yang terakhir yaitu Malik al-Kamil, Shaleh al-Kamil, Sultan Qalawun dan Asyraf Khalil berhasil memberikan kekalahan pasukan Salib. Di samping itu tentara-tentara Islam juga merupakan pasukan- pasukan yang terlatih di medan perang. c. Dampak perang Salib terhadap peradana Islam 1) Perang Salib yang berlangsung antara Bangsa Timur dengan Barat menjadi penghubung bagi Bangsa Eropa khususnya untuk mengenali dunia Islam secara lebih dekat lagi. Ini memiliki arti yang cukup penting dalam kontak peradaban antara Bangsa Barat dengan peradaban Timur yang lebih maju dan terbuka. Kontak peradaban ini berdampak kepada pertukaran ide dan pemikiran kedua wilayah tersebut. Bangsa Barat melihat kemajuan ilmu pengetahuan dan tata kehidupan di Timur dan hal ini menjadi daya dorong yang cukup kuat bagi Bangsa Barat dalam pertumbuhan intelektual dan tata kehidupan Bangsa Barat di Eropa. Interaksi ini sangat besar andilnya dalam gerakan renaisance di Eropa. Sehingga dapat dikatakan kemajuan Eropa adalah hasil transformasi peradaban dari Timur. 2) Pra Perang Salib masyarakat Eropa belum melakukan perdagangan ke Bangsa Timur, namun setelah Perang Salib interaksi perdaganganpun dilakukan. Sehingga pembauran peradabanpun tidak dapat dihindarkan terlebih lagi setelah Bangsa Barat mengenal tabiat serta kemajuan Bangsa Timur. Perang Salib membawa perubahan yang cukup signifikan terhadap perkembangan ekonomi Bangsa Eropa. Kehidupan lama Bangsa Eropa yang berdasarkan ekonomi semata sudah berkembang dengan berdasarkan mata uang yang cukup kuat. Dengan kata lain Perang Salib mempercepat proses transformasi perekonomian Eropa. 3) Perang Salib sebagai sarana mengalirnya ilmu pengetahuan dari Timur ke Barat. Pasca penyerbuan yang berlangsung lebih dari 2 abad, para tentara Barat mulai menyesuaikan diri dengan kehidupan Bangsa Timur. Mereka melihat ketinggian peradaban dan budaya Islam dalam berbagai aspek kehidupan, yakni, makanan, pakaian, alat-alat rumah tangga, musik, alat-alat perang, obatobatan, ilmu pengetahuan, perekonomian, irigasi, tanam- tanaman, sastra, ilmu militer, pertambangan, pemerintahan, pelayaran (navigasi) dan lain-lain. Tentara Salib (crusaders) membawa berbagai keilmuan ke negara mereka dengan kata lain terjadi transformasi budaya (culture) dan peradaban (civilazation) dari Timur ke Barat. 4) Bangsa Barat melakukan penyelidikan terhadap seni dan budaya (art and culture) serta pengetahuan (knowledge) dan berbagai penemuan ilmiyah yang ada di Timur. Hal ini meliputi sistem pertanian, sistem industri Timur yang sudah berkembang dan maju serta alat-alat teknologi yang dihasilkan Bangsa Timur seperti kompas kelautan, kincir angin dan lain-lain. Setelah kembali ke negerinya Bangsa Eropa menyadari betapa pentingnya memasarkan produk- produk Timur yang lebih maju, mereka mendirikan sistem-sistem pemasaran produk Timur. Maka semakin pesatlah perkembangan perdagangan antara Timur dengan Barat. 5) Perang Salib yang meluluh-lantakkan infra dan supra struktur terutama di negara-negara Timur berakibat tertanamnya rasa kebencian antara Timur dan Barat. Di benak Kristen Eropa diyakini sangat membenci warga Negara Timur baik yang beragama Kristen, Yahudi terutama terhadap Muslim. Tentunya hal ini jika tidak disikapi dengan bijaksana akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. 6) Pada awal kedatangan tentara Salib kondisi Umat Islam tidak bersatu, terbukti adanya tiga kerajaan besar yang bertikai yaitu: Dinasti Fatimiyah di Mesir, Daulah Abbasiyah di Baghdad yang dikendalikan orang-orang Saljuk dan Dinasti Muwahidun di Afrika, ditambah lagi dari tiga dinasti ini masingmasing internnyapun selalu bertikai, tentu hal ini memudahkan para tentara Salib menyerang Umat Islam yang tidak bersatu. Untuk itu hikmah yang perlu diambil adalah perlunya persatuan dan yang yang dibangun dengan akidah benar berdasarkan Al-Qur’an.
4. a. Perkembangan Dinasti Fatimiyah
Pendiri Dinasti Fathimiyah adalah Sa‘id ibn Husain. Sejak berdirinya Dinasti Abbasiah, mereka secara diam-diam menyebarkan misi Ismailiyiah di bawah pimpinan yang cermat. Gerakan ini berhasil membangun fondasi yang kuat bagi berdirinya Dinasti Fathimiyah. Pada akhir abad ke-9 M, Abu Abdullah al-Husain al- Syi‘i, salah seorang propagandis utama dari pemimpin Syi‘ah Isma‘iliah, berasal dari Yaman memperkenalkan diri di kalangan orang Kitama, anak dari suku Berber di Afrika Utara, sebagai utusan utama dari Imam Mahdi. Al-Syi‘i berhasil mempengaruhi masyarakat Berber tersebut untuk mengikuti misinya. Pada saat itu, Ziadatullah al-Aghlabi 903-909 M (Dinasti Aghlabiah) sedang berkuasa di Afrika Utara yang berpusat di Sijilmasa. Setelah berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara, Abu Abdullah Al-Husain menulis surat kepada Imam Ismailiyah, yakni Sa‘id bin Husain As-Salamiyah agar segera berangkat ke Afrika Utara untuk menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi gerakan Ismailiyah. Sa‘id mengabulkan undangan tersebut, dan ia memproklamirkan dirinya sebagai putra Muhammad Al- Habib, seorang cucu imam Ismail. Setelah berhasil merebut kekuasaan Ziyadatullah, ia memproklamirkan dirinya sebagai pemimpin tertinggi gerakan Ismailiyah. Selanjutnya gerakan ini berhasil menduduki Tunis, pusat pemerintahan Dinasti Aghlabiyah, pada tahun 909 M, dan sekaligus mengusir penguasa Aghlabiyah terakhir yakni Ziyadatullah. Sa‘id memproklamirkan diri sebagai imam dengan gelar Ubaidullah Al-Mahdi. Dengan demikian, terbentuklah pemerintahan Dinasti Fathimiyah di Afrika Utara dengan AlMahdi sebagai khalifah petamanya. Dengan memindah ibukota mereka ke Kairo, rezim Fathimiyah melepaskan wilayah Afrika Utara kepada pemerintahan budak Ziriyah (972-1148) dan Hammadiyah (1015-1152). b. Kemajuan Dinasti Fatimiyah 1) Bidang Pemerintahan Bentuk pemerintahan pada masa Fathimiyah merupakan suatu bentuk pemerintahan yang dianggap sebagai pola dalam baru dalam sejarah Mesir. Dalam pelaksanaannya khalifah adalah kepala yang bersifat temporal dan spiritual. Pengangkatan dan pemecatan pejabat tinggi berada di bawah kontrol kekuasaan khalifah. Menteri-menteri (wazir) kekhalifahan dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok militer dan sipil. Yang dibidangi kelompok militer diantaranya: urusan tentara, perang, pengawal rumag tangga khalifah dan semua permasalahan yang menyangkut keamanan. Yang termasuk kelompok sipil di antaranya: 1) Qadi, yang berfungsi sebagai hakim dan direktur percetakan uang 2) Ketua dakwah, yang memimpin darul hikam (bidang keilmuan) 3) Inspektur pasar, yang membidangi bazaar, jalan dan pengawasan timbangan dan ukuran 4) Bendaharawan Negara, yang membidangi baitu mal 5) Wakil kepala urusan rumah tangga khalifah 6) Qori, yang membacakan Alquran bagi khalifah kapan saja dibutuhkan. 2) Filsafat Dalam menyebarkan tentang ke-Syiah-anya, Dinasti Fathimiyah banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat-pendapat Plato, Aristoteles, dan ahliahli filsafat lainnya. Kelompok ahli filsafat yang terkenal pada masa dinasti Fathimiyah adalah ikhwanu shofa. Dalam filsafatnya, kelompok ini lebih cenderung membela kelompok Syiah Ismailiyah, dan kelompok inilah yang mampu menyempurnakan pemikiran-pemikran yang telah dikembangkan golongan Mu‘tazilah terutama dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan ilmu, agama, pengembangan syariah dan filsafat Yunani. Beberapa tokoh filsuf yang muncul pada masa Fathimiyah ini di antaranya: 1) Abu Hatim Ar-Rozi. Ia adalah seorang da‘i Ismailiyat yang pemikirannya lebih banyak dalam masalah politik. Abu Hatim menulis beberapa buku di antaranya Kitab Azzayinah yang terdiri dari 1200 halaman. Di dalamnya banyak membahas masalah fiqih, filsafat dalam agama. Abu Abdillah An-Nasafi. Ia telah menulis kitab al-Mashul. Kitab ini lebih banyak membahas masalah al-Ushul al-Madzhab al-Ismaily. Selanjutnya ia menulis kitab Unwanuddin, Ushulusyar‟i, Adda‟ watu Manjiyyah. Kemudian, ia juga menulis buku tentang falak dan sifat alam dengan judul Kaunul Alam dan al-Kaunul Mujrof. 3) Abu Ya‘kub as-Sajazi. Ia merupakan salah seorang penulis yang paling banyak tulisannya, diantaranya: Asasudawah, Asyaro‟i, Kasyful Asyror, Itsbatun Nubuwah, al-Yanabi, al- Mawazin dan kitab an-Nasyroh. 4) Abu Hanifah An-Nu‘man Al-Maghribi. Ia menulis kitab Da‟aimul Islam alYanabu, Mukhtasorul Atsar, Mukhtasorul Idoh, Kaifayatu Sholah, Manhijul Faroid, ar-Risalah Misriyah, ar-Risalah Datal Bayan Dam Ikhtilafu Ushulul Madhabib. 5) Ja‘far ibnu Mansur Al-Yamani. Ia menulis kitab A‟wiluzakah, Srao‟irunnutaqo‟i, Asyawahid wal bayan, dan al-Fitrotu wal Qironaati. 6) Hamiduddin Al-Kirmani. Ia telah menulis kitab Uyunul Akhbar, al- Mashobihu fi Itsbati Imamah. 3) Keilmuan dan Kesusastraan Seorang ilmuan paling terkenal pada masa Fathimiyah adalah Yakub ibnu Killis. Ia berhasil membangun akademi-akademi keilmuan yang menghabiskan ribuan dinar perbulannya. Ia berhasil membesarkan seorang ahli fisikan bernama Muhammad Al-Tamimi. Di samping Al-Tamimi ada seorang ahli sejarah bernama Muhammad ibnu Yusuf Al-Kindi dan ibnu Salamah Al-Quda‘i. seorang ahli sastra muncul masa Fathimiyah adalah Al-Aziz yang berhasil membangun Masjid Al-Azhar. Pada masa al-Aziz (976-996) , Masjid al-Azhar mengalami perubahan mendasar, menjadi universitas. Keistimewaan masjid ialah dimulai dari sebuah masjid dan berkembang menjadi sebuah universitas yang sampai sekarang masih berdiri sebagai salah satu perguruan tinggi Islam paling terkenal di dunia, Universitas alAzhar. Masjid. Kemajuan keilmuan fundamental masa Fathimiyah adalah keberhasilan membangun sebuah lembaga keilmuan disebut daarul hikam atau daarul ilmi yang dibangun oleh AlHakim pada 1005 M. Bangunan ini dibangun khusus untuk propaganda doktrin ke-Syiahan. Pada masa ini Al-Hakim mengeluarkan dana sebanyak 257 dinar untuk menggandakan manuskrip dan perbaikan buku-buku. Kurikulum yang dikembangkan masa ini lebih banyak ke masalah keislaman, astronomi, dan kedokteran. Ilmu astronomi banyak dikembangkan oleh seorang astronomis Ali ibnu Yunus, Ali Al-Hasan dan Ibnu Haytami. 4) Kondisi Sosial Mayoritas khalifah Fathimiyah bersikap moderat dan penuh perhatian kepada urusan agama non Islam. Selama masa ini pemeluk Kristen Mesir diperlaukan secara bijaksana, hanya khalifah al-Hakim yang bersikap keras terhadap mereka. Orang-orang Kopti dan Armenia tidak pernah merasakan kemurahan dan keramahan melebihi sikap pemerintahan muslim. Pada masa al-Aziz bahkan mereka lebih diuntungkan daripada ummat Islam di mana mereka ditunjuk menduduki jabatan-jabatan di istana. Demikian pula pada masa al-Mustansir dan seterusnya, mereka hidup penuh kedamaian dan kemakmuran. Mayoritas khalifah Fathimiyah berpola hidup mewah. Al-Mustansir mendirikan semacam pavilion di istananya, sebagai tempat memuaskan kegemaran meminum arak bersama dengan sejumlah penari rupawan. c. Kemunduran Dinasti Fatimiyah Setelah Al-Aziz meninggal, Abu Ali Al-Mansur yang baru berumur sebelas tahun diangkat untuk menggantikannya dengan gelar Al-Hakim. Kekuasaanya ditandai dengan berbagai kekejaman. Ia telah membunuh beberapa wazir, merusak beberapa gereja Kristen termasuk Gereja Holy Sepulchre (makam suci) di Palestina pada 1009 M. peristiwa itu menjadi salah satu pemicu berkobarnya Perang Salib. Selain itu, ia juga telah memaksa orang Kristen dan Yahudi untuk memakai jubah hitam, mengendarai keledai dan menunjukkan tanda salib bagi orang Kristen serta menaiki lembu dengan memakai bel bagi orang Yahudi. Kesalahannya yang paling patal adalah pernyataannya yang menyatakan diri sebagai inkarnasi tuhan, yang kemudian diterima dengan baik oleh sekte Syiah baru bernama Druz sesuai dengan nama pemimpinnya Al-Daradzi berasal dari Turki. Pada 1021 M Al-Hakim dibunuh di Muqattam oleh suatu organisasi yang dipimpin oleh saudaranya sendiri, bernama Sita Al-Muluk. Kebijakan politik Al-Hakim telah menimbulkan rasa benci kaum Dzimmi dan Muslim non-Syiah. Anaknya Abu Al-Hasan Ali Adhahir (1021 M/411 H-1035 M/427 H) naik tahta ketika masih berumur enam belas tahun. Sebagai orang yang cukup piawai ia berhasil kembali menarik simpati kaum Dzmmi. Namun, tak lama kemudian ia jatuh sakit karena paceklik dan meninggal dunia pada 1035 M. Sepeninggal Abu Al-Hasan, tahta kekhalifahan digantikan oleh Abu Tamim Ma‘ad Al-Musytansir (1035 M/427H-1094 M/487 H). Pada 1083 M kekuasaannya Fathimiyah di Syiria mulai goyah. Palestina selalu berontak dan kekuasaan Seljuk dari Timur pun mampu menguasai Asia Barat. Provinsiprovinsi Fathimiyah yang di Afrika mulai memboikot pembayaran pajak, ada yang menyatakan kemerdekaan atau kembali bersatu dengan Abbasiyah. Pada 1052 M, suku Arab Bani Hilali dan Sulaim bergerak ke Barat menguasai Tripoli dan Tumisia. Kemudian, pada 1071 M sebagian besar daerah Sycilia dikuasai oleh bangsa Normandia. Pada 446- 454 H, Mesir dilanda wabah penyakit, kemarau panjang dan sungai Nil kering. Keadaan ini terulang kembali pada 459-464 H. Dengan adanya kejadian ini telah menimbulkan kekacauan dan perang saudara. Pada 462 H amir Makkah dan Madinah melepaskan diri dari mazhab Ismailiyah dan Maroko menyatakan bebas dari kekuasaan Fathimiyah. Di Yaman, nama khalifah tidak disebut-sebut lagi dalam khotbah Jumat ini menandakan telah berkurangnya kekuasaan Fathimiyah di Yaman. Setelah Al-Mustansir meninggal, kekhalifahan diganti oleh puteranya yang kedua bernama Abu Al-Qosim Ahmad Al-Musta‘li. Anak yang pertama, Nizar melarikan diri ke Iskandariyah dan di sana mengumandangkan diri sebagai khalifah dengan gelar Al-Mustafa li Din Allah. Ketika Al-Musta‘li mengetahui kejadian ini Al-Afdhal yang mengakat Al- Musta‘li membawa bala tentara untuk menangkap Nizar dan memnjarakannya sampai meninggal. Dengan kejadian ini rakyat terpecah menjadi dua. Yang pertama kelompok Nizar dan kedua Musta‘li. Di luar Mesir, kaum Nizari Ismailiyah asing sebagian berada di Syiria dan sebagiannya lagi di Pegunungan Persia Barat di bawah pimpinan Hasan Assabah. Gerakan inilah yang kemudian disebut Asasin berasal dari kata Hasyasyin “Paraganzais”. Kelompok ini menentang pimpinan Fathimiyah pengikut Agakan, pemimpin kaum Khoja di India. Pada masa Al-Musta‘li ini tentara Salib mulai bergerak menuju pantai negeri Syam dan menguasai Antokia sampai Bait Al-Maqdish. Setelah Al- Musta‘li wafat, ia digantikan anak Abu Ali AlMansur Al-Amir berusia lima tahun (1101 M/495 H-1130 M/524 H). kemudian, Al-Amir dibunuh kelompok Bathiniah. Al-Amir digantikan Abu Al-Maemun Abdu Al-Majid Al-Hafiz (524- 544 M). Al-Hafiz meninggal digantikan Abu Mansur Ismail, anaknya berusia 17 tahun dengan gelar Al-Dhafir. Ia seorang pemuda tampan dan lebih senang memikirkan para gadis dan nyanyian daripada urusan militer dan politik. Sebenarnya dalam kekhalifahannya dia hanyalah seorang boneka sebab kekuasaannya semuanya di bawah pengaruh Wazir Abul Hasari bin Assalar. Pada tahun 1054 M, Al-Adhafir dibunuh anaknya Abbas, kemudian digantikan anak laki-lakinya masih bayi bernama Abul Qosim Isa bergelar Al-Faiz. Al-Faiz meninggal sebelum dewasa dan digantikan sepupunya berusia Sembilan tahun bernama Abu Muhammad Abdullah Al-Adhid. Belum lagi Al-Adhid memantapkan dirinya ke tahta kerajaan, Raja Yerussalem menyerbu Mesir sampai ke pintu gerbang kota Kairo. Perebutan kekuasaan terus terjadi sampai munculnya Salahuddin yang menggantikan pamannya sebagai Wazir. Pada periode akhir Dinasti Fathimiyah persaingan memperebutkan jabatan perdana menteri semakin luas. Orang-orang yang berambisi mendudukinya tidak hanya berkonflik satu sama lain. Mereka juga meminta bantuan penguasa negeri tetangga. Syawar, misalnya, menteri Fathimiyah yang dilengserkan petinggi militer bernama Dhargam pada tahun 558 H, meminta bantuan Nuruddin Mahmud, penguasa Damaskus untuk membantunya merebut kembali kekuasaannya dari tangan Dhargam. Jika berhasil, Syawar berjanji memberi Nuruddin sepertiga pendapatan pajak Mesir.1Interfensi Nuruddin, orang Turkoman, dimanifestasikan dengan tiga ekspedisi militer ke Mesir di bawah pimpinan Shirkuh dan penganugerahannya sebuah kedudukan sebagai menteri tahun 564 H/1169 M. Saladin ditunjukkan untuk menggantikan pamannya setelah pamannya meninggal dunia. Langkah pertama Salahuddin mengirim ekspedisi militer melawan tentara Salib di Karak dan Subik, dan ia mendapat kemenangan. Rakyat Mesir Syi‘ah maupun orang Turki dan Sunni sama-sama menganggap sebagai pelindung mereka menghadapi tentara Salib di Syam. Al- Adhid, khalifah Fathimiyah paling akhir meninggal dunia 10 Muharram 567 H/1171 M. Pada saat itulah Dinasti Fathimiyah hancur setelah berkuasa sekitar 280 tahun lamanya, kemudian Salahuddin memegang kekhalifahan. Dengan munculnya Salahuddin sebagai khalifah, sekte Ismailiyah telah kehilangan pamornya. Sinkron dengan telah dijadikannya pahan Ahlussunnah wal Jamaah sebagai dasar dalam kehidupan keagamaan, maka berakhirlah kekuasaan Syi‘ah Ismailiyah, Dinasti Fathimiyah dari kawasan Mesir.
5. proses penyebaran Islam di asia Tenggara
ada empat teori utama tentang asal-usul Islam di Nusantara yang diperdebatkan dalam membahas kedatangan, penyebaran dan Islamisasi Nusantara, yaitu: 1) Teori India yang secara umum menyatakan bahwa Islam berasal dari India. Teori ini pertama kali diungkapkan oleh Pijnappel yang merupakan professor pertama tentang studi Melayu di Universitas Leiden. Pijnappel berargumen bahwa penyebaran Islam ke seluruh Nusantara berafiliasi pada madzhab fiqh Shāfi’ī Arab dari Gujarat dan Malabar. Hal ini dikarenakan daerah-daerah tersebut sangat sering ditemukan dalam sejarah awal Nusantara. Meskipun demikian, Pijnappel tetap beranggapan bahwa para da’i (proselytizer) yang awal mula menyebarkan Islam adalah orang-orang Arab dari Gujarat dan Malabar, bukan orang-orang India sendiri. Teori Pijnappel kemudian dikembangkan oleh sarjana Belanda lainnya yaitu Snouck Hurgronje yang juga berpendapat bahwa Islam dibawa ke Nusantara dari India, dan bukan langsung dari Arab. 42 Menurut Hurgronje (1883), India Selatan adalah asalusul Islam di Nusantara. Hurgronje berargumen bahwa ketika Islam telah menguasai kota-kota pelabuhan di India Selatan, sejumlah orang Islam dari Decca yang tinggal di sana diperlakukan sebagai “orangorang menangah” (middlemen) dalam perdagangan antara negara- negara Muslim Timur Dekat (Near-Estearn Muslim states) dan Nusantara (Malay Archipelago). Berbeda dengan para pendahulunya, J.P. Moquette (1912) mengatakan bahwa agama Islam dibawa ke Nusantara dari Gujarat, India. Teori Moquette tersebut berdasarkan temuan gaya batu nisan di Pasai khususnya yang berangka tahun 1424 yang sama persis dengan gaya batu nisan yang ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (w. 1419) di Gresik. Bukti ini diperkuat oleh temuan yang menyatakan bahwa batu nisan di Pasai dan Gresik ternyata memiliki kesamaan dengan batu nisan yang ditemukan di Cambay, Gujarat. 2) Teori Arabia Coromandel dan Malabar bukan merupakan satu-satunya tempat yang menjadi asal-usul agama Islam di Nusantara, tetapi juga agama Islam berasal langsung dari Arabia. Menurut Arnold, sebagaimana dikutip Azra, bahwa para pedagang Arab juga menyebarkan Islam ketika mereka mendominasi perdagangan di Barat- Timur sejak beberapa abad awal Hijriah atau abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Meski tidak terdapat rekaman sejarah tentang kegiatan mereka dalam penyebaran Islam, namun kita dapat mengasumsikan bahwa mereka terlibat pula dalam penyebaran Islam kepada penduduk lokal di Nusantara. Asumsi ini didukung oleh fakta yang disebut-sebut oleh sumber Cina yang menjelaskan adanya seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera pada perempat akhir abad ke-7. Beberapa pedagang Arab ini dilaporkan telah menikah dengan penduduk lokal, sehingga mereka membentuk komunitas muslim yang merupakan campuran pendatang dari Arab dan penduduk lokal. Anggota-anggota komunitas muslim ini juga aktif melakukan kegiatan penyebaran Islam. Teori Arabia juga dipegang oleh Crawfurd yang menyatakan bahwa interaksi penduduk Nusantara dengan kaum muslim yang berasal dari pantai timur India juga merupakan fakrtor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara itu, Keijzer memandang Islam di Nusantara berasal dari Mesir atas dasar pertimbangan kesamaan kepemelukan penduduk muslim di kedua wilayah pada madhhab fiqh Syāfi’ī. Teori Arab ini juga dipegang oleh Niemman dan de Hollander yang sedikit melakukan revisi dengan menyatakan bahwa Islam di Nusantara bukan berasal dari Mesir, melainkan berasal dari Haḍramawt. Sebahagian ahli Indonesia setuju dengan teori Arab ini yang menyatakan bahwa Islam di Nusantara datang langsung dari Arabia, tidak dari India, tidak pada abad ke 12 atau ke13, melainkan dalam abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi. Kesimpulan ini dihasilkan dari seminar tentang kedatangan Islam ke Indonesia yang diselenggarakan pada tahun 1969 dan 1978. Diantara pembela “teori Arab” yang juga sebagai penentang “teori India” adalah S.M.N. al-‘Aṭṭās. Sebagaimana Morison al- ‘Aṭṭas tidak bisa menerima temuan epigrafis Moquette pada batu nisan di Pasai dan Gresik yang berasal dari Gujarat untuk dijadikan sebagai bukti langsung bahwa Islam telah dibawa ke Pasai dan Gresik oleh orang-orang muslim India. Batu-nisan dan barang-barang lainnya yang dibutuhkan oleh penduduk wilayah itu sengaja dibawa dari India karena kedekatan jaraknya ke Nusantara jika dibandingkan dengan Jazirah Arab. Meskipun demikian, al-‘Aṭṭās menyatakan bahwa bukti yang paling penting yang dapat dikaji ketika mempertimbangkan kedatangan Islam ke Nusantara adalah berdasarkan karakteristik-karakteristik “internal” dari agama Islam itu sendiri. 3) Teori Persia Teori ini menyatakan bahwa Islam yang datang di Nusantara berasal dari Persia, nukan India atau Arabia. Teoeri ini didasarkan pada kesamaan unsur budaya Persia, khususnya Shiah yang ada dalam unsur kebudayaan Islam Nusantara, khususnya di Indonesia dengan Persia. Diantara pendukung teori ini adalah Hoesin Djajadiningra yang menyatakan tiga alasan. Pertama, ajaran manunggaling kawula gusti Sheikh Siti Jenar dan/atau waḥdah alwujūd Hamzah al-Fansūrī dalam mistik Islam (sufisme) Indonesia adalah pengaruh sufisme Persia dari ajaran waḥdah al-wujūd al-Hallāj Persia. Kedua, penggunaan istilah bahasa Persia dalam sistem mengeja huruf Arab, terutama untuk tanda bunyi harakat dalam pengajaran al-Qur’an sepeti kata “jabar” dalam bahasa Persia untuk kata “fathah” dalam bahasa Arab, kata “jer” dalam bahasa Persia untuk “kasrah” dalam bahasa Arab, dan pes dalam bahasa Perisa untuk “ḍammah” dalam bahasa Arab. Ketiga, tradisi peringatan 10 Muharram atau ‘Ashshūrā sebegai hari peringatan Shiah terhadap shahidnya Husein bin Ali bin Abi Thalib di Karbala. Teori Persia ini dibantah oleh Saifuddin Zuhri yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Kepulauan Nusantara pada abad ketujuh Hijriyah, yaitu masa kekuasaan Bani Umayyah, sehingga tidak mungkin Islam berasal dari Persia pada saat keuasaan politik dipegang oleh bangsa Arab. 4) Teori Cina Teori ini didasarkan pada argument yang relatif sama dengan Teori Persia, yaitu banyaknya unsur kebudayaan Cina dalam beberapa unsur kebudayaan Islam di Indonesia. Menurut H.J. de Graaf yang telah menyunting beberapa literatur Jawa Klasik (Catatan Tahunan Melayu) memperlihatkan adanya peranan orang-orang Cina dalam pengembangan Islam di Inonesia. Dalam tulisan tersebut disebtkan bahwa tokoh-tokoh besar seperti Sunan Ampel (Raden Rahmat/Bong Swi Hoo), Dan Raja Demak (Raden Fatah/Jin Bun) merupakan orang-orang keturnan Cina. Pandangan ini didukung oleh Slemat Muljana dalam bukunya yang kontroverisal, Runtuhnya Kerajaan Hindu jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam Nusantara. Sementara Denys Lombard menunjukkan banyaknya silang budaya Cina dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia, seperti makanan, pakaian, bahasa, seni, bangunan, dan sebagainya. 5) Penyebaran Islam dan Islamisasi Asia Tenggara Tradisitradisi asli (native tradition) ini membicarakan tentang kerajaan-kerajaan masa lampau, dan meskipun dicampur dengan elemenelemen fiktif, mereka telah merekam sejarah masa lampau wilayahnya. Beberapa tradisi asli berbicara tentang proses Islamisasi yang terjadi di daerahnya. Sebahagian besar penulis tradisi asli ini menyebutkan bahwa para pendakwah muslim awal yang mengislamkan nenek moyang mereka adalah orang Arab atau yang berasal dari Arab. Para pendakwah tersebut datang langsung dari Jazirah Arabia dan beberapa orang diantaranya bahkan tinggal menetap secara permanen di daerah-daerah tertenti di Timur. Kebanyakan pendakwah ini kemudian menikah dengan perempuan asli setelah mengislamkan mereka. Anak keturunan mereka melanjutkan perenan dalam mendakwahkan agama baru ini. Beberapa orang diantaranya mengislamkan penguasa asli and menikan dengan putrid-putri kerajaan dan kemudian melahirkan keturunan yang menjadi sulṭān atau penguasa daerah tertentu; sebahagian yang lain menguasai kantor-kantor urusan keagamaan sebagai Qāḍī, Mufṭī, atau guru-guru agama. Manuskrip Sejarah Melayu melaporkan bahwa pendakwa Islam awal yang mengislamkan penguasa Malaka, Sulṭān Muḥammad Shāh, adalah Sayyīd ‘Abdul ‘Azīz, seorang Arab yang berasal dari Jazirah Arabia.8Manuskrip Ḥikāyat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu, keduanya menyatakan bahwa Sharīf Makkah telah mengirim seorang Shaykh Ismā‘īl sebagai pempimpin misi Islam untuk berdakwah di Sumatera. Manuskrip Kedah Annals atau Ḥikāyat Merong Mahawangsa menceriterakan tentang bagaimana seorang Shaikh ‘Abdullah al-Yamanī datang langsung dari Jazirah Arabia dan mengislamkan penguasa atau raja Kedah yang kemudian dikenal sebagai Sulṭān Muzaffar Shah. Sebuah manuskrip atau naskah sejarah bangsa Aceh melaporkan bahwa Islam yang masuk ke daerah sebelah utara pulau Sumatera diperkenalkan oleh pendakwah dari Arab yang dikenal dengan Shaikh ‘Abdullah ‘Arif. Satu diantara para pendamping (disciples) dakwahnya adalah Shaikh Burhān alDīn, yang kemudian melanjutkan dakwahnya sepanjang Priaman. Genealogi Sulu memuat laporan bahwa para pendakwah Islam awal yang datang ke Sulu dan Mindanao adalah berasal dari Arab, contohnya Sharīf Awlya, Sharīf Ḥasan dan Sharīf Maraja. Winstead menyebutkan bahwa pendakwah Islam yang pertama kali datang ke Jawa adalah seorang Arab. Pendakwah ini, Mawlāna Malik Ibrāhīm, datang ke Gresik dan tinggal di sana sampai beliau wafat pada tahun 1419. Pada saat jatuhnya kerajaan Majapahit, pendakwah arab yang lain, Shaykh Nūr al-Dīn Ibrāhīm bin Mawlānā Isrā’īl atau Sunan [Gunung] Jati telah tinggal di Jati, dekat Cirebon. Sunan Jati dan keluarga memperoleh kekusaan politik yang besar, dan kemudian berhasil menguasai Cirebon. Wilayah Jakarta [Raden Fatah] dan Banten (Ḥasan al-Dīn) pada waktu itu diperintah oleh wilayah Jakarta pada waktu itu dikuasai oleh keturunannya. Raden Rahmat yang berperan penting dalam proses Islamisasi Jawa adalah anak dari seorang pendakwah Arab dari Champa. Keturunan Arab lain yang menjadi pendakwah Islam di Jawa adalah Mawlānā Isḥāq dari Pasai yang telah berhasil mengislamkan Blambangan di sebegian besar Wilayah Timur pulau Jawa. Temuan-temuan baru tentang hubungan antara India Selatan dan Nusantara telah membuktikan bahwa adanya pernan para pendakwah muslim dari India dalam proses Islamisasi Nusantara. Kontribusi para pendakwah muslim India, persaudaraan keimanan (brethren) Arab dan Persia mereka, dan kontribusi pendudukan asli sendiri; semuanya telah membantu penyebaran Islam ke seluruh wilayah di Nusantara. Bagaimanapun tidak dapat dipungkiri bahwa para pendakwah Arab awal telah memainkan peranan penting dalam meratakan jalan bagi penyebaran Islam di berbagai wilayah Nusantara. Cesar Adib Majul menyatakan bahwa untuk mendapatkan gambaran menyeluruh tentang pengaruh India di Malaysia Islam, kiranya perlu mempertimbangkan keterlibatan peranan penting Gujarat dan India Selatan secara bersamaan. Sebaliknya, harus dicermati adanya bahaya memberikan penekanan yang berlebihan (overemphasizing) kepada pernan kaum muslim India dalam mengubah kepercayaan penduduk tempatan, karena hal itu akan dapat menafikan atau menegasikan kemungkinan pernan yang dimaikan oleh para Sharīf Arab, Sayyid dan para pengembara dari Jazirah Arabia. Demikian halnya dengan peranan orang-orang Melayu sendiri yang mengislamkan diri mereka sendiri. Beberapa teori tentang bagaimana Islam telah diperkenakan ke Nusantara dan menyebar ke seluruh wilayahnya telah diperluas. Penjelasan yang paling umum dan teori yang paling tua adalah bahwa kedatangan dan penyebaran Islam tersebut telah diselesaikan/dikerjakan melalui perdagangan, sebagaimana disarankan oleh Tome Pires, yang telah menulis sekitar tahun 1515. Teori ini menyatakan bahwa Islamisasi Nusantara telah dilakukan secara damai oleh para pedagang, who tinggal di beberbagai wilayah dan melakukan kawin silang dengan penduduk asli. N. Kern juga berpegang pada pandangan yang sama dan ia lebih memusatkan perhatiannya pada kesamaan antara Islamisasi dan Hindusiasai Nusantara yang menurut pendapatnya juga dilakukan oleh para pedagang. H. Kern juga berpegang pada teori yang sama dan ia menambahkan bahwa sejak para saudagar/pedagang kaya menikah dengan keluarga-keluarga berbagai macam penguasa, mereka dapat memperoleh kekuasaan politik. Sementara itu, A.H. John yang mengembangkan teori yang berbeda, mempertahankan bahwa Islam tidak mungkin (unlikely) dibawa ke Nusantara oleh para pedagang, karena merupakan hal yang tidak biasa pada umumnya menganggap barang dagangan sebagai pembawa (bearer) agama. Sebaliknya yang mungkin adalah bahwa ada barang dagangan tertentu, miliki kaum sufi, yang didampingi oleh para shaykh yang melakukan kerja-kerja dakwah di Nusantara. S.Q. Fatimi mendukung pandangan ini dalam mempertahankan bahwa Islamisasi wilayah Nusantara adalah kerja para kaum Ṣūfī. 99 Van Leur telah mengembangkan teori bahwa proses Islamisasi di Nusantara ditentukan oleh situasi politik dan motif-motif politik. Van Leur mendasarkan teorinya pada pernyataan bahwa Malaka telah dikonversi menjadi Islam karena menginginkan dukungan politik dari pada pedagang muslim. Demikian halnya, Van Leur mengatakan bahwa kerajaan-kerajaan pesisir Indonesia menerima Islam sebagai cara menolak pengaruh Majapahit. Dinastidinasti Islam baru ini mengklaim legitimasi Islam, sehingga memperoleh dukungan umat Islam. Sementara bagi para penguasa yang menginginkan pertumbuhan aktivitas perdagangan di kerajaankerajaan mereka, beralih ke Islam dapat memastikan dukungan perdagangan muslim kepada mereka. Oleh karena itu, Van Leur telah mengilustrasikan bagaimana alas an-alasan politik-ekonomi telah menciptakan penerimaan Islam di berbagai kerajaan kecil di Nusantara. Menurut Van Leur sebagaimana dikutip Hall, pada tahap paling awal, gerakan penyebaran Islam di Nusantara adalah gerakan politik secara keseluruhan, sebuah perselingkuhan (affair) dari para penguasa (rulers) dan pejabat (aristocracy). Islam bukan hanya membawa peradaban yang lebih tinggi melainkan juga perkembangan ekonomi. Menurut Van Leur tidak mungkin terjadi konversi agama ke Islam secara missal karena faktanya hukum Islam tidak berpengaruh signifikan dan bangsa Indonesia tetap berpegang pada hukum adatnya sendiri. Schrieke tetap berpendapat bahwa perkawinan para saudagar/pedagang muslim kaya raya dengan anggota keluarga kerajaan di Nusantara adalah satu faktor yang mempengaruhi penyebaran Islam secara berangur-angsur, bahkan terkadang menjadi penyebab terjadinya konversi masal dari penduduk di daerah-daerah tertentu. Perkawinan silang semacam ini telah menciptakan konversi agama hanya pada kelompok kecil. Schrieke mencari hubungan penyebaran Islam di Nusantara dengan upaya untuk memeriksa perluasan Kristen di bagian dunia ini. Konfrontasi antara Islam dan Kristen di Timur Tengah dan Semenanjung Iberia di Eropa sedang berlanjut di Nusantara. Satu perjuangan merupakan kemajuan antara Portugis pada satu sisi dan pedagang muslim, pengeran dari Arabia, Persia, dan India pada sisi yang lain. Dengan demikian, marwah/kekuatan ekspansi Islam di Asia Tenggara dapat dianggap telah dibalas periksa (counter-check) pada pengaruh Kristen. Akhirnya, penjelasan terbaik terhadap adanya konversi masal oleh penduduk di sebuah wilayah/daerah adalah daya tarik ideologis (ideological appeal) dari agama Islam. Perubahan radikal atau konversi massa jarang terjadi ini masyarakat manapun kecuali ada tensi atau tekanan dan ketidakpuasan dengan sistem yang ada yang menyediakan insentif untuk mencari nilai-nilai keimanan yang baru. Wertheim menggarisbawahi bagaimana gagasan kesetaraan dan penghargaaan individu bagi seorang manusia di dalam komunitas muslim merupakan hal yang begitu banyak menarik bagi orang-orang Nusantara dibandingkan dengan sistem kasta yang rigid dalam agama Hindu. Konsep Islam tentang kesetaraan manusia ini menarik dukungan masyarakat, baik di wilayah perdagangan dimana para pedangan muslim memanggil, maupun di dalam kerajaan-kerajaan Hindu. Dinamika perkembangan intelektualisme Islam Nusantara lebih lanjut terkait dengan kekuasaan para sultan di bumi nusantara yang telah menjadi patron bagi para ulama untuk berkarya. Oleh karena itu puncak kejayaan Islam nusantara berjalan seiring dengan puncak kejayaan lembaga kekuasaan atau kesultanan di kerajaankerajaan Islam di bumi nusantara. Pemetaan kemunculan intelektualisme Islam nusantara Islam adalah berbeda- beda, Pada abad 17 terjadi di Aceh, abad ke-18 terjadi di Palembang, dan abad ke-19 terjadi di Jawa. Sampai dengan akhir abad ke-19 masih ditemukan karya- karya ulama seperti Hasan Mustafa di Jawa Barat yang mula-mula dikumpulkan oleh ajengan Wiranata. Hubungan patron-klien antara penguasa kerajaan dan para ulama Islam Nusantara acapkali menimbulkan pertanyaan tentang independesi inteletualisme ulama dalam memproduksi ilmu pengetahuan keislaman dan secara khusus ortodoksi Islam yang dikembangkan kepada penganutnya. Islamisasi di Dunia Melayu sekalipun tidak mewakili seluruh Asia Tenggara telah terjadi pada abad ke-7, yang ditandai dengan keberadaaan pedagang muslim di wilayah ini dan banyaknya kaum pribumi yang menjadi muslim. Secara umum Islam masuk ke Asai Tenggara dengan cara damai. Melalui kegiatan kaum pedagang dan para sufi. Adapun tiga faktor utama yang menyebabkan Islam begitu cepat tersebar dan berterima di bumi Nusantara adalah (1) ajaran Islam menekankan prinsip ketauhidan dalam sistem ketuhanannya yang membebaskan diri pemeluknya dari kekuatan apapun selain Tuhan; (2) fleksibilitas ajaran Islam dengan nilai-nilai universalnya sehingga senantiasa relevan dengan konteks ruang dan waktu yang berbeda-beda; (3) karakteristik ajaran Islam yang menjadi salah satu faktor perlawanan terhadap kekuatan kolonialisme. Setidaknya ada lima karakteristik Islam di Asia Tenggara; (1) Islam masuk dengan jalan damai yang menjadi dominan secara kultural disamping terjadi proses Islamisasi secara struktural; (2) letak geografis Asai Tenggara yang strategis mendorong banyak orang asing mengunjunginya sehingga Asia Tenggara merupakan kawasan yang bersifat terbuka; (3) Karena kondisi geografis/geopolitis, Islam di Asia Tenggara bersifat variatif dan dinamis; (4) Umat Islam di Asia Tenggara merupakan salah satu wilayah yang penduduknya mayoritas beragama Islam; dan (5) fenomena Islam pesisir yang merupakan Islam agama kota yang tidak kaku, terbuka, tidak terkonsentrasi pada orangnya, bersedia menerima perubahan dan sebagainya. Lain halnya dengan karakteristika Islam daratan dan/atau pedalaman yang cenderung statis, formalistik, struktural, dan kaku. 6. Terjadinya penjajahan Barat terhadap negara Islam, serta bagaimana negara Islam memperjuangkan kemerdekaan negaranya Di awal abad ke-17 M, Inggris dan Belanda mulai menginjakkan kakinya di India. Pada tahin 1611 M, Inggrias mendapatkan izin menanamkan modal, dan pada tahun 1617 M, Belanda mendapatkan izin yang sama. Kongsi Inggris, British East India Company ( BEIC ) mulai berusaha mengawasi wilayah India bagian Timur ketika ia merasa cukup kuat. Penguasa-penguasa setempat tidak bisa mengalahkan Inggris dan akibatnya daerah-daerah Oudh, Bengal, dan Orissa jatuh ke tangan Inggris. Pada tahun 1803 M, Delhi, ibu kota kerajaan Mughal juga berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Inggris. Asia Tenggara merupakan daerah rempah-rempah terkenal di masa itu, justru menjadi ajang perebutan negara-negara Eropa. Kekuatan Eropa malah lebih awal menancapkan kekuasaannya di negeri ini. Kerajaan Islam Malaka yang berdiri pada awal abad ke-15 M di Semenanjung Malaya yang strategis dan merupakan kerajaan Islam kedua di Asia Tenggara setelah Samudera Pasai, ditaklukkan Portugis pada tahun 1511 M. Pada tahun tahun 1521 M, Spanyol datang ke Maluku dengan tujuan dagang. Spanyol berhasil menguasai Filiphina, termasuk di dalamnya beberapa kerajaan Islam, seperti Kesultanan Maguindanao, Kesultanan Buayan, dan Kesultanan Sulu. Akhir abad ke-16 M, giliran Belanda, Inggris, Denmark dan Perancis yang datang ke Asia Tenggara. Akan tetapi, dua negara yang disebut terakhir tidak berhasil menjajah negeri di Asia Tenggara dan hanya untuk berdagang. Belanda datang tahun 1595 M dan dengan segera dapat memonopoli perdagangan di kepulauan Nusantara. Sementara itu setelah Inggris datang ke Asia Tenggara, ia segera menjadi kekuatan yang cukup dominan, menyaingi kekuatan Belanda. Kekuasaan Inggris menancap di Semenanjung Malaya. Inggris bahkan juga sempat menguasai seluruh Indonesia untuk jangka waktu yang tidak terlalu lama di awal abad ke-19 M. Kemajuan-kemajuan Eropa dalam tekhnologi militer dan industri perang membuat Kerajaan Usmani menjadi kecil di hadapan Eropa. Akan tetapi, nama besar Turki Usmani masih membuat Eropa Barat segan untuk menyerang atau mengalahkan wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Islam ini, termasuk daerah-daerah yang berada di Eropa Timur. Namun, kekalahan besar Kerajaan Usmani dalam menghadapi serangan Eropa di Wina tahun 1683 M membuka mata Barat bahwa Kerajaan Usmani telah mundur jauh sekali. Sejak itulah Kerajaan Usmani berulangkali mendapat serangan-serangan besar dari Barat. Meskipun demikian, usaha-usaha pembaharuan itu bukan saja gagal menahan kemunduran Kerajaan Turki Usmani yang terus mengalami kemerosotan, tetapi juga tidak membawa hasil yang diharapkan. Penyebab kegagalan itu terutama adalah kelemahan raja-raja Usmani karena wewenangnya sudah jauh menurun. Di samping itu, keuangan negara yang terus mengalami kebangkrutan, juga karena ulama dan tentara Yenissari yang sejak abad ke-17 M menguasai suasana politik dalam Kerajaan Usmani serta menolak usaha pembaharuan itu. Usaha pembaharuan Turki Usmani baru mengalami kemajuan setelah tentara Yenissari dibubarkan oleh Sultan Mahmud II ( 1807 – 1839 M ) pada tahun 1826 M. Struktur kekuasaan dirombak, lembaga-lembaga pendidikan modern didirikan, penerjemahan buku-buku Barat, siswa-siswa berbakat dijkirim ke Eropa untuk belajar, dan sekolah-sekolah militer didirikan. Ketika Perang Dunia I meletus, Turki bergabung dengan Jerman yang kemudian mengalami kekalahan. Akibatnya kekuasaan Kerajaan Turki semakin Ambruk. Dan dipihak lain satu demi satu daerah-daerah di Asia dan Afrika yang sebelumnya dikuasai Turki Usmani melepaskan diri dari Konstatinopel. Dari sekian banyak faktor yang menyebabkan kemunduran Kerajaan Turki Usmani itu yang tak kalah pentingnya adalah rasa nasionalisme pada bangsa-bangsa yang berada di bawah kekuasaannya. Penetrasi Barat ke pusat dunia Islam di Timur Tengah pertama-tama dilakukan oleh Inggris dan Perancis. Inggris lebih dahulu menancapkan kekuasaannya di India. Perancis merasa perlu memutuskan hubungan komunikasi antara Inggris di Barat dan India di Timur. Oleh karena itu, pintu gerbang India, Mesir harus berada di bawah kekuasaannya. Mesir ditaklukkan pada tahun 1798 M. Pada abad ke-20 M, Italia dan Spanyol ikut bersama Inggris dan Perancis memperebutkan wilayah-wilayah di Afrika. Sementara itu, Rusia menggerogoti wilayah-wilayah muslim di Asia Tengah. Faktor utama yang menarik kehadiran kekuatan-kekuatan Eropa ke negeri-negeri muslim adalah ekonomi dan politik. Bangkitnya Nasionalisme Di Dunia Islam Dan Tumbuhnya Gerakan Partai Yang Memperjuangkan Kemerdekaan Negaranya. Usaha untuk memuluhkan kembali kekuatan Islam pada umumnya – yang dikenal dengan gerakan pembaharuan – didorong oleh dua faktor yang saling mendukung, pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam itu dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat. Yang pertama seperti gerakan Wahabiyah yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abdul al-Wahab ( 1703 – 1787 M ) di Arabia, Syah Waliyullah ( 1703 – 1762 M ) di India, dan gerakan Sanussiyah di Afrika Utara yang dipimpin oleh Said Muhammad Sanusi dari Aljazair. Sedangkan yang kedua, tercermin dalam pengiriman para pelajar muslim oleh penguasa Turki Usmani dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba ilmu pengetahuan dan dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat ke dalam bahasa Islam.Semangat Pan-Islamosme yang bergelora itu mendorong Sultan Kerajaan Turki Usmani, Abd al- Hamid II ( 1876 – 1909 M ) untuk mengundang al-Afghani ke Istambul, ibu kota kerajaan. Gagasan ini dengan cepat mendapat sambutan hangat di negeri-negeri Islam. Akan tetapi semangat demokrasi al-Afghani tersebut menjadi duri bagi kekuasaan Sultan, sehingga al-Afghani tidak diizinkan berbuat banyak di Istambul. Setelah itu, gagasan Pan-Islamisme dengan cepat redup, terutama setelah Turki Usmani bersama sekutunya kalah dalam Perang Dunia I. Kalau di Mesir bangkit nasionalisme Mesir, di bagian negeri Arab lainnya lahir gagasan nasionalisme Arab yang segera menyebar dan mendapat sambutan hangat sehingga nasionalisme itu terbentuk atas dasar kesamaan bahasa. Di India, Syed Amir Ali ( 1848 – 1928 M ) adalah salah seorang pelopr gerakan Pan-Islamisme yang dikenal dengan gerakan Khilafat. Namun, gerakan ini pudar setelah usaha menghidupkannya kembali dihapuskan oleh Mustafa Kemal di Turki. Di Indonesia, Partai politik besar yang menentang kaum penjajah adalah SI ( Serikat Islam ) pimpinan HOS Tjokroaminoto pada tahun 1912 M, SDI ( Serikat Dagang Islam ) didirikan oleh H. Samanhudi tahun 1911 M, PNI yang didirikan oleh Sukarno ( 1927 ), PNI-baru yang didirikan oleh Drs. Moh. Hatta, Permi ( Persatuan Muslimin Indonesia ) yang didirikan oleh partai politik tahun 1932 yang dipelopori oleh Mukhtar Luthfi.
Kemerdekaan Negara-Negara Islam Dari Penjajahan.
Munculnya gagasan nasionalisme yang diikuti dengan berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat Islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka yang bebas dari pengaruh politik Barat. Negara berpenduduk mayoritas muslim yang pertama kali berhasil memproklamasikan kemerdekaannya dari penjajahan Belanda dan Jepang adalah Indonesia, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945. Negara Islam kedua yang merdeka dari penjajahan Inggris adalah Pakistan, yaitu pada tanggal 15 Agustus 1947. Di Timur Tengah, Mesir secara resmi memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1922 dari Inggris, tetapi dalam pemerintahan Raja Faruk pengaruh Inggris sangat besar. Baru pada masa pemerintahan Jamal Abd al-Nasser yang menggulingkan Raja Faruk 23 Juli 1952, Mesir menganggap dirinya benar-benar merdeka. Sedangkan Irak merdeka secara formal tahun 1932, tapi rakyatnya baru merasakan benar-benar merdeka pada tahun 1958. sebelum itu, negara-negara sekitar Irak telah mengumumkan kemerdekaannya seperti Syria, Jordania, dan Libanon tahun 1946. Di Afrika, Lybia merdeka tahun 1951 M, Sudan dan Marokko tahun 1956 M, Aljazair tahun 1962. Semuanya membebaskan diri dari Perancis. Di dalam waktu yang hampir bersamaan Yaman Utara, Yaman Selatan, dan Emirat Arab memperoleh kemerdekaannya pula. Di Asia Tenggara, Malaysia yang waktu itu termasuk Singapura mendapat kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1957, dan Brunei Darussalam tahun 1984 M. Demikianlah, satu per satu negeri-negeri Islam memerdekakan diri dari penjajah. Bahkan di antaranya baru mendapatkan kemerdekaan pada tahun-tahun terakhir, seperti negara-negara Islam yang dulunya bersatu dalam Uni Soviet, yaitu Uzbekistan, Turkmenia, Kirghistan, Kazakhtan, Tasjikistan, dan Azerbaijan pada tahun 1992, dan Bosnia memerdekakan diri dari Yugoslavia juga pada tahun 1992. Namun, pada saat ini masih ada umat Islam yang berharap mendapatkan otonomi sendiri, atau paling tidak menjadi penguasa atas masyarakat mereka sendiri.