Dosen Pengampuh :
Oleh ;
FATHUL GHAFFARI
NIM : 233206080011
1
KATA PENGANTAR
segala taufiq dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah sejarah pemikiran islam pada semester
Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada sang junjungan kita
Nabi Muhammad SAW. Yang telah mampu menuntun kita dari masa kelam
menuju masa yang penuh dengan sinar-sinar keindahan dan keselamatan dalam
beragama.
Dan tidak lupa kami ucapkan terimakasi kepada bapak Dr. Aslam Sa’ad,
M.Ag dan Prof. Dr. H. Miftah Arifin, M.Ag. selaku dosen pengampu mata kuliah
Penulis sangat menyadari dengan sepenuh hati makalah ini tidak akan
luput dari salah dan jauh dari kata sempurna oleh karena itu kritikan yang
Selanjutnya penulis berdoa dengan hati yang ikhlas dan penuh dengan
Penulis
i
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ………………………………………………..15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Berbicara tentang Al-Qur’an sangatlah jauh dari kata Selesai, memang tak
ada henti-hentinya para Ilmuan Islam Mengkajinya. Dilihat dari berbagai Aspek
setiap Ruang dan Waktu, oleh karna itu Al-qur’an dikatakan sebagai Shalih Li
Kulli Az-zaman wal Al-makan . Salah satunya dibidang Penafsiran Al-qur’an yang
para Ulama’ yang sudah dirumuskan sejak dahulu. Dewasa ini, Bermunculan
para ulama’.1
Kaidah atau Metode dalam penafsiran yang disusun oleh para ulama’
Modernis. Sehingga hasil dari penafsiran tersebut akan berbeda dengan penafsiran
terdahulu yang mungkin benar dan mungkin juga salah. Sebut saja Muhammad
yang ada di lauhil Mahfud. Dengan kesimpulan Al-qur’an ada dua, yaitu edisi
1
Halimah, Siti. "Penerapan Hermeneutika Dalam Kajian Islam Nasr Hamid Abu
Zayd." Jurnal Al-Makrifat Vol 1.1 (2016).
1
dunia dan yang sebenarna. Oleh karena itu kita tidak perlu menganggap sakral Al-
qur’an edisi dunia yang menurutnya sudah mengalami modifikasi, revisi dan
substitas. Begitu juga menurut Nasr Hamid Abu Zayd yang mengatakan bahwa
Al-qur’an merupakan Produk dari kebudayaan yang artinya Al-qur’an tak kan
lepas dari struktur kebudayaan bangsa arab. Kemudian jika dilihat dari
Masa lalu dengan Masa kini dan Aspek Ilahi dengan Aspek Manusiawi. Yang jika
dilihat secara teliti metode hermeneutika memiliki dua pemaknaan yang bereda,
salah satunya bisa juga di maknai sebagai metode untuk memperkaya tafsirAl-
qur’an dan yang kedua sebagai pengganti dari ilmu tafsir Al-qur’an.
qur’an banyak menuai Kontroversi yang jika di maknai sebagai pengganti dari
ilmu penafsiran. Karena Metode Penafsiran yang sudah dirumuskan oleh para
ulama’ yang memang jelas memiliki sanad dan sudah dimulai pertama kalinya
oleh nabi sendiri yang memang paham betul akan apa yang dimaksud dalam ayat
yang turunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada Beliau. Oleh karna itu
2
Fauzan, Ahmad. "Teks al-Qur’an dalam Pandangan Nashr Hamid Abu Zayd." Kalimah:
Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam 13.1 (2015): 71-92.
tentang Hermeneutika sebagai pengganti Ilmu Tafsir Tradisional dalam
menafsirkan Al-qur’an.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan urain singkat dari latar belakang masalah di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana Konsep Metode Tarfsir Tradisional ?
2. Bagaimana Konsep Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd tentang metode
Hermeneutika Moderen ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penyusunan
makalah kali ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui dan mengenal siapa itu Nasr Hamid Abu Zayd.
2. Mengetahui garis besar dalam metode penafsiran tradisional / Klasik sebagai
pembanding dari metode penafsiran moderen yang berupa hermeneutika yang
akan di jelaskan lebih rinci
3. Mengetahui pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd tentang hermeneutika
penafsiran Al-qur’an
4. Dapat menimbang dan mengukur cakupan metode hermeneutika yang dinilai
benar menurut ulama’ yang tetap berpegangan teguh pada ilmu tafsir yang
susun oleh para ulama’ terdahulu yang digunakan dalam menafsirkan Al-
qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
3
Mustamin, Kamaruddin. "KONSTRUKSI PEMIKIRAN TAFSIR NASR HAMID ABU
ZAYD." Rausyan Fikr: Jurnal Ilmu Studi Ushuluddin dan Filsafat 11.1 (2015): 71-114.
4
Lutfi, Muhammad. "Hermeneutika Alquran: Model Interpretasi Nasr Hamid Abu
Zayd." Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadith 8.1 (2018): 22-45.
4
organisasi komunikasi nasional di Kairo hingga tahun 1972. Meski demikian ia
tetap memiliki kegemaran dalam disiplin keilmuan terutama pada bidang kritik
sastra di mana ia terus mengasah kemampuan akademiknya. Empat tahun bekerja
pada organisasi tersebut, Abu Zayd berhasil menerbitkan karya ilmiahnya di
jurnal Al-Adab yang dipimpin Amin al-Khuli.5 Dua tahun setelah penerbitan
tulisannya, sembari bekerja ia memulai Pendidikan tinggi dari S1 sampai S3
jurusan Sastra Arab di Universitas Kairo. Ia juga merupakan intelektual dengan
berbagai prestasi yang ia capai bahkan kerap mendapat penghargaan di
kampusnya.6
Ia terkenal dari sebuah karya ilmiahnya yang di ajukan sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Guru Besar di Universitas Kairo Fakultas Sastra
Jurusan Filsafat dengan tema yang di angkat al-Naqb al-Khitab al-Diniy dan
Imam Syafi’i wa Ta’sis al-Idiulujiah al-Wasatiyah.7
Tak sampai di situ, ia dipercaya menjadi dosen mata kuliah studi Al-
qur’an dan Hadist di Universitas Kairo Mesir sejak 1972. Hal inilah yang
menjadikan fokus kajiannya dari bidang linguistik dan kritik sastra. Kemudian ia
banyak mengkaji Al-qur’an melalui pendekatan sastra, linguistik, hermeneutika,
dan sosial-humaniora. Pada tahun 1981 Abu zayd mendapat gelar Ph.D di bidang
studi islam dan sastra, dengan judul karya disertasinya “Falsafat al-Ta’wil:
Dirasat fi Ta’wil al-Qur’an ‘ind Muhy al-Din ‘Arabi”. Dalam karya ini ia
membangun argumen bahwa terdapat kecenderungan penafsiran Al-qur’an yang
disesuaikan dengan pra-konsepsi penafsir. Jika pada karya tesis ia menyebutkan
hal tersebut di lakukan oleh kelompok Muktazilah, maka pada karya disertasi ini,
ia menyebutkan bahwa yang melakukan hal tersebut adalah dari kalangan sufi,
yakni Ibn ‘Arabi. Di mana menurutnya hasil penafsiran Ibn ‘Arabi termasuk
produk sejarah, yang mana Al-qur’an berdialog dalam ruang sejarah penafsir.
yaitu Andalusia, atau Spanyol, di mana tempat Ibn ‘Arabi tumbuh adalah tempat
5
Lutfi, Muhammad." Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadith 8.1 (2018): 22-45
6
Mujahidin, Muhammad Saekul. "HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAYD
DALAM METODE PERKEMBANGAN TAFSIR MODERN." Jurnal Al-Mubarak: Jurnal
Kajian Al-Qur'an dan Tafsir 8.1 (2023): 25-42.
7
Mustamin, Kamaruddin. “ Rausyan Fikr: Jurnal Ilmu Studi Ushuluddin dan Filsafat
11.1 (2015): 71-114.
bertemunya suku dan ras, bahkan agama. Ibn ‘Arabi ingin menggabungkan semua
elemen ini dalam satu rumpun, dengan menggambarkan islam adalah agama cinta
dan agama dengan iman terbuka yang mencakup iman-iman lain, seperti yahudi,
kristen, dan agama lain.8
Ia juga pernah menjadi dosen bahasa Arab di Universitas Osaka, Jepang
pada tahun 1985 hingga 1989. Kemudian ia tinggal di Amerika Karena
memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoral di Institute of Middle Eastem
Studies, University of Pennsylvania, Philadelphia.9
Belakangan ia divonis “murtad”, kemudian dikenal dengan peristiwa
“Qadiyyah Nasr Hamid Abu Zayd”. Pemurtadan Abu Zayd tidak berhenti sampai
di situ, akan tetapi berlanjut hingga pengadilan banding Kairo menetapkan Abu
Zayd harus menceraikan istrinya. Tindakan ini menurutnya sebagai upaya
melanggengkan penguasaan kaum Quraysh terhadap kaum muslimin. Semenjak
peristiwa itu, dia meninggalkan Mesir dan menetap di Netherlands bersama
istrinya. Awalnya, di Netherland Abu Zayd menjadi profesor tamu studi Islam
pada Universitas Leiden sejak 26 Juli 1995, hingga 27 Desember 2000
dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap di Universitas tersebut.
Ia juga menjadi pembimbing beberapa mahasiswa yang sedang menulis
disertasi tentang penafsiran dalam Islam pada beberapa Universitas di Eropa,
seperti Jerman, Prancis, dan Negara lainnya. Ia juga mendapatkan perlindungan
politik di Belanda dengan imbalan ia harus mengajar. Dan kemudian ia kembali
mendapatkan hak-nya sebagai ilmuwan terhormat setelah kunjungannya ke Kairo
tahun 2003 mendapatkan sambutan luar biasa, baik dari kalangan akademisi, pers,
maupun pejabat pemerintah. Ia menghembuskan nafas terakhir pada hari Senin, 5
Juli 2010, akibat serangan virus langka yang secara medis belum ditemukan cara
pengobatannya10
8
Lutfi, Muhammad." Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadith 8.1 (2018): 22-45
9
Mujahidin, Muhammad Saekul." Jurnal Al-Mubarak: Jurnal Kajian Al-Qur'an dan
Tafsir 8.1 (2023): 25-42.
10
Mujahidin, Muhammad Saekul." Jurnal Al-Mubarak: Jurnal Kajian Al-Qur'an dan
Tafsir 8.1 (2023): 25-42.
B. Konsep Metode Tafsir Tradisional
Seperti yang telah diketahui makna tafsir jika dilihat dari segi etimologi
berarti penjelasan ( mengunkap )dan berarti menjabarkan kata yang masih samar.
Sedangkan jika ditinjau dari segi terminologi adalah penjelasan terhadap firman
Allah atau menjelaskan lafadz-lafadz Al-qur’an dengan juga pemahamannya.11
Tafsir sebagai alat yang membantu para pengkaji Al-qur’an dalam
memahaminya guna sebagai keterangan rinci dari teks global dalam Al-qur’an
atau sebagai keterangan lanjutan agar supaya pembaca Al-qur’an tidak salah
dalam memahami teks Al-qur’an itu sendiri. dan juga tafsir sebagai alat bantu bagi
mereka yang kurang mampu dalam memahami Al-qur’an secara kontekstual.
Tafsir yang pertama dan yang paling utama dalam menjelaskan isi dan kandungan
Al-qur’an adalah melalui lisan sang utusan dalam hal ini Nabi Muhammad Saw.
Dalam hadistnya. Baik berupa perkataan ( Aqwal ), perbuatan ( Af’al) dan
pengakuan ( Iqrar) Nabi.
oleh sebab itu Hadist Nabi menjadi penafsir mutlak dalam menjelaskan
dan menguak isi kandungan dalam Al-qur’an. Sehingga jika ada seseorang yang
menafsirkan Al-qur’an dengan membedai dari Sunnah atau Hadist maka yang
dimenangkan atau yang diungulkan adalah Sunnah atau Hadist. Al-qur’an dan
Hadist tidak dapat dipisahkan dan dibenturkan. Sekalipun ada Ayat Al-qur’an
yang seakan-akan berbenturan dengan Hadist atau sebaliknya maka hal tersebut
bukanlah sebagai pembeda melainkan ada hal yang Berusaha untuk dijelaskan dan
diungkapkan.
Menurut ulama’ sumber dari sebuah penafsiran dibagi menjadi empat
macam, yaitu : Al-qur’an dengan Al-qur’an, Al-qur’an dengan Hadist Nabi, Al-
qur’an dengan Ijtihad dan Kekuatan Istinbat, dan Al-qur’an dengan Ahli Kitab
akan tetapi terbatas hanya dalam penyesuaian di antara cerita-cerita para Nabi
dengan ummat-ummat terdahulu.12
11
Salma, Abu. "Sejarah Tafsir dan Perkembangannya." dipublikasikan melalui
http://www. geocities. com/abu_amman/Tafsir. htm/accesse (2009).
12
Adama, Habibia. "Kemunculan Ilmu Tafsir." Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran dan
Tafsir 4.2 (2021): 106-108.
Dalam penafsiran Al-qur’an yang Klasik memiliki beberapa metode yang
sampai saat ini masih relevan untuk dijadikan pedoman. Metode yang banyak
dilakukan oleh para mufassir adalah
1. Tafsir Bil Ma’tsur atau Bir-riwayah
Metode ini terfokus pada Shohihul Mangqul ( riwayat yang Shohih )
dengan menggunakan penafsiran Al-qur’an dengan Al-qur’an dan Al-qur’an
dengan Sunnah. Yang mana ketentuan tersebut memiliki riwayat yang
bersambung pada Nabi. Tidak bisa semerta-merta seseorang yang menafsirkan
Al-qur’an dengan metode ini bisa langsung menentukan ayat ini ditafsirkan
dengan ayat ini atau ayat ini ditafsirkan dengan Hadist ini. Oleh karenanya
hanya tertuju pada Hadist Nabi yang mengandung penjelaskan tentang ayat-
ayat tersebut.
2. Tafsir Bir-ra’yi atau Diroyah
Metode ini lebih luas dari pada metode yang pertama. Dalam metode ini
mengandalkan kekuatan akal seorang mufassir itu sendiri. Dan metode ini
terbagi menjadi dua bagian ;
a) Ar-ro’yo al-mahmudah (penafsiran yang menggunakan akal mufassir yang
perbolehkan) dengan beberapa syarat, yaitu;
1) Tidak keluar dari nilai-nilai Al-qur’an dan As-sunnah
2) Penafsirannya tidak berlawanan dengan penafsiran bil ma’tsur
3) Mengusai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir dan perangkat-
perangkatnya.
b) Ar-ro’yu al-mazmumah (penafsiran yang menggunakan akal mufassir yang
dilarang / tercela), karena bertumpu pada penafsiran makna dengan
pemahamannya sendiri. Dan pengambilan hukumnya hanya menggunakan
akal / logikanya sendiri tanpa di landasi dengan nila-nilai syari’at islam.
Kebanyakan orang yang seperti ini adalah para ahli bid’ah yang sengaja
menafsirkan Al-qur’an untuk mengajak orang lain untuk mengikutinya dan
hanya untuk kepentingan mereka sendiri.13
13
Salma, Abu. dipublikasikan melalui http://www. geocities. com/abu_amman/Tafsir.
htm/accesse (2009).
Menafsirkan Al-qur’an tidak sembarang orang yang bias melakukannya, para
ulama’ sudah merumuskan syarat seseorang yang bias menafsirkan Al-qur’an
diantaranya;
1. Memiliki aqidah yang shahihah, karena hal ini sangat berpengaruh dalam
penafsirannya tentang ayat Al-qur’an.
2. Tidak didasari dengan hawa nafsunya semata, karna dengan hawa nafsu
seseorang akan mengedepankan pendapatnya sendiri tanpa melihat dalil-dalil
yang ada.
3. Menempatkan urutan dalam menafsirkan Al-qur’an seperti penafsiran dengan
ayat-ayat Al-qur’an kemudian jika tidak ditemukan ayat maka dengan Hadist
atau sunnah dan seterusnya.
4. Memahami bahasa arab dan peranggka-perangkatnya, karena memang Al-
qur’an itu sendiri menggunakan bahasa Al-qur’an.
5. Memiliki pemahaman yang mendalam agar dapat mentaujih (mengarahkan)
suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan nusus syari’at.
6. Mengetahui pokok-pokok ilmu yang berhubungan dengan Al-qur’an seperti
ilmu nahwu (grammer), al-istiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke
kata yang lainnya), al-ma’ani, al-bayan, al-badi’, qiroat, aqidah shohihah,
ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal
mansukh, fiqh, qawaid fiqh, hadits, dan lain sebagainya yang banyak
disebutkan dalam Ulumul Qur’an.14
14
Salma, Abu. dipublikasikan melalui http://www. geocities. com/abu_amman/Tafsir.
htm/accesse (2009).
bahkan ada yang menganggapnya sebagai pengganti dari metode yang sudah
pernah ada sebelumnya.
Salah satunya orang yang dianggap sebagai pembaharu dalam penafsiran
Al-qur’an adalah Nasr Hamid Abu Zayd yang menafsirkan Al-qur’an
menggunakan metode Hermeneutika. Menurut Mohammad Arkoun usahanya
menerapkan ilmu-ilmu social dalam mengkaji Al-qur’an sama dengan apa yang
diusahakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd, seorang intelektual asal mesir. Arkoun
menyayangkan sikap para ulama’ mesir yang sudah menghakimi nasr Hamid.
Padahal metodologi Nasr Hamid yang menggunakan pendekatan sastra
kontemporer memang layak untuk diaplikasikan kepada Al-qur’an.15
Nasr Hamid Abu Zayd memiliki pandangan berbeda dalam menafsirkan
Al-qur’an dengan metode yang dipakai mufassir terdahulu yang masih kental
dengan penafsiran tradisional. Ada dua asumsi dasar yang dibangun Nasr Hamid
ketika menjelaskan tentang pendapatnya mengenai Al-qur’an sebagai sebuah teks.
1. Nasr Hamid menyatakan bahwa teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang
bentuknya sama dengan teks-teks yang lain dalam budaya.
2. Setelah asumsi yang pertama dibangun kemudian Nasr Hamid menyatakan
bahwa umat islam saat ini memerlukan kebebasan mutlak dari otoritas teks-
teks keagamaan khususnya Al-qur’an dalam melahirkan pengertian
keagamaan yang sesuia dengan konteks saat kini.
Dari dua asumsi ini merupakan pandangan yang berhaya bagi keyakinan umat
islam . dalam keyakinan umat islam ajakan untuk berpegang teguh kepada Al-
qur’an merupakan perintah langsung dari Allah melalui rasulnya. Manna Al-
qaththan dalam karyanya Mabahits fi Ulun Al-qur’an menjelaskan bahwa Al-
qur’an dengan segala keistimewaan yang ada padanya dapat mengatasi berbagai
macam permasalahan kehidupan.16
15
Halimah, Siti. "Penerapan Hermeneutika Dalam Kajian Islam Nasr Hamid Abu
Zayd." Jurnal Al-Makrifat Vol 1.1 (2016).
16
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000),
14.
Nasr Hamid merumuskan kontruksi konsep hermeneutika sebagai
berikut ;17
1. Al-qur’an sebagai teks dan produk budaya
Menurutnya dalam Divine Attributes in the Qur’an, sebagaimana yang
dikutip oleh Muhammad lutfi dalam Jurnalnya :
“Jika Alquran tidak eternal (abadi), ia diciptakan dalam konteks tertentu,
dan pesan yang dikandungnya juga harus dipahami dalam konteks itu,
pandangan ini membuka untuk interpretasi hukum agama, karena firman
tuhan mesti di pahami menurut semangatnya, bukan lafadnya,
konsekuensi lebih lanjut adalah setiap orang memiliki peran penting
dalam menafsirkan dan mengaplikasikan hukum. Jika pada pihak lain,
firman Tuhan bersifat eternal, tidak diciptakan, dan tidak bisa berubah,
maka gagasan reinterpretasi dalam situasi baru menjadi sesuatu yang
diharamkan dan dikutuk. Tidak ada perbedaan antara lafad dan semangat
hukum Tuhan, dan hanya ulama tertentu yang memiliki peran penting
dalam menjaga dan mempertahankannya.”
Kajian Nasr Hamid terhadap teks Alquran pada dasarnya berangkat dari
sejumlah fakta di sekitar Alquran itu sendiri yang dibentuk oleh peradaban
Arab. Artinya, sebelum Alquran turun, realitas budaya Arab sudah ada. Teks
agama tidak pernah terpisah dari struktur budaya tempat ia terbentuk, teks
terkait langsung dengan ruang dan waktu dalam pengertian sosiologis dan
historis. Dengan pernyataan tersebut nampaklah bahwa Al-qur’an adalah
sebagai produk budaya, termasuk tesk Al-qur’an yang proses devinasinya
telah menjelma ke dalam struktur bahasa Arab
2. Paradigm historisitas Al-qur’an
Peristiwa pewahyuan sebagai titik awal dari lahirnya Alquran merupakan
katakunci dari inspirasi ilahi yang disampaikan kepada manusia melalui
Rasulullah. Penggunaan Alquran dengan bahasa tertentu dari kaumnya,
bahasa Arab, secara otomatis menandakan awal dari sifat kesejarahannya.
Dalam kritisisme teks, posisi historisitas ini sangat signifikan untuk mengulas
17
Lutfi, Muhammad." Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadith 8.1 (2018): 22-45
persoalan dari segi “peristiwa bahasa” dan sekaligus akan mempengaruhi
pada “sistem pemaknaan” terhadap teks itu sendiri.18
3. Formatisasi konteks Al-qur’an
Sturktur teks dan produksi makna teks menurut Nasr Hamid tidak bisa lepas
dari persoalan siyaq (konteks) Artinya, kata siyaq memiliki makna yang luas,
tergantung konteks yang melingkupinya. Hubungan teks dan konteks
sebenarnya bersifat dialektis: teks menciptakan konteks, sebagaimana konteks
menciptakan teks. Sedangkan makna muncul dari pergesekan antar keduanya.
Kontek yang jamak tersebut jika dihadapkan pada teks, termasuk Alquran,
setidaknya mempunyai lima tingkatan konteks, yang jika kelima konteks ini
terlacak, akan sengat membantu proses interpretasi, lima konteks tersebut
sebagai berikut:19
a. Konteks Sosiokultural
b. Konteks Eksternal (Pewacanaan)
c. Konreks Internal (isi wacana)
d. Konteks Linguistik (Narasi)
e. Konteks Pembacaan
4. Pemaknaan produktif sebagai prinsip interpretasi
Berkaitan dengan interpretasi teks, Nasr Hamid memebedakan makna dan
signifikansi, dua hal penting dalam hermeneutikanya. Menurutnya makna
adalah maksud awal yang dikehendaki penulis dengan menggunakan media
bahasa. Sedangkan signifikansi adalah penamaan sebuah hubungan antara
makna itu dengan seserang, atau sebuah persepsi, situsi, bahkan sesuatu yang
dapat terbayangkan.
Pada dasrnya, kerangka pemikiran Nasr Hamid dipengaruhi oleh dua hal
pokok, Konsep Wahyu dan Marxisme. Menurutnya, proses turunnya al-Qur’an
kepada Nabi Muhammad SAW melalui dua tahapan. Pertama adalah tahap tanzil,
yaitu proses turunnya teks al-Qur’an secara vertikal dari Allah kepada Jibril.
18
Hilman Latief, Nas}r H{a>mid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2003), 95.
19
Lutfi, Muhammad." Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadith 8.1 (2018): 22-45
Kedua, tahap ta’wil, yaitu proses di mana Nabi Muhammad SAW menyampaikan
al-Qur’an dengan bahasanya, yaitu Bahasa Arab dan dengan pemahaman manusia.
Sedangkan Marxisme Sudah menjadi rahasia umum bahwa ide-ide dalam
Marxisme melemahkan dasar-dasar agama. Selain menganggap agama adalah
sebuah candu, Marxisme juga berkeyakinan bahwa nilai-nilai agama, moral, dan
hukum dalam sejarahnya selalu mengalami modifikasi, artinya nilai-nilai agama
bersifat relatif bergantung waktu dan zaman yang mengelilinginya. 20 Sehingga hal
inilah yang menjadi perdebatan yang tak ada henti-hentinya dikalangan para
mufassir kontemporer.
20
Lutfi, Muhammad." Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadith 8.1 (2018): 22-45
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nasr Hamid Abu Zayd termasuk dari pemikir pembaharuan islam yang
mengedepankan nilai-nilai ilmiah dari pada nilai budaya atau dogma yang telah
berlaku di tengah-tengah masyarakat pluralis. Sehingga Nasr Hamid banyak
mendapat kecaman dari perbagai sudut karena pembaharuannya dalam
melebelkan Al-qur’an sebagai teks-teks agama yang erat hubungan dengan
budaya di mana ia tumbuh.
Pemikiran Nasr Hanid dalam menafsirkan Al-qur’an memiliki sudut
pandang berbeda dengan para mufassir yang konsisten dengan metode-metode
yang sudah dirumuskan oleh para mufassir terdahulu. Nasr Hamid menggunakan
pendekatan Hermeneutika dalam menafsirkan teks-teks Al-qur’an yang ada pada
saat ini adalah sebagai karya budaya arab. Bukan lagi sebagai Al-qur’an yang
mutlak dari Allah. Dalam hal ini yang dimaksud adalah teks Al-qur’an itu sendiri.
Beberapa rumusan Nasr Hamid tentang konsep hermeneutika adalah Al-
qur’an sebagai teks dan produk budaya, paradigma historisitas Al-qur’an,
formatisasi konteks Al-qur’an dan pemaknaan produktif sebagai prinsip
interpretasi.
Dalam rumusan itulah Nasr Hamid mendapat tudingan sebagai orang yang
sudah keluar dari islam / Murtad. Rumusan tersebut menurut kalangan mufassir
tradisional dinilai dapat merusak keyakinan umat dalam meyakini teks Al-qur’an
sebagai firman Allah secara mutlak. Sehingga jika mengikuti pemikiran Nasr
Hamid seakan akan menghilangkan kesakralan Al-qur’an itu sendiri.
15
DAFTAR PUSTAKA
Adama, Habibia. "Kemunculan Ilmu Tafsir." Al Furqan: Jurnal
Abu Zayd." Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam 13.1
(2015)
Nasr Hamid Abu Zayd." Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadith 8.1
(2018)
(2023)
16
Salma, Abu. "Sejarah Tafsir dan
17