Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KONSEP HERMENEUTIKA KRITIS NASR HAMID ABU ZAYD


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hermeneutika Al-Qur’an
Dosen Pengampu: Irma Riyani, M.Ag, Ph.D

Disusun Oleh:

1. Ahmad Zaki Yamini 1211030015


2. Aisyah Safitri 1211030017
3. Alya Shafira Octaviani 1211030023
4. Aris Munandar 1201030028

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang sudah melimpahkan anugerah serta
hidayah-Nya sehingga penulis bisa menuntaskan tugas makalah yang
membahas tentang “Konsep Hermeneutika Kritis Nasr Hamid Abu Zayd” ini
sesuai waktu yang diberikan.
Mengenai maksud dari pembuatan makalah ini ialah untuk
menuntaskan kewajiban yang diberikan oleh Ibu Irma Riyani, M.Ag, Ph.D
pada mata kuliah Hermeneutika Al-Qur’an. Lebih lanjut, makalah ini juga
bermaksud agar meningkatkan pengetahuan mengenai Konsep Hermeneutika
Kritis Nasr Hamid Abu Zayd untuk para pembaca serta untuk penulis.
Kami berterima kasih kepada Ibu Irma Riyani, M.Ag, Ph.D selaku
Dosen mata kuliah Hermeneutika Al-Qur’an yang sudah memberikan tugas
ini, sehingga kami dapat memperluas pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan prodi yang ditekuni. Kami mengucapkan terima kasih juga kepada
semua pihak yang telah memberikan pengetahuannya untuk membantu kami
menyelesaikan makalah ini.
Kami sadar bahwa makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk menyempurnakan makalah ini.

Bandung, 6 Desember 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

A. Latar Belakang .................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................... 1

C. Tujuan ................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 3

A. Biografi Nasr Hamid Abu Zayd .......................................................... 3

B. Metodologi Nasr Hamid Abu Zayd .................................................... 5

1. Tekstualitas Al-Qur'an ..................................................................... 5

2. Pendekatan Sastra: Teori Dan Kritik Sastra .................................... 9

C. Aplikasi Metode Nasr Hamid Abu Zayd .......................................... 10

BAB III PENUTUP .................................................................................... 13

A. Kesimpulan ....................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah hermeneutika masih sangat asing bagi mayoritas umat
Islam Indonesia, hal ini dianggap wajar karena hermeneutika
merupakan barang impor yang tidak dikenal dalam dunia ilmiah
Islam. Di dunia Islam sendiri, meskipun ada banyak perlawanan
terhadap hasil kajiannya, hal itu tidak menyurutkan semangat
beberapa pemikir kontemporer untuk mengadopsinya dan
mengabaikan berbagai risiko yang harus ditanggungnya, seperti Nasr
Hamid Abu Zayd.
Nashr Hamid Abu Zaid berusaha menemukan makna baru
yang tidak diucapkan dalam Al-Qur'an sesuai dengan konteks saat ini
dengan melakukan kajian hermeneutika1.
Dengan mengkaji pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid dalam
menafsirkan Al-Qur'an melalui metode Hermeneutika Kritis, tulisan
ini mencoba menganalisis mengenai biografi Nasr Hamid Abu Zaid,
metode yang digunakan Nasr Hamid Abu Zaid, dan contoh
pengaplikasiannya.
Abu Zaid percaya bahwa dengan mendefinisikan sifat
"obyektif" teks, interpretasi ideologis Al-Qur'an dapat dikurangi
sampai batas tertentu. Dalam hal ini, teks harus dikaji dan ditafsirkan
secara "obyektif" dengan menggunakan metodologi dan teori ilmiah
yang dikembangkan secara tekstual dan linguistik melalui
hermeneutika dan semiotika2.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Nasr Hamid Abu Zayd?

1
Muhammad Furqan and Sakdiah Sakdiah, “Kajian Hermeneutika Kontemporer: Studi
Analisis Atas Penafsiran Al-Qur’an Nasr Hamid Abu Zayd Dan Hassan Hanafi,” TAFSE: Journal
of Qur’anic Studies 7, no. 1 (2022): 40, https://doi.org/10.22373/tafse.v7i1.12982.
2
Hafid Nur Muhammad and Tedi Turmudzi, dkk., “Analisis Metode Hermeneutika Dalam Al-
Qur’an Atas Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid,” Ulumul Qur’an: Jurnal Kajian Ilmu Al-Qur’an
Dan Tafsir 2, no. 1 (2022): 49–57, https://doi.org/10.58404/uq.v2i1.93.

1
2. Bagaimana metode hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd?
3. Bagaimana contoh pengaplikasian metode hermeneutika Nasr
Hamid Abu Zayd?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui biografi Nasr Hamid Abu Zayd.
2. Untuk mengetahui metode hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd.
3. Untuk mengetahui contoh pengaplikasian metode hermeneutika
Nasr Hamid Abu Zayd.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Nasr Hamid Abu Zayd


Nasr Hamid Abu Zayd lahir di Desa Qahafah, kota Tanta, Mesir
pada tanggal 19 Juli 1943. Beliau seorang pemikir modernis yang sangat
dikenal di Mesir oleh pemerhati pemikiran Islam. Beberapa karya-
karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan
pemikirannya pun banyak dianut oleh para dosen, kalangan akademisi
sebagai bahan pembelajaran di perguruan tinggi3.

Disamping itu beliau juga di juluki “Hero” oleh media-media barat,


karena telah memiliki penghargaan dan pujian dari hasil pemikirannya
seperti karya-karya nya yang sangat terpakai, seperti halnya jurnal, buku,
ruang-ruang perkuliahan, dan lain-lain.

Pada usia delapan tahun, beliau telah hafal Al-Qur’an 30 Juz seperti
kebanyakan anak lainnya, beliau juga pernah menulis kitab bernama
Mafhumun Nash (Membaca kembali teks). Beliau menempuh pendidikan
sekolah dasar di kampung halamnnya pada tahun 1951, pendidikan
tingginya dimulai dari S1 sampai dengan S3 dalam jurusan bahasa Arab
yang beliau selesaikan di Universitas Cairo dengan predikah highest
honours. Dari situlah awal mula Nasr Hamid menunjukkan bakatnya
dalam ilmu bahasa dan sastra yang kemudian mampu menghasilkan
sebuah pembacaan baru dengan pendekatan lingustik dalam studi qur’an,
dan beberapa pemikiran-pemikiran nya4.

Beliau juga pernah tinggal di Amerika pada tahun 1978-1980


ketika ia mendapatkan beasiswa untuk penelitian kedokteran di Institute
of Middle Eastrn Studies, University of Pensylvania, Philadelphia, USA.

3
Henri Shalahuddin, Al-Qur’an Di Hujat (Jakarta: Al-Qalam, 2007).
4
Ali Imron Dkk, Hermeneutika Al-Qur’an Dan Hadist (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010).

3
Di universitas ini, dia mempelajari folklore’ dan metodologi kajian
lapangan (fieldwork)”5.

Karena pendidikannya beliau menguasai bahasa Inggris lisan


maupun tulisan. Beliau juga pernah menjadi dosen tamu di Universitas
Osaka, Jepang. Di sana ia mengajar bahasa Arab selama empat tahun
(Maret 1985-Juli 1989)6.

Beliau pernah meninggalkan kota Mesir dan menetap di


Netherlands bersama istrinya semenjak peristiwa dimana ia di vonis
“murtad” atau lebih dikenal dengan peristiwa “Qadiyyah Nasr Hamid Abu
Zayd”. Pemurtadan itu tidak sebentar, tapi terus berkelanjutan hingga
pengadilan banding Kairo yang menetapkan beliau harus menceraikan
istrinya. Tindakan tersebut sebagai upaya untuk melanggengkan
hegemoni kaum Quraysh terhadap kaum muslimin. Ia juga pernah tinggal
di Netherland sebagai profesor tamu studi Islam pada Universitas Leiden
sejak 26 Juli 1995, hingga 27 Desember 2000 dikukuhkan sebagai Guru
Besar Tetap di Universitas tersebut7.

Dalam karirnya, Nasr Hamid banyak menghasilkan sebuah


karya dalam bidang studi islam, baik itu yang berkaitan dengan
pemikiran keIslaman pada umumnya, maupun studi Al- Qur’an
khususnya. Ahli dalam bidang bahasa tidak menjadi persoalan beliau pun
seorang penulis yang produktif yang mampu menulis lebih dari 29 karya
sejak tahun 1964 sampai 1999. Adapula karya-karya beliau yang sifatnya
kontrofersial, disebabkan banyak pandangan-pandangan Nasr Hamid
yang dianggap sudah melenceng dari prinsip-prinsip ajaran Islam

Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum Al-Qur’an (1994) (Cairo,


1994). Konsep Teks : “Kajian atas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an”. Di dalam
buku tersebut, Nasr Hamid menyebut bahwa Al-Qur’an sebagai

5
Henri Shalahuddin, Al-Qur’an Di Hujat.
6
Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zaid
(Bandung: Teraju, 2003).
7
Nur Ichwan. 194.

4
“produk budaya” (Muntaj al -Tsaqafi). Karya yang lain yang sudah di
publikasikan adalah :8

1. The al-Qu’an: God and Man in Communication (Leiden, 2000).

2. Al-Khitab wa al-Ta’wil (Dar el-Beida, 2000).

3. Dawair al-Kawf Qira’ah fi al-Khitah al-Mar’ah (Dar el-Beidah,


1999).

4. AI-Nass. al-Sultah, al-Haqiqah; (Cairo, 1995). (Teks, Wewenang


Kebenaran).

5. AI-Tafkir fi Zaman al-Tafkir (Pemikiran di era Pengkafiran). (Cairo,


1995).

6. Naqd al-Khitab al-Diniy (Cairo, 1994). (Kritik Wacana Keagamaan)

7. Falsafat al-Ta’wil: Dirasah fi al-Ta’wil Al-Qur’an abd Muhyi al-Din


Ibn Arabiy (Beirut,1993). (Interpretasi Filosofis; Studi Terhadap
Interpretasi Al-Qur’an menurut Ibn ‘Arabi).

8. AI-lttijah al-‘Aqli fi al-Tafsir: Dirasah Qaqiyyat al-Majaz fi Al-


Qur’an (Beirut, 1982). (Pendekatan Rasional dalam Interpretasi : studi
terhadap Majaz menurut kaum Mu’tazilah).

B. Metodologi Nasr Hamid Abu Zayd


1. Tekstualitas al-Qur'an
Abu Zayd tidak memberikan definisi secara pasti tentang apa
yang dimaksudkannya dengan teks, terutama dalam bukunya Mafhum
an-Nash. Namun demikian, Abu Zayd menyebutkan perbedaan antara
nass (teks) dan mushaf (buku). Yang pertama (teks) lebih merujuk
kepada makna (dalalah) yang memerlukan pemahaman, penjelasan
dan interpretasi, sedangkan yang kedua (mushaf) lebih merujuk ke
pada benda (shay'), baik benda estetik ataupun mistik9.

8
Muhammad Alfian, “Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd,” Jurnal Islamika: Jurnal Ilmu-
Ilmu Keislaman, 2018, 27–28.
9
Nasr Hamid Abu Zayd, “Naqd Al-Khitab Al-Dini,” 1994.

5
Abu Zayd membagi teks menjadi dua, yakni teks primer dan
teks sekunder. Teks primer adalah al-Qur'an, sedangkan teks sekunder
adalah sunnah Nabi, yakni komentar tentang teks primer. Teks-teks
keagamaan yang diproduksi oleh para sahabat dan ulama lainnya
diklasifikasi sebagai teks-teks sekunder lain, yang merupakan
interpretasi atas teks primer dan teks sekunder. Oleh karena itu, teks
sekunder hanyalah interpretasi-interpretasi atas teks primer, yang
tidak bisa berubah menjadi teks primer. Kalau teks sekunder
menggeser teks primer maka manipulasi atas teks primer akan
menjadi tidak terkontrol. Dalam hal ini, Abu Zayd menuduh Imam
Syafi'i merubah teks sekunder menjadi teks primer, dan teks primer
menjadi teks sekunder10.
Tekstualitas al-Qur'an mengarahkan pemahaman dan
penafsiran seseorang atas pesan- pesan al-Qur'an. Tekstualitas al-
Qur'an meniscayakan penggunaan perangkat-perangkat ilmiah, yakni
studi-studi tekstual modern. Pengabaian atas aspek tekstualitas al-
Qur'an ini, menurut Abu Zayd akan mengarah kepada pembekuan
makna pesan, dan kepada pemahaman mitologis atas teks. Ketika
makna membeku dan baku (frozen and fixed), ia akan dengan sangat
mudah dimanipulasi sesuai dengan kepentingan ideologis seseorang
atau pembaca11.
Pembahasan tentang teks al-Qur'an, tidak bisa dilepaskan dari
konsep wahyu dalam budaya Arab pra-Islam dan ketika Islam muncul.
Karena, sebagaimana keyakinan umat Islam, al-Qur'an merupakan
teks yang diwahyukan Allah kepada Muhammad melalui malaikat
Jibril, dengan menggunakan bahasa Arab. Abu Zayd menganggap
fenomena wahyu keagamaan (wahy tanzil) sebagai bagian dari
budaya dimana ia muncul.
Abu Zayd merasa perlu memberikan penjelasan baru atas
proses pewahyuan al-Qur'an dengan meminjam teori model

10
Moch Nur Ichwan, “‘Ulamā’, State and Politics: Majelis Ulama Indonesia After Suharto,”
Islamic Law and Society 12, no. 1 (2005): 45–72.
11
Ichwan.

6
komunikasi Roman Jakobson, meskipun tidak persis sama. Proses
pewahyuan menurut Abu Zayd tidak lain adalah sebuah laku
komunikasi (act communication) yang secara natural terdiri dari
pembicara yaitu Allah, seorang penerima, yakni Nabi saw, sebuah
kode komunikasi yakni bahasa Arab, dan sebuah channel, yakni Ruh
Suci (Jibril). Untuk lebih jelasnya, perhatikan bagan berikut ini.
Konteks
Pembicara (Allah) Pesan (al-Qur'an) Penerima (Muhammad)
Channel (Jibril)
Kode (Bahasa Arab)
Pada konsep wahyu di atas, jelas sekali Abu Zayd tidaklah
mengingkari bahwa sang pengirim pesan (risalah) adalah Allah.
Namun demikian dia lebih memfokuskan diri pada teks al-Qur'an
yang ada pada kita (textus receptus), dan tidak mempermasalahkan
kembali dimensi ilahiyahnya. Namun demikian, bukan berarti bahwa
ia menolak "kepenulisan" (authorship) Allah, melainkan bahwa kajian
tentang aspek pembicara (Allah) berada di luar jangkauan investigasi
ilmiah manusia, dan bisa menuntun kepada pandangan mitologis
(usthuri).
Kata-kata literal (mantuq) teks al-Qur'an bersifat ilmiah,
namun ia menjadi sebuah konsep (majfium) yang relatif dan bisa
berubah ketika ia dilihat dari perspektif manusia, ia menjadi sebuah
teks manusiawi. Abu Zayd menyatakan:
Dari peristiwa bahwa teks diwahyukan dan dibaca oleh Nabi,
ia tertranformasikan dari sebuah teks ilahi menjadi sebuah konsep
atau teks manusiawi, karena ia secara langsung berubah dari wahyu
(tanzil) menjadi interpretasi (ta’wil). Pemahaman Muhammad atas
teks merepresentasikan tahap paling awal dalam interaksi teks dengan
pemikiran manusia12.
Menurut Abu Zayd, realitas adalah dasar. Dari realitas,
dibentuklah teks (al-Qur'an) dan dari bahasa dan budayanya

12
Zayd, “Naqd Al-Khitab Al-Dini.”

7
terbentuklah konsepsi-konsepsinya (mafahim), dan ditengah
pergerakannyadengan interaksi manusia terbaharuilah maknanya
{dalalah). Pertama adalah realitas, kedua adalah realitas danterakhir
adalah realitas.
Pandangan di atas mengantarkan Abu Zayd pada kesimpulan
bahwa al- Qur'an adalah produk budaya (al-muntaj ath-thaqafi), yakni
bahwa teks muncul dalam sebuah struktur budaya Arab abad ketujuh
selama lebih dari 20 tahun, dan ditulis berpijak pada aturan-aturan
budaya tersebut, di mana Bahasa merupakan sistem pemaknaannya
yang sentral. Namun pada akhirnya, teks berubah menjadi produser
budaya (muntij ath-tsaqafa), yang menciptakan budaya baru sesuai
dengan pandangan dunianya, sebagaimana tercermin dalam budaya
Islam sepanjang sejarahnya.
Abu Zayd mengatakan bahwa interpretasi adalah wajah lain
dari teks; interpretasi dan teks adalah dua sisi dari satu mata uang.^^
pernyataan ini haruslah dipahami sedemikian rupa sehingga teks
mengarahkan laku interpretasi untuk menguak dunia teks itu sendiri.
Dalam. penggunaan lafal interpretasi, Abu Zayd lebih memilih
menggunakan istilah ta'wit ketimbang tafsir, karena menurutnya ta
'wil berkaitan dengan proses penguakan dan penemuan (istinbat) yang
tidak dapat dicapai melalui tafsir yang hanya menyentuh makna luar
saja. Dalam ta 'wil peran pembaca dalam pemahaman dan penguakan
makna teks adalah lebih signifikan ketimbang tafsir.
Dalam proses tafsir, seseorang penafsir menggunakan
linguistik ('ulum al-lughah) dan ilmu Qur'an ('ulumal-Qur'an) dalam
pengertian yang tradisional, dimana ia merujuk kepada transmisi
(riwayah). Dengan menerapkan bidang-bidang ilmu ini sebagai tools
of analysis, pembacaan biasa (qira'ah 'adiyah) berubah menjadi tafsir.
Namun, ini tidaklah berarti bahwa tidak ada pengetahuan tentang ilmu
Qur'an dan linguistik sama sekali di dalam pembacaan biasa. Namun
dalam pembacaan biasa, bidang-bidang ilmu ini hanya merupakan
latar belakang bagi pembacadan tidak dipergunakan sebagai tool of

8
analysis secara serius. Kalau peran penafsir dalam melakukan laku
tafsir hanya untuk mengenali sinyal-sinyal (tafsirah) dalam
interpretasi (ta’wil), interpreter lebih daripada itu menerapkan kedua
bidang ilmu yang dipergunakan dalam tafsir dan juga perangkat
keilmuan lain dalam ilmu-ilmu kemanusiaan untuk menguak makna
teks yang lebih dalam.

2. Pendekatan Sastra: Teori dan Kritik Sastra


Pendekatan sastra atas teks Qur'an telah dipergunakan sejak
abad pertama Islam, yaitu ketika 'Abdullah Ibn 'Abbas (w. 68H)
menggunakan puisi pra Islam untuk menginterpretasikan beberapa
teks Qur'an. Upaya ini diikuti Oleh beberapa ulama lain, seperti al-
J^iz (w. 255), al-Jurjani (w. 474H) dan az-Zamakhshari (w. 538). ;
Namun dalam perjalanan sejarah, pendekatan sastra telah
agak dipinggirkan baik oleh para sarjana muslim liberal maupun
konservatif. Muhammad Abduh menyatakan bahwa interpretasi
Qur'an bukanlah saat di mana para ahli Bahasa ataupun sastrawan
mempertontonkan kepintarannya, karena al-Qur'an adalah sebuah
kitab bimbingan religius dan spiritual (hidayah) dan bukan sebuah
buku sastra atau filsafat13.
Kritik Abduh terhadap pendekatan linguistik dan sastra
dikounter oleh Amin al-Khulli. Ia mengecam Abduh karena tidak
menyadari bahwa seseorang tidak akan bisa mendapatkan bimbingan
religius dan spiritual (hidayah) Qur'an kecuali jika ia mengetahui
makna literal teks sebagaimana ia dipahami pada masa
pewahyuannya. Al-Khulli mengembangkan sebuah pendekatan sastra
dalam menginterpretasikan teks Qur'an (al-manhaj al-adabift
at~tafsir) dan sebuah teori tentanghubungan antara linguistik dan
interpretasi Qur'an14.

13
Muhammad Rashid Rida, “Tafsir Al-Qur’an Al-Hakim (Known as Tafsir Al-Manar),” Cairo:
Dar Al-Manar 1367 (1954): 180–88.
14
Johannes J G Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt (Brill Archive, 1980).

9
Muhammad Ahmad Khalafallah menerapkan metodologi
Amin al-KuIli untuk menganalisis kisah-kisah profetik dalam al-
Qur'an. Dalam mengkaji hubungan antara teks dan realitas historis, ia
membedakan antara "kebenaran" dan "realitas". Menurutnya kisah-
kisah profetik dalam al-Qur'an bukanlah merupakan kisah historis
sedemikian rupa, namun merupakan sebuah kisah kharismatik. Kisah-
kisah itu diulang-ulang untuk tujuan-tujuan moral religious dan
diulang-ulang dengan cara dan bentuk yang berbeda-beda sesuai
dengan perbedaan konteks dan situasinya. Al-Qur'an menerapkan
gambaran-gambaran sastra yang atraktifuntuk mengeskpresikan
kebenaranpsikologis dan religius15.
Abu Zayd mengikuti Amin al-Khulli dan Khalafallah dan
mengembangkan teori merela lebih lanjut dengan menggunakan
pendekatan yang dikembangkan dalam teori dan kritik sastra modern.
Abu Zayd bahkan yakin bahwa satu-satunya cara untuk memahami
dan menginterpretasikan Qur'an secara objektif adalah dengan
menerapkan pendekatan ini.'" Dengan menempatkan teks pada posisi
sentral, akan membimbing seseorang ke arah penggunaan kesadaran
ilmiah {al-wa'y al-'ilmi) dan menghindari tendensi-tendensi
ideologis{at-tawjih al-ay-diyuluji).

C. Aplikasi Metode Nasr Hamid Abu Zayd


• Aplikasi Penafsiran QS. an-Nahl (16): 3-4
Penciptaan langit dan bumi banyak disebutkan dalam al-Qur’an.
Beberapa di antaranya menggambarkan proses tersebut secara global,
salah satu terdapat dalam QS. al-Baqarah ayat 29, beberapa lain secara
rinci di antaranya terdapat di QS. Al-Qaf ayat 38. Sebagian teks
menyebutkan penciptaan langit saja, sebagian lain hanya menyebut
penciptaan bumi. Kaitannya dengan ini, Abu Zayd mengawali
paparannya dengan menyebut QS. An-Nahl [16]: 3-4 berikut:

15
John E Wansbrough and Andrew Rippin, Quranic Studies: Sources and Methods of
Scriptural Interpretation, vol. 194 (Oxford University Press Oxford, 1977).

10
َ ْ ْ َ َ َ َ ُ ْ ُ َّ َ ٰ ٰ َ َ ْ َ َْ َّ ‫َخ َل َق‬
‫الس ٰم ٰو ِت َوالا ْرض ِبالح ِقِّۗ تعلى عما يش ِرك ْون خلق ال ِان َسان ِم ْن‬

ٌ َ ُ َ َ َ ْ ُّ
‫نطف ٍة ف ِاذا ه َو خ ِص ْي ٌم ُّم ِب ْين‬

Artinya: Dia menciptakan langit dan bumi dengan hak, Maha Tinggi
Allah daripada apa yang mereka persekutukan. Dia telah menciptakan
manusia dari mani, (namun) tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata.
Ayat di atas menyebutkan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi
dengan “al-Haq”, sementara penciptaan manusia berasal dari air mani.
Abu Zayd menggarisbawahi perbandingan antara dua hal ini dengan
mengatakan bahwa penciptaan langit dan bumi dilakukan dengan al-Haq
yang berarti pensucian sang pencipta terhadap dua ciptaan tersebut.
Sementara itu, penciptaan manusia berasal dari air mani yang sangat hina
sehingga menjadikan mereka sebagai pembantah yang mengingkari
nikmat-nikmat-Nya.
Bagi Abu Zayd, dua macam penciptaan tersebut menunjukkan
hubungan paradoksal seperti halnya ayat-ayat yang menjelaskan bahwa
penciptaan langit dan bumi lebih dahsyat dibanding penciptaan manusia.
Salah satu di antara ayat tersebut adalah Q.S. Ghafir [40]: 57 berikut:
َ َ
َ َّ َ َ ْ َّ ٰ َ َّ ْ َ ْ ُ َ ْ ْ َْ َ ٰ ٰ َّ ُ ْ ََ
‫اس لا‬
ِ ‫اس ول ِكن اكثر الن‬
ِ ‫لخلق السمو ِت والار ِض اكبر ِمن خل ِق الن‬

َ ْ َُ َْ
‫يعلمون‬

Artinya: Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada


penciptaan manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Abu Zayd menjelaskan bahwa konteks ayat di atas adalah
pengingikaran terhadap Nabi Muhammad yang kemudian melahirkan
ancaman bahwa kiamat begitu dekat dengan golongan penentang tersebut.
Hubungan paradoksal yang demikian, lanjutnya, menunjukkan proses
penciptaan yang berbeda. Proses penciptaan manusia terjadi melalui

11
berbagai fase dimulai dari air mani hingga menjadi manusia seutuhnya,
sementara penciptaan langit dan bumi dengan al-Haq tidaklah demikian.
Selain itu, Abu Zayd menunjukkan betapa dalam konteks ayat-ayat
penciptaan langit dan bumi, ungkapan “bi al-Haq” muncul dalam formasi
yang berbeda. Perselisihan pendapat mengenai makna “bi al-Haq” juga
dipaparkannya dengan mengutip banyak informasi dari al-Tabari. Kata
tersebut, menurut Abu Zayd yang disandarkan pada Tabari, berarti
“benar” dengan lawan kata batil atau salah berdasarkan Q.S. Sad [38]: 27
berikut:
ً َ َ ُ َ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َّ َ ْ َ َ َ َ
‫اطلا‬ َ
ِ ‫وما خلقنا السماۤء والارض وما بينهما ب‬

Artinya: Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang
ada antara keduanya dengan batil.
Ayat ini menurut Abu Zayd pada intinya menunjukkan bahwa langit
dan bumi ‘diciptakan’ dengan bahan tertentu berdasarkan penggunaan
huruf ba’ dan alif lam yang menunjukkan bahan penciptaan, bukan
sifatnya. Meski demikian, ia juga menyebutkan penafsiran lain yang
mengatakan bahwa al-Haq berarti ‘perkataan’ Allah sebab ketika Allah
berkehendak menciptakan sesuatu, ia akan ‘berucap’ jadilah/ kun” seperti
yang dikemukakan dalam Q.S. Yasin [36] :82 berikut:
ُ ُ َ ُ َٗ َ ُ ْ َ َ َ َ َ َ َ َّ
‫ِانمآ ا ْم ُر ٗ ٓه ِاذآ ا َراد ش ْي ًٔـاۖ انَّيق ْول له ك ْن ف َيك ْون‬

Artinya: Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki


sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia.
Dengan demikian, sedikitnya ada dua perbedaan pandangan perihal
makna di balik al-Haq, yakni sebagai bahan penciptaan dan proses
penciptaan. Abu Zayd cenderung pada penafsiran pertama16.

16
Nur Muhammad and Turmudzi, dkk., “Analisis Metode Hermeneutika Dalam Al-Qur’an
Atas Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid.”

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nasr Hamid Abu Zayd lahir di Desa Qahafah, kota Tanta,
Mesir pada tanggal 19 Juli 1943. Nasr Hamid banyak menghasilkan
sebuah karya dalam bidang studi islam, baik itu yang berkaitan
dengan pemikiran keIslaman pada umumnya, maupun studi Al-
Qur’an khususnya. Ia juga seorang penulis yang produktif yang
mampu menulis lebih dari 29 karya sejak tahun 1964 sampai 1999.

Metode hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd yaitu; pertama,


Tekstualitas al-Qur'an, yang mengarahkan pemahaman dan
penafsiran seseorang atas pesan-pesan al-Qur'an. Pandangan Abu
Zayd bahwa al- Qur'an adalah produk budaya (al-muntaj ath-thaqafi)
yang pada akhirnya, teks berubah menjadi produser budaya (muntij
ath-tsaqafa). Kedua, Pendekatan Sastra: Teori dan Kritik Sastra. Abu
Zayd mengikuti Amin al-Khulli dan Khalafallah dan mengembangkan
teori mereka lebih lanjut dengan menggunakan pendekatan yang
dikembangkan dalam teori dan kritik sastra modern.

Sampai pada kesimpulan bahwa QS. al-Nahl (16): 3-4


memaparkan penciptaan langit dan bumi dengan al-haq menurutnya
lebih menekankan pada bahan penciptaan dan bukan prosesnya.

13
DAFTAR PUSTAKA
Dkk, Ali Imron. Hermeneutika Al-Qur’an Dan Hadist. Yogyakarta: Elsaq
Press, 2010.
Furqan, Muhammad, and Sakdiah Sakdiah. “Kajian Hermeneutika
Kontemporer: Studi Analisis Atas Penafsiran Al-Qur’an Nasr Hamid
Abu Zayd Dan Hassan Hanafi.” TAFSE: Journal of Qur’anic Studies 7,
no. 1 (2022): 40. https://doi.org/10.22373/tafse.v7i1.12982.
Henri Shalahuddin. Al-Qur’an Di Hujat. Jakarta: Al-Qalam, 2007.
Ichwan, Moch Nur. “‘Ulamā’, State and Politics: Majelis Ulama Indonesia
After Suharto.” Islamic Law and Society 12, no. 1 (2005): 45–72.
Jansen, Johannes J G. The Interpretation of the Koran in Modern Egypt. Brill
Archive, 1980.
Muhammad Alfian. “Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd.” Jurnal
Islamika: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 2018, 27–28.
Nur Ichwan. Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika
Nasr Abu Zaid. Bandung: Teraju, 2003.
Nur Muhammad, Hafid, and Tedi Turmudzi, dkk. “Analisis Metode
Hermeneutika Dalam Al-Qur’an Atas Pemikiran Nasr Hamid Abu
Zaid.” Ulumul Qur’an: Jurnal Kajian Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir 2, no.
1 (2022): 49–57. https://doi.org/10.58404/uq.v2i1.93.
Rida, Muhammad Rashid. “Tafsir Al-Qur’an Al-Hakim (Known as Tafsir Al-
Manar).” Cairo: Dar Al-Manar 1367 (1954): 180–88.
Wansbrough, John E, and Andrew Rippin. Quranic Studies: Sources and
Methods of Scriptural Interpretation. Vol. 194. Oxford University Press
Oxford, 1977.
Zayd, Nasr Hamid Abu. “Naqd Al-Khitab Al-Dini,” 1994.

14

Anda mungkin juga menyukai