Anda di halaman 1dari 12

TERADISIONALISME ISLAM SEYYID HOSSEIN NASR

Dosen Pengampu: Ade Abdul Muqit, M.Pd

Disusun Oleh:
Muhamad Iqbal Apriansyah (211310267)
Ahmad Novian Lutfi ()
Nasrullah ()

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS PTIQ JAKARTA
1444H / 2024M
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil‘Alamin segala puji bagi Allah SWT dan rasa
syukur yang selalu kami haturkan atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah, serta ‘inayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah mata kuliah Tafsir Kontemporer dalam
rangka menuntaskan tugas makalah yang berjudul “Tradisionalisme Islam
Seyyid Hossein Nasr” Sholawat serta salam tak lupa kita curahkan jua kepada
baginda Nabi Muhammad Sholallahu’alaihi wassallam beserta para shohabat dan
kita sebagai ummat-Nya yang semoga kita semua mendapat syafa’at-Nya di
akhirat kelak Aamiin yaa Rabbal ‘Alamin. Seperti yang diharapkan,
bagaimanapun kami juga tidak bisa memendam ucapan terima kasih yang ingin
kami sampaikan kepada Dosen Pengampu Bapak Ade Abdul Muqit, M.Pd. selaku
Dosen kami dalam pembelajaran mata kuliah Aliran Modern Dalam Islam, juga
kepada kedua orang tua kami yang tak pernah lelah mendukung kami atas
tercapainya semua cita-cita kami, serta kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan baik moril maupun materil kepada kami dalam
menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kata sempurna serta masih banyak terdapat kekurangannya. Oleh karena itu, kritik
serta saran yang bersifat membangun dari pembaca adalah sangat berharga bagi
kami guna perbaikan dan peningkatan kualitas penyusunan makalah kami yang
lainnya di masa yang akan datang.
Besar harapan kami semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua
serta menjadi tambahan referensi bagi penyusunan makalah dengan tema yang
senada di waktu yang akan datang. Aamiin yaa rabbal ‘alamiin.

Penulis

Jakarta, 18 Februari 2024

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................1
C. Tujuan Masalah............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi Sayyed Hossein Nasr.....................................................................2
B. Pengaruh Pemikiran Yang Didapat Semasa Belajar di Barat.......................3
C. Sayyed Hossein Nasr dan Gagasan Islam Tradisional (Tradisionalisme)....4
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN........................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di kalangan ummat Islam, muncul seorang tokoh muslim sekitar abad
XVIII yang meresponi filsafat perennial dengan mencoba memunculkan
kembali doktrin-doktrin tradisional yang disebut dengan filsafat tradisi.
Diskursus tentang tradisi Islam di tengah modernitas sebai telaah terhadap
pemikiran Seyyed Hossein Nasr, tentu tidak bisa mengabaikan pemikirin
filsafat beliau yakni filsafat perennial atau filsafat tradisi. Karena dalam
pemikiran filsafatnya itulah terangkum pemikiran-pemikiran beliau tentang
tradisi Islam.
Istilah perennial pertama kali digunakan di dunia Barat oleh Augustinus
Stechus (1497-1548) dengan judul bukunya “De Pereni Philoshopia” yang
diterbitkan pada tahun 1540. Istilah tersebut kemudian dipopulerkan oleh
Leibinitz pada tahun 1715.[2] Lalu muncul pertanyaan bagimanakan respon
Seyyed Hossein Nasr tentang perenial ini, dan bagaimana pula pemikirannya
tentang tradisi Islam di tengah modernitas yang terangkum dalam filsafat
perenial beliau.
B. Rumusan Masalah
1. Biografi Sayyed Hossein Nasr?
2. Pengaruh Pemikiran Yang Didapat Semasa Belajar di Barat?
3. Sayyed Hossein Nasr dan Gagasan Islam Tradisional
(Tradisionalisme)?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Biografi Sayyed Hossein Nasr?
2. Untuk mengetahui Pengaruh Pemikiran Yang Didapat Semasa Belajar
di Barat?
3. Untuk mengetahui Sayyed Hossein Nasr dan Gagasan Islam
Tradisional?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Sayyed Hossein
Seyyed Hossein Nasr lahir pada tanggal 7 april 1933, di kota
Teheran, Iran, Negara tempat lahirnya para sufi, filosofi, ilmuwan dan
penyair muslim terkemuka. Ayahnya, Seyyed Waliullah Nasr, disamping
dikenal sebagai seorang ulama terkenal di Iran pada masanya, juga dikenal
sebagai seorang dokter dan pendidik pada masa berkuasanya Reza Shah, ia
diangkat setingkat dengan jabatan Menteri Pendidikan 1
Pendidikan dasarnya disamping diperoleh secara informal dari
keluarga juga mendapat pendidikan tradisional secara formal di Teheran.
Di lembaga ini, ia mendapatkan pelajaran menghafal Al-Qur‟an dan
menghafal syair-syair Persia klasik. Pelajaran ini sangat membekas dalam
jiwa dan pikiran Nasr. Kemudian ayahnya mengirim belajar kepda
sejumlah ulama besar di Qum Iran, termasuk kepada Thabathaba‟i, penulis
tafsir Mizan, untuk mendalami filsafat, ilmu kalam dan tasawuf.
Pendidikan tingginya ditempuh di Amerika di Massachusetts Institut of
Technologi (MIT), disana berhasil mendaptkan diploma B.S. (Bachelor of
Science) dan M.A. (Master of Art) dalam bidang fisika. Prsetasi yang
disandangnya belum memuaskan dirinya. Lalu Seyyed Hossein Nasr
melanjutkan Universitas Harvard menekuni History of Science and
Philosophy, diperguruan tinggi ini Nasr berhasil memperoleh gelar Ph.D
(Doctor of Philosophy) pada tahun 1958.2
Karir Nasr sebagian dihabiskan di Barat, meski begitu bukan
berarti dia mengikuti pola pemikiran Barat sepenuhnya. Dia juga
mengkritik cukup tegas kelemahan-kelemahan pola pemikiran dan
pandangan Barat, seperti terlihat dalam karyanya, Traditional Islam in the
Modern World; Islam and the Plight of Modern Man (1975), dan The
Encounter of Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man
(1968). The Encounter of Man and Nature ini merupakan jawaban filsafat
perenial yang brilian atas krisis lingkungan pada masa kini, dengan
1
Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep
Tradisionalisme Seyyed Hossein Nasr, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 35 h.
2
Komaruddin Hidayat, Upaya Pembebasan Manusia Sufistik Terhadap Manusia Modern Menurut
Seyyed Hossein Nasr, dalam Insan Kamil: Konsep Manusia Menurut Islam, Penyunting: M.
Dawam
Rahardjo, Cet. 2, (jakarta: Pustaka Grafitipers, 1987), 183 h.

2
menawarkan jalan alternatif untuk dapat keluar dari krisis ini. Nasr
mengarahkan kepada kita bahwa tuntutan perkembangan teknologi dan
ekonomi benar-benar tidak sejalan dengan keinginan lingkungan akan
lingkungan yang damai dan bersih. Ia mengatakan bahwa krisis
lingkungan dan sosial yang dihadapi manusia modern adalah hasil
“ketidak seimbangan” antara manusia dan Tuhan.

B. Pengaruh Pemikiran Yang Didapat Semasa Belajar di Barat


Seyyed Hossein Nasr bertemu dengan banyak pemikir Barat yang
mengkaji Islam dari berbagai macam perspektif. Selain belajar tentang
ilmu sains, Nasr juga mempelajari ilmu-ilmu metafisika, khususnya
metafisika Timur yang banyak ia dapatkan diperpustakaan-perpustakaan
Barat. Ketertarikannya terhadap disiplin keilmuan ini tidak lepas dari latar
belakang kehidupannya sebagai seorang Iran yang kental dengan budaya
mistik kesufian dan didukung oleh pengetahuan mistis dari ajaran Syi’ah.3
Diantara para tokohnya yang paling berpengaruh adalah Frithjof
Schuon seorang perenialis sebagai peletak dasar pemahaman eksoterik dan
esoterik Islam. Nasr sangat memuji karya Schuon yang berjudul Islam and
Perennial Philoshopy. Nasr memberikan gelar padanya sebagai My Master.
Salah satu tokoh yang juga banyak mempengaruhi Nasr adalah Rene
Guenon. Rene Guenon merupakan salah satu tokoh yang banyak
mempengaruhi orientasi tradisionalisme Nasr, khususnya peletak
pandangan metafisis hermetisme sebagai bagian yang penting dalam
kerangka besar pemikiran perennial.
Seyyed Hossein Nasr kembali ke Iran tahun 1958 setelah
menyelesaikan program doktornya di Harvard University. Sekembalinya
ke Iran ia segera bergabung dengan kegiatan-kegiatan akademis di sana.
Kedalaman ilmunya memberikan satu tempat khusus baginya sebagai
seorang tokoh baru di Iran. Nasr aktif dalam kegiatan akademis dan
keagamaan, seperti keterlibatannya dalam diskusi-diskusi dengan para
tokoh Syi’ah di sana seperti Allamah Thabathaba’i, Muhammad Kazim
Assar dan Abu Hasana Rafi’i Wazwini. Pada awalnya Nasr lebih berkiprah
di dunia akademis. Ia banyak mempengaruhi filsafat Islam modern di Iran
melalui karya-karyanya.
Filsafat perennial adalah nama lain dari metafisika Islam
sebagaimana dipahami Nasr. Ia juga menyebutnya sebagai ilmu tentang
kenyataan ultim, yang ada dalam semua agama atau tradisi spiritual sejak

3
Hanna Widayani, “Pemikiran Sayyid Hossein Nasr Tentang Filsafat Perennial”, Jurnal Al-
Afkar,Vol. 6, No. 1, (2017), 57 h.

3
awal sejarah intelektual manusia hingga kini. Meskipun disebut “filsafat”,
warna mistikalnya amat kental. Nasr banyak merujuk pemahaman tentang
esoteris dan eksoteris Islam dari buku Frithjof Schuon4 berjudul
Understanding Islam yang diterjemahkan dari bahasa aslinya berbahasa
Perancis berjudul Comprendre Islam oleh D.M. Matheson. Buku ini
pertama kali diterbitkan oleh Gallimard tahun 1961. Diterbitkan dalam
bahasa Inggris pertama kali tahun 1963 di London oleh George Allen and
Unwin. Buku ini menjelaskan bagaimana metode filsafat perenial
diterapkan dalam mendekati ajaran Islam. Diperjelas lagi dengan karya
Schuon berikutnya berjudul Islam and the Pernnial Philosophy yang
diterbitkan oleh World of Islam Festival Publising tahun 1976. Dapat
dilihat dalam terjemahan bahasa Indonesianya dalam Frithjof Schuon,
yang berjudul Islam dan Filsafat Perenial. Pemikir ini banyak memberikan
kontribusi mengenai pandangan-pandangan metafisis dalam filsafat
perenial yang berisi kritik atas filsafat Barat modern. Dan yang paling
urgen adalah dia juga seorang tokoh utama dalam perspektif tradisional di
dunia modern yang banyak berbicara tentang makna tradisi.

C. Sayyed Hossein Nasr dan Gagasan Islam Tradisional


(Tradisionalisme)
Dua abad lalu, apabila seorang Barat, seorang Konfucian Cina atau
seorang Hindu dari India menelaah Islam, niscaya yang mereka jumpai
adalah tradisi Islam yang tunggal. Orang yang seperti itu mungkin saja
akan menemukan sejumlah madzhab pemikiran, interpretasi-interpretasi
hukum, teologi dan bahkan sekte-sekte yang terpisah dari tubuh utama
umat. Begitu pula orang tersebut akan menemukan ortodoksi dan
heterodoksi dalam akidah dan juga praktek. Tetapi dari semua yang telah
diamatinya, baik dari ucapan-ucapan esoterik seorang suci sufi hingga
keputusan-keputusan yuridikal seorang ‘alim’, maupun dari pandangan
teologikal ketat seorang doktor aliran hambali dari Damaskus hingga
pernyataan-pernyataan berat Syiisme yang agak ekstrem, dalam tingkat
tertentu merupakan bagian dari tradisi Islam: yakni dari pohon tunggal
wahyu Illahi yang akar-akarnya adalah Al-Qur;an dan Hadits, sedang
batang dan cabang-cabangnya membentuk tubuh tradisi yang tumbuh dari
akar-akar itu selama lebih dari empat belas abad dihampir setiap penjuru
dunia.
Seyyed hossein nasr merinci tradisi dengan tiga ciri yaitu: tradisi
yang bersifat suci karena diturunkan tuhan pada berbagai agama lewat
4
Hanna Widayani, “Pemikiran Sayyid Hossein Nasr Tentang Filsafat Perennial”, h. 60.

4
pewahyuan dalam konteks zaman dan tempat yang berbeda. Tradisi
senantiasa tidak berubah karena mengandung kontinuitas, mengandung
sain mengenai realitas mutlak dan cara mengaktualisir dan merealisasi
pengetahuan pada masa tempat dan masa yang berbeda. 5 Jelasnya tradisi
merupakan seruan dari pusat eksistensi, mengandung kebenaran metafisis
dan selalu memancarkan yang bersumber dari realitas transenden.
Di samping itu, menurut Seyyed Hossein Nasr, bahwa tradisi
mencakup tiga hal yaitu: ad-din sebagai agama yang meliputi semua aspek
dan segala cabangnya, as-sunnah sebagai sesuatu yang sakral dan telah dan
sudah menjadi keiasaan turun-temurun di kalangan masyarakat tradisional.
Yang terakhir adalah as-silsilah sebagai mata rantai yang mengaitkan
masing-masing priode, episode atau tahap kehidupan dan pemikiran dalam
dunia tradisional kepada sumber segala sesuatu.6
Karenanya tradisi mirip sebuah pohon, akar-akarnya tertanam
melalui wahyu didalam sifat illahi dan darinya tumbuh batang dan cabang-
cabang sepanjang zaman. Di jantung pohon tradisi itu berdiam agama, dan
saripatinya terdiri dari barakah yang karena bersumber dari wahyu,
memungkinkan pohon tersebut terus hidup. Tradisi menyiratkan kebenaran
yang kudus, yang langgeng, yang tetap, kebijaksanaan yang abadi, serta
penerapan bersinambung prinsip-prinsp yang langgeng terhadap berbagai
situasi ruang dan waktu.7
Kenapa tradisionalis-tradisionalis bersikeras untuk mengukuhkan
pertentangan antara tradisi dan modernisme? Itu tidak lain karena sifat
modernisme itu sendiri telah menimbulkan citra yang sama di bidang
religius dan metafisika yaitu menampakan yang setengah-benar sebagai
kebenaran. Islam tradisional memandang manusia bukan sebagai makhluk
yang terpenjara oleh akal dalam arti rasio semata sebagaimana yang
dipahami pada zaman renaisans, tetapi sebagai makhluk yang suci, yang
tak lain adalah manusia tradisional. Manusia suci, menurut nasr, hidup di
dunia yang mempunyai asal maupun pusat. Dia hidup dalam kesadaran
penuh sejak asal yang mengandung kesempurnaannya sendiri dan
berusaha untuk menyamai, memiliki kembali, dan mentransmisikan
kesucian awal dan keutuhannya. Hal itu didasarkan pada konsep manusia
primordial sebagai sumber kemanusiaan, refleksi total, dan lengkap
mengenai Illahi dan realitas pola dasar yang mengandung posibilitas-
posibilitas eksistensi kosmik itu sendiri. Signifikasi Islam tradisional dapat
pula dipahami dalam sinaran sikapnya terhadap fase Islam. Islam
5
Sayyed Hosein Nashr, Islam and the Plight of Modern. Terj. (Bandung: Pustaka, 1994), h. 7-9.
6
Sayyed Hosein Nashr, Traditional Islam, h. 3.
7
Sayyed Hosein Nashr, Knowledge and Sacre (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), h.
65.

5
Tradisional menerima Qur’an sebagai kalam Tuhan baik kandungan
maupun bentuknya. Sebagai persoalan duniawi abadi kalam Tuhan yang
tak tercipta dan tanpa asal-usul temporal. Islam tradisional juga menerima
komentar-komentar tradisional atas Qur’an yang berkisar dari komentar-
komentar yang linguistik dan historikal hingga yang sapiental dan
metafisikal. Dalam kenyataan, Islam tradisional menginterpretasikan
bacaan suci tersebut bukan berdasarkan makna literal dan ekseternal kata-
kata melainkan berdasarkan tradisi hermeneutika.
Fungsi kesalehan manusia selalu tidak dapat dipisahkan dari
realitas, dari apa dia sesungguhnya. inilah mengapa ajaran tradisional
menggambarkan kebahagiaan manusia di dalam kesadaran dan
kehidupannya menurut alam pontifikalnya, seperti jembatan antar surga
dan bumi. Hukum-hukum keagamaan dan ritus-ritusnya mempunyai
fungsi-fungsi kosmik, dan didasarkan tidak mungkin baginya menghindari
tanggung jawab sebagai makhluk yang hidup dibumi, tetapi bukan hanya
keduniawian, sebagai penghubung antara surga dan bumi, dari bentukan
spiritual maupun material, diciptakan untuk mereflesikan sinar surga
tertinggi Tuhan di dunia, menjadi harmoni di dunia melalui dispensasi dari
penurunan dan pelaksanaan bentuk kehidupan yang dihubungkan dengan
realitas batinnya sebagaimana ditentukan oleh tradisi.
Mengenai metafisika, Nasr berpendapat bahwa metafisika
merupakan pengetahuan yang real. Ia menjelaskan asal-usul dan tujuan
semua realitas, tentang yang absolut dan relatif . oleh karena itu, Nasr
mengusulkan jika manusia ingin tinggal didunia lebih lama, prisip-prinsip
metafisika harus dihidupkan kembali. Pandangan tentang realitas tersebut
melihat manusia tradisional melihat citra illahi dalam bayangnya sendiri.
Ia memahami kemungkinan-kemungkinan Illahiah dalam kodratnya
memungkinkan mengatasi berbagai keterbatasannya, pada akhirnya, ia
mentransendensi dirinya melalui pencarian pengalaman spiritual.
Sedangkan manusia modern hanya melihatnya cirinya ketika ia menengok
ke dalam. Mata egonya hanya melihat citra manusia, suatu bentuk manusia
murni.

6
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Nasr Sayyed Hossein Nasr, adalah orang yang telah sekian lama hidup dan
akrab dengan dunia modern. Semua orang tahu bahwa dunia modern yang
ditandai dengan corak pemikiran materialis-kapitalistik telah banyak
menggelapkan hati nurani manusia, sehingga banyak manusia yang kehilangan
nilai-nilai kemanusiaannya, bahkan nilai-nilai ketuhanannya. Orang modern
cenderung mengganggap bahwa apa yang telah mereka lakukan selama ini adalah
semata sebagai puncak dari keberhasilan mereka dalam mendayagunakan seluruh
potensi yang dimilikinya. Mereka lupa bahwa ada Tuhan yang telah memberikan
dan menjadi penyebab utama atas apa mereka anggap sebagai suatu keberhasilan.
Berbeda halnya dengan Sayyed Hossen Nasr, yang tetap istiqamah dalam
pendiriannya, dan tidak tertipu oleh kemajuan semu peradaban modern. Hidup
ditengah kemajuan semu dunia modern yang telah banyak meracuni pikiran umat
manusia membuat Nasr semakin sadar bahwa apa yang menjadi realitas yang
selama ini dilihatnya harus segera diluruskan, dan terutama ia harus membentengi
umat Islam sebelum racun peradaban barat meracuni umat Islam.
Nasr kemudian menggelorakan semangat pembaharuan, yaitu seruan agar
umat Islam tidak tertipu oleh peradaban barat, dan kembali pada nilai-nilai tradisi
Islam, yang dilandasi oleh Al-Qur’an dan al-Hadits. Nasr berkeyakinan bahwa
hanya jalan itulah yang mampu mengembalikan jati diri manusia terutama umat
Islam untuk menyadari hakikat keberadaan dirinya. Semangat pembaruan
kemudian kita yang kenal dalam bahasa Nasr sebagai Islam tradisi. Islam tradisi
tidak berarti menutup diri terhadap kemajuan, malahan Islam merupakan agama
yang menyuruh umatnya untuk maju dan mengelola segala potensi yang telah
diberikan Tuhan untuk manusia. Karena manusia adalah khalifah Tuhan dimuka
bumi. Namun manusia juga harus menyadari hakekat keberadaan dirinya di muka
bumi ini yaitu untuk beribadah dan menghambakan dirinya pada Tuhan. Karena
hakekat dan tujuan hidup manusia adalah untuk Tuhan, jadi segala apa yang
manusia lakukan dam manusia dapatkan seharusnya hal itu bisa lebih menambah
rasa keimanan pada Tuhan. Kita patut mengacungkan jempol untuk Nasr atas

7
gagasannya yang cukup brilian ini. karena umat Islam tidak akan menjadi umat
yang beruntung ketika ia meninggalkan atau tercerabut dari tradisinya. Ketika
orang-orang barat meninggalkan tradisinya, maka mereka berhasil mencapai
kemajuan. Namun ketika umat Islam meninggalkan tradisinya, maka yang akan
didapatkan hanyalah kenistaan.

8
DAFTAR PUSTAKA
Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi
Konsep Tradisionalisme Seyyed Hossein Nasr, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003)
Aan Rukmana, Seyyed Hossein Nasr, Penjaga Taman Spiritual Islam (Jakarta:
Dian
Rakyat, 2013)
Abu Sahrin, “Agama dan Filsafat Perennial Perspektif Seyyed Hossein Nasr”, Al-
Hikma: Jurnal Theosofi dan Peradaban Islam, Vol. 1, No. 1, (2019)
Nashr, Sayyed Hosein, Traditional Islam in the Modern World. Terj. Bandung:
Pustaka, 1994.
Nashr, Sayyed Hosein, Islam and the Plight of Modern. Terj. Bandung: Pustaka,
1994.
Nashr, Sayyed Hosein, Knowledge and Sacre. Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1981.

Anda mungkin juga menyukai