Makalah:
Filsafat Perennial
Oleh :
Nurhalimah : E97216025
Dosen Pengampu;
Segala puji dan syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan kepada
kita. Tuhan yang Maha Pengasih dan Tak Pilih Kasih, Maha Penyayang yang tak
pandang sayang. Yang telah memberikan akal dan hati sebagai salah satu
instrumen untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Hanya atas rahmat-Nya, penulis
mampu menyelesaikan tugas makalah ini, guna memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Perennial. Dan tak lupa shalawat serta salam tetap kita curah, limpahkan
kepada sang revolusioner dunia, pemberi syafa’at kelak di hari kiamat The Leader
of World Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa kita dari zaman kegelepan
menuju terang benderang dengan adanya agama Islam.
A. Latar Belakang
Kerukunan dan ketentraman dalam kehidupan yang plural ini, amatlah
sangat dibutuhkan. Hidup beriringan, tanpa adanya gejolak pertentangan dan
permusuhan merupakan cita-cita yang diharapkan oleh setiap manusia, baik dari
zaman dahulu hingga sekarang. Keberagaman dan perbedaan dalam hal
mengemukakan pendapat, budaya, dan agama merupakan rahmat bagi setiap
manusia. Dengan keberagaman inilah, manusia dituntut untuk menyadari
kekuasaan Tuhan yang tiada bandingannya. Agar setiap individu tidak
beranggapan, hanya dirinyalah yang paling benar. Termasuk pula dalam hal
keyakinan, yakni antara manusia yang satu dengan yang lainnya memiliki
perbedaan. Dalam hal ini, menuntut peran agama dalam merealisasikannya, agar
tidak mudah mengklaim agama yang lain.
Agama diturunkan ke dunia untuk menyeimbangkan kehidupan manusia,
termasuk agama Ibrahim, juga mengajarkan hal ini. Di dalam ajaran agama Islam
pun demikian. Nabi Muhammad saw diutus ke dunia dengan membawa misi
menciptakan perdamaian, ketentraman, harmoni, kebahagiaan, dan persaudaraan
antara manusia yang satu dengan yang lainnya.1 Inilah cita-cita yang selalu
didambakan setiap anak manusia.
Dari dahulu hingga kini, setiap Agama kerap memandang hanya agama
dirinyalah yang paling benar dan menilai agama yang lain salah. Sehingga dalam
agama terkesan tidak ada titik temu, cinta, dan kearifan perennial antar agama
yang satu dengan agama yang lainnya. Bahkan tak jarang agama dijadikan sebagai
instrumen pemuas legitimasi politik.2 Tentu nilai agama sangatlah terlihat
terdistorsi dari ajaran yang sebenarnya. Agama yang sejatinya membawa
perdamaian, malah telihat menakutkan. Begitupula tentang ketuhanan, yang selalu
mendapat garda terdepan dari masa ke masa untuk dipermasalahkan. Bahkan tak
Ar ia, Kesatua Aga a-aga a da Kearifa Pere ial dala Perspektif Tasawuf , dala
1
Afith Akhwa udi , Tradisio alis e “eyyed Hossei Nasr Kritik Terhadap “ai s Moder ,
3
I), 4.
Ainur Rofik Al-A i , Bersama Javida Khirad “eyyed Hossei Nasr , dalam jurnal ISLAMICA,
5
bermaksud agar tidak terjadi truth claim antara agama yang satu dengan agama
yang lainnya.
B. Rumusan Masalah
1. Siapakah Seyyed Hossei Nasr?
2. Bagaimana pandangan Seyyed Hossein Nasr terhadap Filsafat Perennial?.
C. Tujuan
1. Agar memahami biografi Seyyed Hossein Nasr.
2. Agar mengetahui pandangan Nasr dalam filsafat Perennial.
Ainur Rofik Al-A i , Bersama Javidan Khirad....... , 182. Tujuan Idealisme i i adalah The
6
Srtriving for the ideal, the perfection in everything for the ideal mankid, especially of each
individual; further, for the ideal of science and art, for the ideal of civilization, for the ideal of all
virtues, for the ideal of family, community, society, and humanity in all for s.
BAB II
PEMBAHASAN
Ainur Rofik Al-A i , Bersama Javida Khirad “eyyed Hossei Nasr , dalam jurnal ISLAMICA,
7
12
Arqom Kuswanjono, Ketuhanan dalam Telaah Filsafat Perennial Refleksi Pluralisme Agama di
Indonesia, (Yogyakarta: CV. Arindo Nusa Media, Cetakan 1, 2006), 37-38.
13
Ibid.., 38.
14
Ibid..., 38-39.
15
Ibid.., 40.
diangkat dari desertasinya tentang sejarah sains.16Nasr merupakan seorang
pembicara madzhab perenialisme dengan memperkenalkan kembali kebijakan
abadi (Sophia perennis, al-hikmah al-khalidah) dalam Islam tradisional di barat.17
Nasr dalam menanggapi masalah di dunia barat, ia menggagas sebuah pembaruan
yang ia sebut Tradisionalisme Islam (TI atau “Islam Tradisional”) di sisi lain Nasr
berharap dengan Universal dan perennialnya, dapat mampu menjawab krisis dunia
modern, agar manusia kembali kepada nilai-nilai tradisionalisme atau
18
perennialisme.
B. Filsafat Perennial Seyyed Hossein Nasr
Filsafat Perennial atau Philoshopia perennis, secara etimologis berasal
dari bahasa Latin yaitu perennis, yang artinya kekal, selama-lamanya atau abadi,
sehingga acapkali disebut filsafat keabadian. “Philoshophy Perennis is the
universal gnosis which always has existed and always will exist”.19 Nasr pernah
mengatakan bahwa Filsafat Perennial adalah pengetahuan yang selalu ada dan
akan selalu bersifat universal. Maksudnya “ada” adalah akan selalu ada dalam
setiap zaman dan setiap tempat, mengingat sifatnya yang universal.20
Filsafat Perennial muncul pertama kali disinyalir oleh Augustinus
Steuchus sebagai judul karyanya De Perenni Philoshopia yang diterbitkan pada
tahun 1540. Kemudian term ini dibumingkan oleh Leibnitz melalui suratnya pada
tahun 1715, dengan membicarakan jejak kebenaran dikalangan filosof kuno dan
tentang pemisahan antara yang gelap dan terang.21 Sebenarnya pokok kajian
filsafat perennial telah ada sejak masa-masa sebelumnya. Hanya saja, tertutupi
dengan masa setelahnya. Masa dimana manusia lebih mementingkan kehidupan
16
Arqom Kuswanjono, Ketuhanan dalam Telaah Filsafat Perennial Refleksi Pluralisme Agama Di
Indonnsia, (Yogyakarta: CV. Arindo Nusa Media, Cetakan 1, 2006), 21.
Muhammad Subhi, Doktri Ma usia U iversal dala A tropologi Metafisis “eyyed Hossein
17
22
Arqom Kuswanjono, Ketuhanan dalam Telaah Filsafat Perennial Refleksi Pluralisme Agama
Indonesia, (Yogyakarta: CV. Arindo Pustaka, 2006, Cetakan I), 4.
23
Ahmad Hariyadi, Konsep Ketuhanan Seyyed Hossein Nasr dalam Perspektif Filsafat Perennial,
dalam skripsi Uinsa, 3.
perennial dalam mengenal Tuhan, karena untuk memahami Tuhan tidak boleh
menafikan salah satunya.24
Pemikiran Nasr terpengaruh dalam tradisional syi’ah yang masih kental
dalam hidupnya. Apalagi ia hidup dalam ketegangan antara pemikiran Barat dan
Timur. Dan peradaban Barat yang mulai mempengaruhi umat muslim. Pergolakan
dimulai setelah pasca renainsance di barat dengan jargonnya menderivasi antara
pengetahuan, sains, dan agama. Yang dikenal dengan masa modernitas. Hal ini,
dimulai pada abad XVII, sekaligus puncak kemenangan supremasi rasionalisme,
empirisme, positivisme dari dogma kristen. Nasr berpendapat, krisis peradaban
Barat modern bersumber dari penolakan (negation) terhadap hakekat manusia dan
penyingkiran nilai spiritual secara gradual dalam kehidupan mereka.25
Modernitas mencanangkan bahwa dirinya mampu menyelesaikan
masalah-masalah dalam hidupnya. Akan tetapi, janji sang modernitas bukan
menentramkan, malah menjauhkan manusia dari nilai-nilai spiritualisme. Nasr
berpendapat, akibat terlalu mengagungkan rasio sehingga manusia modern mudah
dihinggapi penyakit kehampaan spiritualitas. Kemajuan yang pesat dalam ilmu
pengetahuan dan filsafat rasionalisme abad 18 dirasakan tidak mampu mencukupi
kebutuhan nilai-nilai transenden, suatu kebutuhan ilahi yang hanya mampu
diperoleh dari wahyu.26
Dekadensi humanistik pada zaman modern diakibatkan hilangnya
pengetahuan langsung manusia mengenai diri dan keakuan yang senantiasa
dimilikinya, karena ia hanya menyandarkan dirinya pada pengetahuan yang tidak
langsung atau pengetahuan eksternal. Pengetahuan ini sifatnya masih dinilai
dangkal, yang senantiasa menghadang manusia kepada matahari illahi.27
24
Ibid.., 8-9.
25
Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern Telaah Signifikansi Konsep
Tradisio alis e Isla “eyyed Hossei Nar, (Surabay: Pustaka Pelajar, 2003, Cetakan I), 8.
26
Ibid.., 83.
“eyyed Hossei Nar, Isla da Nestapa Ma usia Moder ,(Bandung: Pustaka, 1983, cetakan
27
I), 6.
Menurut Nasr manusia modern hanya berkutat sebatas eksistensinya saja.
Tidak pada “ Pusat spiritualitas dirinya” sehingga ia lupa siapa dirinya.28 Oleh
karena itu, timbullah pertanyaan siapakah manusia, asal-muasal, dan untuk apa di
dunia ini. Dalam menanggapi pertanyaan ini, sejak dari Descartes berusaha
menyelesaikan masalah ini. Akan tetapi, bukan keberhasilan yang diperoleh
malah jauh dari nilai eksistensi dan jauh dari mengenal hakikat dirinya.29
Term yang dikemukakan Nasr tentang “Tradisionalisme” atau Javidan
Khirad atau Sanatha Darma dalam agama Hindu dan al-Khikmah al-Khalidah
dalam bahasa Arab atau Sophia Perenis. Nasr menginginkan baik di dunia Barat
maupun timur khususnya Islam. Kepada dunia Barat, ia menyarankan ajaran
esoterisme Islam sebagai jalan alternatif untuk keluar dari krisis tersebut. Dengan
kembali kepada hikmah spiritual agama, manusia modern akan dapat
membimbing dirinya sendiri dari pinggiran lingkaran menuju ke arah titik pusat
(center). 30
Termasuk dalam agama, yang hadir untuk menyatukan dan
memperbaiki umat, malah keluar dari esensi yang sebenarnya. Hal ini, juga
dialami oleh Agama Islam, Nasrani, Yahudi, dan agama lainnya. Sehingga
timbullah pemikiran manusia untuk menanggulangi problem-problem yang terjadi
disetiap agama.
Nasr juga menyinggung terma Scientia Sacra yakni suatu pengetahuan
suci (Sacred Knowledge) yang berada dalam jantung setiap wahyu. Dan ia adalah
pusat dari segala wahyu. Sekaligus sebagai sentral dalam tradisi lingkungan. Nasr
mencanangkan tradisi sebagai al-din al-Sunnah, yaitu segala sesuatu yang
didasarkan atas model-model sakral yang sudah menjadi kebiasaan turun-temurun
dikalangan masyarakat tradisional. 31
28
Komaruddin Hidayat & Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat
Perennial, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 2003), 2.
29
Ahmad Hariyadi, Konsep Ketuhanan Seyyed Hossein Nasr dalam Perspektif Filsafat Perennial,
(Surabaya: UINSA, 2011), 2.
30
Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern Telaah Siignifikansi...,201.
31
Arqom Kuswanjono, Ketuhan dalam Telaah Filsafat Perennial Refleksi Pluralisme Agama di
Indonesia, (Yogyakarta: CV. Arindo Nusa Media, 2006, Cetakan I), 62.
BAB III
PENUTUP
A Kesimpulan
Manusia modern dianggap tidak mampu menyelesaikan problem-
problem yang terjadi dalam hidupnya. Bahkan dikatakan bahwa manusia modern
berada dalam luar eksistensi dan bukannya mendekat kepada pusat eksistensi.
Nasr dalam teorinya tidak terlepas dengan istilah tradisi, agama, Javidan Khirad,
dan Scientia sacra.
Nasr menyarankan agar semua agama memahami dengan adanya
perbedaan-perbedaan yang terjadi. Seandainya semua umat beragama memahami
filsafar perennial, tentu tidak akan ada pertentangan dan permusuhan dalam setiap
agama yang ada di muka bumi ini. Pemikiran Nasr lebih menekankan terhadap
tradisi, hal ini bermula ketika Nasr melihat cara pandang masyarakat modern yang
lebih cenderung mendistorsi hal yang sangkral dan bisa dikatakan mereka
kehilangan nilai spiritualnya. Yang terjadi pada manusia modern pada saat itu,
manusia modern kehilangan spiritualnya. Manusia berada di luar eksistensi dan
berusaha menjauh dari pusatnya, yang terjadi ternyata manusia modern tidak
mampu menanggulangi masalah-masalah yang dialaminya. Dari sinilah Nasr
berusaha mengembalikan nilai-nilai yang hilang dalam masyarakat modern.
Mengenai teori Nasr tentang Javidan Khirad, atau disebut hikmah al-
khalidah atau sanatha dharma atau shopia perennis, Nasr menginginkan baik
negara barat maupun timur memahami antara eksoterisme dan esoterisme antar
agama. Seandainya semua memahami bahwa dalam setiap agama terdapat sisi
kesamaan yakni common platform dari segi esoterisme. Hanya saja dalam hal
pembungkusan atau syariah mengalami perbedaan.
B Saran
1. Pembaca tidak hanya mempelajari, akan tetapi berusaha menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
2. Pembaca tidak hanya ranah universitas yang membacanya, akan tetapi semua
kuliah disarankan untuk mempelajari filsafat perennial.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Amin, Ainur Rofik. 2007. “Bersama Javidan Khirad Seyyed Hossein Nasr”,
dalam Jurnal Islamica, Vol. 1. Surabaya: t.p
Hidayat, Komaruddin & Muhammad Wahyuni Nafis. 2003. Agama Masa Depan,
Perspektif Filsafat Perennial. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum
Nasr, Seyyed Hossein. 1983. Islam dan Nestapa Manusia Modern. Bandung:
Pustaka