Anda di halaman 1dari 20

TOKOH PLURALISME INDONESIA ABDUR RAHMAN WAHID,

NURCHOLIS MAJID DAN SYAFI’I MAARIF

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

PLURALISME

Oleh:
Ayu Lestari (B52218032)
Intan Hadijah (B52218037)
Mohammad Nurwachid Fathoni (B92218119)
Vita Miftahul Jannah (B72218088)
Zania Febriyanti (B92218137)
Aditya Hudha Pratama (B92218096)
Putri Ghifarah Sekar Ayu (B72218082)

Dosen Pengampu:
Sari Agustiani, S.Ag. M.Pdi

PRODI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas semua rahmat dan nikmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Semuanya ini tidak terlepas
dari petunjuk Allah SWT. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wasallam, yang telah menunjukkan jalan yang benar
yakni agama Islam.
Penulisan makalah ini dapat di selesaikan oleh penulis berkat dukungan dan bantuan
serta do’a dari banyak pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih atas segala jasanya,
kepada teman-teman yang sudah berpastisipasi. Semoga, segala amal baik semua pihak yang
di berikan kepada penulis mendapatkan balasan yang baik dari Allah SWT. Dan harapan
penulis, meskipun makalah ini jauh dari kesempurnaan, semoga tetap bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan.

Surabaya,03 April 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................4
C. Tujuan...........................................................................................................................................5
BAB II...................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN...................................................................................................................................6
A. Pluralisme Indonesia.....................................................................................................................6
B. Tokoh Pluralisme Indonesia : KH. Abdurrahman Wahid..............................................................6
C. Tokoh Pluralisme Indonesia : Nurcholis Madjid.........................................................................11
D. Tokoh Pluralisme Indonesia : Ahmad Syafii Maarif...................................................................13
BAB III................................................................................................................................................19
PENUTUP...........................................................................................................................................19
A. Kesimpulan.................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................20

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pluralisme merupakan suatu paham atas keberagaman yang ada di dunia ini.
Keberagaman merupakan sesuatu yang nyata serta tidak bisa dipungkiri.
Keberagaman adalah keniscayaan yang telah ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Penolakan terhadap keberagaman tersebut dapat menimbulkan ketegangan dan
permasalahan.

Di Indonesia, terdapat banyak sekali keberagaman seperti keberagaman suku,


ras, etnis, budaya, agama, dan lain-lain. Namun, akhir-akhir ini sering terjadi konflik
yang masih berkaitan dengan keberagaman yang ada di negeri ini. Oleh karena itu,
demi tercapainya kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, serta
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka keberagaman ini haruslah dijaga
dengan baik agar sejalan dan selaras dengan bunyi pancasila sila ke-3 sampai dengan
sila ke-5. Jika ide dan gagasan keberagaman ini tidak ditegakkan, maka demokrasi di
Indonesia hanya akan menjadi retorika belaka. Sebab keberagaman adalah ruh
kehidupan bangsa sekaligus penyangga berdirinya demokrasi di Indonesia. Hal inilah
yang merupakan salah satu faktor munculnya tokoh-tokoh pluralisme di Indonesia.

Munculnya tokoh pluralisme di Indonesia ini membuat pemikiran paham


pluralisme semakin berkembang di Indonesia. Di Indonesia, tokoh pluralisme seperti
KH. Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, dan Ahmad Syafii Maarif sangatlah
berjasa dalam perkembangan pluralisme di negeri ini. Dan dalam makalah ini,
kelompok kami akan membahas tentang tokoh-tokoh pluralisme di Indonesia seperti
KH. Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, dan Ahmad Syafii Maarif beserta
pemikiran mereka masing-masing mengenai pluralisme.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pluralisme Indonesia?
2. Apa pemikiran pluralisme KH. Abdurrahman Wahid?
3. Apa pemikiran pluralisme Nurcholis Madjid?

4
4. Apa pemikiran pluralisme Ahmad Syafii Maarif?

C. Tujuan
1. menjelaskan makna pluralisme Indonesia.
2. menjelaskan pluralisme KH. Abdurrahman Wahid.
3. menjelaskan pluralisme Nurcholis Madjid.
4. menjelaskan pluralisme Ahmad Syafii Maarif.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pluralisme Indonesia
Pluralisme merupakan paham hidup bersama dalam sebuah kemajemukan,
meliputi suku bangsa, ras, budaya, keyakinan beragama, dan lain-lain. Perbedaan
harus dipahami sebagai fitrah yang harus dirayakan dan dirangkai menjadi kekuatan
untuk membangun keselarasan. Secara teologis dalam setiap keyakinan tidak
dibenarkan adanya anggapan agama adalah sama, akan tetapi agama menjadi dasar
untuk setiap umat beragama menjalin hubungan baik dengan siapa pun. Bapak Bangsa
kita yaitu KH Abdurrahman Wahid, memiliki sebuah pemikiran yang sangat bagus
dalam hal tasamuh (toleransi) antar umat manusia. Toleransi antar umat manusia ini
yang akan mampu menciptakan kedamaian dunia, memangkas sekat-sekat pemisah
untuk saling berinteraksi dengan damai.
Sebuah bangsa yang begitu majemuk seperti Indonesia ini jika salah dalam
mengelola berbagai perbedaan paham keagamaan, aliran, suku, dan lain-lain akan
memunculkan ketegangan, permusuhan, dan kekerasan sosial yang mengarah pada
disintregasi bangsa. Corak islam Indonesia diwarnai oleh unsur-unsur lokal yang
cukup intens, dan juga pengaruh perkembangan global. Indonesia bersemboyan
bhineka tunggal ika yang merupakan sebuah bangsa yang multietnis, multiiman, dan
multi ekspresi kulturan dan politik. Keberagaman ini jika ditata dan dikelola dengan
baik, cerdas dan jujur, pasti akan menjadi sebuah kekayaan dan keniscayaan kultural
yang dahsyat. Banyak tokoh-tokoh cendekiawan yang memiliki gagasan dalam
membentuk indonesia yang pluralis sesuai dengan semboyan indonesia.

B. Tokoh Pluralisme Indonesia : KH. Abdurrahman Wahid


Gus Dur sebagai tokoh sekaligus aktor politik sangat berpengaruh di ranah
politik Indonesia kontemporer. Beliau banyak memiliki gagasan universal tentang
keberagaman dan menghormati perbedaan. Gus Dur salah satu penggagas islam
indonesia atau pribumisasi islam, menolak adanya islam arabisasi. Beliau memaknai
plutalitas sebagai sebuah desain Tuhan agar manusia dapat saling mengenal dan

6
saling belajar satu sama lain agar dapat saling melengkapi dan menyempurnakan. Di
saat kebanyakan elit politik nyaris seragam didominasi oleh budaya high context
culture yang ditandai dengan politik harmoni, Gus Dur justru kerapkali hadir dengan
gayanya yang di luar mainstream. Banyak pesan yang diproduksi Gus Dur,
menghadirkan kedalaman wacana dan mengundang minat untuk menjadi
perbincangan publik. Komunikasi penuh warna ala Gus Dur tidak sekedar memenuhi
formalitas kehadiran sang tokoh di ranah publik, melainkan juga kaya dengan bahan
diskursus mulai dari warung kopi hingga kajian ilmiah di berbagai kampus maupun
pusat-pusat studi.
1. Biografi
Gus Dur adalah pembangun semangat pluralisme dan pembela kelompok-
kelompok kaum minoritas, dengan kata lain Gus Dur dipahami sebagai muslim
non-chauvinis, sebagai figur yang memperjuangkan diterimanya kenyataan sosial
bahwa Indonesia itu beragam. Gus Dur merupakan sosok tokoh yang bangga
sebagai seorang muslim, sangat mencintai kebudayaan Islam tradisionalnya dan
juga pesan utama Islam sendiri. Abdurrahman Wahid adalah seorang tokoh
fenomenal yang memiliki gaya unik dan khas, pemikiran dan sepak terjang
semasa hidupnya sering kali menimbulkan kontroversi. Abdurrahman Wahid atau
akrab dengan nama panggilan Gus Dur, Gus adalah nama kehormatan yang
diberikan kepada putra kiai yang bermakna mas. Gus merupakan sebuah
kependekan dari orang bagus orang yang berakhlak mulia14. Abdurrahman
Wahid lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil pada tanggal 4 Agustus 1940
di Denanyar Jombang, anak pertama dari enam bersaudara, ayahnya, K.H. Abdul
Wahid Hasyim, adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri pondok pesantren
Tebuireng Jombang dan pendiri jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU).
Gus Dur cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh besar bangsa
Indonesia dan secara genetik Gus Dur masih keturunan darah biru. Ibu Gus Dur
adalah Nyai Sholehah adalah putri dari pendiri Pesantren Denanyar Jombang,
KH. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU
menjadi Rais Aam PBNU setelah KH. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan
demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh
nasional bangsa Indonesia.
Gus Dur pertama kali masuk Sekolah Dasar KRIS yang sebelumnya pernah
pindah dari SD Matraman. Pada bulan April 1953, Gus Dur melanjutkan sekolah

7
di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Gowongan sambil mondok di
Krapyak Yogyakarta. Pada tahun 1962 ketika berusia 22 tahun Gus Dur
berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji yang kemudian
diteruskan ke Mesir untuk Studi di Universitas Al Azhar pada tahun 1964, beliau
disana melanjutkan studinya mengambil jurusan Departement of Higher Islamic
and Arabic studies.
Setelah beberapa lama tinggal di Mesir, beliau pindah ke Baghdad Irak dan
mengambil fakultas sastra. Pada saat di Baghdad beliau menunjukan minat yang
serius terhadap kajian Islam di Indonesia, hingga kemudian ia dipercaya untuk
meneliti asal-usul keberadaan Islam di Indonesia. Perjalanan studi Gus Dur
berakhir pada tahun 1971. Dia kembali ke Jawa dan mulai menapaki kehidupan
baru. Dari tahun 1972-1974, ia dipercaya menjadi dosen sekaligus menjabat
sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy’ari Jombang.
Abdurrahman Wahid menikah dengan seorang putri dari H. Abdullah
Syukur, yang bernama Sinta Nuriyah. Mereka menikah pada tanggal 11 juli 1968,
dan dari pernikahan ini dikaruniai empat anak perempuan yaitu, Alissa
Qatrunnada Munawarah (Lisa), Zanuba Arifah Chafsoh (Yeny), Anita
Hayatunufus (Anita), dan Inayah Wulandari (Inayah).
2. Gagasan pemikiran KH. Abdurrahman Wahid tentang pluralisme
Pemikiran Gus Dur tentang pluralisme agama terbagi dalam beberapa
aspek, diantaranya adalah :
1) Agama dan Demokrasi
Demokrasi menurut Gus Dur, mengandung tiga nilai yaitu kebebasan,
keadilan, dan musyawarah. Yang dimaksud kebebasan di sini adalah
kebebasan individu dihadapan kekuasaan negara dan masyarakat. Keadilan
merupakan landasan demokrasi dalam arti Keadilan penting dalam arti
seseorang memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya. Musyawarah
yaitu bentuk atau cara memelihara kebebasan dan memperjuangkan keadilan
lewat permusyawaratan. Bagi Gus Dur nilai pokok demokrasi memiliki
kesamaan dengan misi agama. Pada dasarnya agama bertujuan menegakan
keadilan bagi kesejahteraan rakyat. Karena itu demokrasi harus sejalan
dengan ajaran agama dalam membangun kehidupan masyarakat yang adil
dan beradab.

8
Sistem Demokrasi dapat menyamakan derajat dan kedudukan semua
warga negaranya, dengan tidak memandang agama, etnis, jenis kelamin dan
budaya. Transformasi ekstern yang tidak menumpu pada transformasi intern
dilingkungan lembaga atau kelompok keagamaan itu hanyalah merupakan
sesuatu yang dangkal dan kontemporer. Dengan gagasan tersebut tokoh-
tokoh beragama menyikapinya dengan cara pandang yang sama. Bahwa
agama dan demokrasi dapat diterima, sama- sama suatu hal yang harus
dipikirkan kembali. Semua tokoh agama non Islam berpendapat bahwa
agama dapat memberikan sumbangan bagi proses demokratisasi, manakala ia
berwatak membebaskan. Beragam agama harus hidup bersama dengan hak-
hak asasi manusia sebagai payungnya. Beragama agama tersebut harus saling
membantu satu sama lain, supaya bisa mencapai kemakmuran dan keadilan
bersama. Hanya dengan begitu masyarakat demokratis yang kita inginkan
bisa tercipta.
2) Agama dan Budaya
Hubungan antara agama dengan kebudayaan merupakan sesuatu yang
ambivalen. Di dalam mengagungkan tuhan dan di dalam mengungkapkan
rasa indah akan hubungan manusia dengan Sang Khalik, agama- agama
kerap menggunakan kebudayaan secara massif. Gus Dur beranggapan bahwa
agama itu walaupun berasal dari langit, akan tetapi agama itu berdialektika
dengan lingkungan dimana agama itu turun. Agama itu ibarat air sementara
tempatnya bisa berpindah-pindah. Agama itu tidak memiliki bentuk yang
pasti, Agama itu adalah nilai yang bisa berpindah-pindah.Menurut Gus Dur
dalam perspektif Islam. Islam dilahirkan sebagai agama hukum. Hukum itu
sebenarnya adalah aturan, dan karenanya yang melaksanakan aturan
dinamakan hakim. Aturan yang tertinggi, yang mempunyai kemampuan
memaksa adalah undangundang. Disini menjadi jelas bahwa dalam islam,
aturan main yang sudah dibuat oleh agama memegang supremasi tertinggi.
Tidak ada yang boleh membantahnya.
Menurut Gus Dur Al Qur’an merumuskan suatu bangsa sebagai satuan
etnis yang mendiami suatu wilayah secara bersama. Sementara dalam
kehidupan modern, bangsa berarti satuan politis yang didukung oleh suatu
ideologi nasional. Dalam kaitan Islam dengan koteks kebangsaan, haruslah
dipandang dari segi fungsionalnya. Dalam hal ini, Islam berperan sebagai

9
pandangan hidup yang mementingkan kesejahteraan warga masyarakat,
terlepas dari bagaimana bentuk masyarakat tersebut Islam memiliki fungsi
yang sama.
3) Agama dan Keadilan Sosial
Gus Dur ingin membuat suatu tradisi baru, agar stiap hal yang terkait
dengan urusan publik bisa didiskusikan atau diperdebatkan sehingga hal itu
bisa menjadi kebijakan publik, sehingga kebijakan publik itu bisa lebih
berkualitas dan sesuai aspirasi rakyat. Komitmen Gus Dur terhadap prinsip
persamaan sangat terkait dengan komitmennya terhadap demokrasi dan hak
asasi manusia (HAM), yang salah satu nilai utamanya adalah persamaan di
antara sesama manusia dan sesama warga negara. Menurut Gus Dur Al-
Qur’an merumuskan suatu bangsa sebagai satuan etnis yang mendiami suatu
wilayah secara bersama. Sementara dalam kehidupan modern, bangsa berarti
satuan politis yang didukung oleh suatu ideologi nasional. Dalam kaitan
Islam dengan koteks kebangsaan, haruslah dipandang dari segi
fungsionalnya. Dalam hal ini, Islam berperan sebagai pandangan hidup yang
mementingkan kesejahteraan warga masyarakat, terlepas dari bagaimana
bentuk masyarakat tersebut Islam memiliki fungsi yang sama.
4) Inklusifisme
Dalam sikap Gus Dur dalam membangun semangat pluralisme juga
khawatir ini bisa merusak keseimbangan keberagaman di negeri ini. Sikap
inklusif yang dimiliki Gus Dur menjadikan beliau berjuang keras dalam
membangun pluralisme yang ada di Indonesia. Beliau berharap konflik dan
sikap eksklusifisme yang ada di Indonesia bisa hilang karena tidak
mencerminkan kebhinekaan bangsa ini. Beliau ingin masyarakatya
mempunyai kesadaran kolektif dalam membangun bangsa ini. Beliau juga
ingin masyarakatnya mempunyai sikap inklusif, karena sikap inklusif bagi
beliau akan mencerminkan sikap yang bijaksana. Sikap eksklusif bagi beliau
hanya akan merusak bangsa ini, karena akan membuat setiap kelompok atau
individu merasa paling benar sendiri dan memandang kelompok lainnya
salah.

10
C. Tokoh Pluralisme Indonesia : Nurcholis Madjid
Pandangan Nurcholish Madjid adalah kekhususan dan kemutlakan Islam itu
sendiri tidak terbatas pada Islam saja. Karena absolutisme itu menyebabkan ketidak
pengakuannya orang Islam terhadap hal-hal lain di luar Islam. Sehingga untuk
mewujudkan kesatuan itu akan nihil, tidak ada hasilnya. Maka melalui pluralisme-lah,
kita akan bisa menyadari bahwa kita tidak hidup untuk diri kita sendiri, saling
menghormati dan menghargai dalam perbedaan akan menghasilkan suatu ketenangan
dan kedamaian hidup bagi kita semua. Menurut Nurcholish Madjid, Toleransi
beragama adalah dengan menghargai dan menghormati kepercayaan agama lain dan
memandang bahwa masing-masing agama berjalan menuju kebenaran sehingga
menurutnya tidak ada masalah jika umat Islam ikut mengucapkan selamat hari raya
dan menghadiri perayaan-perayaan keagamaan agama lain karena itu merupakan
bagian dari cara menjaga keharmonisan antar umat beragama.
1. Biografi
Nurcholis Madjid atau Cak Nur kehadiran pemikirannya banyak kalangan
yang bias menimbulkan kontrofersil, dengan konsep pluralismenya yang
mengakomodasi keberagaman/ke-bhinneka-an keyakinan di Indonesia. Nurchalis
Madjid, lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939, bertepatan dengan 26
Muharram 1358. Isterinya bernama Ommi Kamariah atau biasa dipanggil Mbak
Omie Madjid. Nurchalish Madjid dibesarkan dalam kultur pesantren yang kental.
Ayahnya (H. Abdul Madjid) adalah seorang alim dari pesantren Tebu Ireng. Ibu
Nurchalish Madjid (Hj. Fathonah) adalah murid K.H Hasyim Asy’ari dan anak
seorang aktivis SDI (Serikat Dagang Islam) di Kediri. Pada masa itu SDI banyak
dipegang oleh kalangan kyai dari NU(Nahdhatul Ulama). Dengan demikian
Nurchalish Madjid memang berasal dari kultur NU.
Latar belakang pendidikan Nurchalis Madjid dimulai dari Pendidikan
pertama Cak Nur pada tahun 1955 ditempuh di pesantren Darul ‘ulum Rejoso,
Jombang, Jawa Timur. Kemudian tahun 1960 menempuh pendidikan Pesantren
Darul Salam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Setelah itu melanjutkan di tingkat
perguruan tinggi pada tahun 1965 di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta, dengan studi Sastra Arab. Pada tahun 1968 melanjutkan
pendidikan Doktorandus dengan studi yang sama yaitu Sastra Arab. Ia menambah
pengalaman organisasinya sekaligus berpartisipasi dalam sebuah organisasi Islam
HMI, Kemudian ia terpilih menjadi Ketua PB HMI. Bahkan Nurchalis Madjid

11
terpilih menjadi Ketua Umum PB HMI selama dua periode (1966-1969 dan 1969-
1971).
Kemudian tidak berhenti disana, ia melanjutkan studinya di The University
of Chicago (Universitas Chicago), Chicago, Illinois, Amerika Serikat pada tahun
1984 dengan Studi Agama Islam Bidang yang diminati Filsafah dan Pemikiran
Islam, Reformasi Islam, Kebudayaan Islam, Politik dan Agama Sosiologi Agama,
Politik negara-negara berkembang, dengan desertasi berjudul “Ibn Taymiyah on
Kalam and Falasifa" dan mendapat gelar Ph.D. Cak Nur banyak menghasilkan
karya-karya baik melalui publikasi media cetak, penerbitan buku, makalah dan
jurnal ilmiah. Diantara Karya-karya yang sudah diterbitkan Cak Nur adalah buku
berjudul “Khazanah Intelektual Islam” dan buku “Islam Kemoderenan dan
Keindonesiaan”
2. Gagasan pemikiran Nurcholis Madjid tentang Pluralisme
a. Keislaman, Keindonesiaan dan Kemoderenan Pemikiran
Cak Nur identik dengan keislaman, keindonesian dan kemoderenan,
bahkan beliau merupakan tokoh yang pertama kali mengungkapkan hal
tersebut, hal ini diungkapkan oleh Saifullah dalam Pena Al-muslim
“Mengawinkan keislaman, kemodernan”. Gagasan ini pertama kali
dikemukan oleh Nurchalish Madjid pada era 70-an, dan sekarang ini
dirasakan pentingnya gagasan tersebut direaktualisasi dalam konteks
pembangunan karakter bangsa. Kemudian mengenai corak pemikiran Cak
Nur yang keislaman, keindonesian dan kemoderenan bisa diketahui melalui
karya tulis beliau yang identik dengan judul dan pembahasannya dengan tiga
hal tersebut, salah satu bukunya berjudul “Islam Kemoderenan dan
Keindonesiaan”. Karya ini tersusun sebagai respon terhadap berbagai
persoalan dan isu-isu yang berkembang di sekitar kemodernan, keislaman
dan keindonesiaan. Karya ini juga mendapat sambutan antusias dari
pembaca, hal ini ditandai dengan beberapa kali cetak ulang.
b. Sekularisasi Islam
Pada tanggal 2 Januari 1970, Nurchalis Madjid menyampaikan pidato
pada pertemuan gabungan empat organisasi Islam, Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI), Pelajar Islam Indonesia (PII), Gerakan Pemuda Islam Indonesia
(GPII), dan Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (PERSAMI). Dalam
makalahnya berjudul: Keharusan Pembaharuan Pemikiran Dalam Islam dan

12
Masalah Integrasi Umat, ia mengajukan pengamatan yang terus terang bahwa
kaum muslim Indonesia mengalami kemandekan dalam pemikiran
keagaamaan dan telah kehilangan “kekuatan daya gebrak psikologis”
(psycological striking force) dalam perjuangan mereka. Menurut Nurchalish
Madjid usaha keras ini hanya dapat dicapai apabila kaum muslimin
mempunyai tingkat kepercayaan diri yang tinggi untuk membiarkan gagasan-
gagasan apapun, betapapun tidak konvensionalnya gagasan itu, untuk
dikemukakan dan dikomunikasikan secara bebas.
c. Universalisme Islam
Penekanan Nurchalis Madjid pada Islam yang bersifat rahmatan lil
‘alamin ini merupakan kunci dari pemikirannya. Dengan penekanan ini
Nurchalis Madjid ingin “membebaskan” pengertian Islam dari penjara-
penjara partikularisme. Mengenai konsep Universalime Islam, Cak Nur
mencurahkan Pemikirannya secara mendalam dalam buku berjudul “Islam
Universal”. Dalam buku tersebut secara garis besar membahas partikularisme
Islam dalam beberapa hal, bukanlah sesuatu yang harus ditolak, bahkan,
sekali lagi, bisa dan telah terbukti bermanfaat pada masyarakat atau
komunitas-komunitas tertentu. Dengan konsep ini, ada dua hal pokok yang
bisa dicapai. Pertama, pengembalian peran dan fungsi Islam pada konteks
yang universal telah membuat baik ajaran maupun pengikutnya menjadi lebih
bebas memfokuskan perhatian pada masalah-masalah yang menjadi agenda
manusia secara universal. Kedua, dengan pengembalian fungsi dan peran
Islam ke tempat yang abadi dan universal, Nurchalish Madjid dan kalangan
yang sepaham dengannya, telah pula sekaligus mendekonstruksikan
kemapanan lembaga-lembaga dan corak-corak pemikiran Islam yang bersifat
partikularistik.

D. Tokoh Pluralisme Indonesia : Ahmad Syafii Maarif


Ahmad Syafii Maarif sangat mengkritisi kenyataan bahwa selalu terdapat jurang
pemisah yang nyata di antara umat manusia, antara si miskin dan si kaya, antara kaum
mayoritas dan minoritas, antara pemeluk keyakinan yang berbeda dan lain
sebagainya. Hal-hal tersebut justru membuat cita-cita kesatuan humanitas dan prinsip-

prinsip keadilan universal semakin jauh dari gapaian. Maka bagi Syafii Maarif,

13
manusia harus dididik dengan gagasan Intelektualitas dan Pluralitas agar ia bisa
mengembangkan potensi baik yang dimilikinya, dan mampu mengawas potensi
jahatnya dengan pengarahan-pengarahan agar tidak teraktualisasi dalam kehidupan
bermasyarakat. Gagasan Pluralisme Ahmad Syafii Maarif merupakan corak pemikiran
dan sebuah nilai yang dapat mewadahi kemajemukan atau keragaman, dalam
beragama keragaman merupakan sebuah realitas yang harus diterima. Artinya
pengertian Intelektualisme dalam realitas agama yang plural bahwa tiap pemeluk
agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat
dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, inilah
Intelektualisme yang dimaksud Ahmad Syafii Maarif.
1. Biografi
Ahmad Syafii Maarif sering di panggil dengan istilah “Buya” oleh orang
yangdekat dengannya. Istilah Buya diucapkan kepada Syafii Maarif karena ia
pantas menyandang panggilan Buya yang memang sudah menjadi ulama yang
benar-benar alim, dan juga dikenal sebagai pendidik, sekaligus ilmuwan atau
cendekiawan yang mempunyai reputasi intelektual yang sangat tinggi Ia
merupakan tokoh sepuh yang berbicara tentang pluralisme agama, toleransi antar
umat beragama melalui buku yang beliau tulis. Ia juga merupakan tokoh dari
Muhammadiyah yang gagasannya banyak berbicara tentang pluralisme agama
secara konsisten.
Syafii Maarif lahir dari pasangan Ma'rifah Rauf dan Fathiyah pada hari
Sabtu, 31 Mei 1935 di bumi Calau Sumpur Kudus "Makkah Darat", Sumatera
Barat. Ahmad Syafii Maarif menikah pada tanggal 5 Februari awal tahun 1965
dengan seorang gadis bernama Nurkhalifah. Maarif menikah di rumah mertuanya
(Sarialam dan Halifah) yang dikenal dengan kawasan Mandahiling dalam sebuah
upacara sederhana. Dunia awal masa kecil Syafii Maarif dilewati di kampung
halamannya. Pendidikan dasar diperoleh di Sekolah Rakyat (SR) Sumpur Kudus.
Selanjutnya Syafii Maarif melanjutkan sekolah di Madrasah Ibtidaiyah
Muhammadiyah Sumpur Kudus hingga selesai pada tahun 1947. Syafii Maarif
melanjutkan pendidikan di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah di Balai
Tengah, Lintau dan selesai pada tahun 1953. Pendidikan menengah tidak
seluruhnya dihabiskan di Lintau, tetapi sebagian dilanjutkan di Yogjakarta dan
meneruskan pendidikannya di Madrasah Mu’alimin Yogyakarta. Ternyata datang

14
ke Jawa meneruskan pendidikan tidak semudah yang dibayangkan. Ia mengulang
kuartal terakhir kelas tiga Mu’alimin, dapat tamat pada 12 Juli 1956. Berkat M.
Sanusi Latief, ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Mu'allimin
Muhammadiyah Yogyakarta. Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya
pada tahun 1956, Syafii Maarif melanjutkan pendidikannya di Surakarta, di
Universitas Cokroaminoto Surakarta Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(FKIP) atas bantuan saudaranya. Namun baru satu tahun kuliah bantuan itu
sempat terhenti karena hubungan pulau Jawa dan Sumatera terputus akibat
pemberontakan PRRI/Permesta, kemudian Ahmad Syafii Maarif menjadi guru di
desa Baturetno, Wonogiri, Jawa Tengah. Sambil mengajar, Ahmad Syafii Maarif
kembali melanjutkan kuliah, karena sering tidak masuk kuliah karna mengajar
akibatnya Ahmad Syafii Maarif hanya tamat Sarjana Muda (BA) pada tahun

1964. Walau harus ditempuh sambil bekerja, akhirnya Gelar Sarjana (Drs)
diperolehnya di Yogyakarta dari FKIS IKIP Yogyakarta pada Agustus 196818

dengan skripsi berjudul “Gerakan Komunis di Vietnam (1930-1954)”. Dalam


pengembangan akademik, Syafii Maarif berangkat ke Amerika, ia belajar sejarah
pada Nothern Illinois University (1973) dan Ohio State University (1980) hingga
dapat gelar MA.
Ahmad Syafii Maarif, seorang putera Sumpur Kudus yang telah banyak
melahirkan karya-karya popular yang telah dinikmati pembaca dari berbagai
kalangan, baik dalam maupun luar negeri. Syafii Maarif lahir dan berkembang di
tanah Minang yang dikenal memiliki latar belakang budaya yang kaya kultur
keIslaman kental dan dinamika masyarakat yang beragam.
2. Gagasan pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang pluralisme
a. Islam Agama Damai, Terbuka dan Dinamis
Pada bagian ini dimulai dengan mengupas soal term Islam dalam
pemahaman Ahmad Syafii. Bagi Buya Ahmad Syafii, Islam dipahami
sebagai agama yang secara tegas menawarkan prinsip keseimbangan kepada
manusia, karena tujuan yang hendak dicapai oleh Islam adalah tegaknya

prinsip-prinsip persamaan, keadilan, persaudaraan dan toleransi. Prinsip-


prinsip Islam yang terbuka dan dinamis yang didasarkan pada etik al-Quran
nampak sekali pada perjalanan sejarah Islam di Indonesia. Seperti yang
dicatat oleh C. Snouck Hurgronje bahwa proses penyebaran Islam ke

15
Nusantara berjalan secara damai. Buya Ahmad Syafii menyatakan, “Dalam
perkembangan sejarah kemudian, cara-cara Koen ini tidak pernah efektif,
karena pada umumnya iman yang dibeli dengan benda adalah sebuah iman
yang berkualitas rendah.” Singkatnya adalah ketidaktepatan membaca sejarah
dan nilai etika al-Quran itulah yang menjadikan wajah Islam menjadi brutal,
anarkis dan beku.
b. Islam dalam Konteks Kemanusiaan dan Keindonesiaan
Dalam bukunya Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan
(2009), Buya Ahmad Syafii mengemukakan empat hal yang menjadi
kegalauannya dalam dunia Islam khususnya di Indonesia, pertama, ia tidak
rela bila bangsa ini tercabik-cabik oleh politik agama, kepentingan picik,
lokal, dan primordialisme. Kedua, adanya kesenjangan antara ajaran dan
praktek kehidupan, yaitu tiadanya korelasi antara praktek agama dan
perbaikan moral. Di satu sisi, orang rajin beribadah, di sisi yang lain, korupsi
semakin menggurita dan kekerasan menghancurkan bangsa ini. Ketiga,
munculnya penyakit yang sifatnya kultural dan mental. Dan keempat,
fenomena kemiskinan, dan kebodohan menimpa sebagian besar umat Muslim

Indonesia. Terhadap empat hal yang menjadi keresahan tersebut, maka kata
kunci yang menjadi penting dikemukakan adalah soal keterhubungan antara
Islam, kemanusiaan, dan keindonesiaan.
Untuk merumuskan pola hubungan yang ideal tersebut, Ahmad Syafii
menyodorkan asumsi-asumsi proposisional. Pertama, Islam Indonesia harus
dilandaskan pada model Islam yang damai, cara damai ini menurut Ahmad
Syafii seharusnya mampu memberi corak Islam yang terbuka, meneduhkan
dan memberi kenyamanan kepada kelompok-kelompok agama-agama lain.
Kedua, sejarah menunjukkan bahwa para founding father bangsa ini, yang
sebagian besar adalah muslim, baik yang berjuang dalam ranah partai atau
gerakan nasionalis, secara de facto menerima sistem politik demokrasi, meski
demokrasi masih banyak kelemahannya. Ketiga, demokrasi tidak bisa dilepas
dari penerimaan pluralitas dan adanya toleransi. Dalam konteks ini, masalah
pencarian dasar negara menjadi polemik yang berkepanjangan antara

Pancasila atau Islam. Dan yang terakhir, Ahmad Syafii menjelaskan bahwa
masa depan agama terletak di dalam upaya ijtihad. Menurutnya peran

16
pendidikan menjadi penting, pendidikan diarahkan untuk membantu
mengembangkan kemampuan penalaran agar sanggup mempertanggung
jawabkan pernyataan, keyakinan dan tindakannya.
c. Islam dan Nusantara : Panggung Interaksi Lintas Agama dan Lintas Kultur
Menurut Ahmad Syafii, meneropong hubungan Nusantara dan Islam
bagaikan puisi, bersifat historis. Pergumulan Islam di Nusantara kata Ahmad
Syafii, memakan waktu panjang dengan stamina perjuangan yang luar biasa
hingga kemenangan kuantitatif berhasil dikukuhkan. Menurut Ahmad Syafii,
dipilihnya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional amat mendukung
budaya untuk saling menyapa secara lancar dan efektif antar-berbagai sub-
kultur yang kaya sambil menyumbangkan kosakata baru kepada bahasa

persatuan itu. Bahasa Indonesia adalah bahasa egalitarian. Menurut Ahmad


Syafii penyebutan Indonesia Islam sama sekali tidak mengandung makna
bahwa agama dan kepercayaan lain tidak dapat tumbuh dan berkembang di
suatu negara yang dikaitkan dengan nama sebuah agama, tetapi belum

sebagai penganut mayoritas. Sekali Islam menjadi agama mayoritas


penduduk, kata Ahmad Syafii gesekan yang terjadi kemudian dengan agama
Kristen ternyata tidak banyak mengubah perimbangan itu. Kristen dan Islam
yang dikenal sebagai sama-sama agama misi (missionary religions) sudah
berkompetisi sejak abad ke-7 Masehi di Asia Barat Daya, Afrika, dan Eropa.
Luka semacam ini tidak terlalu parah dalam hubungan Hindu-Buddha dan
Islam, sekalipun India, bumi kelahiran dua agama tersebut, pernah selama
berabad. abad berada di bawah payung penguasa Muslim
d. Islam Agama yang Demokratis
Bagi segelintir orang, sistem demokrasi, paham keragaman/
kemajemukan (pluralisme), toleransi, dan pesan anti-kekerasan seperti tidak
ada kaitannya dengan Islam. Bahkan ada orang yang dengan mudah
menuduh bahwa sistem atau nilai-nilai itu berlawanan dengan Islam. Umat
Islam Indonesia tidak menemui kesulitan apa pun dalam menyesuaikan
ajaran Islam dengan prinsip-prinsip demokrasi. Sudah sejak awal mayoritas

umat Islam Indonesia adalah pendukung sistem demokrasi. Substansi


demokrasi adalah terjaminnya kemerdekaan rakyat untuk memilih pemimpin

17
atau sistem politik formal secara bebas dan sekaligus untuk menjatuhkannya
jika terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan konstitusi. Demokrasi dalam
praktik menurut Ahmad Syafii di mana pun di muka bumi selalu menuntut
tiga atau empat syarat yang saling melengkapi: rasa tanggung jawab, lapang
dada, rela menerima kekalahan secara sportif, dan tidak membiarkan

kesadaran membeku. Demokrasi dan hak-hak asasi manusia di abad modern


menurut Ahmad Syafii saling berkaitan, yang satu memerlukan yang lain.
e. Tempat Toleransi dalam Islam
Jika kita berbicara tentang keragaman agama dan budaya tidak bisa
dilepaskan dengan prinsip kebebasan yang merupakan salah satu pilar utama
demokrasi. Tetapi di mata Al-Qur’an, kebebasan itu bukanlah tanpa batas,
yaitu dibatasi oleh ruang lingkup kemanusiaan itu sendiri. Menurut Ahmad
Syafii, harus diakui bahwa fenomena keragaman agama dan budaya di
kalangan umat manusia dari zaman dahulu kala sampai hari ini adalah fakta
yang tidak mungkin diingkari. Mengingkari fakta ini sama saja dengan sikap
tidak mengakui adanya cahaya matahari di kala siang bolong. Keragaman
agama dan budaya dapat juga diungkapkan dalam formula: pluralisme agama
dan budaya. Al -Qur’an adalah Kitab Suci yang sudah sejak dini

membeberkan keragaman ini berdasarkan kasatmata. Dalam hal pluralisme


(paham kemajemukan) agama, Al-Qur’an tampaknya berangkat lebih jauh.
Tidak saja orang harus mengakui keragaman agama yang dipeluk oleh umat
manusia, mereka yang tidak beragama pun harus punya tempat untuk
melangsungkan hidupnya di bumi.
f. Islam Agama yang Manusiawi
Ahmad Syafii mengatakan, adalah sebuah malapetaka jika seorang
yang mengaku beriman, tetapi culas dalam perbuatannya. Dari sisi simbol
dan ritual ia kelihatan taat, tetapi simbolisasi dan ritualisasi itu sama sekali

tidak terkait dengan substansi keimanan. Menurut Ahmad Syafii manusia


tidaklah omnipotent (berkuasa tanpa batas), tidak pula omniscient (berilmu
tanpa ujung). Maka iman harus dipanggil untuk berbicara. Nalar dan intuisi
pada maqom (tahap) ini hanyalah berfungsi sebagai pengiring iman belaka.
Menurut Ahmad Syafii, Al-Qur’an melarang umat Islam untuk berpangku
tangan sambil meratapi nasib buruk. Setelah berabad-abad menjadi babak

18
belur dipukul palu godam sejarah, lambat atau cepat kesadaran menyeluruh
di berbagai Dunia Islam untuk sebuah pencerahan pasti akan datang.
Syaratnya, inisiatif untuk “memancing” perhatian Tuhan harus dilakukan,
berupa kerja-kerja kreatif yang berani untuk menembus dan menghalau kabut

kebekuan. Karena Al-Qur’an adalah sebuah Kitab Terbuka, maka menurut


logika, umat Islam harus tampil sebagai umat terbuka.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Gagasan pemikiran dari ketiga tokoh diatas mulai dari Gus Dur, Nurcholis Majid, dan
Ahmad Syafi’i Maarif mengajarkan tentang toleransi antara agama.

Gus Dur mengatakan bahwa islam di Indonesia atau pribumisasi islam tidak boleh
disamakan dengan islam Arab. Beliau memaknai pluralitas sebagai sebuah desain Tuhan agar
manusia dapat saling mengenal dan saling belajar satu sama lain agar dapat saling
melengkapi dan menyempurnakan.

Menurut Nurcholis Majid, toleransi beragama adalah dengan menghargai dan


menghormati kepercayaan agama lain dan memandang bahwa masing-masing agama berjalan
menuju kebenaran sehingga menurutnya tidak ada masalah jika umat islam ikut
mengucapkan selamat hari raya dan menghadiri perayaan-perayaan keagamaan agama lain
karena itu merupakan bagian dari cara menjaga keharmonisan antar umat beragama.

Sedangkan, gagasan pluralisme Ahmad Syafi’i Maarif merupakan corak pemikiran


dan sebuah nilai yang dapat mewadahi kemajemukan atau keragaman. Menurutnya, dalam
beragama, keragaman merupakan sebuah realitas yang harus diterima. Artinya pengertian
intelektualisme dalam realitas agama yang plural bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan
saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami
perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, A. (2014). PLURALISME DALAM PROBLEMA. Jurnal Sosial


Humaniora, 7(2), 189-204.
Afandi, A. L. (2011). Negara dan pluralisme agama (studi pemikiran Hasyim Muzadi
tentang pluralisme agama di Indonesia pasca orde baru).
Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Peradilan. "di Indonesia." (1995).
Asroni, A. (2011). Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang Negara dan Syariat Islam
di Indonesia. Millah: Jurnal Studi Agama, 10(2).
Dewantara, A. W. (2017). MULTIKULTURALISME INDONESIA (STUDI
PERBANDINGAN ANTARA KONSEP MADANI NURCHOLISH MADJID
DAN KONSEP CIVIL SOCIETY). JPAK: Jurnal Pendidikan Agama Katolik,
17(9), 15-25.
Hanik, U. (2014). Pluralisme agama di Indonesia. Jurnal Pemikiran Keislaman, 25(1).
Khaerurrozikin, A. (2015). Problem Sosiologis Pluralisme Agama di Indonesia.
Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, 13(1), 93-114.
Qorib, M. (2012). Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Pluralisme Agama.
Maarif, A. S. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2009.
Munir, M. (2017). Nurcholish Madjid dan Harun Nasution serta Pengaruh Pemikiran
Filsafatnya. Petita: Jurnal Kajian Ilmu Hukum dan Syariah, 2(2), 212-228.
Rojani, D. M. Gagasan Pluralisme Ahmad Syafii Maarif (Bachelor's thesis, Jakarta:
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah).
Setiawan, E. (2017). KONSEP TEOLOGI PLURALISME GUS DUR DALAM
MERETAS KEBERAGAMAN DI INDONESIA. ASKETIK: Jurnal Agama dan
Perubahan Sosial, 1(1).
Sholikin, A. (2013). Pemikiran Politik Negara Dan Agama “Ahmad Syafii Maarif.”.
Universitas Airlangga.
Yusup, M., Lubis, Z., & Rachmat, N. (2014). Pandangan Tokoh Agama Non Islam
Terhadap Gagasan Gus Dur Tentang Pluralisme. Jurnal Studi Al-Qur'an, 10(1),
70-82.

20

Anda mungkin juga menyukai