Anda di halaman 1dari 16

PRULALISME DAN INKLUSIVISME DALAM DAKWAH

MAKALAH

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat Dakwah

Oleh:

Isyqie bin-Nabi Hanif: (04010521101)


Rida Mahmudah (04010521106)
Zidni Rosyidah Amala (04010221019)

Dosen Pengampu:

M. Yusuf, S. Sos, M. Pd
NIP. 20220131

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

MEI 2022

i
ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwata’ala karena atas berkat
rahmat-Nya kami memperoleh keberhasilan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah
Filsafat Dakwah dengan membuat makalah yang berjudul “Pluralisme dan Inklusivisme
dalam Dakwah”.
Kami tentunya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya nantinya
menjadi laporan yang lebih baik lagi. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah
ini kami memohon maaf yang sebesar- besarnya.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada bapak
M. Yusuf, S. Sos, M. Pd Yang telah membimbing dalam menyelesaikan makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya
bagi yang membutuhkan.

Surabaya, 29 Mei
2022

Kelompok 11

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................................I

DAFTAR ISI...........................................................................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................................1

A. LATAR BELAKANG........................................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH....................................................................................................................1
C. TUJUAN.........................................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................................2

A. PLURALISME.................................................................................................................................2
B. INKLUSIVISME..............................................................................................................................4
C. PLURALISME DAN INKLUSIVISME DALAM DAKWAH.....................................................................6

BAB III PENUTUP................................................................................................................................11

A. KESIMPULAN..............................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................................12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Bangsa Indonesia telah dikenal sejak zaman nenek moyang sebagai bangsa yang
majemuk. Latar belakang yang berbeda dari segi suku, ras, budaya, hingga bahasa
telah memunculkan keragaman yang unik yang tidak dimiliki bangsa-bangsa lain.
Dari keragaman tersebut muncullah semboyan Bhineka Tunggal Ika agar terciptanya
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Namun, meski demikian tidak jarang
ditemukan ketidakselarasan antar bangsa karena banyaknya perbedaan yang
menonjol diantara mereka. Dari mulai paham yang mengatakan bahwa kelompoknya
yang paling benar hingga paham yang hanya percaya pada kelompoknya sampai
merendahkan kelompok lain.
Hal-hal diatas merupakan hal yang lumrah terjadi bahkan bukan menjadi rahasia
umum lagi, maka dari itu perlu adanya pemahaman tentang pluralisme dan
inklusivisme terutama bagi para pembesar dan tokoh masyarakat yang dipandang
lebih oleh masyarakat sekitar. Mereka harus paham betul bagaimana bersikap dan
bertindak dalam menghadapi masyarakat yang plural dan beragam. Namun, bukan
berarti pemahaman ini tidak penting bagi masyarakat biasa. Pemahaman ini harus
ditanamkan dalam hati agar terciptanya persatuan Indonesia seperti yang tertera
dalam sila ketiga pancasila.

B. Rumusan masalah

1. Apa pengertian dari pluralisme?


2. Apa pengertian dari inklusivisme?
3. Bagaimana kaitan antatra pluralisme dan inklusivisme dengan dakwah islam?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dari pluralisme


2. Untuk mengetahui pengertian inklusivisme
3. Untuk mengetahui kaitan pluralisme dan inklusivisme dengan dakwah islam

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pluralisme

Istilah ini berasal dari bahasa Latin pluralis yang berarti jamak. Pluarlisme dicirikan
oleh hal-hal berikut ini: 1) realitas fundamental itu bersifat jamak yang dibedakan dengan
dualisme dan monisme, 2) terdapat banyak tingkatan dalam alam semesta yang berdiri
secara terpisah dan independen dan 3) alam semesta pada dasarnya tidak memiliki
kesatuan.1

Pluralisme adalah paham atau pandangan hidup yang mengakui dan menerima adanya
kemajemukan atau keanekaragaman dalam suatu kelompok masyarakat. Kemajemukan
dimaksud misalnya dilihat dari segi agama, suku, ras, adat-istiadat, dan lain-lain. Segi-
segi inilah yang biasanya menjadi dasar pembentukan aneka macam kelompok lebih
kecil, terbatas dan khas, serta yang mencirikhaskan dan membedakan kelompok yang
satu dengan kelompok yang lain, dalam suatu kelompok masyarakat yang majemuk dan
yang lebih besar atau lebih luas. Misalnya masyarakat Indonesia yang majemuk, yang
terdiri dari berbagai kelompok umat beragama, suku, dan ras, yang memiliki aneka
macam budaya atau adat-istiadat. Begitu pula masyarakat Maluku yang majemuk,
ataupun masyarakat baru yang majemuk.2

Menerima kemajemukan berarti menerima adanya perbedaan. Menerima perbedaan


bukan berarti menyamaratakan tetapi justru mengakui bahwa ada hal atau ada hal-hal
yang tidak sama. Menerima kemajemukan (misalnya dalam bidang agama) bukanlah
berarti bahwa membuat “penggabungan gado-gado”, dimana kekhasan masing-masing
terlebur atau hilang. Kemajemukan juga bukan berarti “tercampur baur” dalam satu
“frame” atau “adonan”. Justru di dalam pluralisme atau kemajemukan, kekhasan yang
membedakan hal (agama) yang satu dengan yang lain tetap ada dan tetap dipertahankan.
Jadi pluralisme berbeda dengan sinkritisme (penggabungan) dan asimilasi atau akulturasi
(penyingkiran). Juga pluralisme tidak persis sama dengan inkulturasi, kendati di dalam
pluralisme atau kemajemukan bisa terjadi inkulturasi dimana keaslian tetap
dipertahankan.3
1
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2000), 853.
2
Afriansyah, Hubungan Antar Umat Agama, Wacana Pluralisme Eksklusivisme dan Inklusivisme, (IAIN Press,
2002), 55.
3
A. Shobiri Muslim, ”Pluralisme Agama Dalam Perspektif Negara dan Islam”, (Jakarta: Madania, 1988), 4.

2
Keanekaragaman masyarakat dan budaya di Indonesia sangat beragam, sudah tetntu
masing-masing dari mereka pun memiliki keinginan yang berbeda-beda. Perbedaan
inilah yang berpotensi menimbulkan konflik diantara setiap individu masyarakat
tersebut. Dalam hal ini paham pluralisme yang mengacu kepada pengertian toleransi
sangat dibutuhkan untuk mempersatukan keanekaragaman bangsa. Mengingat bahwa
salah satu semboyan bangsa Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika.

Dalam keagamaan, pluralisme adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa


secara teologis, pluralitas agama dipandang sebagai realitas niscaya yang masing-masing
berdiri sejajar sehingga semangat misionaris dan dakwah dianggap tidak relevan. John
Hick adalah tokoh penting yang mengemukakan konsep pluralis ini dalam tradisi
Kristen. Ia menyatakan bahwa asumsi solus Christus yang dipegang oleh para ekslusivis
sangat bertentangan dengan ajaran Kristus mengenai universal salvific will of God
(kehendak universal keselamatan Allah) yang menghendaki keselamatan bagi semua.
Oleh karena itu, Hick mengajukan suatu perubahan paradigma dari paradigma
christocentric (berpusat pada agama Kristen atau Kristus) menuju paradigma theocentric
(berpusat pada Allah).19 Maka, bagi Hick, kepada Allah-lah seluruh agama menuju, dan
darinyalah mereka memperoleh keselamatan.

Ungkapan-ungkapan para pluralis mengenai pluralisme

1. John Hicks: Dan kita harus menyadari bahwa semesta iman berpusatpada Allah
bukan pada kekristenan atau pada agama lain mana pun. Ia adalah matahari,
sumber awal dari terang dan kehidupan, yang agama-agama refleksikan dalam
cara-cara mereka sendiri secara berbeda.
2. Raimundo Panikkar: Each religion expresses an important part of the truth.
3. Nurcholis Majid: Agama adalah sistim simbol. Kalau kita berhenti pada sistim
simbol, kita akan konyol. Tapi kalau kita berusaha untuk kembali ke asal simbol
itu, kita akan menemukan [banyak] persamaan [antaraagama].

Kelompok pluralis islam, menyandarkan paham pluralis pada Al-Quran surat Al-
Maidah ayat 48, yang berbunyi:

ْ‫ب َو ُم َه ْي ِم ًنا َعلَ ْي ِه َفاحْ ُك ْم َب ْي َن ُه ْم ِب َمٓا اَ ْن َز َل هّٰللا ُ َواَل َت َّت ِبع‬ ِ ‫ص ِّد ًقا لِّ َما َبي َْن َي َد ْي ِه م َِن ْالك ِٰت‬ َ ‫ب ِب ْال َح ِّق ُم‬ َ ‫ك ْالك ِٰت‬َ ‫َواَ ْن َز ْل َنٓا ِالَ ْي‬
‫ك م َِن ْال َح ۗ ِّق لِ ُك ٍّل َج َع ْل َنا ِم ْن ُك ْم شِ رْ َع ًة وَّ ِم ْن َهاجً ا َۗولَ ْو َش ۤا َء هّٰللا ُ لَ َج َعلَ ُك ْم اُم ًَّة َّوا ِح َد ًة َّو ٰلكِنْ لِّ َي ْبلُ َو ُك ْم فِيْ َمٓا‬ َ ‫اَهْ َو ۤا َء ُه ْم َعمَّا َج ۤا َء‬
‫م ِب َما ُك ْن ُت ْم فِ ْي ِه َت ْخ َتلِفُ ْو ۙ َن‬8ْ ‫ت ِالَى هّٰللا ِ َمرْ ِج ُع ُك ْم َج ِم ْي ًعا َف ُي َن ِّبُئ ُك‬
ِ ۗ ‫ٰا ٰتى ُك ْم َفاسْ َت ِبقُوا ْال َخي ْٰر‬

3
“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) dengan
membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan
menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan
janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan
jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu
semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu
perselisihkan.”

Berdasarkan ayat tersebut, mereka menafsirkan, bahwa implikasi dari ayat diatas
adalah Setiap masyarakat atau umat memiliki aturan dan jalannya sendiri. Selanjutnya
setiap masyarakat harus yakin terhadap ajaran agamanya sendiri, karena Allah pasti akan
“menguji atas apa yang telah Ia berikan” li-yabluwakum fîmâ âtâkum. Setiap masyarakat
agama harus berlomba-lomba dalam kebajikan Fa ’stabiqû ’l-khayrât. Setiap masyarakat
agama harus menghormati perbedaan yang memisahkan mereka. Tidak dianjurkan untuk
menghakimi keyakinan agama lain, karena di Hari Akhir nanti, Allah akan menunjukkan
“apa yang diperselisihkan.4

B. Inklusivisme

Secara bahasa inklusivisme berasal dari bahasa inggris yaitu inclusive yang
merupakan kata sifat yang berarti including everything (semuanya termasuk). Kemudian
kata inclusive ini lalu dimasukkan ke dalam bahasa indonesia menjadi ‘inklusif’ yang
berarti termasuk, terhitung, dan terbuka. Inklusivisme merupakan sebuah paham yang
menganggap bahwa kebenaran tidak hanya terdapat pada suatu kelompok tertentu.
Paham ini meyakini bahwa setiap agama membawa ajaran keselamatan, karena semua
agama pada substansinya adalah sama, namun memiliki syarat dan ajaran yang berbeda-
beda.5 Paham inklusivisme berbanding terbalik dengan paham eksklusivisme, yang
hanya mengakui kelompok tertentu sebagai kelompok yang “selamat” atau “diridhoi”,

4
BAKAR, Abu. Argumen Al-Qur’an tetang Eksklusivisme, Inklusivisme dan Pluralisme. TOLERANSI: Media Ilmiah
Komunikasi Umat Beragama, 2016, 8.1: 43-60
5
Iron Sarira, Toleransi Dalam Perspektif Inklusivisme, Pluralisme, Dan Multikulturalisme Terhadap Kajian
Penyelesaian Konflik, 2019, diakses dari https://business-law.binus.ac.id/2019/04/04/

4
sedangkan inklusivisme mengakui bahwa universal keselamatan tidak hanya bagi
kelompok tertentu melainkan untuk kelompok lain, termasuk dalam komunitas agama.
Kebenaran dalam inklusivisme diartikan sebagai payung besar bagi agama-agama, dan
tidak dimonopoli oleh satu agama tertentu.

Nurcholis Majid memaknai inklusivisme dengan dua hal yaitu pandangan terhadap
agama-agama lain sebagai bentuk implisit dari agama tertentu dan sikap terbuka dan
toleran terhadap penganut agama non-islam. Menurut Alwi Shihab, teologi ini dikaitkan
dengan pandangan Karl Rehner, seorang teolog katolik, yang intinya menolak asumsi
bahwa tuhan mengutuk mereka yang berkesempatan meyakini injil. Mereka yang
mendapat anugerah cahaya Ilahi walaupun tidak melalui yesus tetap akan mendapatkan
keselamatan.6

Dalam setiap agama, kelompok inklusivis menjadi kelompok minoritas, karena pada
umumnya setiap agama menganut paham eksklusivisme. Eksklusivisme adalah suatu
paham yang menganggap bahwa hanya pandangan dan kelompoknya yang paling benar,
sedangkan kelompok lain dianggap salah. Pandangan ini didasarkan pada sebuah klaim
kebenaran (truth claim) yang ada pada setiap agama. Menurut Misrawi, paham
eksklusivisme telah meninggalkan jejak sejarah kelam, yaitu peperangan dan konflik.
Dalam sejarah perkembangan agama juga demikian. Sehingga agama tidak lagi
bernuansa pencerahan dan pembebasan, melainkan bercorak konflik dan kekerasan. Atas
dasar inilah kaum pluralis menentang eksklusivisme agama dan mempropagandakan
bahwa selayaknyalah pada setiap agama ditumbuhkan sikap dan paham inklusif.7

Klaim inklusivis muncul setelah konsili Vatikan II (1962-1965), yang menyatakan


“Gereja Katolik tak menolak apa pun yang benar dan kudus dalam agama-agama ini. Ia
menyikapi dengan rasa hormat yang tulus jalan-jalan perilaku dan kehidupan ini, aturan-
aturan dan ajaran-ajaran yang, sekalipun berbeda dalam banyak segi dari yang dipegang
dan diteruskan oleh Gereja, namun kerap memantulkan sinar Kebenaran yang menerangi
semua manusia.” Dan “Mereka yang … tidak mengenal Injil Kristus atau Gereja-Nya,
namun yang mencari Allah dengan hati tulus dan tergerak oleh anugrah, mencoba dalam

6
Rofiq Nurhadi dkk, “Dialektika Inklusivisme Dan Eksklusivisme Islam Kajian Semantik Terhadap Tafsir Al-Quran
Tentang Hubungan Antaragama”, Kawistara: Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora, Vol. 3, No. 1, 2013, 59
7
Maria Ulfa, Mencermati Inklusivisme Agama Nurcholis Majid”, Jurnal Kalimah, Vol. 11, No. 2, 2013, 238-239

5
tindakan mereka untuk melakukan kehendak-Nya selama mereka mengenalnya melalui
suara hati mereka – mereka juga dapat memperoleh keselamatan kekal.”8

Dalam islam, kelompok yang berpaham inklusivisme, mereka menyandarkan paham


inklusivisme pada ayat Al-Quran, yaitu Al-Baqoroh ayat 62 yang berbunyi:
‫هّٰلل‬
َ ‫َّابــِٕي َْن َمنْ ٰا َم َن ِبا ِ َو ْال َي ْو ِم ااْل ٰ خ ِِر َو َع ِم َل‬
َ‫صالِحً ا َفلَ ُه ْم اَجْ ُر ُه ْم عِ ْند‬ ِ ‫ص ٰرى َوالص‬ ٰ ‫اِنَّ الَّ ِذي َْن ٰا َم ُن ْوا َوالَّ ِذي َْن َها ُد ْوا َوال َّن‬
‫َرب ِِّه ۚ ْم َواَل َخ ْوفٌ َعلَي ِْه ْم َواَل ُه ْم َيحْ َز ُن ْو َن‬

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani


dan orang-orang sabi'in, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak
ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.”

Dan Al-Maidah ayat 69 yang berbunyi:


‫هّٰلل‬
َ ‫ص ٰرى َمنْ ٰا َم َن ِبا ِ َو ْال َي ْو ِم ااْل ٰ خ ِِر َو َع ِم َل‬
‫صالِحً ا َفاَل َخ ْوفٌ َعلَي ِْه ْم َواَل‬ ِ ‫اِنَّ الَّ ِذي َْن ٰا َم ُن ْوا َوالَّ ِذي َْن َها ُد ْوا َوالص‬
ٰ ‫َّابـ ُْٔو َن َوال َّن‬
‫ُه ْم َيحْ َز ُن ْو َن‬

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, shabiin dan orang-


orang Nasrani, barangsiapa beriman kepada Allah, kepada hari kemudian, dan berbuat
kebajikan, maka tidak ada rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih hati.”

Mereka menafsirkan dua ayat tersebut bahwa ayat tersebut menjanjikan keselamatan
bagi penganut agama nasrari, yahudi, dan shabiin yang memercayai keesaan Allah,
pengadilan padda hari akhir, dan menghiasi diri dengan amal baik.9

C. Pluralisme dan inklusivisme dalam dakwah

Dalam konteks Indonesia yang pluralistik, hikmah dalam berdakwah merupakan


hal yang strategis. Dengan hikmah itulah maka dapat dirumuskan sebuah konstruksi
dakwah yang inklusif, yaitu dakwah yang berpandangan bahwa siapa pun dalam
kehidupan ini adalah bagian dari kita. Dengan pandangan seperti ini maka dakwah dapat
berperan menjadi mediator yang efektif untuk menyatukan umat yang terpecah belah;
dakwah yang mampu menstimulasi rasa persaudaraan di antara sesama manusia, terlepas

8
Imam Hanafi, “Eksklusivisme, Inklusivisme, Dan Pluralisme: Membaca Pola Keberagamaan Umat Beriman”,
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 2, 2011, 395
9
Rofiq Nurhadi dkk, “Dialektika Inklusivisme Dan Eksklusivisme Islam Kajian Semantik Terhadap Tafsir Al-Quran
Tentang Hubungan Antaragama”, 60

6
dari perbedaan etnis ataupun agama. Sebab, Islam tidak mengajarkan umatnya untuk
berpikir sepihak dan eksklusif, baik sesama umat Islam sendiri maupun sesama warga
umat manusia.

Dakwah pluralis berarti mengkomunikasikan nilai-nilai Islam dengakasih sayang


(rahmah), dan metode yang moderat, tidak menghukumi, tidak memukul tetapi dengan
merangkul, agar semua lapisan agama dapat hidup dengan damai dan sejahtera. Prinsip
musawa, egalitarian, Menurut Al-Jarim dan Musthafa Usman, “Musawah adalah
pengungkapan kalimat yang maknanya sesuai dengan banyaknya kata-kata, dan kata-
katanya sesuai dengan luasnya makna yang dikehendaki, tidak ada penambahan ataupun
pengurangan”. Sedangkan menurut Imam Akhdlori, “Musawah adalah mendatangkan
makna dengan ucapan yang seukurannya (tidak bertele-tele dan tidak terlalu singkat).
Dari uraian diatas dapat diartikan bahwa, Musawah merupakan cara untuk
menyampaikan maksud atau pernyataan yang sesuai menurut ketentuanyang berlaku dan
ketika menyampaikannya penyampaian itu tidak mengurangi makna, tidak terlalu
singkat, dan tidak pula terlalu panjangataupun bertele-tele.10

Pluralisme Agama sebagaimana diungkapan Nurcholis Madjid mengatakan bahwa


sikap keragaman yang tidak hanya memperjuangkan kepentingan umat Islam saja, tetapi
juga melayani kepentingan luas yaitu dengan cara berdialog dan menerima tradisi budaya
lain yang tidak bertentangan. Begitu juga dengan Islam menanamkan nilai keberagaman
serta saling menghargai dan menghormati antar agama untuk mewujudkan nilai
keindonesiaan yang di perjuangkan secara bersama tanpa melihat perbedaan.

Menggagas pluralisme agama ini, Nurcholis mengaitkan dengan tujuan orang


beragama untuk bersikap lapang dan terbuka. Menurutnya, sebaik-baik agama disisi
Allah adalah al-hanifiyyah al-samhah yaitu mencari kebanaran secara terbuka yang
membawa sikap toleran, terbuka, tidak sempit, tidak fanatik dan tidak membelenggu
jiwa. Dalam ide pluralisme agama yang dibawanya, Nurcholis Madjid menunjukkan
bahwa Islam adalah sebuah ajaran yang mencari dan berpegang pada kebenaran secara
lapang dan all inclusive dengan memberi tempat pada pengakuan semua agama, semua
kitab suci dan semua Nabi. Semangat inilah yang menunjukkan bahwa pluralisme agama
dalam gagasan Nurcholis madjid ingin melebur keberbedaan agama dalam keterbukaan,
saling menghormati, saling toleransi, bekerja sama bahumembahu dalam
memperjuangkan keadilan dan saling menghormati harkat kemanusiaan bersama-sama.
10
A. SYARIFUDIN, “Dakwah Pluralis”, Wardah, Vol. 14, No. 2, 2013, 145-153.

7
Dalam pemikirannya, Nurcholis sangat mengedepankan optimisme yang tinggi
terhadap berhasilnya pencapaian “titik temu” dari berbagai agama. Hal tersebut justru
menjadi kelemahan karena semangatnya yang didasarkan bahwa umat Islam adalah
mayoritas seakan-akan mengesampingkan agama lain, dalam arti jika bagian terbesar
tadi adalah agama selain Islam maka tidak akan terjadi titik temu dan keterbukaan
terhadap agama lain Pendapat Nurcholis tentang Manusia akan senantiasa berselisih (dan
mereka yang tidak berselisih adalah yang mendapat rahmat Tuhan) karena “keputusan”
atau “takdir” Tuhan untuk makhluknya yang akan tetap berbeda-beda sepajang masa dan
bersifat perennial, juga mengisyaratkan bahwa jika seseorang ada dalam sebuah agama,
konflik dengan agama lain akan dianggap sebagai tindakan kebenaran melawan
kelaliman. Sedangkan jika seseorang berada dalam agama lain, maka ia akan dianggap
sebaliknya.

Ide tentang pluralisme, merupakan prinsip dasar dalam Islam, sebuah kenyataan
objektif komunitas manusia sejenis hukum Allah dan bahwa hanya Allah yang tahu dan
dapat menjelaskan di hari akhir nanti mengapa kita diciptakan berbeda. Kemajemukan
keagamaan ini menandakan pengertian dasar bahwa semua agama diberi kebebasan
untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para pengikut agama masing-
masing, baik secara pribadi maupun kelompok. Sikap ini mengandaikan adanya harapan
kepada semua agama yang ada, yakni karena semua agama itu pada mulanya
berlandaskan kepada prinsip yang sama yaitu keharusan manusia untuk berserah diri
kepada Yang Maha Esa, menyadari dirinya sebagai seorang manusia individual dan
manusia universal sekaligus.

Pluralisme agama adalah membangun suatu kehidupan keberagamaan di masa depan


dengan lebih menghargai entitas masing-masing ajaran agama serta kompleksitas potensi
yang dimiliki oleh masing-masing pemeluknya, dengan tetap menjaga identifikasi agama
masing-masing. Ada satu fakta yang tak dapat diingkari, bahwa terminologi pluralisme
atau dalam bahasa Arabnya, al ta‟addudiyyah‖, tidaklah dikenal secara populer dan tidak
banyak dipakai di kalangan Islam kecuali sejak kurang lebih dua dekade terakhir abad ke
20 yang lalu.11

Mengenai inklusivisme dalam dakwah, ada tiga hal yang terkait dengan inklusifisme
Islam ini: pertama inklusifisme Islam berpijak pada semangat humanitas dan
1111
Abdul Halim, Konstruksi Pluralisme Agama Dalam Islam, JAMBI: Fakultas Ushuluddin IAIN STS.

8
universalitas Islam. Humanitas mengandung arti Islam merupakan agama kemanusiaan
dan cita-citanya sejalan dengan cita-cita kemanusiaan pada umumnya. Diutusnya Nabi
Muhammad adalah untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam, bukan semata-mata
untuk menguntungkan komunitas Islam saja. Kedua, Islam adalah agama terbuka yang
menolak eksklusifisme dan absolutisme dan memberikan apresiasi yang tinggi terhadap
pluralisme. Ketiga, Inklusifisme Islam memiliki komitmen yang kuat terhadap
pluralisme, yaitu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap
kemajemukan, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas
dasar kenyataan itu.

Dakwah yang inklusif dibangun dari dua pilar: pertama, pluralitas sebagai
sunnatullah. Kemajemukan (pluralitas) adalah salah satu kenyataan obyektif komunitas
umat manusia, sejenis hukum Allah atau sunnat Allah, dan bahwa hanya Allah yang tahu
dan dapat menjelaskan, di hari akhir nanti, mengapa manusia berbeda satu dari yang lain.
Dalam al-Qur’ān disebutkan: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara manusia di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. 49:13).

“Untuk masing-masing dari kamu (umat manusia) telah Kami tetapkan Hukum
(Shir‘ah, Sharī‘ah) dan Jalan Hidup (minhāj). Jika Tuhan menghendaki maka tentulah Ia
jadikan kamu sekalian umat yang tunggal (monolitik). Namun Ia hendak menguji kamu
sekalian berkenaan dengan hal-ha yang telah dikaruniakan-Nya kepada kamu. Maka
berlombalah kamu sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada Allah-lah tempat kalian
semua kembali; maka Ia menjelaskan kepadamu sekalian tentang perkara yang pernah
kamu perselisihkan.” (QS. 5: 48).

“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya.
Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada
pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. 2: 148)

Islam merupakan agama yang terbuka (open religion). Dalam perspektif ini, umat
Islam –menurut Nurcholish Madjid– harus menjadi golongan yang terbuka, yang bisa
tampil dengan rasa percaya diri yang tinggi, dan bersikap sebagai pamong yang bisa

9
ngemong golongan-golongan lainnya. Selain itu absolutisme harus ditolak. Artinya
Islam itu memberikan tempat yang tinggi terhadap ide pertumbuhan dan perkembangan,
yakni paradigma tentang etos gerak yang dinamis dalam ajaran Islam.12

BAB III
12
Luluk Fikri Zuhriyah, “Dakwah Inklusif Nurcholish Madjid”, Jurnal Komunikasi Islam, Vol. 2, No. 2, 2012, 218-
242.

10
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pluralisme adalah paham atau pandangan hidup yang mengakui dan menerima
adanya kemajemukan atau keanekaragaman dalam suatu kelompok masyarakat.
Kemajemukan dimaksud misalnya dilihat dari segi agama, suku, ras, adat-istiadat, dan
lain-lain. Segi-segi inilah yang biasanya menjadi dasar pembentukan aneka macam
kelompok lebih kecil, terbatas dan khas, serta yang mencirikhaskan dan membedakan
kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, dalam suatu kelompok masyarakat
yang majemuk dan yang lebih besar atau lebih luas. Dalam keagamaan, pluralisme
adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa secara teologis, pluralitas agama
dipandang sebagai realitas niscaya yang masing-masing berdiri sejajar sehingga
semangat misionaris dan dakwah dianggap tidak relevan. Inklusivisme merupakan
sebuah paham yang menganggap bahwa kebenaran tidak hanya terdapat pada suatu
kelompok tertentu. Paham ini meyakini bahwa setiap agama membawa ajaran
keselamatan, karena semua agama pada substansinya adalah sama, namun memiliki
syarat dan ajaran yang berbeda-beda.

Dalam konteks Indonesia yang pluralistik, hikmah dalam berdakwah merupakan


hal yang strategis. Dengan hikmah itulah maka dapat dirumuskan sebuah konstruksi
dakwah yang inklusif, yaitu dakwah yang berpandangan bahwa siapa pun dalam
kehidupan ini adalah bagian dari kita. Dakwah pluralis berarti mengkomunikasikan nilai-
nilai Islam dengakasih sayang (rahmah), dan metode yang moderat, tidak menghukumi,
tidak memukul tetapi dengan merangkul, agar semua lapisan agama dapat hidup dengan
damai dan sejahtera. Dakwah yang inklusif dibangun dari dua pilar: pertama, pluralitas
sebagai sunnatullah. Kemajemukan (pluralitas) adalah salah satu kenyataan obyektif
komunitas umat manusia, sejenis hukum Allah atau sunnat Allah, dan bahwa hanya
Allah yang tahu dan dapat menjelaskan, di hari akhir nanti, mengapa manusia berbeda
satu dari yang lain

11
DAFTAR PUSTAKA

Afriansyah. Hubungan Antar Umat Agama, Wacana Pluralisme Eksklusivisme dan


Inklusivisme. IAIN Press. 2002.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. 2000.

Bakar, Abu. “Argumen Al-Qur’an tetang Eksklusivisme, Inklusivisme dan Pluralisme”.


TOLERANSI: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama. Vol. 8. No. 1. 2016.

Hanafi, Imam. “Eksklusivisme, Inklusivisme, Dan Pluralisme: Membaca Pola Keberagamaan


Umat Beriman”. Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman. Vol. 10. No. 2. 2011.

Halim, Abdul. Konstruksi Pluralisme Agama Dalam Islam. JAMBI: Fakultas Ushuluddin
IAIN STS.

Muslim, A. Shobiri. Pluralisme Agama Dalam Perspektif Negara dan Islam. Jakarta:
Madania. 1988.

Nurhadi, Rofiq, dkk. “Dialektika Inklusivisme Dan Eksklusivisme Islam Kajian Semantik
Terhadap Tafsir Al-Quran Tentang Hubungan Antaragama”. Kawistara: Jurnal
Ilmiah Sosial dan Humaniora. Vol. 3. No. 1. 2013.

Sarira, Iron. “Toleransi Dalam Perspektif Inklusivisme, Pluralisme, Dan Multikulturalisme


Terhadap Kajian Penyelesaian Konflik”, 2019, diakses dari https://business-
law.binus.ac.id/2019/04/04/

Syarifudin, A. “Dakwah Pluralis”. Wardah. Vol. 14. No. 2. 2013.

Ulfa, Maria. “Mencermati Inklusivisme Agama Nurcholis Majid”. Jurnal Kalimah. Vol. 11.
No. 2. 2013.

Zuhriyah, Luluk Fikri. “Dakwah Inklusif Nurcholish Madjid”. Jurnal Komunikasi Islam. Vol.
2. No. 2. 2012.

12

Anda mungkin juga menyukai