Anda di halaman 1dari 24

KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Hadits

Oleh:
- Ahmad Faiz Makinun Amin: 04020221021
- Aisyah Putri Arosyid: 04020221024
- Anjani Suci Ramadhanty:04010521100
- Rida Mahmudah: 04010521106

Dosen Pengampu:
Dr. H. M. Munir Mansyur, M.Ag

PRODI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
`Puji syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
sampai detik ini kita masih diberi kesehatan sehingga dapat terus berusaha untuk menjadi
insan yang bermakna. Shalatullah semoga senantiasa tetap tercurah limpahkan kepada
junjungan kita nabi Muhammad SAW. Sebagai umat yang diturunkan paling akhir kita
mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan umat-umat terdahulu yaitu amar
ma’ruf nahi munkar. Sungguhpun kita akan hidup sendiri di alam kubur kelak, kita tidak
boleh hanya memperhatikan diri kita sendiri, akan tetapi lingkungan sekitar kita perlu
perhatian lebih.
Oleh karena itu dipandang perlu dan penting bagi kita untuk mengetahui dan
mendalami tentang hadits. Karena bagaimanapun hadits merupakan sumber hukum kedua
dalam islam. Sehingga kita bisa mengetahui kedudukan-kedudukan hadits serta fungsinya
dalam kehidupan kita sebagai umat beragama, agar kita bisa terus beribadah sesuai dengan
syariat yang benar di mata Allah SWT.
Makalah sederhana ini hadir dengan harapan dapat memberikan pencerahan bagi
kita semua. Meskipun kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata
sempurna. Oleh karenanya kritik konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan karya
kami ke depan.

Surabaya, 14 Maret 2022

i
Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................................
BAB I..................................................................................................................................
A. Latar Belakang.........................................................................................................
B. Rumusan Masalah....................................................................................................
C. Tujuan......................................................................................................................
BAB II.................................................................................................................................
A. Pengertian Kedudukan dan Kehujjahan Hadits.......................................................
B. Fungsi Hadits terhadap Al-Quran............................................................................
BAB III...............................................................................................................................
A. Kesimpulan..............................................................................................................
Daftar Pustaka...................................................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Quran dan hadits tidak dapat dipisahkan, keduanya saling


membutuhkan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh umat islam. Karena itu, baik
al-Quran maupun hadits Nabi dapat dan harus dijadikan hujjah. Khusus kehujjahan
hadits Nabi dapat dilihat melalui dalil akli maupun nakli, yaitu dalil al-Quran, hadits
Nabi, ijma’ ulama, dan argumentasi rasional. Banyak ayat al-Quran ynag tidak dapat
dipahami kecuali setelah mengkaji hadits-hadits Nabi, maka hadits-hadits Nabi
berfungsi sebagai penjelas dan menafsirkan ayat-ayat al-Quran.
Dalam kedudukannya sebagai penjelas, hadits kadang-kadang memperluas
hukum dalam Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan
Allah dalam Al-Quran. Kedudukan Hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi
yang menjelaskan hukum Al-Quran, tidak diragukan lagi dan dapat di terima oleh
semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi di tugaskan Allah SWT. Namun
dalam kedudukan hadits sebagai dalil yang berdiri sendiri dan sebagai sumber kedua
setelah Al-Quran, menjadi bahan perbincangan dikalangan ulama. Perbincangan ini
muncul di sebabkan oleh keterangan Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Al-Quran
atau ajaran Islam itu telah sempurna. Oleh karenanya tidak perlu lagi ditambah oleh
sumber lain.

B. Rumusan Masalah

1. Pengertian Kedudukan dan Kehujjahan Hadits


2. Menjelaskan Fungsi Hadits terhadap Al-Quran

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian kedudukan dan kehujjahan hadits

1
2. Untuk mengetahui fungsi hadits terhadap Al-Quran

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kedudukan dan Kehujjahan Hadits

1. Dalil al-Quran
Banyak ayat Al Qur’an yang- menerangkan tentang kewajiban untuk tetap
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Iman kepada Rasul sebagai utusan Allah
SWT merupakan satu keharusan dan sekaligus kebutuhan individu. Dengan
demikian Allah akan memperkokoh dan memperbaiki keadaan, mereka. Hal ini
sebagaimana dijelaskan dalam Surat Ali Imran 17 dan An Nisa’ 36. Selain Allah
memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasul SAW, juga menyerukan
agar mentaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawahnya,
baik berupa, perintah maupun perundang-undangan tuntutan taat dan patuh kepada
Allah. Banyak ayat Al Qur’an yang berkenaan dengan masalah ini.
Firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 32:
9‫ َن‬9‫ ي‬9‫ ِر‬9ِ‫ف‬9‫ ا‬9‫ َك‬9‫ ْل‬9‫ ا‬9‫ب‬
9ُّ 9‫ ِح‬9ُ‫ اَل ي‬9َ ‫ن هَّللا‬ 9ِ ‫ َأ‬9‫ل‬9ْ 9ُ‫ق‬
َّ9 ‫ ِإ‬9َ‫ ف‬9‫ ا‬9‫و‬9ْ َّ9‫ ل‬9‫ َو‬9َ‫ ت‬9‫ن‬9ْ ‫ ِإ‬9َ‫ ف‬9ۖ 9‫ل‬9َ 9‫ و‬9‫ ُس‬9َّ‫ر‬9‫ل‬9‫ ا‬9‫ َو‬9َ ‫ هَّللا‬9‫ا‬9‫ و‬9‫ ُع‬9‫ ي‬9‫ط‬
“Katakanlah ! taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir.”
Dalam surat An Nisa’ ayat 59 Allah juga berfirman:
9‫ ي‬9ِ‫ ف‬9‫ ْم‬9ُ‫ ت‬9‫ ْع‬9‫ َز‬9‫ ا‬99َ‫ ن‬9َ‫ ت‬9‫ن‬9ْ ‫ ِإ‬99َ‫ ف‬9ۖ 9‫ ْم‬9‫ ُك‬9‫ ْن‬9‫ ِم‬9‫ ِر‬9‫َأْل ْم‬9‫ ا‬9‫ ي‬9ِ‫ل‬9‫ ُأ و‬9‫ َو‬9‫ل‬9َ 9‫ و‬9‫ ُس‬9َّ‫ر‬9‫ل‬9‫ ا‬9‫ا‬9‫ و‬9‫ ُع‬9‫ ي‬9‫ َأ ِط‬9‫و‬9َ 9َ ‫ هَّللا‬9‫ا‬9‫ و‬9‫ ُع‬9‫ ي‬9‫ َأ ِط‬9‫ا‬9‫ و‬9ُ‫ ن‬9‫ َم‬9‫ آ‬9‫ن‬9َ 9‫ ي‬9‫َّ ِذ‬9‫ل‬9‫ ا‬9‫ ا‬9َ‫ ه‬9ُّ9‫ َأ ي‬9‫ ا‬9َ‫ي‬
9‫ ِل‬9‫ و‬9‫ ُس‬9َّ‫ر‬9‫ل‬9‫ ا‬9‫و‬9َ 9ِ ‫ هَّللا‬9‫ ى‬9َ‫ ِإ ل‬9ُ‫ه‬9‫ و‬9‫ ُّد‬9‫ر‬9ُ 9َ‫ ف‬9‫ ٍء‬9‫ي‬ 9ْ 9‫َش‬
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya) ….(QS. An-
Nisa’: 59)
Disamping banyak ayat yang menyebutkan ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya secara bersama-sama, banyak memerintahkan mentaati rasul secara
terpisah pada dasarnya ketaatan kepada rasul berarti ketaatan kepada Allah
sebagaimana firman Allah yang berbunyi:

2
9ۖ 9َ ‫ هَّللا‬9‫ َع‬9‫ ا‬9َ‫ َأ ط‬9‫ ْد‬9َ‫ ق‬9َ‫ ف‬9‫ل‬9َ 9‫ و‬9‫ ُس‬9َّ‫ر‬9‫ل‬9‫ ا‬9‫ ِع‬9‫ط‬
9ِ 9ُ‫ ي‬9‫ن‬9ْ 9‫َم‬
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati
Allah.”(An Nisa’ : 80)
Allah juga, berfirman:
9‫ و‬9ُ‫ ه‬9َ‫ ت‬9‫ ْن‬9‫ ا‬9َ‫ ف‬9ُ‫ ه‬9‫ ْن‬9‫ َع‬9‫ ْم‬9‫ ُك‬9‫ ا‬9َ‫ ه‬9َ‫ ن‬9‫ ا‬9‫ َم‬9‫ َو‬9ُ‫ه‬9‫ و‬9‫ ُذ‬9‫ ُخ‬9َ‫ ف‬9‫ ُل‬9‫ و‬9‫ ُس‬9َّ‫ر‬9‫ل‬9‫ ا‬9‫ ُم‬9‫ ُك‬9‫ ا‬9َ‫ت‬9‫ آ‬9‫ ا‬9‫ َم‬9‫و‬9َ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia, dan apa yang
dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)
Berdasarkan kenyataan ini, maka sebenarnya Allah SWT juga
menyebutkan secara eksplisit di dalam Al-Qur’an kewajiban mengamalkan
sunnah sebagaimana di dalam ayat-ayat yang menerangkan kewajiban taat
kepada Rasul. Semua itu merupakan dalil bahwa Al Hadits dijadikan salah satu
sumber pembentukan syari’at dalam. Al-Qur’an.
2. Dalil Hadits Rasulullah
Banyak hadits yang menunjukkan perlunya ketaatan kepada. perintah Rasul.
Dalam satu pesannya, berkenaan dengan keharusan menjadikan hadits sebagai
pedoman hidup disamping AlQur’an, Rasul SAW bersabda:
‫تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما إن تمسكتم بهما كتاب اهلل وسني‬
“Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama
masih berpegang kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.”
Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda:
(‫ )رواه ابو داود‬... ‫عليكم بسىت وسنة اخللفاء الراشدين املهديني تمسكوا بها‬
“Kalian wajib berpegang teguh dengan sunnah-ku dan sunnah Khulafaur Rasyidin
yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya....” (HR.
Abu Dawud).
3. Kesepekatan Ulama (Ijmak)
Umat Islam telah mengambil kesepakatan bersama untuk mengamalkan
sunnah. Bahkan hal ini mereka anggap sejalan dengan memenuhi panggilan Allah
SWT dan Rasul-Nya. Kaum muslimm menerima hadits seperti mereka menerima
Al-Qur’an, karena keduanya sama-sama dijadikan sebagai cumber hukum Islam.
Kesepakatan umat Islam dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan segala
ketentuan yang terkandung didalam hadits berlaku sepanjang zaman, sejak

3
Rasulullah masih hidup dan sepeninggalnya, maka Khulafa’ur Rasyidin, tabi’in,
tabi’ut tabi’in, atba’u tabi’in serta, masa-masa selanjutnya dan tidak ada yang
mengingkarinya, sampai sekarang. Banyak diantara, mereka yang tidak hanya
memahami dan mengamalkan isi kandunganya, akan tetapi mereka menghapal,
mentadwin dan menyebarluaskan dengan segala, upaya kepada, generasi-generasi
selanjutnya. Dengan ini, sehingga tidak ada, satu haditspun yang beredar dari
pemeliharaannya. Begitu pula tidak ada, satu hadits palsupun yang dapat
mengotorinya.
4. Argumentasi Rasional
Keberadaan hadis dapatlah ditelusuri melalui hujjah Alquran, argumentasi
hadis itu sendiri, maupun ijmak sahabat yang telah berkembang dalam sejarah
pertumbuhan hadis. Segi tiga argumentasi ini sangat perlu dimunculkan sebagai
basis hujjah terhadap mereka yang mengingkari keberadaan hadis. Kenapa harus
mengambil dari Alquran, hadis, maupun ijmak. Alasannya,Alquran sebagai basis
hukum pertama dalam runtutan hukum Islam, merupakan pijakan pertama yang
harus dilihat secara jernih. Bahwa apakah dalam ribuan ayat termaktub beberapa
kalimat yang melegimitasi keberadaan hadis, atau malah terdapat beberapa ayat
Alquran yang menolak keberadaan hadis. Dari hasil penelusuran, terdapat puluhan
ayat Alquran yang mengisyaratkan secara jelas dan tegas akan eksistensi hadis
sebagai. Demikian juga kenapa harus mengambil dari hadis. Bukankah hal itu
pendekatan yang kurang objektif. Dengan pertimbangan keabsahan hadis melalui
hadis, pengakuan dari dalam relatif kurang relevan. Penjelasannya, untuk mencari
apakah legitimasi hadisbertolak belakang dengan hadis itu sendiri atau tidak.
Demikian halnya dengan ijmak, mengungkapkan sejauh mana para sahabat
berkomitmen terhadap hadis sebagai pemutus persoalan yang terjadi
sepeninggalan Rasulullah.
Jika dibuka lembaran demi lembaran mushaf Alquran, terdapat beberapa
ayat yang menginformasikan, menjelaskan, dan mengukuhkan keberadaan hadis,
hal ini terdapat pada surah an Nisa ayat 59 yang berbunyi:

4
9‫ ي‬9ِ‫ ف‬9‫م‬9ْ 9ُ‫ ت‬9‫ع‬9ْ 9‫ز‬9َ 9‫ ا‬99َ9‫ ن‬9َ‫ ت‬9‫ن‬9ْ ‫ ِإ‬999َ‫ ف‬9ۖ 9‫ ْم‬9‫ ُك‬9‫ ْن‬9‫ ِم‬9‫ ِر‬999‫َأْل ْم‬9‫ ا‬9‫ ي‬9ِ‫ل‬9‫ ُأ و‬9‫ َو‬9‫ل‬9َ 9‫ و‬99‫س‬ 9ُ 9َّ‫ر‬9‫ل‬9‫ ا‬9‫ا‬9‫ و‬9‫ ُع‬9‫ ي‬9‫ط‬ 9ِ ‫ َأ‬9‫و‬9َ 9َ ‫ هَّللا‬9‫ا‬9‫ و‬9‫ ُع‬9‫ ي‬9‫ط‬
9ِ ‫ َأ‬9‫ا‬9‫ و‬9ُ‫ ن‬9‫ َم‬9‫ آ‬9‫ن‬9َ 9‫ ي‬9‫َّ ِذ‬9‫ل‬9‫ ا‬9‫ ا‬9َ‫ ه‬9ُّ9‫ َأ ي‬9‫ ا‬9َ‫ي‬
9‫ ُن‬9 9‫ َس‬9‫ح‬9ْ ‫ َأ‬9‫و‬9َ 9‫ ٌر‬99‫ ْي‬9‫ َخ‬9‫ك‬ 9َ 99ِ‫ ل‬9‫ َذ‬9ٰ 9ۚ 9‫ ِر‬9‫آْل ِخ‬9‫ ا‬9‫م‬9ِ 9‫و‬9ْ 9َ‫ ي‬9‫ ْل‬9‫ ا‬9‫ َو‬9ِ ‫هَّلل‬9‫ ا‬9ِ‫ ب‬9‫ن‬9َ 9‫ و‬9ُ‫ ن‬9‫ ْؤ ِم‬9ُ‫ ت‬9‫ ْم‬9ُ‫ ت‬9‫ ْن‬9‫ ُك‬9‫ن‬9ْ ‫ ِإ‬9‫ل‬9ِ 9‫ و‬9‫ ُس‬9َّ‫ر‬9‫ل‬9‫ ا‬9‫ َو‬9ِ ‫ هَّللا‬9‫ ى‬9َ‫ ِإ ل‬9ُ‫ه‬9‫ و‬9‫ ُّد‬9‫ ُر‬9َ‫ ف‬9‫ ٍء‬9‫ي‬ 9ْ 9‫َش‬
‫اًل‬9‫ ي‬9‫ ْأ ِو‬9َ‫ت‬
" Wahai orang-orang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah
kepada Rasul dan pemimpin di antara kalian. Jika kalian berselisih faham dalam
sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dna Rasul-Nya jika kalian beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik dan sebaik-baik
akibatnya"
Dan juga pada ayat 65
9ِ 9ُ‫ ف‬9‫ َأ ْن‬9‫ ي‬9ِ‫ ف‬9‫ا‬9‫ و‬9‫ ُد‬99‫ ِج‬9َ‫َّ اَل ي‬9‫ م‬9ُ‫ ث‬9‫ ْم‬9ُ‫ ه‬9َ‫ ن‬9‫ ْي‬9َ‫ ب‬9‫ َر‬9‫ج‬9َ 9 9‫ َش‬9‫ ا‬99‫ َم‬9‫ ي‬9ِ‫ ف‬9‫ك‬
9‫ً ا‬9‫ ج‬9‫ر‬9َ 9‫ح‬9َ 9‫ ْم‬9‫ ِه‬9 ‫س‬9 9َ 9‫ و‬99‫ ُم‬9‫ ِّك‬9‫ َح‬9ُ‫ ي‬9‫ى‬9ٰ َّ9‫ ت‬9‫ َح‬9‫ن‬9َ 9‫ و‬9 9ُ‫ ن‬9‫ ْؤ ِم‬9ُ‫ اَل ي‬9‫ك‬ َ 9ِّ9‫ ب‬9‫ر‬9َ 9‫ اَل َو‬9َ‫ف‬
9‫ ا‬9‫ ًم‬9‫ ي‬9ِ‫ ل‬9‫ ْس‬9َ‫ ت‬9‫ا‬9‫ و‬9‫ ُم‬9ِّ‫ ل‬9‫ َس‬9ُ‫ ي‬9‫و‬9َ 9‫ت‬ َ 9َ‫ ق‬9‫َّ ا‬9‫ م‬9‫ِم‬
9َ 9‫ ْي‬9‫ض‬
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
Ayat ini diturunkan berkaitan dengan sengketa sebidang tanah antara Banu
Umayyah dan al-Zubayr yang berselisih mengenai sungai kecil (sharj) di Harra.
Dari perselisihan ini Nabi Muhammad SAW. Melerai dan memberikan keputusan
bahwa sharj itu milik alZubayr. Banu Umayyah merasa keberatan dan tidak
menerima akan keputusan Nabi Muhammad SAW. ini. Dalam peristiwa inilah
surat an-Nisa ayat 65 diturunkan. Dengan makna lain, sikap Banu Umayyah yang
tidak menerima akan keputusan Nabi Muhammad SAW., dikoreksi kritis oleh
Alquran tersebut. Dengan demikian, keputusan Nabi Muhammad SAW. diakui
keberadaannya oleh Alquran.
Kehujahan hadis sebagai sumber hukum syariat datang dari hadis itu
sendiri. Pada beberapa hadis diriwayatkan bahwa beliau bersabda yang artinya:
Dari Ibnu Abbas, bahwasannya Rasulullah berkhutbah dihadapan manusia pada
haji wada', "Wahai manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan di tengah-
tengah kalian yang jika kalian berpegang teguh kepadanya niscaya tidak akan
tersesat selamanya; yaitu Kitab Allah dan Sunah Nabi-Nya”.

5
Dari Al Miqdam bin Ma'diyakrib al Kindy, Rasulullah bersabda, "Ingatlah,
sesungguhnya aku diberi al-Kitab dan yang semisal dengannya! Ingatlah, hampir
datang masa ada seseorang yang dengan perut kenyang bersandar di sofanya
seraya

7
berkata; Cukuplah bagi kalian Alquran. Apa yang kalian dapatkan padanya
sesuatu yang halal maka halalkanlah dan apa yang kalian dapatkan padanya
sesuatu yang haram maka haramkanlah.
Dua hadis di atas mewakili sejumlah hadisyang semakna dengannya. Inti
kandungan dari hadis-hadis di atas menegaskan bahwa Alquran tidak terlepas dari
hadis dan bahwa hadis itu bagian dari wahyu yang diberikan Allah SWT. kepada
Nabi Muhammad SAW. dengan cara yang berbeda. Dengan demikian, eksistensi
hadis diakui sendiri oleh hadis itu sendiri, tidak terdapat pertentangan di dalam
dirinya (contradiction in terminis)

B. Fungsi Hadits terhadap al-Quran

Allah swt. menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi dan Rasul-Nya,


Muhammad saw. yang penuh berisi hikmah sebagai hidayah kepada kebahagiaan
dan keselamatan manusia di dunia dan akhirat. Ia adalah mukjizat Nabi Muhammad
saw. Sesuatu yang berasal dari Nabi saw. yang biasa disebut dengan hadis
mempunyai hubungan dan kaitan erat dengan Al-Qur’an. Hubungan dan kaitan
Hadis dengan Al-Qur’an biasa disebut fungsi hadis terhadap Al-Qur’an. Fungsi
hadis terhadap Al-Qur’an itu diungkapkan sendiri oleh Al-Qur’an yaitu sebagai
bayan (penjelasan dan menerangkan terhadap sesuatu yang kabur dan tersembungi
pengertiannya). Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Nahl: 44 :

َ‫اس َما نُ ِّز َل اِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُوْ ن‬ َ ‫الزب ۗ ُِر َواَ ْن َز ْلنَٓا اِلَ ْي‬
ِ َّ‫ك ال ِّذ ْك َر لِتُبَيِّنَ لِلن‬ ِ ‫بِ ْالبَي ِّٰن‬
ُّ ‫ت َو‬

Terjemahnya: Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan


kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan.

Dari ayat tersebut di atas diketahui bahwa Nabi Muhammad saw. dibebani
tugas oleh Allah untuk menjelaskan Al-Qur’an kepada umat manusia. Atau dengan

6
ungkapan lain, hadis berfungsi sebagai penjelasan Al-Qur’an. Penjelasan itu bukan
hanya terbatas pada segi penafsiran melainkan mencakup juga aspek yang lain. Hal
tersebut menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu sebenarnya butuh kepada hadis.
Fungsi-fungsi Hadis terhadap Al-Qur’an ada yang disepakati dan tidak ada
perbedaan pendapat. Hal tersebut dapat diketahui dari penjelasan berikut ini:
1. Bayan al-Taqrir.
Bayan al-Taqrir ada juga yang menyebut Bayan al-Tawkid atau Bayan al-
Itsbat. Al-Taqriir berarti memperkuat, mempertegas, dan mendukung. Maksudnya,
hadis mempertegas, memperkuat, dan mendukung sesuatu yang telah diungkapkan
Al-Qur’an. Hadis mengungkap kembali isi kandungan yang diungkap Al-Qur’an
tanpa ada penjelasan lebih lanjut dan terperinci. Sebagai contoh, pahamilah firman
Allah dalam QS. Al-Maidah: 6 :

‫ ُك ْم َواَرْ ُجلَ ُك ْم اِلَى‬9‫حُوْ ا بِ ُرءُوْ ِس‬9‫ق َوا ْم َس‬9 ِ 9ِ‫ ِديَ ُك ْم اِلَى ْال َم َراف‬9‫وْ هَ ُك ْم َواَ ْي‬99‫لُوْ ا ُو ُج‬9‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا قُ ْمتُ ْم اِلَى الص َّٰلو ِة فَا ْغ ِس‬
‫ ۤا َء فَلَ ْم‬9‫تُ ُم النِّ َس‬9‫ ٌد ِّم ْن ُك ْم ِّمنَ ْالغ َۤا ِٕى ِط اَوْ ٰل َم ْس‬9‫ ۤا َء اَ َح‬9‫ضى اَوْ ع َٰلى َسفَ ٍر اَوْ َج‬ ٓ ٰ ْ‫ْال َك ْعبَي ۗ ِْن َواِ ْن ُك ْنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّهَّرُوْ ۗا َواِ ْن ُك ْنتُ ْم َّمر‬
‫هّٰللا‬
‫ ُد‬9‫ج و َّٰل ِك ْن ي ُِّر ْي‬
ٍ ‫ َر‬9‫ َل َعلَ ْي ُك ْم ِّم ْن َح‬9‫ ُد ُ ِليَجْ َع‬9‫ا ي ُِر ْي‬99‫هُ ۗ َم‬9‫ص ِع ْيدًا طَيِّبًا فَا ْم َسحُوْ ا بِ ُوجُوْ ِه ُك ْم َواَ ْي ِد ْي ُك ْم ِّم ْن‬ َ ‫تَ ِج ُدوْ ا َم ۤا ًء فَتَيَ َّم ُموْ ا‬
َ‫لِيُطَه َِّر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهٗ َعلَ ْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُوْ ن‬

Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah,
dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air
(kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur.

Ayat di atas ditegaskan kembali, diperkuat, dan didukung oleh hadis, yaitu
sabda Nabi Muhammad saw. yang berbunyi,

7
7
(‫ﻻ ﻘﺗ ﺒﻞ ﺻﻼة أﺣﺪﻛﻢ اذا أﺣﺪث ﺣﱴ ﻳﺘﻮﺿـﺄ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬

Artinya:
Tidak diterima salat seseorang di antara kamu apabila berhadas sebelum dia
berwudhu’.

2. Bayan al-Tafsir

Hadis menjelaskan ayat yang tidak mudah diketahui pengertiannya. Itulah yang
disebut hadis berfungsi sebagai bayan al-tafsir bagi ayat Al- Qur’an. Bayan al-tafsir ini
ada beberapa macam. Di antaranya ialah:
a. Tafshil al-ayat al-mujmalah
Kata tafshil berarti menjelaskan dan merinci. Sedangkan kata al- mujmalah
berarti yang ringkas (global), tidak terperinci. Jadi, yang dimaksud hadis berfungsi
sebagai tafshil al-ayat al-mujmalah adalah hadis memerinci pengertian ayat yang ringkas
(global), hadis menjelaskan panjang lebar maksud kandungan ayat yang tidak terperinci.
Sebagai contoh adalah ayat yang memerintahkan mendirikan salat, tidak diperinci dan
tidak dijelaskan oleh ayat itu sendiri dan ayat lain tata caranya, tidak diterangkan rukun-
rukunnya, tidak disebut waktu-waktu pelaksanaannya, dan lain-lain.

Sebagai contoh, firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 43:

َ‫َواَقِ ْي ُموا الص َّٰلوةَ َو ٰاتُوا ال َّز ٰكوةَ َوارْ َكعُوْ ا َم َع ال ٰ ّر ِك ِع ْين‬

Terjemahnya:
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku`lah beserta orang- orang yang
ruku.

Ayat ini dijelaskan dan diperinci maksudnya oleh hadits. Nabi


mendemontrasikan tata cara pelaksanaan salat dan segala bacaan didalamnya. Nabi

8
Mhumaad saw. Bersabda: yang artinya, Salatlah kamu sebagiamana kamu melihat saya
salat. Banyak sekali hadits yang menjelaskan tenntang hal ini secara terperinci.

b. Takhshish al-Ayat al-Ammah

Kata takhshish berarti menentukan dan mengkhususkan. Sedangkan kata al-‘ammah


berarti, suatu lafal yang dipakai untuk menujukan kepada satuan-satuan yang tak terbatas dan
mencakup semua satuan itu.
Jadi, yang dimaksud hadits berfungsi mentakhshishkan ayat yang ‘ammah adalah
hadits datang memberi pengkhususan, penentuan dan pembatasan maksud dan pengertian
ayat yang umum.

ۗ ُ‫ف‬99‫ص‬ ْ ِّ‫َت َوا ِح َدةً فَلَهَا الن‬ ْ ‫ك ۚ َواِ ْن َكان‬ َ ‫ق ْاثنَتَ ْي ِن فَلَه َُّن ثُلُثَا َما ت ََر‬ َ ْ‫ص ْي ُك ُم هّٰللا ُ فِ ْٓي اَوْ اَل ِد ُك ْم لِل َّذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ ااْل ُ ْنثَيَ ْي ِن ۚ فَا ِ ْن ُك َّن نِ َس ۤا ًء فَو‬
ِ ْ‫يُو‬
‫ث ۚ فَا ِ ْن َكانَ لَهٗ ٓ اِ ْخ َوةٌ فَاِل ُ ِّم ِه‬
ُ ُ‫ك اِ ْن َكانَ لَهٗ َولَ ٌد ۚ فَا ِ ْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّهٗ َولَ ٌد َّو َو ِرثَهٗ ٓ اَبَ ٰوهُ فَاِل ُ ِّم ِه ال ُّثل‬ َ ‫اح ٍد ِّم ْنهُ َما ال ُّس ُدسُ ِم َّما تَ َر‬ ِ ‫وَاِل َبَ َو ْي ِه لِ ُكلِّ َو‬
‫انَ َعلِيْمًا‬99‫ضةً ِّمنَ هّٰللا ِ ۗ اِ َّن هّٰللا َ َك‬ َ ‫ص ْي بِهَٓا اَوْ َد ْي ٍن ۗ ٰابَ ۤاُؤ ُك ْم َواَ ْبن َۤاُؤ ُك ۚ ْم اَل تَ ْدرُوْ نَ اَيُّهُ ْم اَ ْق َربُ لَ ُك ْم نَ ْفعًا ۗ فَ ِر ْي‬ ِ ْ‫صيَّ ٍة يُّو‬ ِ ‫ال ُّس ُدسُ ِم ۢ ْن بَ ْع ِد َو‬
‫َح ِك ْي ًما‬
Terjemahannya:
Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak- anakmu.
Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta.
Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu- bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa`atnya bagimu. Ini
adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

9
Ayat ini menyatakan bahwa setiap anak mendapatkan warisan dari ke dua orang
tuanya, bagaimanapun keadaannya, beriman atau kafir, seagama dengan orang tuanya, atau
berbeda agama. Semuanya harus mendapat warisan. Inilah maksud yang dapat dipahami dari

9
ayat ini. Hadis datang memberi pengertian yang dikehendaki oleh ayat. Hadis memberi
batasan maksud yang dikehendaki Allah.
Diantara hadits menjelaksan bahwa Muhammad saw tidak boleh mendapat warisan
dari Nabi Muhammad saw. Nabi saw. bersabda, yang artinya Kami para Nabi tidak
diwarisi. Apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.

c. Bayan al-Tasyri’
Kata al-tasyri’ artinya pembuatan, mewujudkan, atau menetapkan aturan atau
hukum. Maka yang dimaksud dengan bayan al-tasyri’ adalah penjelasan hadis yang berupa
mewujudkan, mengadakan atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan syara` yang
tidak didapati nashnya dalam alQur’an. Rasulullah dalam hal ini, berusaha menunjukkan
suatu kepastian hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul pada saat itu, dengan
sabdanya sendiri. Bayan tasyri’ adalah penjelasan hadis yang berupa penetapan suatu hukum
atau aturan syar’i yang tidak didapati nashnya dalam al-Qur’an. Dalam hal ini, Rasulullah
menetapkan suatu hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul saat itu dengan
sabdanya sendiri, tanpa berdasar pada ketentuan ayat-ayat al-Qur’an. Ketetapan Rasulullah
tersebut ada kalanya berdasarkan qiyas ada pula yang tidak. Banyak hadis Nabi yang
termasuk ke dalam kelompok ini. Di antaranya adalah hadis tentang penetapan haramnya
mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara istri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum
merajam pezina wanita yang masih perawan, hukum mengusap bagian atas sepatu dalam
berwudhu, hukum tentang ukuran zakat fitrah, dan hukum tentang hak waris bagi seorang
anak. Suatu contoh hadis Nabi yang artinya: “Seorang perempuan tidak boleh dipoligami
bersama bibinya dari pihak ibu atau ayahnya.”
Al-Qur’an tidak menjelaskan tentang keharaman mengawini seorang wanita
bersamaan dengan bibinya baik dari pihak ayah maupun ibunya. Memang, dalam al-Qur’an
dijelaskan beberapa kerabat (keluarga) dilarang dikawini seperti ibu kandung, saudara, anak,
dan sebagainya, tetapi tidak ada larangan mempoligami seorang perempuan bersama dengan
bibinya. Dalam hal ini hadis menetapkan hukum tersendiri sebagaimana dijelaskan di atas.
Bayan ini oleh sebagian ulama disebut juga dengan bayan za'id ‘ala al-Kitab al-Karim"
(tambahan terhadap nash al-Qur’an). Disebut tambahan karena sebenarnya di dalam alQur’an
sendiri ketentuan-ketentuan pokoknya sudah ada, sehingga datangnya hadis tersebut

10
merupakan tambahan terhadap ketentuan pokok itu. Hal ini dapat dilihat misalnya, hadis
mengenai ketentuan diyat. Dalam al-Qur’an masalah ini sudah ditemukan ketentuan
pokoknya, yaitu pada surat al- Nisa’: 92. Begitu juga hadis mengenai haramnya
binatangbinatang buas dan keledai fasilitas negara (himar al-ahliyah). Ketentuan pokok
untuk masalah ini sudah ada, sebagaimana disebutkan di antarannya pada surat al-A‘raf: 157.
Dengan demikian, tidak ada satu hadis pun yang berdiri sendiri, yang tidak ditemukan aturan
pokoknya dalam al-Qur’an. Hadis Rasulullah yang tennasuk bayan tasyri’ ini wajib
diamalkan sebagaimana kewajiban mengamalkan hadis-hadis lainnya. Ibn al-Qayim
menyatakan bahwa hadis-hadis Rasul saw. yang berupa tambahan terhadap al-Qur’an
merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh seseorang menolak atau
mengingkarinya, dan ini tidak berarti bahwa sikap Rasul saw. itu mendahului al-Qur’an
melainkan semata-mata karena perintah-Nya. Ketiga bayan yang telah diuraikan di atas
tampaknya disepakati oleh para ulama, meskipun untuk bayan yang ketiga sedikit
dipersoalkan. Kemudian untuk bayan lainnya, seperti bayan al-naskh, terjadi perbedaan
pendapat. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadis sebagai bayan al-nasakh dan ada
yang menolaknya. Ulama yang menerima adanya nasakh di antaranya ialah jumhur ulama
mutakallimin, baik Mu`tazilah, Asy`ariah, Malikiyah, Hanafiah, Ibn Hazm maupun
Dzahiriah, sedang yang menolaknya, di antaranya ialah alSyafi`i dan mayoritas ulama
pengikutnya, serta mayoritas ulama Dzahiriah.

d. Bayan al-Nasakh’
Kata al-nasakh secara bahasa, bermacam-macam arti. Bisa berarti al-ibtal (membatalkan),
atau al-izalah (menghilangkan), atau al-tahwil (memindahkan), atau altaghyir (mengubah).
Bayan nasakh adalah penjelasan hadis yang menghapus ketentuan hukum yang terdapat
dalam alQur’an. Hadis yang datang setelah al-Qur’an menghapus ketentuan-ketentuan al-
Qur’an. Di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya hadis
menasakh al-Qur’an. Ulama yang membolehkan juga berbeda pendapat tentang hadis
kategori apa yang boleh menasakh al-Qur’an itu.
Di antara para ulama (baik mutaakkhirun maupun mutaqadimun) juga terdapat
perbedaan pendapat dalam mendefinisikan bayan al-nasakh ini. Perbedaan pendapat ini
terjadi karena perbedaan mereka dalam memahami arti nasakh dari sudut kebahasaan.

11
Menurut ulama mutaqadimun, bayan al-nasakh ialah adanya dalil syara` yang datangnya
kemudian. Dari

11
pengertian ini, ketentuan yang datang kemudian dapat menghapus ketentuan yang datang
terdahulu. Hadis sebagai ketentuan yang datang kemudian daripada al-Qur’an dalam hal ini
dapat menghapus ketentuan atau isi kandungan al-Qur’an. Demikian menurut pendapat yang
menganggap adanya fungsi hadis sebagai bayan al-nasakh.
Di antara para Ulama yang membolehkan adanya nasakh hadis terhadap al-Qur’an
juga berbeda pendapat dalam macam hadis yang dapat dipakai untuk me-nasakh-nya. Dalam
hal ini mereka terbagi kepada tiga kelompok. Kelompok pertama membolehkan me-nasakh
al-Qur’an dengan segala hadis, meskipun dengan hadis ahad. Pendapat ini di antaranya
dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimun dan Ibn Hazm serta sebagian pengikut
Zahiriyah. Kekompok kedua membolehkan me-nasakh dengan syarat bahwa hadis tersebut
harus mutawatir. Pendapat ini di antaranya dipegang oleh Mu’`tazilah. Kelompok ketiga
membolehkan me-nasakh dengan hadis masyhur tanpa harus dengan hadis mutawatir.
Pendapat ini dipegang di antaranya oleh ulama Hanafiyah.
Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama ialah sabda Rasul saw. yang
dinarasikan Abu Umamah alBahili yang berarti: “Tidak ada wasiat bagi ahli waris. (HR.
Ahmad dan imam hadits yang empat kecuali al-Nasai). Hadits diatas dinilai Hasan oleh
Ahmad dan al-Turmudzi.
Hadis ini menurut mereka me-nasakh isi al-Qur’an surat al-Baqarah: 180:

‫ف َحقًّا َعلَى ْال ُمتَّقِيْن‬


ِ ۚ ْ‫صيَّةُ لِ ْل َوالِ َد ْي ِن َوااْل َ ْق َربِ ْينَ بِ ْال َم ْعرُو‬
ِ ‫ت اِ ْن تَ َركَ َخ ْيرًا ۖ ْۨال َو‬
ُ ْ‫ض َر اَ َح َد ُك ُم ْال َمو‬
َ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم اِ َذا َح‬
َ ِ‫ُكت‬

Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu,
jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara
yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.
Kewajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasarkan surat al-
Baqarah: 180 di atas, di-nasakh hukumnya oleh hadis yang menjelaskan bahwa kepada ahli
waris tidak boleh dilakukan wasiat.
Dari berbagai penjelasan tentang fungsi hadis terhadap al-Qur’an di atas, menurut
‘Abdul Wahhab Khallaf, secara garis besar, ada tiga fungsi utama hadis Nabi saw. terhadap
alQur’an. Pertama, menetapkan dan menguatkan hukum yang ada dalam al-Qur’an. Dengan
demikian sebuah hukum dapat memiliki dua sumber hukum sekaligus, yaitu al-Qur’an dan

12
hadis. Misalnya tentang kewajiban shalat, zakat, dan lain sebagainya. Kedua, memerinci dan
menjelaskan hukum-hukum dalam al-Qur’an yang masih global, membatasi yang mutlaq dan
men-takhsis keumuman ayat al-Qur’an. Kesemuanya itu dilakukan dalam rangka
menjelaskan maksud al-Qur’an atau menjelaskan apa yang dikehendaki oleh al-Qur’an.
Misalnya, perintah al-Qur’an tentang mendirikan shalat, maka hadis menjelaskan secara
terperinci tentang teknis pelaksanaan shalat. Al-Qur’an memerintahkan untuk menunaikan
zakat, maka hadis menjelaskan berapa bagian dari harta yang wajib dikeluarkan atau
dizakati. Ketiga, membuat atau menetapkan hukum yang tidak ditetapkan dalam al-Qur’an.
Misalnya, larangan memakan binatang buas yang bertaring atau yang berkuku, larangan
memakai pakaian sutra dan cincin emas bagi laki-laki dan lain sebagainya.
Dengan memperhatikan dalil-dalil kehujjahan hadis serta fungsi hadis terhadap al-
Qur’an, maka tidak ada alasan untuk menolak keberadaan hadis sebagai sumber ajaran
agama Islam. Beberapa dalil di atas, baik yang bersifat naqli maupun aqli telah cukup
merepresentasikan keberadaan hadis sebagai sumber hukum ajaran agama Islam. Di samping
itu, dengan melihat fungsi hadis terhadap al-Qur’an, maka mustahil dalam mengerjakan
syariat Islam tanpa menjadikan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam. Di sinilah letak
penting kedudukan hadis Nabi saw.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Banyak ayat Al Qur’an yang- menerangkan tentang kewajiban untuk


tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Iman kepada Rasul sebagai utusan
Allah SWT merupakan satu keharusan dan sekaligus kebutuhan individu. Dengan
demikian Allah akan memperkokoh dan memperbaiki keadaan, mereka. Hal ini
sebagaimana dijelaskan dalam Surat Ali Imran 17 dan An Nisa’ 36. Selain Allah
memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasul SAW, juga menyerukan agar
mentaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawahnya, baik
berupa, perintah maupun perundang-undangan tuntutan taat dan patuh kepada
Allah. Banyak ayat Al Qur’an yang berkenaan dengan masalah ini.

14
Daftar Pustaka

Idri, Jamaluddin Malik Arif, Nawawi, Syamsuddin, Hadi Sucipto


Muhammad, Fikri Mahzumi. Studi Hadis. Surabaya: UIN
Sunan Ampel Surabaya. 2014

Pendekatan Normatif dan Historis Dalam Memahami Kedudukan Sunah


Sebagai Sumber Hukum Islam,” Wahana Akademika: Jurnal
Studi Islam dan Sosial 6, no. 2 (2004): 204–28.

Muhamad bin Idris Al-Shafi‟i, Ar-Risalah, terj. Ahmadie Thaha


(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), 93.18 Al-Shafi‟i, Ar-Risalah,
94.

Rafiah Khusniati. Studi Ilmu Hadits. Ponorogo: Nadi Ofset. 2018

15

Anda mungkin juga menyukai