Anda di halaman 1dari 12

Kedudukan Hadits dalam Agama Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG
Memahami ajaran dalam agama Islam dilakukan tidak sebatas membaca Al-Quran dan
terjemahannya. Sebab, Al-Quran memiliki bahasa yang tinggi dan ayat-ayatnya tidak selalu bisa
dipahami hanya melalui terjemahan. Salah satu penjelas dari isi Al-Quran ada sunah atau hadits
yang berupa ucapan-ucapan Rasulullah Saw. yang diberi otoritas oleh Tuhan untuk
menyampaikan setiap wahyu kepada umat manusia. Kedudukan hadits ini sangat penting bagi
umat Islam.
Hadits merupakan warisan Rasulullah yang sampai sekarang masih dipegang para umatnya yang
senantiasa mengharapkan syafaat setelah dibangkitkan kembali nanti. Hadits dikumpulkan oleh
sejumlah perawi memiliki peran penting dalam penyampaian ajaran Islam.

B.     PEMBATASAN MASALAH
Dalam makalah ini kami mencoba menguraikan salah satu materi yang ada dalam mata kuliah
Ulumul Hadits dengan judul bahasan Kedudukan Hadits Dalam Agama Islam. Dan dikarenakan
luasnya materi tersebut maka kami membatasi masalah yang kami uraikan nantinya seputar
kedudukan hadits dan fungsi hadits saja.

C.     PERUMUSAN MASALAH
Memperhatikan pembatasan masalah seperti yang telah diuraikan diatas perlu adanya
pemahaman tentang kedudukan hadits itu sendiri yang dirumuskan sebagai berikut :
1.     Menjelaskan kedudukan hadits terhadap Al-Qur’an sebagai penjelasan
2.     Menjelaskan kedudukan hadits terhadap masalah yang tidak disebutkan Al-Qur’an (sebagai
sumber hukum).

D.    TUJUAN PEMBAHASAN


Tujuan dari diadakannya pembahasan ini adalah sebagai berikut :
1.     Untuk mengetahui secara terperinci kedudukan hadits terhadap Al-Qur’an sebagai
penjelasan
2.     Untuk mengetahui masalah yang tidak disebutkan dalam Al Qur’an. (sebagai sumber
hukum)

E.    KEGUNAAN PEMBAHASAN


Kegunaan dari pembahasan ini adalah :
a.     Bagi kami pembahasan ini merupakan wahana latihan pengembangan ilmu pengetahuan dan
keterampilan dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah.
b.     Dengan adanya pembahasan ini tentunya kami semua akan semakin memperkaya ilmu
pengetahuan dalam mata kuliah Ulumul Hadits khususnya materi Kedudukan Hadits Dalam
Pembinaan Hukum Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

KEDUDUKAN AL-HADITS DALAM ISLAM

Seluruh umat islam, tanpa kecuali telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber
ajaran islam. Ia menempati kedudukannya yang sangat penting setelah Al Qur’an. Kewajiban
mengikuti hadits bagi umat islam sama wajibnya dengan mengikuti Al Qur’an. Hal ini karena
hadits mubayyin (Penjelasan) terhadap Al Qur’an. Tanpa memahami dan menguasai hadits siapa
pun tidak bisa memahami Al Qur’an. Sebaliknya siapapun tidak akan bisa memahami hadits
tanpa memahami Al Qur’an karena Al Qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang
didalamnya berisi garis besar syariat, dan hadits merupakan dasar hukum kedua yang
didalamnya berisi penjabaran dan penjelasan Al Qur’an. Dengan demikian antara hadits dan Al
Qur’an memiliki kaitan yang sangat erat, yang satu sama lain tidak bisa dipisah-pisahkan atau
berjalan sendiri-sendiri.
Berdasarkan hal tersebut, kedudukan hadits dalam islam tidak dapat diragukan karena terdapat
penegasan yang banyak, baik didalam Al Qur’an maupun dalam hadits nabi Muhammad SAW,
Jumhur Ulama menyatakan bahwa Al-Hadits menempati urutan kedua dalam Islam setelah Al-
Qur’an. Dalam Al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk taat kepada
Allah dan Rasul-Nya. Hal tersebut dapat kita lihat dari beberapa firman Allah sebagai berikut :

Surat Annisa ayat 59

       


           
          

Artinya :
hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah ia kepada
Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah-Nya). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Surah Annisa ayat 69

          
      
 

Artinya :
Dan barang siapa yang menta’ati Allah dan Rasul (Nya) mereka itu akan bersama orang-orang
yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-nabi, para Shiddiqin, orang-orang yang mati
syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

1.    PERANAN AL-HADITS TERHADAP AL-QUR’AN


Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan pedoman hidup yang tak bisa dipisahkan antara satu dengan
lainnya. Disamping itu keduanya juga merupakan sumber hukum dalam Islam. Al-Qur’an
sebagai hokum yang pertama dan utama banyak memuat ajaran yang bersifat umum dan global.
Oleh karena itu Hadits yang menjadi sumber hukum Islam yang kedua menjadi penjelas (Bayan)
terhadap isi kandungan Al-Qur’an yang masih bersifat umum tersebut. Hal ini dijelaskan oleh
Allah SWT dalam Al-Qur’an,
Surah Annahl ayat 44 yaitu :

)     : ‫ وانزلـــنا اليـك الـذ كر لتبــين للنـاس ما نـزل اليـهم ولعـلهم يتفـــكرون ( النحل‬.‫بالبيــنت والـزبر‬
Artinya :
Keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab dan kami turunkan kepada mu Al-Qur’an, agar
kamu menerangkan pada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan.

Allah SWT menurunkan Al-Qur’an kepada manusia untuk difahami dan diamalkan, karena itu
agar maksud tersebut terwujud, maka Allah SWT memerintahkan kepada Rasullah Muhammad
SAW untuk menjelaskannya melalui hadits Beliau.
Hadits sebagai penjelas atau bayan Al-Qur’an itu memiliki bermacam-macam fungsi. Imam
Malik bin Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu sebagai bayan at-taqrir, bayan at-tafsir,
bayan at-tafsil, bayan at-bast, bayan at-tasyri’. Sementara itu, Imam syafi’I menyebutkan lima
fungsi, yaitu bayan at-tafsil, bayan at-takhsis, bayan at-ta’yin, bayan at-tasyri’, dan bayan an-
nasakh.
Jika dirinci maka secara umum peranan (fungsi) Al-Hadits terhadap Al-Qur’an diantaranya
adalah sebagai berikut :
a.    Al-Hadits memperkuat (memperkokoh) isi kandungan Al-Qur’an.
Contoh :
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 185
‫شهر رمضــان الذى أنـزل فيه الـقران هدى للنـاس وبينت من الـهدى والفرقــان فمن شــهد منـكم الشـهر فليصـمه ومن كان‬
‫ يريـد هللا بكم اليـسر وال يريد بـكم العسـر ولتكمـلواالعـدة ولتكـبر هللا على ما هــداكم‬,‫مريـضا أو على سفـر فعــدة من أيام اخـر‬
)      : ‫ (البقرة‬ ‫ولعـلكم تشـكرون‬
Artinya :     (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembela (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada
bulan itu dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (ditinggalkannya itu pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur.

Untuk memperkuat ayat di atas rasullah SAW bersabda :


) ‫ ( رواه مسلم‬ .‫صوموا لرؤيـته وافـطروا لرؤيـته فإن غـم عليـكم فاقدروا لــه‬

Artinya :     Apabila kalian melihat (ruyah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat
(ru’yah) itu maka berbukalah (H.R.Muslim)
b. AL-Hadits memberi rincian terhadap ayat-ayat yang masih bersifat umum (mujmal)
diantara ayat yang bersifat mujmal itu adalah ayat-ayat yang bercerita tentang shalat, zakat,
puasa, syari’at jual beli, nikah dan sebagainya. Salah satu contohnya adalah perintah shalat yang
ada dalam Al-Qur’an (Surah Al-Baqarah ayat : 43 ) berikut ini :
)      : ‫واقـيم الصـلوة واتو الزكوة واركـعوا مع الراكعين (البقرة‬
Artinya :
Dan dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’

Ayat di atas hanya berbicara secara umum tentang shalat, sedangkan tata cara pelaksanaan shalat
tidak dijelaskan di dalam ayat tersebut, maka hal ini dijelaskan oleh Rasullah SAW di dalam
Hadits beliau, sebagaimana sabda Beliau yang berbunyi :

)‫صلّي (رواه البخارى‬


َ ُ‫صـلُّوْ ا َكمـَا َراَ ْيتُ ُمـوْ نِي ا‬
َ

Artinya :
Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat (HR. Bukhori)

c.    AL-Hadits menetapkan hukum sesuatu yang belum ada ketetapannya dalam Al-Qur’an atau
bisa juga dikatakan bahwa hokum sesuatu itu hanya pokok-pokoknya saja yang ada dalam Al-
Qur’an.
Kemudian hadits menunjukkan suatu kepastian hukum. Misalnya saja di dalam Al-Qur’an
dikatakan bahwa haram hukumnya memakan bangkai, bangkai disini hanya dijelaskan secara
umum. Kemudian Al-hadits menetapkan hukum yang lebih tegas dengan mengatakan bahwa
semua bangkai adalah haram kecuali bangkai ikan dan belalang. Contoh lain adalah hadits
tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara dalam satu ikatan
pernikahan semisal istri dan bibinya atau wanita yang merupakan saudara kandung.

d.    Al-Hadits sebagai penentu di antara dua atau tiga perkara yang dimaksud dalam Al-Qur’an
Banyak ayat atau lafaz Al-Qur’an yang memiliki berbagai kemungkinan arti atau makna,
sehingga terjadilah perbedaan tafsir oleh keterangan lain, kemungkinan pemahaman terhadap
ayat tesebut akan berlainan dengan tujuan yang dikehendaki dan tentu daja akan menjadi sulit
untuk dilaksanakan. Contohnya ayat tentang masa ‘iddah tiga kali quru’ bagi perempuan yang
diceraikan suaminya. Lafal quru’ dalam ayat tersebut berarti haid dan suci. Tidak jelas apakah
ayat tersebut berbicara tentang ‘iddah perempuan yang dithalaq itu tiga kali suci atau tiga kali
haid. Oleh karena itu, muncul haidts yang menjelaskan atau menentukan (ta’yin) dari dua
masalah tesebut.

e.    Al-Hadits sebagai bayan An-nasakh


Para ulama berbeda pendapat tentang fungsi hadist yang satu ini, hal ini terjadi karena adanya
Perbedaan pendapat dalam menta’rifkan pengertiannya. Sehingga ada yang menerima dan
mengakui fungsi hadist sebagai nasikh terhadap sebagian hukum Al-Qur’an tetapi ada juga yang
menolaknya.
Menurut ‘Ulama Mutaqaddimin terjadinya nasakh dikarenakan adanya dalil syara’ yang
mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, sebab masa berlakunya telah berakhir dan
tidak bisa diamalkan lagi. Akhirnya syari’ (pembuat syari’at) menyatakan bahwa ayat tersebut
tidak berlaku untuk selamanya ataupun temporal.
Maka ketentuan yang dating kemudian dapat menghapus ketentuan yang sebelumnya. Itu berarti,
hadist dapat menghapus ketentuan dan kandungan isi Al-Qur’an. Ketidak berlakuan suatu hukum
harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, terutama syarat adanya nasakh dan mansukh.
Kelompok yang membolehkan adanya nasakh ini adalah golongan Mu’tazilah, Hanafiah dan
mazhab Ibnu Hazm Adh-Dhahiri. Mu’tazilah membatasi, Hanafiah dan mazhab Ibnu Hazm pada
hadits yang mutawatir (mutawatir lafzhi). Sementara golongan hanafiah tidak mensyaratkan
hadits yang mutawatir, yang masyhur (hadits ahad) pun bisa menasakhkan hukum ayat Al-
Qur’an. Dam mazhab Ibnu HAzm Adh-Dhahiri menyatakan adanya nasakh meskipun dengan
hadits ahad.
Salah satu contoh dari fungsi hadits sebagai bayan annasakh ini adalah firman Allah surah Al-
Baqarah ayat 180, tentang wasiat bagi ahli waris, yaitu :
)     : ‫كتب عليكم اذا حضر عليكم الموت ان ترك خيران الوصية للوالدين واألقربين بالمعروف حقا على المتقين (البقرة‬
Artinya :
Diwajibkan atas kamu apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf,
(ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.
Ayat di atas disanadkan dengan hadits yang berbunyi :

)‫ (رواه البخارى‬ ‫ال وصية لرارث‬


Artinya :
Tidak ada wasiat bagi ahli waris (HR. Bukhori)

Kelompok yang menolak nasakh ini adalah Imam Syafi’I, mazhab Zhahiriah dan Khawarij.

2.    KEDUDUKAN HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM


Seluruh Umat Islam, naik yang ahli naql maupun ahli aql telah sepakat bahwa hadits/sunah
meruapakan dasar hukum Islam, yaitu sakah satu dari sumber hukum Islam dan juga sepakat
tentang diwajibkannya untuk mengikuti hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-Quran.
Dalam kaitannya dengan masalah ini, Muhammad Ajjaj Al-Khatib mengatakan :

‫فالقــران والســنة مصدران تشـــريعيان متــالزمان اليمكن لمســلم أن يفـهم الشريــعة ال بالرجـوع اليهـــما معــا وال غنى‬
‫للمجـــتهد أو عــالم عن أحـــــدهما‬.
Artinya :
“Al-Qur’an dan As-sunnah (Al-Hadits) merupakan dua sumber hukum syari’at Islam yang tepat,
sehingga umat Islam tidak mungkin mampu memahami syari’at Islam, tanpa kembali kepada
kedua sumber Islam tersebut. Mujtahid dan orang alim pun tidak diperolehkan hanya
mencakupkan diri dengan dalah satu dari keduanya.”

Banyak ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang menjelaskan bahwa hadis merupakan salah satu
sumber hukum Islam selain Al-Qur’an yang diikuti sebagaimana mengikuti Al-Qur’an, baik
dalam bentuk awamir maupun nawahi-nya.
Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat
dalam beberapa dalil, baik dalil naqli mapun dalil aqli, berikut ini.

A.     Dalil Al-Qur’an
Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan kewajiban mempercayai dan menerima segala
sesuatu yang disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya untuk dijadikan pedoman
hidup. Di antaranya adalah :
Firman Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 179 yang berbunyi :
‫ وما كان هللا ليـــطلعكم على الغبيب ولكن هللا‬,‫ما كــان هللا ليذر المؤمنــين على مآأنــتم عليــه حتى يمــيز الخبيث من الطــيب‬
‫يجــتبي من رسولــه من يشــآء فا منــوا با هللا ورســوله’ وان تؤمــنوا وتتــقوا فلكم أجــر عظـــيم‬.
Artinya :
“Allah sekali-kali tidka akan membiarkan orang-orang mukmin seperti keadaan kamu sekarang
ini, sehingga Dia memisahkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-
kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi, Allah akan
memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara Rasul-rasul-Nya. Karena itu, berimanlah kepada
Allah dan Rasul-rasul-Nya dan jika kamu beriman dan bertaqwa, maka bagimu pahala yang
besar.”

Dalam surat Annisa ayat 136 Allah SWT berfirman :

‫يآايـــها الذين امــنوا با هللا ورسولـــه والكتب الذي نــزل على رســوله والكتب الذي انــزل من يكفـــر با هلل وملئــــكته وكتبــه‬
‫ورسولـــه واليوم االخـــر فقد ضـــلال بعـــــيدا‬.
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada
kitab yang Allah turunkan ke[ada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Bagi
siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian,
maka sesungguhnya orang ini telah sesat sejauh-jauhnya..”

Dalam surat Ali Imran  di atas, Allah memisahkan antara orang-orang mukmin dan orang-orang
munafik. Dia juga akan memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat iman
mereka. Oleh karena itu, orang mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah SWT dan
Rasul-Nya.
Pada surat an-Nisa ayat 136, sebagaimana halnya pada surat Ali Imran ayat 179, Allah menyeru
kaum muslimin agar tetap beriman kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad SAW), Al-Quran, dan
kitab yang diturunkan sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat, Allah SWT mengancam orang-
orang yang mengingkari seruan-Nya.
Selain memerintahkan umat islam agar percaya kepada Rasuulllah SAW, Allah juga menyerukan
agar umat-Nya menaati segala bentuk perundang-undangan san peraturan yang dibawanya, baik
berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Allah SWT. Banyak ayat Al-
Quran yang berkenaan dengan masalah ini.

B. Dalil Al-Hadits
Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW. Berkenan dengan kewajiban menjadikan hadis sebagai
pedoman hidup disamping Al-Quran sebagai pedoman utamanya, adalah dalam sabdanya:
)‫ (رواه الحاكم‬.‫تركـــت فيــكم أمــرين لن تضــــلوا أبدا مـــا إن تمســـكتم بهما كتــــاب هللا وسنـــة رسولــــه‬
Artinya :
“aku tinggalkan dua perkara untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat selama-lamanya,
selama kalian selalu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul-
Nya.”
Dan hadits lain, Rasulullah SAW, bersabda :
‫عليـــكم بسنتي وسنة الخلـــفاء الراشــــدين المهـــديينـ تمســــكوا بهـــــا‬.

Artinya :
“wajib bagi kaum sekalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunah Khulafa Ar-Rasyidin
yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya.”

Hadits-hadits tersebut di atas, menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadits
atau menjadikan hadits, sebagai pegangan dan pedoman hidup adalah wajib, sebagaimana
wajibnya berpegang teguh kepada Al-Qur’an.

C.     Kesepakatan Ulama (Ijma’)


Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits sebagai salah satu dasar hukum dalam amal
perbuatan karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Penerimaan hadits sama seperti
penerimaan mereka terhadap Al-Qur’an, karena keduanay sama-sama merupakan sumber hukum
Islam.
Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan segala ketentuan
yang terkandung di dalam hadits telah dilakukan sejak masa Rasulullah, sepeninggalan beliau,
masa Khulafa Ar-Rasyidin hingga masa-masa selanjutnya dan tidak ada yang mengingkarinya,
banyak di antara mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandungannya,
tetapi menyebarluaskan kepada generasi-generasi selanjutnya.
Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum
Islam, antara lain dalam peristiwa di bawah ini :
1.    Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, ia berkata, “Saya tidak meninggalkan sedikitpun
sesuatu yang diamalkan oleh rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila
meninggalkannya.”
2.    Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, “saya tahu bahwa engkau adalah batu.
Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu.”
3.    Pernah ditanyakan kepada Abdullah bin Umar tentang ketentuan shalat safar dalam Al-
Quran. Ibnu Umar menjawab, “allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita
dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat sebagaimana kami melihat
Rasulullah berbuat.”
4.    diceritakan dari Sa’ad bin Musayyab bahwa Usman bin Affan berkata, “saya duduk
sebagaimana duduknya Rasulullah Saw, saya makan sebagimana makannya Rasulullah, dan saya
akan shalat sebagaimana shalatnya Rasulullah SAW.”
Maka banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan, dilakukan,
dan diserukan oleh Rasulullah SAW, selalu diikuti oleh umatnya, dan apa yang dilarang selalu
ditinggalkan oleh mereka.

D.    Sesuai Dengan Petunjuk Akal (Ijtihad)


Kerasulan NAbi Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam
mengemban misinya itu kadangkala beliau menyampaikan apa yang diterimanay dari Allah
SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan
wahyu dari Tuhan. Namun juga, tidak jarang beliau menawarkan hasil ijtihad semata-mata
mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku
sampai ada nash yang menasakhkan.
Bila kerasulan Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya apabila
segala peraturan dan eprundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas
bimbingan wahyu atau hasil ijtihad semata ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman
hidup. Di samping itu, secara logika kepercayaan kepada Muhammad SAW sebagai Rasul
mengharuskan umatnya menaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa hadits merupakan salah satu sumber hukum dan
sumber ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah Al-Quran. Sedangkan bila dilihat dari
segi kehujjahan, hadits melahirkankan hukum zhanni, kecuali hadits yang mutawatir.

BAB III
PENUTUP

1.    KESIMPULAN
Kedudukan hadits dalam Islam yang utama adalah penjelas ayat Al-Quran yang masih global.
Rasulullah diperintahkan untuk menjelaskan tiap tiap ajaran kepada para sahabat setelah beliau
mendapatkan penjelasan dari Jibril.
Peran yang kedua adalah agar hadits menjadi pedoman tambahan ketika muncul persoalan-
persoalan yang tidak secara spesifik terdapat pada Al-Quran. Setelah Rasulullah Saw. Al-Quran
dan hadits dijadikan sebagai rujukan para ulama untuk mengeluarkan fatwa dan aturan lainnya.
Peran yang ketiga, menjaga agar ayat-ayat Al-Quran tidak secara sembarangan dilencengkan
sehingga seolah ayat-ayat Al-Quran berkontradiksi. Penjelasan Rasulullah sudah merupakan
penjelasan yang dapat dipahami bahwa juga sudah ditafsirkan secara mendalam oleh para ulama.
Ucapan dan kepribadian Rasulullah Saw. selalu berdasarkan Al-Quran. Umat Islam yang
mengikuti hadits-hadits Rasulullah adalah mereka yang juga taat kepada Al-Quran.
Peran yang keempat, hadits /sunah merupakan dasar hukum Islam, yaitu salah satu dari sumber
hukum Islam yang menduduki urutan kedua setelah Al-Quran. Dan wajib diikuti sebagaimana
mengikuti Al_quran, baik dalam bentuk awamir maupun nawahi-nya. Sedangkan bila dilihat dari
segi kehujjahan, hadits melahirkan hukum Zhanni kecuali hadits mutawatir.

2     SARAN
Sesuai dengan perkembangan hadis, ilmu hadis selalu mengiringinya sejak masa Rasulullah
sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu ekplisit, pada masa nabi hadis tidak ada persoalan
karena setiap ada masalah langsung di bicarakan dengan nabi Ulumul hadis disini membahas
dari segi bahasa atau pengertian sejarah dan sampai cabang-cabangnya.
Mengingat luasnya materi dari Ulumul Hadits ini besar harapan kami untuk kelompok
selanjutnya agar menguraikan materi sesuai dengan bahasan masing-masing, tentunya dengan
satu tujuan untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan kita yang berhubungan dengan
Ulumul Hadits.

DAFTAR PUSTAKA

•    DepAg RI, Al-Qur’an dan Terjemahan (Semarang, 1998)


•    Ash-Shahih Shubhi, Melejitkan Ilmu-ilmu Hadits (Jakarta, 2002)
•    Nata, Abuddin, Al-Qur’an dan Hadits/ Dirasah Islamiah 1 (2000)
•    Suparta Munzir, Ilmu Hadits (Jakarta, 2006)
•    As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shagir, Beirut : Dar Al-Fikr.
•    Abu Dawud, Sunan Abu Dawud Jilid II, Beirut : Dar Al-Fikr. 1990.
•    Muhammad ‘Ajjaj Al Khatib, Ushul Al-Hadits. Terj. HM. Qodrun Nur dan Ahmad
•    Musyafiq. Jakarta : Gaya Media Pratama.
•    Musthafa As-Siba’i, As-Sunnah wa Makamatuha fi At-Tasyri’ Al Islami. Kairo : Dar
•    Al-Qumiyah, 1949.
•    Utang Ranu Wijaya, Ilmu Hadits, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996
silakan download disini:

KEDUDUKAN HADITS DALAM AGAMA ISLAM


Makalah Kedudukan Hadist Sebagai Sumber
Hukum Islam

BAB I
PEDAHULUAN
Latar belakang
Tatkala membahas Al Qur’an, kita mengemukakan bahwa Kitab Allah ini bukan sekedar
shuhuf petunjuk untuk menyelesaikan sejumlah masalah yang muncul pada masa turunnya, dan
yang dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW beserta para pengikut beliau. Al Qur’an merupakan
sebuah uraian lengkap mengenai segala sesuatu yang perlu diketahui manusia, dan dihimpun
dalam sebuah sistem. Meskipun Al Qur’an menegaskan mengenai dirinya sebagai Kitab yang
menerangkan segala sesuatu, tetapi tidak semua masalah disampaikannya secara tuntas, sejak
dari prinsip dasar sampai dengan operasionalisasinya. Rupanya Allah menetapkan untuk
memfungsikan Rasul bukan sekedar membacakan Kitab-Nya kepada ummat, tetapi juga
menerangkan isinya dan memberi contoh pengamalannya di dalam kehidupan sehari-hari.

Karena itu sesudah Al Qur’an kaum mukminin menerima As Sunnah – jalan atau tradisi Rasul.
Jalan Rasul itu diberitakan secara beranting kepada ummat, maka berita tentang sikap dan akhlak
Rasulullah SAW itu dikenal sebagai Al Hadits yang makna harfiahnya adalah berita.
Sehubungan dengan itu Rasulullah menyatakan: “Aku tinggalkan dua hal untuk kamu sekalian;
maka kamu tidak akan tersesat apabila berpegang kepada keduanya. Dua hal itu adalah Al
Qur’an dan Sunnahku”. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dikemukakan sabda
beliau: “Barangsiapa mencintai sunnahku berarti dia mencintai aku, dan barangsiapa
mencintai aku maka kelak dia akan bersamaku di dalam surga”.
Rumusan Makalah
1.      Apa yang dimaksud dengan hadits ?
2.     Bagaimana kedudukan sebuah hadits sebagai sumber dasar dalam agama Islam ?
Tujuan Pembuatan Makalah
1.      Supaya mengetahui apa yang dimaksud dengan hadits
2.      Mengetahui kedudukan hadits dalam Islam

BAB II
ANALISA MASALAH
A.    Pengertian Hadits
Hadits.1[1] menurut bahasa (etimologi) adalah perkataan atau ucapan Hadits menurut syar’i
adalah segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW baik perbuatan, perkataan, dan
penetapan pengakuan (takrir).2[2] Hadits berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat Al-quran yang
kurang jelas atau sebagai penentu hukum yang tidak terdapat dalam Al-quran.
Hadits atau Sunnah dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

1[1]Hadits dan sunnah menurut para muhaddisin (mutaakhirin) adalah mutasawiyain (sinonim) : berbeda
lafadz tetapi sama pengertian.

2[2]Baik berupa pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup saat sebelum nabi diangkat menjadi rasul
maupun sesudahnya.
1.      Sunnah Qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah yang ada hubungannya dengan pembinaan
hukum Islam.
2.      Sunnah Fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah yang diberitakan para sahabat mengenai
soal-soal ibadah dan lain.
3.      Sunah Taqriryah, yaitu segala hadis yang berupa ketetapan Nabi Muhammad SAW terhadap apa
yang datang dari Sahabatnya.Nabi SAW membiarkan sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh
para sahabat,setelah memenuhi beberapa syarat,baik mengenai pelakunya maupun perbuatanya.
Ulama Usul Fikih menetapkan perbuatan Nabi terbagi atas beberapa bagian :
1.      Jibilli (tabi’at) yaitu semua perbuatan Nabi yang termasuk urusan tabi’at seperti makan, minum
dan lain-lain. Maka hukumnya mubah baik untuk perorangan maupun umatnya
2.      Qurb (pendekatan) seperti ibadah shalat, puasa, shadaqah atau yang seumpamanya
3.      Mu’amalah (hubungan dengan sesama manusia) seperti jual beli, perkawinan dan lain-lain

B.     Kedudukan Hadits Dalam Islam


Rasulullah SAW adalah orang yang setiap perkataan dan perbuatannya menjadi pedoman
bagi manusia. Karena itu beliau ma’shum (senantiasa mendapat petunjuk Allah SWT). Dengan
demikian pada hakekatnya Sunnah Rasul adalah petunjuk yang juga berasal dari Allah. Kalau Al
Qur’an merupakan petunjuk yang berupa kalimat-kalimat jadi, yang isi maupun redaksinya
langsung diwahyukan Allah, maka Sunnah Rasul adalah petunjuk dari Allah yang di ilhamkan
kepada beliau, kemudian beliau menyampaikannya kepada ummat dengan cara beliau sendiri.

.......)44 ‫(النحل‬...........‫وانزلنا اليك الذكر لتبين للناس ما نزل اليهم‬


“kami telah menurunan peringatan (Al-Qur’an) kepada engkau (Muhammad) supaya kamu
menerangkan kepada segenap manusia tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka (QS.
An-Nahl 44).

..)7 ‫(الحشر‬........‫ما اتكم الرسول فخذوه وما نهكم عنه فانتهوا‬


“apa-apa yang didatangkan oleh Rasul kepada kamu, hendaklah kamu ambil dan apa yang
dilarang bagimu hendaklah kamu tinggalkan” (QS. Al-Hasyr 7)
Ayat-ayat diatas menjelaskan bahwa sunnah/ hadits merupakan penjelasan Al-Qur’an.
Sunnah itu diperintahkan oleh Allah untuk dijadikan sumber hukum dalam Islam. Dengan
demikian, sunnah adalah menjelaskan Al-Qur’an, membatasi kemutlakannya dan mentakwilkan
kesamarannya. Allah menetapkan bahwa seorang mukmin itu belum dapat dikategorikan
beriman kepada Allah sebelum mereka mengikuti segala yang diputuskan oleh Rasulullah SAW
dan dengan putusannya itu mereka merasa senang.
Iman Asy-Syathibi menerangkan dalam karyanya Al-Muwafaqat bahwa sunnah dibawah
derajat Al-Quran dengan alasan :
1.       As-sunnah menjadi bayan (keterangan) Al-Qur’an.
2.       As-sunnah menerangkan hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, bukan Al-Qur’an
menerangkan hukum sunnah.
3.       As-sunnah menguatkan kemutlakan Al-Qur’an, mengkhususkan keumuman Al-Qur’an dan
mengihtimalkan lahirnya Al-Qur’an.3[3]

3[3]Sebagaimana hal ini tersebut dalam kitab-kitab usul fiqih


Dalam hal mengishtinbatkan hukum, maka sunnah mempunyai batas-batas :
1.      Sunnah mensyari’atkan apa-apa yang disyari’atkan oleh Allah SWT agar diikuti dan
dilaksanakan.4[4]
2.      Sunnah Nabi menerangkan apa-apa yang disyari’atkan oleh Al-Qur’an dalam hal menjelaskan
ayat-ayat yang umum, mentabyinkan ayat-ayat yang muhtamil dan mentaqyidkan ayat-ayat yang
mutlak.
3.      Sunnah berwenang membuat berbagai macam hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Untuk hal ini, Nabi saw berpedoman kepada ilham dan petunjuk dari Allah dan ada pula yang
berdasarkan ijtihad Rasulullah sendiri.
Imam Syafi’i menguraikan kedudukan sunnah terhadap Al-Qur’an sebagai berikut:
1.       Sunnah itu bayanut tafshil, keterangan yang menjelaskan ayat-ayat yang mujmal.
2.       Sunnah itu bayanut takhsis yaitu keterangan yang mentakhsiskan segala keumuman Al-Qur’an.
3.       Sunnah itu bayanut ta’yin yaitu keterangan yang menentukan mana yang dimaksud dari dua kata
atau tiga macam persoalan yang semuanya mungkin untuk dijelaskan secara terang.
4.       Sunnah itu bayanut ta’kid yaitu keterangan sunnah yang bersesuaian benar dengan petunjuk Al-
Qur’an dari segala jurusan dan ia menguatkan apa yang dipaparkan ayat-ayat Al-Qur’an.
5.       Sunnah itu bayanut tafsir yaitu keterangan sesuatu hukum dari Al-Qur’an, yang menerangkan
apa yang dimaksud oleh ayat-ayat yang tersebut dalam Al-Qur’an.
6.       Sunnah itu bayanut tasyri yaitu keterangan sesuatu hukum yang tidak diterangkan dalam Al-
Qur’an.
Dalam menyampaikan Al Qur’an, Rasulullah SAW hanya meneruskan apa yang
diwahyukan kepada beliau, tanpa hak untuk menambah, mengurangi atau mengubah satu patah
katapun. Sedangkan dalam mendakwahkan petunjuk selain beliau menyampaikannya dengan
ucapan, dalam hal itu kata-kata dan susunannya berasal dari Muhammad SAW sendiri. Hadits
Qudsi, walaupun dimulai dengan pernyataan: “Allah berfirman”, kalimatnya tetap dari Rasul.
Beliau hanya menerangkan firman Allah yang beliau terima sebagai ilham. Pada waktu lain
beliau mengemukakan petunjuk Allah itu dengan perbuatan, termasuk dengan berdiam diri
ketika melihat perbuatan seseorang. Berdiam diri itu merupakan taqrir atau ijin bagi yang
hendak melakukan perbuatan tersebut. Muhammad SAW meskipun menjadi Nabi yang
menerima wahyu, sekaligus seorang Rasul, utusan yang bertugas menyampaikan wahyu dan
petunjuk lain yang diilhamkan kepada beliau, tetap manusia biasa yang mempunyai keinginan,
pikiran dan pendapat.
Maka dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menunaikan tugasnya, beliau juga
ber-ijtihad dengan menggunakan akalnya. Ketika menyampaikan ijtihad-nya Muhammad dapat
dibantah, bahkan bersedia mengubah ketetapannya bila ternyata ada ijtihad lain yang lebih baik.
Tetapi tatkala melaksanakan petunjuk Allah, tidak ada siapapun yang boleh turut campur apa lagi
mengoreksinya.
Para ulama menerangkan beberapa fungsi Al Hadits terhadap Al Qur’an :
1.      merinci atau mengoperasionalkan petunjuk yang Al Qur’an hanya membicarakan pokoknya
saja.5[5]

4[4]Seperti dalam Al-Qur’an perintah untuk mendirikan shalat, mengerjakan haji dan lain- lain
2.      menegaskan suatu ketetapan yang telah dinyatakan di dalam Al Quran6[6][.6]
3.      menerangkan tujuan hukum dari suatu ketetapan Al Qur’an.7[7]
Berbeda dengan Al Qur’an, sebagian besar Al Hadits tidak ditulis pada waktu Rasulullah
SAW masih hidup kerena disebabkan beberapa faktor :
1.      karena Rasul sendiri pernah melarangnya.
2.      Para ulama hadits menganggap larangan ini disebabkan oleh kekuatiran, bahwa catatan Al
Hadits akan bercampur dengan Al Qur’an, karena waktu itu belum ada media tulis yang baik.
Buktinya, Rasul sendiri di kemudian hari mengijinkan beberapa sahabat yang terpercaya,
menulis keterangan-keterangan beliau.
3.      Jarang sekali Rasulullah menerangkan, apakah ucapan dan perbuatan beliau itu atas petunjuk
Allah atau hanya ijitihad beliau sendiri.
4.      Pada waktu itu ummat sibuk berperang dan berdakwah. Maka potensi penulis yang tersedia,
dimanfaatkan dengan prioritas menulis Al Qur’an, yang Rasul memang memerintahkannya.
5.      Rasulullah SAW pada masa itu masih berada di tengah ummat, sehingga bila ada yang
memerlukan keterangan atau penjelasan tentang pernyataan Al Qur’an, dia dapat bertanya
langsung kepada beliau.
Kenyataan bahwa tulisan mengenai Al Hadits sangat langka, menimbulkan kesulitan ketika
Rasulullah SAW telah wafat. Apa lagi tatkala sahabat-sahabat yang dekat dengan beliau dan
yang menyaksikan kehidupan sehari-hari beliau, telah wafat pula. Padahal umat memerlukan
pengetahuan tentang Sunnah Rasulullah di dalam menyelesaikan berbagai masalah, yang
petunjuk operasionalnya tidak ditemui dalam Al-Qur’an.
Maka Khalifah Umar bin Abdul Aziz (menjabat tahun 99-101 H), mengambil inisiatif
memerintahkan ummat untuk menuliskan segala sesuatu yang diucapkan dan dilakukan oleh
Rasulullah SAW. Sejak perintah dikeluarkan, banyak sekali hadits yang ditulis dan
disebarluaskan. Persoalan timbul kemudian, ketika banyak hadits yang saling bertentangan, dan
yang isinya diragukan. Maka para ulama kemudian melakukan seleksi hadits, dengan menyusun
metode untuk itu. Yang terkemuka dalam pengembangan metode sekaligus penerapannya, antara
lain Imam Bukhari (194-256 H), Imam Muslim (202-261 H), Abu Musa Muhammad at-Tirmidzi
(209-279 H), Abu Dawud (202-275 H), Ibnu Majah (209-273 H), dan An Nasa’i (215-303 H).
Umumnya ulama hadits beranggapan, metode Bukhari merupakan yang paling hati-hati dalam
prosedur seleksi hadits.
Meskipun ada perbedaan di antara berbagai metode yang digunakan, secara umum dapat
dikatakan bahwa ada tiga unsur yang diperiksa dalam proses seleksi hadits:

5[5]Contohnya, Al Qur’an memerintahkan orang yang beriman untuk menunaikan shalat [QS Al ‘Ankabut
(20): 45], Al Hadits menerangkan tatacara Rasul dalam menunaikan shalat. Beliapun menegaskan:
“Shalatkah kamu dengan cara sebagaimana kamu melihat aku shalat”.

6[6]Contohnya, Al Qur’an menerangkan bahwa tanda permulaan dan akhir puasa Ramadhan adalah
ketika orang menyaksikan hilal – bulan baru [QS Al Baqarah (2): 185], Al Hadits menandaskan hal
tersebut.

7[7]Contohnya, Al Qur’an mewajibkan orang-orang beriman membayar zakat [QS At Taubah (9): 34], Al
Hadits menerangkan bahwa membayar zakat merupakan prosedur seorang Mukmin untuk
membersihkan harta dari yang bukan haknya.
1.      Sanad, yaitu hubungan antara orang yang mendengar atau menyaksikan sendiri ucapan maupun
perbuatan Rasul secara berantai sampai kepada yang menuliskannya. Urutan itu harus
menyambung tanpa ada keraguan sama sekali.
2.      Rawi, yaitu orang-orang yang disebut dalam garis sanad; mereka harus terpercaya dalam arti
kukuh imannya, baik ibadahnya, luhur akhlaknya, dan panjang ingatannya.
3.      Matan (isi hadits), yaitu tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits-hadits lain yang lebih
tinggi tingkat kepercayaannya.
Dengan pemeriksaan yang saksama terhadap sanad, dapat diketahui apakah sebuah hadits itu
mutawatir dikemukakan di dalam banyak sekali jalur sanad, atau masyhur dinyatakan di dalam
cukup banyak sanad, atau ahad hanya ditemukan dalam sedikit jalur sanad. Hadist mutawatir
tentu lebih mudah dipercayai dibanding masyhur, apa lagi hadit sahad.
Selanjutnya sesudah mempertimbangkan hasil penelitian terhadap semua unsur, dapat
ditetapkan mana hadits yang shahih, mana yang hasan (cukup baik) tetapi tidak sampai pada
taraf shahih, dan mana yang dhaif (lemah).

BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Al-Hadits merupakan sumber kedua bagi ajaran Islam, dialah sumber yang paling luas,
yang terinci penjelasannya, dan paling lengkap susunannya. Sunnah memberikan perhatian yang
penuh dalam menjelaskan Al-Qur’an. Oleh sebab itu, tidaklah seharusnya dalam urusan istinbat
hukum Islam, orang mencukupkan Al-Qur’an saja, tanpa membutuhkan penjelasan dari As-
Sunnah.
Maka dari itulah, jangan terlalu mudah kita mengambil suatu hukum dari Al-Qur’an
tanpa melihat terlebih dahulu apakah ada hadits yang menjelaskan tentang ayat tersebut.
2.      Saran
Marilah kita gali potensi kemampuan kita dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits
agar kita mampu memahami agama dengan baik dan benar.
 

http://suliesjambie.blogspot.co.id/2014/01/kedudukan-hadist-sebagai-sumber-hukum.html

Anda mungkin juga menyukai