Anda di halaman 1dari 12

Makalah Fungsi Hadits Terhadap Al-Quran

Pengantar Studi Al-Quran

Siti Khotijah Yusup


2720200055
Semester 5

Universitas Islam As-syafiiah


Fakultas Kesehatan
S1 Ilmu Keperawatan
Tahun akademik 2020-2021

BAB I
PENDAHULUAN

Islam sebagai agama mempunyai makna bahwa Islam memenuhi tuntutan


kebutuhan manusia di mana saja berada sebagai pedoman hidup baik bagi kehidupan
duniawi maupun bagi kehidupan sesudah mati. Dimensi ajaran Islam memberikan aturan
bagaimana caranya berhubungan dengan Tuhan atau Khaliqnya, serta aturan bagaimana
caranya berhubungan dengan sesama makhluq, termasuk di dalamnya persoalan hubungan
dengan alam sekitar atau lingkungan hidup. Dalam perkembangan selanjutnya, dalam
mengemban tugas ini, manusia memerlukan suatu tuntunan dan pegangan agar dalam
mengolah alam ini mempunyai arah yang jelas dan tidak bertentang dengan kehendak Allah
SWT. Islam sebagai ajaran agama yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada umat manusia
melalui Rasul-Nya adalah satu pegangan dan tuntunan bagi manusia itu sendiri dalam
mengarungi kehidupan ini.

Allah SWT mengutus para Nabi dan Rasul-Nya kepada ummat manusia untuk
memberi petunjuk kepada jalan yang lurus dan benara agar mereka bahagia dunia dan
akhirat. Rasulullah lahir ke dunia ini dengan membawa risalah Islam, petunjuk yang benar.
Hukum Syara’ adalah khitab Syari’ (seruan Alloh sebagai pembuat hukum) baik yang
sumbernya pasti (qath’i tsubut) seperti Al-Qur’an dan Hadits, maupun ketetapan yang
sumbernya masih dugaan kuat (zanni tsubut) seperti hadits yang bukan tergolong
mutawatir.

Dengan latar belakang di atas, maka penulis mencoba memaparkan tentang Hadits
dan fungsinya serta kewajiban umat manusia terhadap Hadits

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HADITS

Pengertian Hadits dapat diartikan menurut dua cara yakni menurut bahasa dan menurut
terminoligi. Hadits menurut bahasa terdiri dari beberapa arti, yaitu :

1. Jadid yang berarti baru

2. Qarib yang artinya dekat, dan

3. Khabar yang artinya berita

Sedangkan pengertian hadits secara terminologis adalah :“Segala sesuatu yang


disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan
(taqrir) dan sebagainya”.[1]

Seperti disebutkan di atas, bahwa definisi ini memuat empat elemen, yaitu
perkataan, perbuatan, pernyataan, dan sifat-sifat lain. Secara lebih jelas dari ke empat
elemen tersebut dapat penulis uraikan sebagai berikut :

1. Perkataan

Yang dimaksud dengan perkataan adalah segala perkataan yang pernah diucapkan
oleh Nabi Muhammad SAW dalam berbagai bidang, seperti bidang syariah, akhlaq, aqidah,
pendidikan dan sebagainya.
2. Perbuatan

Perbuatan adalah penjelasan-penjelasan praktis Nabi Muhammad SAW terhadap


peraturan-peraturan syara’ yang belum jelas teknis pelaksanaannya. Seperti halnya jumlah
rakaat, cara mengerjakan haji, cara berzakar dan lain-lain. Perbuatan nabi yang merupakan
penjelas tersbut haruslah diikuti dan dipertegas dengan sebuah sabdanya.

 3. Taqrir8

Taqrir adalah keadaan beliau yang mendiamkan atau tidak mengadakan sanggahan
dan reaksi terhadap tindakan atau perilaku para sahabatnya serta menyetujui apa yang
dilakukan oleh para sahabatnya itu.

4. Sifat, Keadaan dan Himmah Rasululloh

Sifat-sifat, dan keadaan himmah Nabi Muhammad SAW adalah merupakan


komponen Hadits yang meliputi :

- Sifat-sifat Nabi yang digambarkan dan dituliskan oleh para sahabatnya dan dan para ahli
sejarah baik mengenai sifat jasmani ataupun moralnya
- Silsilah (nasab), nama-nama dan tahun kelahirannya yang ditetapkan oleh para
sejarawan

- Himmah (keinginan) Nabi untuk melaksanakan suatu hal, seperti keinginan beliau untuk
berpuasa setiap tanggal 9 Muharram.[2]

B. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan Alloh. Kitab Al-Qur’an
adalah sebagai penyempurna dari kita-kitab Alloh yang pernah diturunkan sebelumnya.

Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam dan merupakan rujukan
umat Islam dalam memahami syariat. Pada tahun 1958 salah seorang sarjana barat yang
telah mengadakan penelitian dan penyelidikan secara ilmiah tentang Al-Qur’an mengatan
bahwa: “Pokok-pokok ajaran Al-Qur’an begitu dinamis serta langgeng abadi, sehingga tidak
ada di dunia ini suatu kitab suci yang lebih dari 12 abad lamanya, tetapi murni dalam
teksnya”. Adapun fungsi hadits terhadap Al-Quran adalah sebagai berikut:

1. Bayan At-Taqrir

Menguatkan dan menegaskan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Di sini hadits
berfungsi memperkuat dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Al-quran. Misalnya,
Al-quran menetapkan hukum puasa, dalam firman-Nya :

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Q.S AlBaqarah/2:183)

Dan hadits menguatkan kewajiban puasa tersebut:

Islam didirikan atas lima perkara : “persaksian bahwa tidak ada Tuhan selainAllah ,
dan Muhammad adalah rasulullah, mendirikan shalat , membayar zakat puasapada bulan
ramadhan dan naik haji ke baitullah.” (H.R Bukhari dan Muslim)

2. Bayan At-Tafsir.

yang dimaksud dengan bayan At-Tafsir adalah memberikan perincaian dan


penafsiran terhadapa ayat-ayat Al-Quran yang masih mujmal, memberikan taqyid
(persyaratan) terhadap ayat-ayat Al-Quran yang masih mutlaq, dan memberikan taksis
(penentuan khusus) terhadap ayat-ayat Al-Quran yang masih umum. Contoh, ayat-ayat Al-
Quran yang masih mujmal adalah perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat, disyari’atkan
jual beli, pernikahan, qiyas, hudud, dan sebagainya. Ayat-ayat Al-Quran tentang masalah
tersebut masih bersifat mujmal, baik cara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syarat,
ataupun halangan-halanganya.
Rasulullah mempunyai tugas menjelaskan Al-Qur’an sebagaimana firman Allah SWT
dalam QS. An-Nahl ayat 44:

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”(QS. An-Nahl :
44)

Fungsi Hadits sebagai penafsir Al-Quran dapat dibagi kepada tiga bentuk, yaitu:

1. Menafsirkan serta memperinci ayat-ayat yang masih mujmal (bersifat global) Misalnya Al-
qur`an menyatakan perintah shalat

“Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat” (Q.S Al Baqarah /2:110)

Shalat dalam ayat diatas masih bersifat umum, lalu hadits merincinya, misalnya
shalat yang wajib dan sunat. sabda Rasulullah SAW:

Dari Thalhah bin Ubaidillah : bahwasannya telah datang seorang Arab Baduikepada
Rasulullah SAW. dan berkata :“Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku salatapa yang
difardukan untukku?” Rasul berkata : “Salat lima waktu, yang lainnya adalahsunnat”
(HR.Bukhari dan Muslim)

Al-Qur`an tidak menjelaskan operasional shalat secara rinci, baik bacaan maupun
gerakannya. Hal ini dijelaskan secara terperinci oleh Hadits, misalnya sabda
RasulullahSAW:“Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR.
Bukhari)

2. Memberikan batasan (taqyid) terhadap ayat-ayat Al-Quran yang masih bersifat muthlaq.

Umpamanya, hadis Nabi Nabi Saw. yang memberikan penjelasan tentang batasan
untuk melakukan pemotongan tangan pencuri, yang di dalam Al-Quran disebutkan secara
muthlaq, yaitu:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Ayat tersebut masih bersifat muthlaq, yaitu belum diterangkan tentang batasan yang
jelas tentang tangan yang akan dipotong dalam pelaksanaan potong tangan tersebut. Maka
hadits nabi Saw datang menjelaskan batasan (taqyid), yaitu bahwa yang dipotong itu adalah
hingga pergelangan tangan saja.
3. Mengkhususkan (takshish) ayat-ayat yang bersifat umum (‘am).
Penjelasan sunnah terhadap Al-Quran, di samping memperinci hukum yang
bersifat global (mujmal), juga ada yang bersifat takhshish, yaitu mengkhususkan keumuman
ayat, seperti penjelasan rasul tentang ayat:

“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :


bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan (Q.S. An-
Nisa’: 11)

Ayat di atas adalah bersifat umum, yaitu menjelaskan adanya kewarisan setiap anak
terhadap orang tuanya. Kemudian hadits mengkhususkan, di antaranya bahwa keturunan
Rasul (anak-anaknya) tidak mewarisi, sebagaimana yang dijelaskan beliau di dalam
sabdanya:
)‫ص َدقَةٌ (رواه البخاري‬ ُ ‫نَحْ نُ َم َعا ِش ُر ْاألَ ْنبِيَا ِء الَ نُوْ َر‬
َ   ُ‫ث َما تَ َر ْكنَاه‬

Artinya: Kami seluruh para Nabi, tidak diwarisi, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah. (H.R.
Bukhari) (H. R. Bukhari).[3]

3. Bayan At-Tasyri’

Hadits menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-qur`an. Banyak hal
yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti. Hukum yang terjadi adalah merupakan
produk Hadits/Sunnah yang tidak ditunjukan oleh Al-Qur’an. Contohnya seperti larangan
memadu perempuan dengan bibinya dari pihak ibu, haram memakan burung yang berkuku
tajam, haram memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki, hukum hak waris seorang
anak.

Dalam hal ini, hadits berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-
qur`an, misalnya hadits dibawah ini:

“Rasulullah Saw. telah mewjibkan kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu
sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki
atau perempuan[4]

Hadis yang termasuk bayan at-tasyri’ ini, wajib diamalkan sebagaimana halnya
dengan hadis-hadis lainnya. ketiga bayan yang telah di uraikan di atas, telah disepakati oleh
para ulama, namun untuk bayan lainnya, seperti bayan an-nasakh, terjadi perbedaan para
ulama. ada yang mengakui dan menerima fungsi al-Quran sebagai nasikh dan ada yang
menolaknya.

4. Bayan An-Nasakh

kata An-nasakh dari segi bahasa memiliki bermacam-macam arti, yaitu al-itbal
(membatalkan) atau al-ijalah (menghilangkan), atau at-tahwil (memindahkan), atau at-tayir
(mengubah). Para ulama mengartikan bayan an-nasakh ini melalui pendekatan bahasa,
sehingga di antara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam mentafrifkan. Hal ini pun
terjadi pada kalangan ulama Mutaakhirin dengan ulama mutaqaddimin, yang disebut bayan
an-nasakh adalah dalil syara’ (yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada), karena
datangnya kemudian.

Dari pengertian di atas, jelaslah bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat
menghapuskan ketentuan yang datang terdahulu. Hadis sebagai sebagai yang datang
kemudian dari Al-Quran, dalam hal ini, dapat menghapuskan ketentuan dan isi kandungan
Al-Quran. Demikia menurut ulama yang menganggap adanya fungsi bayan an-Nasakh.
Sedangkan imam Hanafi fungsi bayan ini hanya terhadap hadis-hadis yang mutawatir dan
masyur. sedangkan terhadap hadist ahad beliau menolaknya. salah satu contoh yang biasa
diajukan oleh para ulama hadis adalah:

‫ث‬ َ ‫صيَّةَ لِ َو‬


ٍ ‫ار‬ ِ ‫الَ َو‬

Artinya: “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”

Hadits ini mereka me Nasakh isi Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 180[5]

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,
jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah:
180)

C. Hubungan Hadits Dengan Al-Quran

Al-Hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama seperti definisi Al-Sunnah sebagai
“Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan
taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun
sesudahnya.” Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada “ucapan-ucapan
Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum”; sedangkan bila mencakup pula
perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka
namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut,
dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi
kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-
Quran.

Sementara itu, ulama tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada Allah dan Rasul-
Nya yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan dengan dua redaksi berbeda. Pertama
adalah Athi’u Allah wa al-rasul, dan kedua adalah Athi’u Allah wa athi’u al-rasul. Perintah
pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan dengan
perintah Allah SWT; karena itu, redaksi tersebut mencukupkan sekali saja penggunaan
kata athi’u. Perintah kedua mencakup kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam hal-hal
yang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT dalam Al-Quran, bahkan kewajiban taat
kepada Nabi tersebut mungkin harus dilakukan terlebih dahulu –dalam kondisi tertentu–
walaupun ketika sedang melaksanakan perintah Allah SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh
kasus Ubay ibn Ka’ab yang ketika sedang shalat dipanggil oleh Rasul saw. Itu sebabnya
dalam redaksi kedua di atas, kata athi’u diulang dua kali, dan atas dasar ini pula perintah
taat kepada Ulul Al-’Amr tidak dibarengi dengan kata athi’u karena ketaatan terhadap
mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan sejalannya perintah mereka dengan
ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya.

Perhatikan Firman Allah dalam Al-Nisa’ ayat 65, Menerima ketetapan Rasul saw.
dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa sedikit pun rasa enggan dan pembangkangan,
baik pada saat ditetapkannya hukum maupun setelah itu, merupakan syarat keabsahan
iman seseorang. Demikian Allah bersumpah dalam Al-Quran Surah Al-Nisa’ ayat 65 yang
berbunyi:

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol
antara hadis dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau
penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun langsung
oleh Allah SWT. Malaikat Jibril hanya sekadar menyampaikan kepada Nabi
Muhammad saw., dan beliau pun langsung menyampaikannya kepada umat, dan
demikian seterusnya generasi demi generasi. Redaksi wahyu-wahyu Al-Quran itu,
dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia
ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara
tawatur oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil akan sepakat berbohong.
Atas dasar ini, wahyu-wahyu Al-Quran menjadi qath’iy al-wurud. Ini, berbeda dengan
hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itu pun seringkali
dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw.

Di samping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa
sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya
penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis-hadis yang ada sekarang hanya
berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi’in.

Ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otensititasnya adalah zhanniy al-
wurud. Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan
hadis karena sekian banyak factor, baik pada diri Nabi maupun sahabat beliau, di
samping kondisi sosial masyarakat ketika itu, yang topang-menopang sehingga
mengantarkan generasi berikut untuk merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya
hadis-hadis Nabi saw.

D. Jenis-jenis Hadits

1. Hadits Qauliyah

Sunnah Qauliyah yaitu perkataan Nabi saw, yang menerangkan hukum-hukum


agama dan maksud isi Al-Qur-an serta berisi peradaban, hikmah, ilmu pengetahuan
dan juga menganjurkan akhlak yang mulia.Sunnah qauliyah (ucapan) ini dinamakan
juga hadits Nabi Saw. Contoh Hadits Nabi Saw tentang bacaan Al-Fatihah dalam
shalat yang berbunyi:
ِ ِ
ْ َ‫صالَةَ ل َم ْن َي ْقَرأْ بِأُِم اْلكت‬
‫اب‬ َ َ‫ال‬
Artinya: Tidak shah shalat seseorang yang tidak membaca ummul Quran (Al-Fatihah)

Sunnah qauliyah sering juga disebut "khabar" jadi sunnah qauliyah itu boleh
dinamakan sunnah, hadist atau khabar. Khabar, pada umumnya dapat dibagi tiga:

1.     Yang pasti benarnya, seperti apa yang datang dari Allah, Rasulnya dan khabar yang
diberikan dengan jalan mutawatir.

2.     Yang pasti benarnya,yaitu pemberitaan tentang hal-hal yang tidak mungkin


dibenarkan oleh akal,seperti khabar hidup dan mati dapat berkumpul.Atau khabar
yang bertentangan dengan ketentuan syari'at,seperti mengakui menjadi Rasul yang
tidak ada kenyataan mu'jizat. 

3.     Khabar yang tidak dapat dipastikan benar atau bohongnya seperti khabar-khabar
yang samar, karena kadang-kadang tidak dapat ditentukan mana yang kuat,
benarnya atau bohongnya.Atau kadang-kadang kuat benarnya, tetapi tidak pasti
(qath'i), seperti pemberitaan orang yang adil. Dan kadang-kadang juga kuat
bohongnya, tetapi tidak dapat dipastikan, seperti pemberitaan orang fasik. 

2. Hadits Fi’liyah

Sunnah Fi'liyah yaitu perbuatan Nabi saw, yang menerangkan cara


melaksanakan ibadat, misalnya cara berwudlu', shalat dan sebagainya, yang sampai
kepada kita, contohnya adalah: hadits yang Rasulullah yang berbunyi:

َ ُ‫صلُ ْوا َك َما َرأ َْيتُ ُم ْويِن ْ أ‬


)‫(رواه البخاري ومسلم‬   ‫صلِّى‬ َ
Artinya: “Shalatlah kalian melihat sebagaimana kalian melihat saya shalat (H.R. Bukhari dan
Muslim)

ِ3. Hadits Taqririyah

 Sunnah Taqriyah yaitu, bila Nabi saw, mendengar sahabat mengatakan


sesuatu perkataan atau melihat mereka memperbuat suatu perbuatan, lalu
ditetapkan dan dibiarkan oleh Nabi saw, dan tiada ditegurnya atau dilarangnya, maka
yang demikian dinamai sunnah ketetapan Nabi.

Di antara contoh hadis taqriri, ialah sikap Rasul Saw. membiarkan para
sahabat melaksanakan perintahnya, sesuai dengan penafsiran mereka terhadap
sabdanya, yang berbunyi:
ِ ُ‫الَ ي‬
َ ْ‫صر الَ ىِف بَيِن ْ ُقَري‬
)‫(رواه لبخاري‬    َ‫ضة‬ َ ‫صلِّنْي َ أ‬
َ ‫َح ٌد الْ َع‬ َُ

Artinya: “Janganlah seseorangpun shalat ashar, kecuali tiba dibani Quraizhah”

Sebagian sahabat memahami larangan tersebut berdasarkan hakikat perintah


tersebut, sehingga mereka melaksanakan shalat asar pada waktunya. Segolongan
sahabat lainnya memahami perintah tersebut dengan bersegera menuju Bani
Quraizah dan tidak berlama-lama dalam peperangan, sehingga mereka dapat
melaksanakan shalat tepat pada waktunya. Sikap para sahabat ini dibiarkan oleh
Nabi Saw. dengan tanpa menyalahkan atau mengingkarinya.

4. Hadits Hamni

Yang dimaksud dengan Hadits hamni adalah hadits yang menyebutkan


keinginan Nabi Muhammad Saw. yang belum terealisasikan, seperti halnya keinginan
untuk berpuasa pada tanggal 9 ‘Asyura, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang
diriwayatkan oleh ibnu Abbas, yang artinya: “Ketika Nabi Muhammad Saw. berpuasa
pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata”
Ya Nabi, hari ini adalah hari yang di agungkan oleh orang-orang yahudi dan nasrani”
Nabi SAW. bersabda, “Tahun yang akan datang insya Allah aku akan berpuasa pada
hari yang kesembilan-nya.”( HR. Muslim dan Abu Daud)

5.     Hadts Ahwali

Yang dimaksud dengan hadits ahwali adalah yang menyebutkah hal ihwal
Nabi Muhammad Saw, yang menyebutkan keadaan fisik, sifat-sifat, dan
kepribadiannya. Adapun tentang keadaan fisik Nabi Muhammad Saw, dalam
beberapa hadts disebutkan bahwa beliau tidak terlalu tinggi dan tidak pendek,
sebagimana dikatakan dalam sebuah hadts yang berbunyi:
ِ ‫اهلل صلَّى اهلل علَي ِه وسلَّم أَحسن النَّاس وجها وأَحسنَه خْل ًقا لَيس باِلطَّ ِوي ِل الْبائِ ِن والَ بِالْ َق‬
)‫صرْيِ (رواه اخلاري‬ ِ ‫ول‬ ُ ‫َكا َن َر ُس‬
َ َ ْ َ ْ َ ُ َ ْ َ ًْ َ َ َ َ ْ َ َ َ َْ ُ َ
Artinya: Rasulullah Saw. adalah orang yang memilki sebaiknya rupa dan tubuh,
keadaan fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek (H.R. Bukhari)[6]

BAB III

KESIMPULAN
Dari berbagai uraian yang telah disampaikan pada bab sebelumnya dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :

1. Hadits merupakan berbagai hal yang telah diucapkan dan dicontohkan oleh Rasulullah yang
harus dajadikan pedoman dan contoh bagi umat Islam.

2. Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an adalah sebagai penguat hukum yang telah ada dalam Al-
Quran, dan memperjelas, menetapkan hukum baru, memberikan penafsiran terhadap ayat-
ayat apa di dalam Al-Qur’an yang masih bersifat global (mu’mal), membatasi kemutlakan Al-
Quran.

3. Hadits dan Al-Qur’an adalah merupakan sumber hukum dalam kehidupan manusia untuk
memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagai sumber hukum pertama kedudukan
Al-Quran lebih tinggi dari pada Hadits. Demikian pula bila kita lihat dari segi fungsinya Hadits
hanyalah untuk memjelaskan dan memperkuat hukum yang telah ada dalam Al-Quran,
sedangkan apabila belum ada dalam Al-Quran fungsi Hadits adalah untuk membuat hukum
baru yang belum ada dalam Al-Quran itu sendiri.

4. Adapun jenis-jenis hadits adalah: Hadits Qauliyah, Hadits Fi’liyah, Hadits Taqririyah,


Hadits Hamni, Hadts Ahwali.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

H. Mudasir, Ilmu Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 2005


Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.
Bisri Affandi, “Dirasat Islamiyyah (Ilmu Tafsir & Hadits)”.Suarabaya: Aneka Bahagia Offset,
1993
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001.
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 1.
Bisri Affandi, “Dirasat Islamiyyah (Ilmu Tafsir & Hadits)”. (Suarabaya: Aneka Bahagia Offset,
(1993), Hal. 41.
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya), Hal. 72-73.
H. Mudasir, Ilmu Hadits,(Bandung: Pustaka Setia, 2005), hal. 76-84.
Ibid., hal. 85.
H. Mudasir, Ilm

Anda mungkin juga menyukai