Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang sempurna yang mengatur disegala aspek
kehidupan seorang anak manusia. Selain Al-Quran, umat Islam juga memiliki
tuntunan lain sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan di dunia ini, yaitu As-
Sunnah (ucapan, perbuatan dan sikap) yang telah diteladani oleh Rasulullah
SAW. Berangkat dari penjelasan di atas, maka sangatlah penting bagi umat Islam
untuk memahami dan mempelajari hadits (As-Sunnah) agar dapat menentukan
mana hadits yang dapat menjadi landasan hukum dalam berbagai persoalan yang
dihadapi umat manusia.

B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan Hadist terhadap Al-quran?
2. Apa fungsi Hadist terhadap Al-quran ?
3. Apa Pengertian Inkar Sunnah ?
C. Tujuan
1. Mengetahui kedudukan Hadist terhadap Al-quran.
2. Mengetahui fungsi Hadist terhadap Al-quran.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. KEDUDUKAN HADIST DAN INKAR SUNNAH

a. Kedudukan Hadist terhadap Al-quran

1. Sumber ajaran islam kedua setelah al-quran


Ada beberapa ayat Al-quran yang perlu di perhatikan untuk melihat kedudukan
Sunnah Rasul di sisi Al-Quran.
Dalam surah al-Anfal: 20 :


Hai orang-orang yang beriman, ta 'atlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
janganlah kamu
berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya

Dalam surah al-Hasyr: 7 :





Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
Menurut Syyid Rasyid Ridha, Nabi menjelaskan kandungan Al-quran dengan
perkataan dan perbuatan. Penjelasan itu berupa tafshil, takhshish, taqyid, tetapi
tidak pernah membatalkan informasi dan hukum-hukum yang terkandung dalam A-
quran. Maka al-sunnah tidak menasakh Al-quran.[1]

kedudukan Hadistterhadap Al-quran harus diakui bahwa untuk memahami dan


mengamalkan kandungan Al-quran diperlukan informasi historic tentang kronologi
turunnya dan informasi tentang penjelasan/sunnah rasul yang bekaitan dengan ayat

2
di maksud. Karena rasul yang membawa Al-uqran, maka ialah yang paling berhak
mengulas dan memberi penjelasan.[2]

Kedudukan Hadist dari segi statusnya sebagai dalil dan sumber ajaran islam,
menurut jumhur ulama adalah menempati posisi kedua setelah al-Quran. Hal
tersebut terutama di tinjau dari segi wurud ataustubutnya Al-Quran adalah bersifat
qathi; oleh karenanya yang bersifat qathi (pasti) didahulukan dari pada
yang zhanni (relatif).
Untuk lebih jelasnya, berikut akan di uraikan argumen yang di kemukakan
para ulama tentang posisi hadist terhadap al-quran tersebut:[3]
a. al-Quran dengan sifatnya yang qathi al-wurud (keberadaannya yang pasti di
yakini), baik secara perayat maupun secara keseluruhan, sudah seharusnyalah
kedudukannya lebih tinggi dari pada hadist yang statusnya secara hadist per hadist,
kecuali yang berstatus Mutawatir, adalah yang bersifat Zhanni Al-Wurud.

b. Sikap para sahabat yang merujuk kepada al-quran terlebih dahulu apabila mereka
bermaksud mencari jalan keluar atas suatu masalah, dan jika di dalam al-quran tidak
di temui penjelasaannya, barulah mereka merujuk kepada al-sunnah yang mereka
ketahui, atau menanyakan hadis kepada sahabat yang lain.[4]

c. Hadis Muad secara tegas menyatakan urutan kedudukan antara al-quran dan al-
sunnah (hadist) sebagai berikut:
Bahwasanya tatkala rasulullah saw hendak mengutus muadz ibn jabal ke yaman,
beliau bertanya kepada muadz, bagaimana engkau memutuskan perkara jika di
ajukan kepadamu? maka muadz menjawab, aku akan memutuskan berdasarkan
kitab Allah (al-Quran). Rasul bertanya lagi, apabila engkau tidak menmukannya
jawaban di kitab Allah? muadz berkata, aku akan memutuskannya dengan
sunnah. Rasul selanjutnya bertanya, bagaimana kalau engkau juga tidak
menemukannya didalam sunnah dan tidak dalam kitab Allah? muadz menjawab,
aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku. Rasul saw menepuk dada
muadz seraya berkata alhamdulillah atas taufik yang telah di anugrahkan allah
kepada utusan rasul-Nya.

3
Argumen diatas menjelaskan bahwa ke dudukan hadist nabi saw berada pada
peringkat kedua setelah Al-quran. Meskipun demikian, hal tersebut tidaklah
mengurangi nilai hadist, karena keduanya Al-quran dan hadist pada hakikatnya
sama-sama berasal dari wahyu Allah. Karenanya keduanya seiring dan sejalan.

1. Sebagai musyari (pembuat syariat)


Sunnah tidak di ragukan lagi merupakan pembuat syariat dari yang tidak ada dalam
al-quran, misalnya diwajibkannya zakat fitrah, di sunahkan aqiqah, dan lain-lain.
Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat :
a. Sunnah itu memuat hal-hal baru yang belum ada dalam al-quran
b. Sunnah tidak memuat hal-hal baru yang tidak dalam al-quran, tetapi hanya
memuat hal-hal yang ada landasannya dalam al-quran

2. Sunah sebagai takid (penguat) al-Quran


Hukum islam di dasarkan pada dua sumber, yaitu al-quran dan sunnah. Tidak heran
kalau banyak sekali sunnah yang menerangkan tentang kewajiban
shalat,zakat,puasa,larangan musyrik,dan lainlain.[5]
Sesungguhnya kedudukan hadist sebagai wahyu yang sakral bagi kaum
muslimin, bukan karena peranan imam Syafii, tetapi alquran sendiri telah
menegaskan hal ini dalam beberapa ayat cotoh al-hasyr : 7 dan al-taghaabun : 12.
Kedua ayat ini dan ayat-ayat yang lainnya secara tegas memerintahkan untuk
melaksanakan apa saja yang telah di perintahkan oleh rasulullah, baik berupa
ucapan, tindakan maupun persetujuan beliau. Sebab dalam hal ini, pengertian hadis
adalah mencakup semua yang di sandarkan kepada rasulullah. Maka kedudukan
hadis yang sakral telah di tegaskan dalam al-quran.[6]
Kita tahu kedudukan sunnah dalam syariat islam. Sesudah Al-quran, sunnah
menduduki tempat kedua dalam segala hal yang menyangkut syariat islam. Dan
untuk mengenal sunnah, orng hanya dapat dengan jelas mengetahuinya melalui
hadist. Karena itu hadist merupakan tempat kembali yang tidak di ragukan lagi.[7]

4
Fungsi Hadist terhadap Al-quran .B

1. Memberi bayan (penjelasan/rincian) kandungan Al-quran yang mujmal.


Dalam surah an-Nahl: 44 di sebutkan,



dengan membawa keterangan-keterangan (mu 'jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami
turunkan kepadamu Al Qur 'an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,

Al-quran memerintahkan umat islam Shalat tetapi tidak pernah menjelaskan waktu-
waktunya dan bilangan rakaatnya. Penjelasan tersebut di temukan dalam catatan-
catatan sunnah rasul yang memuat perintah seperti ini :


shalatlah kamu seperti aku shalat !
Demikian juga Al-Quran menyuruh mengerjakan ibadah Haji tetapi tidak
menyebutkan rincian tata caranya.cara melaksanakannya mengikuti petunjuk Rasul
ambillah contoh dari saya manasik Haji!

3. Sebagai penegasan atau yang sering di sebut bayan taqrir Apa yang terkandung
dalam al-sunnah menguatkan kandungan Al-Quran. Seperti sunnah-sunnah yang
isinya mewaibkan shalat, haji, puasa, zakat, menguatkan kandugan Al-Quran dalam
maksud yang sama.Yang termuat dalam hadist beliau:


Di bangun islam atas lima (pondasi), yaitu: kesaksian bahwa tiada tuhan selain
allah dan bahwa muhammad itu rasulullah, mendirikan shalat, membayar zakat,
berpuasa bulan ramadhan, dan menunaikan haji bagi yang mampu.[8]

Hadist ini berfungsi untuk menegaskan kembali (men-taqrir) ayat-ayat berikut :





Dan tegakkanlah olehmu shalat dan bayarkanlah zakat. (al-baqarah: 83)

5
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa.(al-
baqarah:183)



mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang
yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.(ali imran: 97)

4. SebagaiTaqyid (pembatasan) terhadap kemutlakan al-Quran. Umpamanya, hadis


nabi saw yang memberikan penjelasan tentang batasan untuk melakukan
pemotongan tangan pencuri, yang dalam al-quran di sebutkan secara muthlaq, yaitu
:



Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya.
Kata tangan dalam ayat pencuri pria dan wanita hendaklah kamu potong tangan
mereka adalah muthlaq.
Yang disebut tangan adalah dari jari-jari sampai dengan pangkal lengan. Kemudian
al-sunnah membatasi potong tangan itu pada pergelangan, bukan pada siku atau
pangkal lengan.

5. Sebagai Takhshis (pengecualian/mengkhususkan) terhadap aamdan Al-Quran.


Terdapat banyak ayat Al-Quran yang dalam ilmu fiqih di sebut aam.
Firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 11 :


Allah mewasiatkan kepadamu tentang anak-anakmu, bagian anak laki-laki dua
kali bagian anak perempuan. termasuk aam. Artinya, dalam keadaan
bagaimanapun warisan tersebut satu berbanding dua. Namun terdapat al-sunnah
yang mentakhsis (mengecualikannnya), kecuali ahli waris yang membunuh
terwaris, atau berbeda agama.Dalam dadist yang diriwayatkan oleh ibnu majah
sebagai berikut:

. :

6
)(
Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah saw bersabda, pembunuh tidak mewarisi.[9]

Didalam al-sunnah terdapat ketentuan agama yang tidak di atur dalam Al-Quran.
Artinya, nabi di tugaskan menjelaskan kandungan Al-Quran, dalam ha-hal tertentu
membuat ketetapan khusus sebagai wujud penjelasan hal yang tidak tertuang
eksplisit dalam Al-Quran. Surah al-Araf: 157 menunjukkan demikian. Disana di
sebutkan,

.

dan nabi menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk.
6. Sebagai bayan tasyri menetapkan hukum-hukum yang tidak di tetapkan oleh al-
quran, hal yang demikian adalah seperti ketetapan rasulullah saw tentang haramnya
mengumpulkan (menjadikan istri sekaligus) antara seorang wanita dengan
makciknya, sebagaimana yang di tunjukkan oleh hadis beliau:

Tidak boleh di nikahi seorang perempuan bersama (menjadikan istri sekaligus)
dengan makcik (saudara perempuan ayah) nya. Tidak juga dengan bibi (saudara
perempuan ibu) nya. Dan tidak dengan anak perempuan saudara perempuannya
atau anak perempuan saudara laki-lakinya.
Ketentuan yang terdapat di dalam hadis di atas tidak ada di dalam al-Quran.
Yang ada hanyalah larangan terhadap suami yang memadu istrinya degan saudara
perempuan sang istri.

b. Pengertian Inkari Sunnah

. Pengertian Ingkar Sunnah


Kata Ingkar Sunnah terdiri dari dua kata yaitu Ingkar dan Sunnah.
Kata Ingkar berasal dari akar kata bahasa Arab yang mempunyai
arti diantaranya :Tidak mengakui dan tidak menerima baik di lisan dan di hati,
bodoh atau tidak mengetahui sesuatu. Misalnya Firman Allah :

7


Lalu mereka (saudara saudara Yusuf) masuk ke (tempat) nya. Maka Yusuf
mengenal mereka, sedang mereka tidak kenal (lagi) kepadanya
kepadanya.(QS.Yusuf (12) :58).


Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mengingkarinya dan kebanyakan
mereka adalah orang orang yang kafir. (QS.An-Nahl (16) :83).
Al Askari membedakan antara makna An Inkar dan Al Juhdu. KataAl
Inkar terhadap sesuatu yang tersembunyi dan tidak disertai pengetahuan, sedang Al
Juhdu terhadap sesuatu yang nampak dan disertai dengan pengetahuan. Dengan
demikian bisa jadi orang yang mengingkari sunnah sebagai hujjah dikalangan orang
yang tidak banyak pengetahuannya tentang ulum hadits. Dari beberapa
kataIngkar di atas dapat disimpulkan bahwa Ingkar secara etimologis diartikan
menolak, tidak mengakui, dan tidak menerima sesuatu, baik lahir dan batin atau
lisan dan hati yang dilatar belakangi oleh faktor ketidaktahuannya atau faktor lain.
Orang yang menolak sunnah sebagai hujjah dalam beragama oleh umumnya
ahli hadits disebut ahli bidah. Mereka itu, kaum Khawarij, Mutazilah dan lain lain
karena mereka itu umumnya menolak sunnah.
Ada beberapa definisi Ingkar Sunnah yanng sifatnya masih sangat sederhana
pembatasannya diantaranya sebagai berikut :
a. Paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau
sunnah sebagai sumber ajaran agama Islam kedua setelah Al Quran.
b. Suatu paham yang timbul pada sebagian minoritas umat Islam yang menolak
dasar hukum Islam dari Sunnah shahih baik sunnah praktis atau yang secara formal
dikodifikasikan para ulama, baik secara totalitasmutawatir atau ahad atau sebagian
saja, tanpa ada alasan yang diterima.
Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa Ingkar Sunnah adalah paham atau
pendapat perorangan atau kelompok bukan gerakan atau aliran, ada kemungkinan
paham ini dapat menerima sunnah selain sebagai sumber hukum Islam, misalnya
sebagai fakta sejarah, budaya, tradisi dan lain lain. Paham Ingkar Sunnah bisa jadi
menolak keseluruhan sunnah baik sunnah mutawatir dan ahad atau menolak
yang ahad saja atau sebagian saja. Demikian juga penolakan sunnah tidak didasari

8
alasan yang kuat, jika dengan alasan yang dapat diterima oleh akal sehat, seperti
seorang mujtahid yang menemukan dalil yang lebih kuat daripada hadits yang ia
dapatkan, atau hadits itu tidak sampai kepadanya, atau karena kedhaifannya atau
karena tujuan syari yang lain maka tidak digolongkan Ingkar Sunnah.
2. Sejarah Ingkar Sunnah
Sejarah Ingkar Sunnah terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut :
a. Ingkar Sunnah Klasik
Ingkar Sunnah Klasik terjadi pada masa Imam Asy-Syafii (w. 204 H) yang
menolak kehujjahan sunnah dan menolak sunnah sebagi sumber hukum Islam
baik mutawatir atau ahad. Imam Asy-Syafii yang dikenal sebagai Nashir As
Sunnah (pembela sunnah) pernah didatangi oleh orang yang disebut sebagai ahli
tentang mazhab teman temannya yang menolak seluruh sunnah. Ia datang untuk
berdiskusi dan berdebat dengan Asy-Syafii secara panjang lebar dengan berbagai
argumentasi yang ia ajukan. Namun, semua argumentasi yang dikemukakan orang
tersebut dapat ditangkis oleh Asy-Syafii dengan jawaban yang argumentatif,
ilmiah, dan rasional sehingga akhirnya ia mengakui dan menerima sunnah Nabi.
Muhammad Abu Zahrah berkesimpulan bahwa ada kelompok pengingkar
Sunnah yang berhadapan dengan Asy-Syafii yaitu :
1) Menolak sunnah secara keseluruhan, golongan ini hanya mengakui Al Quran
saja yang dapat dijadikan hujjah.
2) Tidak menerima sunnah kecuali yang semakna dengan Al Quran.
Kesimpulannya Ingkar Sunnah klasik diawali akibat konflik internal umat Islam
yang dikobarkan oleh sebagian kaum Zindik yang berkedok pada sekte sekte dalam
Islam, kemudian di ikuti oleh para pendukungnya dengan cara saling mencaci para
sahabat dan melemparkan hadits palsu. Penolakan sunnah secara keseluruhan
bukan karakteristik umat Islam. Semua umat Islam menerima kehujjahan sunnah.
Namun, mereka berbeda dalam memberikan kriteria persyaratan kualitas
sunnah.(Majid, Abdul Khon.2009.hal 27-40).
b. Ingar Sunnah Modern
Al Mawdudi yang dikutip oleh Khadim Husein Ilahi Najasy seorang Guru Besar
Fakultas Tarbiyah Jamiah Ummi Al Qura Thaif, demikian juga dikutip beberapa
ahli Hadits juga mengatakan bahwa Ingkar Sunnah lahir kembali di India, setelah

9
kelahirannya pertama di Irak masa klasik. Tokoh tokohnya ialah Sayyid Ahmad
Khan (w.1897 M), Ciragh Ali (w.1898 M), Maulevi Abdullah Jakralevi (w.1918
M), Ahmad Ad-Din Amratserri (w.1933M), Aslam Cirachburri (w.1955M),
Ghulam Ahmad Parwez dan Abdul Khaliq Malwadah, Sayyid Ahmad Khan sebagai
penggagas sedang Ciragh Ali dan lainnya sebagai pelanjut ide ide Abu Al Hudzail
pemikiran Ingkar Sunnah tersebut.
Sebab utama pada awal timbulnya Ingkar Sunnah modern ini ialah akibat
pengaruh kolonialisme yang semakin dahsyat sejak awal abad 19 M di dunia Islam.

c. Pokok Pokok Ajaran Ingkar Sunnah

1) Tidak percaya kepada semua hadits Rasulullah. Menurut mereka hadits itu
karangan Yahudi untuk menghancurkan Islam dari dalam.
2) Dasar Hukum Islam hanya Al Quran saja.
3) Syahadat mereka :Isyhadu bi anna muslimun.
4) Shalat mereka bermacam macam ada yang shalatnya dua rakaat-dua rakaat
dan ada yang hanya eling saja.
5) Haji boleh dilakukan selama empat bulan haram yaitu Muharram, Rajab,
Zulqaidah, dan Zulhijah.
6) Pakaian ihram adalah pakaian Arab dan membuat repot. Oleh karena itu
waktu mengerjakan haji boleh memakai celana panjang dan baju biasa.
7) Rasul tetap diutus sampai hari kiamat.
8) Orang yang meninggal tidak dishalati karena tidak ada perintah dalam Al
Quran.

3. Alasan Pengingkar Sunnah


Terdapat dua hal yang menjadi argumen besar para pengingkar sunnah sebagai
alasan dan landasan yang digunakan. Argumen-argumen Naqli dan argumen-
argumen non-naqli. (Ismail, Syuhudi. Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar,
dan Pemalsunya.1995. Jakarta: Gema Insani Press.)
1) Argumen-Argumen Naqli

10
Yang dimaksud dengan argumen-argumen naqli tidak hanya berupa ayat-ayat Al-
Quran saja, tetapi juga berupa sunnah atau hadits Nabi.
a) Al-Quran Surat An-Nahl ayat 89
)( ...

... Dan Kami turunkan Kitab (Al Quran) kepadamu untuk menjelaskan segala
sesuatu.
b) Al Quran Surat Al Anam ayat 38


.....
... Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al Kitab
Menurut para pengingkar sunnah kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa
Al Quran telah mencangkup segala sesuatu berkenaan dengan agama. Menurut
mereka salat lima waktu sehari semalam yang wajib didirikan dan yang sehubungan
dengannya, dasarnya bukanlah sunnah atau hadits, melainkan ayat ayat Al Quran,
misalnya QS.Al Baqarah : 238, Al Hud:144, Al Isra:78 dan 110,Taha:130,Al Hajj:7,
An Nur:58, Ar Rum 17-18. (ibid.)

Dalam kaitannya dengan tata cara shalat Kassim Ahmad pengingkar Sunnah dari
Malaysia menyatakan dalam bahasa Malaysia :
Kita telah membuktikan bahwa perintah sembahyang telah diberi oleh Tuhan
kepada Nabi Ibrahim dan kaumnya dan amalan ini telah diperuntukkan generasi
demi generasi, hingga Muhammad dan umatnya.....(Kassim Ahmad), h. 104.
Ada hikmahnya yang besar mengapa Tuhan tidak memperincikan bentuk dan
kaidah salat dalam Al Quran. Pertama, karena bentuk dan kaidah ini telah diajar
kepada Nabi Ibrahim dan pengikut pengikutnya dan di sahkan untuk di ikuti oleh
umat Muhammad. Kedua, karena bentuk dan kaidah ini tidak begitu penting dan
Tuhan ingin memberi kelonggaran kepada umat Muhammad supaya mereka boleh
melakukan salat mereka dalam keadaan apajuga seperti dalam perjalanan jauh,
peperangan, di Kutub Utara, atau di angkasa lepas,mengikuti cara yang
sesuai....(Ibid,h.47)

Dengan demikian menurut pengingkar sunnah tata cara salat tidaklah penting. Para
pengingkar sunnah adalah orang orang yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad

11
tidak berhak sama sekali untuk menjelaskan Al Quran kepada umatnya. Nabi
Muhammad hanya bertugas untuk menerima wahyu dan menyampaikan wahyu itu
kepada para pengikutnya. Dalam Al Quran dinyatakan bahwa orang yang beriman
diperintahkan untuk patuh kepada Rasulullah. Hal itu menurut para pengingkar
sunnah hanya berlaku sewaktu Rasulullah masih hidup, yakni tatkala jabatan ulul
amri masih ditangan beliau. Setelah beliau wafat maka jabatan ulul amri berpindah
kepada orang lain dan karenanya kewajiban patuh orang yang beriman kepada Nabi
Muhammad menjadi gugur. (Ibid, h.40-44)
c) QS. Al Fathir :31


Artinya : Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al Kitab (Al Qur'an)
itulah yang benar.
d) Sejumlah riwayat hadist yang antara lain berbunyi sebagai berikut :
.


.
Artinya : Apa yang datang kepadamu dari saya, maka konfirmasikanlah dengan
Kitabullah; Jika sesuai dengan Kitabullah, maka hal itu berarti saya telah
mengatakannya; Dan jika ternyata menyalahi Kitabullah, maka hal itu bukanlah
saya yang mengatakannya. Dan sesungguhnya saya (selalu) sejalan dengan
Kitabullah dan dengannya Allah telah memberi petunjuk kepada saya.

2) Argumen Non-Naqli

a) Al Quran diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad (melalui


Malaikat Jibril) dalam bahasa Arab. Orang orang yang memiliki pengetahuan
bahasa Arab mampu memahami Al Quran secara langsung, tanpa bantuan
penjelasan dari hadits Nabi. Dengan demikian hadits Nabi tidak diperlukan untuk
memahami petunjuk Al Quran. (al-Syafii. juz VII, h. 250)
b) Dalam sejarah umat Islam telah mengalami kemunduran. Umat Islam mundur
karena umat Islam terpecah pecah. Perpecahan itu terjadi karena umat Islam
berpegang kepada hadits Nabi. Jadi menurut para pengingkar sunnah, haditsNabi

12
merupakan sumber kemunduran umat Islam; Agar umat Islam maju, maka umat
Islam harus meninggalkan hadits Nabi.
c) Asal mula hadits Nabi yang terhimpun dalam kitab kitab hadits adalah
dongeng dongeng semata. Dinyatakan demikian, karena hadits Nabi lahir setelah
lama Nabi wafat. Dalam sejarah, sebagian hadits baru muncul pada
zamantabiin dan atba al tabiin (dibaca atbaut-tabiin), yakni sekitar empat puluh
atau lima puluh tahun sesudah Nabi wafat. Kitab kitab hadits yang terkenal,
misalnya Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, adalah kitab kitab yang
menghimpun berbagai hadits palsu. Disamping itu, banyak matan hadits yang
termuat dalam berbagai kitab hadits, isinya bertentangan dengan Al Quran ataupun
logika. (Ibid)
d) Menurut dokter Taufiq Sidqi, tiada satupun hadits Nabi yang dicatat pada
zaman Nabi. Pencatatan hadits terjadi setelah Nabi wafat. Dalam masa tidak
tertulisnya hadits itu, manusia berpeluang untuk mempermainkan dan merusak
hadits sebagai mana yang telah terjadi.
e) Menurut pengingkar sunnah, kritik sanad yang terkenal dalam ilmu hadits
sangat lemah untuk menentukan keshahihan hadits dengan alasan sebagai berikut :
(1) Dasar kritik sanad itu, yang dalam ilmu hadits dikenal dengan istilah Ilm al-
Jarh wa al-Tadil (ilmu yang membahas ketercelaan dan keterpujian pada periwayat
hadits), baru muncul setelah satu setengah abad Nabi wafat. Dengan demikian, para
periwayat generasi sahabat Nabi, al-tabiin, dan atba al- tabiin tidak dapat ditemui
dan diperiksa lagi.
(2) Seluruh sahabat Nabi sebagai periwayat hadits pada generasi pertama dinilai
adil oleh ulama hadits pada akhir abad ketiga dan awal abad ke empat Hijriah.
Dengan konsep tadil al-shahabah, para sahabat Nabi dinilai terlepas dari kesalahan
dalam melaporkan hadits.

B. SEJARAH PENGHIMPUNAN DAN PEMBINAAN HADIST

a. Hadits Pada Masa Nabi SAW

13
Apabila membicarakan hadits pada masa Rasulullah berarti membicarakan hadits
pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan berkaitan langsung
dengan pribadi Rasulullah sebagai sumber hadits. Wahyu yang diturunkan Allah
swt kepada Rasulullah dijelaskannya melalui perkataan, perbuatan dan
penetapannya (taqrir), sehingga apa yang didengar, dilihat, dan disaksikan oleh
para sahabat dapat dijadikan pedoman bagi amaliyah dan ubudiyah mereka.
Satu keistimewaan pada masa ini yang membedakan dengan masa lainnya yakni
umat Islam dapat secara langsung memperoleh hadits dari Rasulullah sebagai
sumber hadits. Pada masa ini tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat
atau mempersulit pertemuan mereka. Beberapa cara yang dilakukan oleh
Rasulullah dalam menyampaikan hadits kepada para sahabat, yaitu:
1. Melalui para jamaah yang berada di pusat pembinaan atau majelis ilmi.
Melalui majelis ini, para sahabat memperoleh banyak peluang untuk
menerima hadits secara langsung dari Rasulullah.
2. Rasulullah menyampaikan pada sahabat tertentu, kemudian mereka
menyampaikannya pada sahabat yang lain.
3. Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada dan
fathu makkah.
Hadits pada waktu itu umumnya hanya diingat dan dihafal oleh sahabat dan tidak
ditulis seperti Al Quran ketika disampaikan Nabi, karena situasi dan kondisi yang
tidak memungkinkan. Secara resmi memang Nabi melarang menulis hadits bagi
umum karena khawatir akan bercampur dengan Al Quran. Bagaimana tidak? Al
Quran dan hadits sama-sama berbahasa arab dan sama-sama disampaikan melalui
lisan Rasul bagi hadits qouli. Jika Al Quran dan hadits ditulis dengan sarana dan
prasarana yang sangat sederhana itu (berupa pelepah kurma, kulit binatang, dsb),
maka akan sulit untuk membedakan antara keduanya.
Ada hadits yang melarang para sahabat untuk menulisnya, tetapi banyak juga hadits
yang menganjurkan penulisannya. Hadits yang melarang penulisan hadits
diantaranya sebagai berikut:
, :
)(
Artinya:

14
Dari Abu Said Al Khudri, bahwa Rasulullah saw bersabda: Janganlah kalian
menulis sesuatu dariku, barang siapa yang menulis apa saja dariku selain Al Quran
maka hapuslah. (HR Muslim)
Hadits yang memperbolehkan penulisan sunah diantaranya:
1. Dari Abu Hurairah ra bahwa ada seorang laki-laki dari sahabat Anshar
menyaksikan hadits dari Rasulullah tetapi tidak hapal, kemudian bertanya
kepada Abu Hurairah maka ia memberitakannya. Kemudian ia mengadu
pada Rasulullah tentang hafalannya yang minim tersebut, maka Nabi
bersabda:
) (
Bantulah hafalanmu dengan tanganmu. (HR At Tirmidzi)
2. Dari Abu Hurairah ra pada saat Nabi menaklukkan Makkah, beliau berdiri
dan berkhutbah. Maka berdirilah seorang laki-laki dari Yaman bernama
Abu Syah dan bertanya: Tuliskanlah aku?. Maka Rasulullah bersabda:
:
Tuliskanlah untuk Abu Syah (HR Al Bukhori dan Abu Dawud). Dalam riwayat
Imam Ahmad: Tuliskanlah dia.
Dalam mencari solusi dua versi hadits yang kontra di atas para ulama berbeda
pendapat, diantaranya:
1. Bahwa hadits yang melarang penulisan dihapus (di-nasakh) dengan hadits
mem-perbolehkannya.
2. Dengan melakukan takhshish al amm. Maksud larangan dalam hadits bagi
orang yang kuat hafalannya atau yang kurang ahli dalam menulis karena
dikhawatirkan akan bercampur dengan Al Quran. Sedang kebolehannya
bagi orang yang lemah hafalannya seperti Abu Syah atau bagi sahabat yang
ahli dalam menulis seperti Abdullah bin Amr bin Al Ash. Jadi ia bersifat
kondisional.
3. Al Bukhori berpendapat, hadits larangan penulisan yang diriwayatkan oleh
Abu Said Al Khudri mawquf padanya saja. Bahkan semua hadits larangan
penulisan bersifat dhaif, kurang kuat dijadikan alasan. Dengan demikian
penulisan hadits tetap diperbolehkan dalam rangka memelihara sunnah

15
sebagai sumber syariah Islamiyah sampai sekarang dan kesimpulan inilah
yang disepakati oleh para ulama.

b. Hadits Pada Masa Sahabat


Setelah Nabi SAW wafat para sahabat belum memikirkan penghimpunan dan
pengkodifikasian hadits. Mereka sangat berpegang teguh pada pesan Rasulullah
menjelang akhir kerasulannya. Sebagaimana sabdanya:
) (
Artinya: Telah aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka. Jika kalian berpegang
teguh pada keduanya niscaya tidak akan tersesat. Yakni kitabullah dan sunnah
RasulNya.
Dan sabdanya pula:
) (
Artinya: Sampaikan dariku walau hanya satu ayat.

Usaha yang dilakukan oleh para sahabat (Khulafaur Rasyidin) dalam menjaga
otentitas riwayat tidak sama. Pada masa Abu Bakar dan Umar, usaha penyaringan
diseleksi dengan cara persaksian (syahadah) terhadad riwayat yang
disampaikannya. Pada masa Utsman, penyaringan terhadap riwayat mengikuti apa
yang telah dilakukan oleh Umar, bahkan diceritakan ia pernah menyampaikan
khutbah dan menyatakan Seseorang tidak dibenarkan meriwayatkan suatu hadits
dari Rasulullah saw yang aku tidak pernah mendengarnya pada masa Abu Bakar
dan Umar. Pada masa Ali, selain melalui persaksian, ia menggunakan metode lain
dalam menerima suatu riwayat yakni dengan disertai sumpah bahwa ia telah
mendengar riwayat dari Rasulullah. Oleh karena itu pada masa Khulafaur Rasyidin
ini disebut sebagai masa pembatasan riwayat (taqlil ar riwayah).
Pembatasan periwayatan hadits yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap
kehati-hatiannya, bukan berarti mereka tidak meriwayatkan hadits Rasul sama
sekali, tapi dalam batas-batas tertentu.

Hukum kebolehan menulis hadits terjadi secara berangsur-angsur (at-tadarruj).


Pada saat wahyu turun, umat Islam berkonsentrasi untuk menghafal dan

16
menulisnya. Sunnah hanya disimpan dalam dada, disampaikan dari lisan ke lisan
dan dipraktikkan dalam kehidupan. Kemudian setelah Al Quran dapat terpelihara
dengan baik, mereka telah mampu membedakannya dengan catatan sunnah, dan
tidak ada kekhawatiran meninggalkan Al Quran, sehingga para ulama sepakat
bolehnya penulisan dan pengkodifikasian sunnah.
Banyak sekali pada masa awal Islam penulisan hadits sebagai catatan pribadi bukan
penulisan resmi dari khilafah, diantaranya:
1. Ash Shahifah Ash Shadiqah, tulisan Abdullah bin Amr bin Ash (w. 65 H),
memuat kurang lebih 1000 hadits.
2. Ash Shahifah Jabir bin Abd Allah Al Anshari (w. 78 H) tentang manasik
haji yang kemudian diriwayatkan oleh Muslim.
3. Ash Shahifah Ash Shahihah, catatan seorang tabiin Hammam bin
Munabbih. Haditsnya banyak diriwayatkan dari Abu Hurairah sebanyak 138
hadits. Haditsnya sampai kepada kita yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dalam Musnad-nya dan oleh Al Bukhari dalam berbagai bab.
4. Ash Shahifah Ali, tulisan yang Nabi perintahkan kepada Abu Syah pada
masa fath (penaklukan) Makkah.
Selain itu, ada 6 orang di antara sahabat yang tergolong banyak meriwayatkan
hadits ialah:
1. Abu Hurairah sebanyak 5.374 buah hadits
2. Abdullah bin Umar bin Al Khathab sebanyak 2.635 buah hadits
3. Anas bin Malik sebanyak 2.286 buah hadits
4. Aisyah binti Abu Bakar sebanyak 2.210 buah hadits
5. Abdullah bin Abbas sebanyak 1.660 buah hadits
6. Jabir bin Abdullah sebanyak 1.540 buah hadits
Para sahabat yang terkenal banyak meriwayatkan hadits ada beberapa alas an,
diantaranya karena lebih dahulu bersahabat dengan Nabi seperti Abdullah bin
Masud, atau karena banyak berkhidmah dengan beliau seperti Anas bin Malik, atau
karena banyak menyaksikan internal dalam rumah tangga beliau seperti Aisyah,
dan atau karena ketekunannya dalam Hadits seperti Abdullah bin Umar, Abdullah
bin Amr, dan Abu Hurairah.

17
Pada masa Ali, timbul perpecahan di kalangan umat Islam akibat pergolakan politik
yang terjadi antara Ali dan Muawiyah, diantaraya Khawarij, Syiah (pendukung
Ali), dan Jumhur Muslimin (ada yang mendukung Ali, Muawiyah, dan ada pula
yang netral). Akibatnya banyak muncul hadits palsu (maudhu) yang dibuat
masing-masing kelompok itu untuk membenarkan kelompok mereka masing-
masing. Menghadapi hal ini, para ulama di kalangan sahabat berusaha menjaga
kemurnian hadits dengan lebih serius dan sungguh-sungguh, diantaranya dengan
mengadakan perlawatan ke berbagai Negara Islam (rihlah) untuk mengecek
kebenaran hadits yang telah sampai kepada mereka baik dari segi matan maupun
sanad. Dan hasil perlawatan itu disampaikan kepada umat Islam secara transparan.
Demikian perhatian para sahabat terhadap sunnah. Mereka mereka rela
meninggalkan kampong halaman dan rela mengorbankan harta benda untuk bekal
perjalanan mencari hadits dari para sahabat senior yang telah tersebar di berbagai
kota dalam tugas dakwahnya.

c. Hadits Pada Masa Tabiin

Pada masa ini persoalan yang dihadapi sudah berbeda dengan pada masa sahabat.
Al Quran sudah dikumpulkan dalam satu mushhaf, begitu pula wilayah kekuasaan
Islam sudah semakin luas, sehingga para sahabat banyak yang terpencar di berbagai
kota dan banyak pula yang telah gugur dalam peperangan dan sebagainya. Keadaan
yang seperti ini mendorong Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) untuk
menghimbau adanya penghimpunan dan pembukuan hadits secara menyeluruh,
karena beliau khawatir lenyapnya ajaran Nabi setelah wafatnya para ulama baik di
kalangan sahabat maupun tabiin. Maka beliau menginstruksikan kepada para
gubernur di seluruh wilayah negeri Islam agar para ulama dan ahli ilmu
menghimpun dan membukukan hadits.
Belum diketahui secara pasti siapa di antara ulama yang lebih dahulu
melaksanakan instruksi tersebut. Namun pendapat yang paling popular adalah
Muhammad bin Muslin bin Asy Syihab Az Zuhri. Ini diperkuat dengan penegasan
Al Hafidz As Syuyuthi:

18
Orang pertama penghimpun hadits dan atsar ialah Ibn Syihab atas perintah Umar
bi Abdul Aziz.
Pembukuan hadits yang dilakukan oleh Ibnu Syihab itu merupakan pembukuan
secara umum dan menyeluruh serta atas instruksi langsung dari seorang Khalifah
pada masa pemerintahan Islam saat itu, yakni pada pertengahan awal abad kedua
hijriyah.
Di antara buku-buku yang muncul pada masa ini adalah:
1. Al Muwaththa yang ditulis oleh Imam Malik.
2. Al Mushannaf oleh Abdul Rozaq bin Hammam Ash Shanani.
3. As Sunnah oleh Abd bin Manshur.
4. Al Mushannaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaybah.
5. Musnad Asy Syafii.
Kitab-kitab hadits pada masa ini tidak sampai kepada kita kecuali Al
Muaththa dan Musnad Asy Syafii.

d. Pertumbuhan dan Perkembangan Hadis masa Tabi Tabiin

Masa ini dikenal dengan istilah masa keemasan, di mana ilmu hadis telah
terbukukan sekalipun masih dalam bentuk yang terpisah-pisah. Ilmu hadis sudah
terklasifikasikan secara tersebdiri dan menjadi satu disiplin ilmu yang independen.
Disamping kitab yang berkaitan dengan ilmu hadis, kitab-kitab hadis Nabi SAW
juga marak ditulis.[6]
Di antara kitab-kitab yang ditulis saat itu adalah kitab shahih Bukhari yang
kemudian disusul dengan kitab-kitab sunan (kecuali al-Nasai). Selain hadis,
terdapat kitab yang berkaitan dengan disiplin ilmu hadis, seperti kitab tarikh al-rijal
karya Yahya bin Muin
(234 H), al-Thabaqat karya Muhammad bin Saad (230 H), al-ilal wa marifah
karya imam Ahmad bin Hanbal (241) dan lain sebagainya.
Periode tabi tabiin, artinya periode pengikut tabiin, yaitu pada abad ke-3 H yang
disebut ulama dahul/salaf/mutaqaddimin. Sedangkan ulama abad berikutnya, abad
ke-4 H dan setelahnya disebut ulama belakangan/salaf/mutaakhirin. Pada periode
ke-3 H ini disebut Masa Kejayaan Sunnah (Min Ushur Al-Izdihar) atau disebut

19
Masa Keemasan Sunnah (Min Al-Ushur Adz-Dzahabiyah), karena pada masa ini
kegiatan rihlah mencari ilmu dan sunnah serta pembukuannya mengalami puncak
keberhasilan yang luar biasa. Seolah-olah pada periode ini seluruh hadis telah
terhimpun semuanya dan pada abad berikutnya tidak mengalami perkembangan
yang siknifikan. Maka lahirlah Buku induk Hadis Enam (Ummahat Kutub As-
Sittah), yaitu buku hadis sunan, Al-Jami Ash-Shahih yang dipedomani oleh umat
Islam dan buku-buku hadis Musnad. Maksud Buku Induk Hadis Enam ialah buku-
buku hadis yang dijadikan pedoman dan refeensi para ulama hadis berikutnya, yaitu
sebagai berikut .[7]
Al-Jami Ash-Shahih li Al-Bukhari (194-256 H).
Al-Jami Ash-Shahih li Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyayri (204-261 H).
Sunan An-Nasai (215-303 H).
Sunan Abu Dawud (202-276 H).
Jami At-Tirmidzi (209-269 H).
Sunan Ibnu Majah Al-Qazwini (209-276 H).

Sunan Ibnu Majah dalam urutan di atas masuk ke dalam ranking ke-6 dari Buku
Induk Hadis Enam, karena di dalamnya tidak murni hadis shahih, ada kalanya
shahih, hasan, dan dhaif. Pertama kali yang memasukan kitab ke-6 dari buku induk
adalah Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi (w. 507 H) dalam bukunya Athraf Al-
Kutub As-sittiah, kemudian diikuti oleh ulama-ulama lain.
Periode ini masa yang paling sukses dalam pembukuan hadis, sebab pada masa ini
ulama hadis telah berhasil memisahkan hadis Nabi SAW dari yang bukan hadis atau
dari hadis Nabi dari perkataan sahabat dan fatwanya dan telah berhasil pula
mengadakan filterisasi (penyaringan) yang sangat teliti apa saja yang dikatakan
Nabi, sehingga telah dapat dipisahkan mana hadis yang shahih dan mana yang
bukan shahih.

Pada masa ini juga lahir para huffadz dan para pembesar kritikus hadis sekalipun
menghadapi fitnah dan ujian (mihnah) dari kaum Mutazilah seperti Ahmad bin
Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Ali bin Al-Madini, Yahya bin Main, Abu Zarah, dan
lain-lain. Untuk menjawab tantangan dari ahli Kalam yang menyerang matan dan

20
sanad hadis dengan cercaan bahwa hadis tidak layak dijadikan hujah dalam Islam,
karena saling kontra antara satu dengan yang lain. Ibnu Qutaibah (w. 234 H)
menulis sebuah buku yang berjudul Tawil Mukhtalif Al-Hadits sebagai
jawabannya. [8]
Sebagaian ulama pada periode ini juga ada yang mengodifikasikan hadis
berdasarkan nama periwayatan para sahabat yang diperolehnya yang disebut
dengan bentuk Musnad, seperti :
Musnad Abu Dawud, Sulaiman bin Dawud Ath-Thayalisi (w. 204 H);
Musnad Abu Bakar, Abdulah bin Az-Zubair Al-Humaidi (w. 219 H);
Musnad Al-Imam ahmad bin Hanbal (w. 211 H);
Musnad Abu Bakar, Ahmad bin Amar Al-Bazzar (w. 292 H);
Musand Abi Yala, Ahmad bin Ali Al-Mutsanna Al-Mushili (w. 307 H).

Perkembangan pembukuan hadis pada periode tabiin ada 3 bentuk, yaitu sebagai
bertikut :
1. Musnad, yaitu menghimpunsemua hadis dari tiap-tiap sahabat tanpa
memperhatikan masalah atau topiknya, tidak per bab seperti fiqih dan kualitas
hadisnya ada yang shahih, hasan dan dhaif. Misalnya semua hadis Nabi yang
diperoleh seorang periwayat melalui Abu Hurairah dikelompokkan pada bab hadis-
hadis Abu Hurairah, hadis-hadis yang didapatkan seorang periwayat dari seorang
sahabat Abdullah bin Abbas misalnya, dikelompokkan pada bab hadis-hadis
Abdullah bin Abbas, dan seterusnya. Kitab hadis yang disusun secara musnad ini
misalnya, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H) dan Musnad Ahmad bin
Rahawaih (161-238 H).
2. Al-Jami, yaitu tenik pembukuan hadis yang mengakumulasikan
sembilan masalah, yaitu, aqaid, hukum, perbudakan (riqaq), adab makan minum,
tafsir, tarikh dan sejarah. Sifat-sifat akhlak (syamail), fitnah (fitan), dan sejarah
(manaqib). Misalnya kitab Al-Jami Ash-Shahih li Al-Bukhari, Al-Jami Ash-
Shahih li Muslim, dan Jami At-Tirmidzi. Kualitas Kitab Al-Bukhari dan Muslim
shahih semua sebagaimana nama kitab yang menyebutkan kata Ash-Shahih,
sedangkan kitab At-Tirmidzi sama dengan kitab Sunan ada yang shahih, hasan, dan
dhaif.

21
3. Sunan, teknik penghimpunan hadis secara bab seperti fiqih, setiap bab
memuat beberapa hadis dalam satu topik, seperti Sunan An-Nasai, Sunan Ibnu
Majah, dan Sunan Abu Dawud. Di dalam kitab ini ada yang shahih, hasan, dan
dhaif, tetapi tidak terlalu dhaif seperti hadis Munkar.[9]

C. Ilmu Hadist Dan Sejarah Peerkembangannya

a. Pegertian Ullumul Hadist


Ullumul Hadist ialah istilah Ilmu Hadist di dalaam tradaisi Ulama` Hadist. Dalaam
bahasa Arabnya yaitu `Ulum al Hadist. `Ulum al Hadist terdiri atas dua kata, yaitu
`Ulum dan al Hadist. Kata `Ulum dalaam bahasa Arab ialah bentuk jamak dariii
`Ilm, jadai berarti ilmu-ilmu, sedangkan al Hadist di kalangan Ulama` Hadist
berarti segala sesuatu yangg di sandarkan kepadaa Nabi SAW dariii perkataan,
perbuatan, taqrir, atau sifat. Dengaan demikian `Ulum Al Hadist mengandung
pengertian ilmu-ilmu yangg membahas atau berkaitan dengaan Hadist Nabi .
Secara umum para Ulama` Hadais membagi Ilmu Hadist kepadaa dua bagian, yaitu
Ilmu Hadist Riwayah (`Ilm al Hadist Riwayah) dan Ilmu Hadist Dirayah (`Ilm al
Hadist Dirayah):
1. Ilmu Hadist Riwayah

a. Pengertian Ilmu Hadist Riwayah


Kata riwayah, artinya periwayatan atau cerita, mka ilmu hadist riwayah,
artinya ilmu hadist berupa periwayatan. Secara terminologis, yangg dimaksud
dengaan ilmu hadist riwayah ialah :
ilmu yangg khusus berhubungan dengaan riwayah ialah ilmu yangg meliputi
pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi saw, dan perbuatannya dan penguraian
lafalnya.
Definisi diatas mengacu kepadaa rumusan hadist secara luas, sedangkan
definisi yangg mengacu kepadaa rumusan hadist yangg terbatas atau sempit, mka
definisinya ialah ilmu yangg menukilkan segala yangg disandarkan kepadaa Nabi
saw semata.
b. Objek dan Signifikasinya

22
Yangg menjadai objek ilmu hadist ini ialah membicarakn bagaimana cara
menerima, menyampaikan kepadaa orang lain, memindahkan men-tadawin-kan
hadist. Dalaam menyampaikan dan membukakn hadist hanya disebutkan apa
adanya, baik yangg berkaitan dengaan matan maupun sanada-nya. Ilmu ini tidak
membicarakn hadist dariii sudut kualitasnya, seperti tentang (keadailan) sanada,
syadaz (kejanggalan), dan illat (kecatatan) matan.
Adapun kegunaan mempelajari ilmu hadist ini ialah untukk menghindariii adanya
penukilan yangg salah. Dariii yangg beredar padaa umat islam bisa jadai bukan
hanya hadist, melainkan juga ada berita-berita lain, yangg sumbernya bukan dariii
Nabi atau bahkan sumbernya tidak jelas sama sekali.

b. Sejarah Perkembangan Ilmu Hadist

1. Hadist Padaa Masa Rasulullah SAW

Ada suatu keistimewaan padaa masa ini yaitu umat Islam dapatt secara langsung
memperoleh hadist dariii Rasulullah saw, sebagai sumber hadist. Antara Rasulullah
dengaan mereka tidak ada jarak atau hijab yangg menghambat dan mempersulit
pertemuannya.
Kedudukan nabi menjadaikan semua perkataan, perbuatan dan taqrir nabi sebagai
referensi para sahabat dan para sahabat tidak menyia-nyiakn kesempatan ini.
Mereka secara proaktif berguru dan bertanya kepadaanya tentang segala sesuatu
yangg tidak diketahuinya baik dalaam urusan dunia maupun urusan akhirat. Mereka
mentaati semuanya bahkan menirunya. Ketaatan itu sendiri dimaksudkan agar
keberagamannya dapatt mencapai tingkat kesempurnaan.
Ada beberapa cara Rasulullah saw. dalaam menyampaikan hadist kepadaa para
sahabat, yaitu:
1. Melalui para jemaah padaa pusat pembinaannya yangg disebut dengaan majelis
al- ilmi.
2. Dalaam banyak kesempatan Rasulullah saw juga menyampaikan hadistnya
melalui para sahabat tertentu, yangg kemudian disampaikannya kepadaa orang lain.

23
3. Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada dan
fathul makkah.

c. Cabang-Cabang Ilmu Hadits

1. ILMU RIJALIL HADITS


Ialah :
Ilmu yang membahas tentang para perawi hadits, baik dari para sahabat, dari
tabiin, maupun dari angkatan-angkatan sesudahnya..
Ilmu ini dipelajari dengan seksama karena hadits itu terdiri dari sanad dan matan.
Maka mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad.

2. ILMU JARIHIWATTAADIL
Ialah :

Ilmu yang menerangkan tentang hal-hal cacat yang dihadapkan kepada para
perawi dan tentang pentakdilanya (memandang adil para perawi) dengan mamakai
kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu.
3. ILMU FANNAL MUBHAMAT
Ialah:
Ilmu untuk mengetahui nama-nama orang yang tidak disebut didalam matan atau
didalam sanat.
4. ILMU TASHIF WATTAHRIF
Ialah:
Ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah dirubah titiknya (yang dinamai
mushaf) dan bentuknya yang dinamai muharraf.
5. ILMU ILALIL HADITS
Ialah:
Ilmu yang menerangkan sebabsebab yang tersembunyi, tidak nyata yang dapat
merusak hadits.

24
6. ILMU GHORIBIL HADITS
Ialah:
Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits yang
sukar diketahui makananya dan kurang terpakai oleh umum.
7. ILMU NASKH WAL MANSUKH
Ialah:
Ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah dimansukhkan dan yang
menasikhkanya.
8. ILMU ASBABI WURUDIL HADITS
Ialah:
Ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi menuturkan sabdanya dan masa-masa
nabi menuturkan itu.
9. ILMU TALFIQIL HADITS
Ialah:
Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antara hadits-hadits yang
berlawanan lahirnya.
10. ILMU MUSTHALAH AHLI HADITS
Ialah:
Ilmu yang menrangkan pengertian-pengertian (istilah-istilah yang dipakai oleh
ahli-ahli hadits).

25
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Al-Hadits merupakan sumber kedua bagi ajaran Islam, dialah sumber yang paling
luas, yang terinci penjelasannya, dan paling lengkap susunannya. Sunnah
memberikan perhatian yang penuh dalam menjelaskan Al-Quran. Oleh sebab itu,
tidaklah seharusnya dalam urusan istinbat hukum Islam, orang mencukupkan Al-
Quran saja, tanpa membutuhkan penjelasan dari As-Sunnah.
Maka dari itulah, jangan terlalu mudah kita mengambil suatu hukum dari Al-Quran
tanpa melihat terlebih dahulu apakah ada hadits yang menjelaskan tentang ayat
tersebut.

2. Saran
Marilah kita gali potensi kemampuan kita dalam memahami Al-Quran dan Al-
Hadits agar kita mampu memahami agama dengan baik dan benar.

26

Anda mungkin juga menyukai