Anda di halaman 1dari 8

MATERI 12

TRANSFORMASI AD-DAKHIL KE DALAM KAJIAN TAFSIR

TUGAS MAKALAH
AD-DAKHIL FI AL-TAFSIR
Dosen Pengampu : Siti Hajar, S.Th.I.,M.Ag

Disusun oleh :
Faisal Agung (191921001)
Faisal Adriyat
Kelas : IAT18-A

PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON
CIREBON
2021
PEMBAHASAN

A. Transformasi Dakhīl ke dalam Kajian Tafsir

Potensi al-dakhīl sejatinya telah muncul sejak sebelum Islam dating. Pasalnya,
sebelum islam datang di Jazirah Arab, telah ada sekelompok Ahli Kitab yang
sebagian besar berbangsa Yahudi.

Mereka berhijrah dan masuk jazirah Arab pada sekitar tahun


masehi. Mereka bermukim di Yasrib, sebagian ada juga yag hidup berkelompok
di Yaman dan Yamāmah.
Interaksi umat Islam dengan ahli kitab terutama Yahudi, menjadi
salah satu faktor terjadinya transformasi dakhīl ke dalam kajian tafsir yang
ditandai dengan banyaknya ahli kitab yang masuk Islam, seperti `Abd al-`Azīz ibn
Juraij, Abdulah ibn Salām Ka’ab al-Aḥbār, dan Wahb ibn Munabbih. Sehingga
keberadaan mereka yang notabene sebagai sumber periwayat isrā’īlīyāt cukup
berpengaruh dalam penyebaran riwayat-riwayat tersebut.
Kemudian penyebaran riwayat isrā’īlīyāt dari Ahli Kitab ini semakin marak pada
masa tabi`in sehingga seorang pembaca tafsir akan sulit membedakan mana cerita
yang shahih dan mana cerita yang dibuat-buat oleh ahli kitab. Hingga khususnya
al-dakhīl bi al-Ma’ṡūryang berasal dari isrā’īlīyāt terus berkembang seiring
dengan perkembangan zaman. Penyebab utama banyaknya corak tafsir dalam
berbagai bentuk tanpa melalui pengamatan yang lebih mendalam tentang aturan
penafsiran. Beberapa riwayat yang melemahkan yang melemahkan tafsir al-
Ma’ṡūr di antaranya adalah:

1. Kabar atau riwayat yang dihembuskan orang-orang Zindik dan kaum


Yahudi Persia, Roma dan lainnya yang berpura-pura masuk
islam dengan tujuan menghancurkannya.
2. Riwayat berupa ucapan dan pendapat yang dinisbatkan kepada para sahabat dan
para tabi`in tanpa menggunakan sanad.

3. Ahlu kitab yang masuk islam banyak membawa khurafat dan kebohongan,
seperti : Ka’ab al-Aḥbār, Wahab ibn Munabbih, dan Abdullah bin Salam, Tamin
al-Dāri.

Adapaun terkait dengan al-dakhīl dalam tafsir bi al-ra’y, para ulama


mencatat ada beberapa sebab yang turut mendorong masuk dan berkembangnya
dakhīl bi al-ra’yi ini. Antara lain, yang paling utama adalah pemahaman mufasir
yang sangat subjektif. Subjektivitas pemahaman /penafsiran tersebut terjadi
karena; pertama, tidak terpenuhinya syarat-syarat sebagai penafsir al-Qur’an.
Karena itu, ketika ia bertemu dengan ayat yang secara ẓāhir bertentangan dengan
akal, mufasir langsung mengambil kesimpulan dan menerjemahkan ayat tersebut
secara ẓāhirnya saja, tanpa memandang konteksnya serta kemungkinan makna
lain yang dikandung ayat itu. Kedua, menafsirkan al-Qur’an untuk menjustifikasi
pandangan golongan atau kelompok tertentu, seperti yang dilakukan oleh sebagian
sekte Muktazilah, Bābīyah, Bahā’īyah dan Aḥmadīyah, yang menyelewengkan
dan menafsirkan al-Qur’an menurut hawa nafsu mereka saja, serta menolak teks-
teks yang bertentangan dengan akidah dan keyakinan mereka.Sementara DR.
Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub dalam kitab Asbāb al-Khatā` fī al-Tafsīr:
Dirāsatuhu wa Tashiliyyatu, menjelaskan empat penyebab timbulnya kesalahan
dalam penafsiran, yaitu:
1. Berpaling dari sumber dan dasar tafsir yang otentik dan shahih. Kaidah-kaidah
dan uṣūl dalam setiap keilmuan merupakan pokok yang menjadi landasan untuk
melangkah. Berpaling dari sumber merupakan langkah awal dari suatu
penyimpangan. Penyimpangan dalam hal ini bisa dilakukan dengan pengguanaan
ijtihad atas ayat yang sudah dijelaskan dalam nash lain, atau menafsirkan alQur’an
dengan berpegangan pada hadis mauḍū`dan ḍa`īf, riwayatriwayat Isrā’īlīyāt,
prasangka dan dongeng, berpedoman pada makna bahasa semata dan
mengalahkan riwayat yang sahih, serta berpegangan pada kewajiban yang bersifat
majaziyah dan tunduk pada tamsil dan imajinasi, terlalu larut dalam filsafat dan
ilmu kalam, serta hanya mengandalkan perkataan ahli bid’ah dan mengikuti hawa
nafsu.
2. Tidak teliti memahami teks ayat dan ḍalalah-nya.
3. Menundukan nash al-Qur’an untuk kepentingan hawa nafsu, fanatisme
madzhab, dan bid’ah. Seperti pada surat al-Ra’d ayat25
َ ْ‫َوالَّ ِذ ْينَ يَ ْنقُضُوْ نَ َع ْهدَهللا ِم ْن بَ ْع ِد ِم ْي َشا قِ ْه َويَ ْقطَعُوْ نَ َمٓا اَ ْم َر هللا بِه اَيُو‬
‫ص َل َويُ ْف ِس ُد وْ نَ فِى‬
‫كَ لَهُ ُم اللَ ْعنَةُ َولَهُ ْم سُوْ ُء لدَا ِر‬rِ‫ ِٕٕى‬rَ‫ض اُوْ َٓٓل‬
ِ ْ‫االر‬

“Dan orang-orang yang melanggar janji Allah setelah diikrarkannya, dan


memutuskan apa yang diperintahkan Allah agar disambungkan dan berbuat
kerusakan di bumi; mereka itu memperoleh kutukan dan tempat kediaman yang
buruk (Jahanam)". (QS. Al-Ra’d [13]: 25).

Sebagian ulama’ Syi’ah mengatakan bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan
kaum Khawarij, kemudian sebagai balasannya, Khawarij menyatakan bahwa yang
dimaksud dalam surat al-Baqarah ayat 204 adalah Ali bin Abi Thalib.
َ ‫اللهع ٰلى َما فِي َق ْل ِبه َوه َُو اَلَ ُّد ال ِخ‬
‫صا ِم‬ َ ‫ك َق ْو لُه فِي ْال َح ٰي ْو ِة ال ُُّد ْن َيا َو ُي ْش ِه ُد‬ ِ ‫َو ِمنَ ل َّن‬
َ ‫اس َميْ ُي ِِّه ُب‬

“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia
menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya,
padahal ia adalah penantang yang paling keras.” (QS. Al-Baqarah [2]: 204).
4. Mengabaikan sebagian syarat-syarat mufassir. Setiap mufassir dianjurkan selalu
mewaspadai bentuk-bentuk kerancauan akibat dari akala tau riwayat yang salah.
Pengkaji al-Qur’an dituntut bersikap jujur dan ikhlas dalam mencari kebenaran
termurni.

Pengkaji hendaknya terbebas dari pengaruh hawa nafsu, kepentingan,


fanatisme kelompok dan faham yang dianutnya.Tafsir hanya menerima riwayat
yang jelas secara menyeluruh. Berdasarkan sebab-sebab di atas, secara garis besar
sebab-sebab tersebut tercover dalam dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari Islam itu sendiri, yang
berkaitan langsung dengan keilmuan mufassir dan yang melatarbelakanginya.
Seperti tidak memenuhi persyaratan sebagai mufassir, atau memiliki
kecenderungan yang menjadikan penafsirannya menyimpang seperti karena
adanya pertentanganpertentangan madzhab dan teologi. Sedangkan faktor yang
kedua yaitu faktor eksternal, yang berasal dari luar Islam untuk menghancurkan
Islam. al-Qur’an adalah kekuatan terbesar umat islam, maka kelemahan terbesar
juga ada padanya. Jika al-Qur’an yang sudah dijamin keontetikannya oleh Allah,
maka jalan lain untuk menghancurkan Islam adalah melalui penafsiran-penafsiran,
yang selanjutnya dapat menyesatkan para pengikutnya. Melalui
penyusupanpenyusupan riwayat isrā’īlīyāt, hadis-hadis palsu dan sebagainya.

D. Pandangan ulama terhadap al-Dakhīl

Pandangan para ulama mengenai masalah al-dakhīl dalam tafsirseperti


pemaparan di atas, secara garis besar dakhīl mempunyai orientasi lebih luas
terhadap periwayatan-periwayatan baik yang berupa hadis-hadis ḍa`īf, palsu,
maupun isrā’īlīyāt dalam tafsir.

Sebagaimana yang telah diketahui antara al-dakhīl dengan riwayat isrā’īlīyāt


memiliki hubungan yang sangat dekat dan kuat. Oleh sebab itu pandangan ulama
tentang al-dakhīl tidak jauh berbeda. Adapun ulama-ulama yang menolak tentang
hal tersebut dalam tafsir Alquran, diantaranya: Muhammad Abduh, Rasyid Ridha,
Muhammad Syaltut, Abu Zahrah, Abdul Aziz Jawisy, dan al-Qasimi.ereka ini
mengacu pada ayat-ayat Alquran dan hadis sahih. Seperti di pada ayat:

‫ص ْيبُوْ ا قَوْ َما بِ َجهَا لَ ٍة فَتُصْ بِحُوْ نَ َما فَ َع ْلتُ ْم‬


ِ ُ‫يَٓايُّهَا ْا ٕلّ ِذ ْينَ اَ َمنُ ْٓوا اِ ْن َجٓا َء ُك ْم فَ ِس ْق بِنَبَا ٍ فَتَبَيَّنُ ْٓوا اَ ْن ت‬

َ‫نَ ِد ِم ْين‬
Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu
membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak
mencelakakan suatu kaum karena kebodohan kecerobohan), yang akhirnya kamu
menyesali perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat [49]: 6).
Ayat di atas memberi pengertian bahwa sebuah konsep Qur`ani yang ilmiah dalam
memeriksa, menyaring dan mengecek berita jika sumbernya dari orang-orang
fasik. Menanggapi berita dari orang Yahudi, sesungguhnya orang-orang Yahudi
dalam riwayat isrā’īlīyāt, senantiasa lihai dalam bualan dan mengubah berita, dan
mereka tidak dapat dipercaya dalam konteks sejarah, berita, maupun riwayat.
Kebanyakan yang keluar dari mulut mereka mengandung karakter kontra-diksi,
klaim, distori dan mitos.
Namun sebagian ulama lagi ada yang memperbolehkan, namun dengan syarat
tertentu. Seperti diantaranya adalah Ibnu Kaṡīr dan Ibnu Taimiyah. Dalam hal ini,
Ibnu Kaṡīr dan Ibnu Taimiyah membagi isrā’īlīyāt menjadi tiga:
Pertama, jika kita mengetahui kebenaran kisah isrā’īlīyāt sesuai dengan ajaran
Islam, maka adalah benar. Akan tetapi, dalam hal ini

(cukup ajaran Islam sebagai pegangan), sedangkan kisah-kisah isrā’īlīyāt hanya


untuk isrā’īlīyāt (bukti pendukung). Kedua, jika kita mengetahui tentang
kedustaannya (menyalahi ajaran Islam), maka kita harus menolaknya. Ketiga,
kisah-kisah yang didiamkan, cerita yang tidak ada keterangan kebenaran dan
pertentangan dalam Islam, tidak dipercayai dan tidak didustakan. Hal senada juga
disampaikan alBaqaˊi. Dia mengatakan, kisah-kisah tersebut boleh dimuat
dalamtafsir al-Qur’an selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Ia
mengatakan bahwa cerita itu dimuat hanya sebagai istithnāˊ (pengecualian) saja,
bukan untuk dijadikan dasar akidah dan bukan pula dijadikan dasar hukum.
SIMPULAN

1. Bentuk al-Dakhīl yang masuk ke dalam tafsir al-kasysyāfadalah al-Dakhīl bi al-


Ra’yī. Maksudnya memberikan interpretasi berupa rasio dan ijtihad yang tidak
sesuai dengan keautentikannya. Adapun unsur-unsur al-Dakhīl bi al-Ra’yīadalah
uṣūl al-khamsah (lima prinsip dasar) kelompok mu’tazilah. Pertama, mengenai
keesaan (tauhid) Allah yang tidak bisa dilihat oleh manusia karena Dia tidak
memiliki bentuk (tajsim). Kedua, konsep adil Allah yang semua tindakan-Nya
merupakan kebaikan dan mustahil untuk melakukan keburukan. Ketiga, konsep
janji ancaman Allah (al-wa’ad wa `a-waīd) dengan maksud Allah wajib
menyelesaikan janji kepada Hamba-Nya dengan memberikan pahala tanpa
mengurangi keadila-Nya seperti dzalim mengurangi pahala dan menambah pahala
hamab-Nya.
2. Adapun hal yang melatar belakangi terjadinya al-dakhīl di dalam tafsir a-
Kasysyāf adalah tendensi dan hegemoni mu’tazilah yang ia anut dalam
menafsirkan doktrin-doktrin mu’tazilah. Doktrin yang mereka gunakan adalah
mengkultuskan akal dalam menginterpretasikan ayat, sehingga apabila terjadi
kontradiktif dengan akal maka harus ditakwilkan (memalingkan) makna
tekstualnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai