PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an menyatakan bahwa dirinya sebagai hudan linnas bagi
semua ajaran agama samawi. Diantara ajaran-ajarannya tertuang dalam kisah-
kisah baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam al-Qur’an agar manusia
mengambil pelajaran. Disamping itu terkandung dalam al-Qur’an kaidah-
kaidah umum, prinsip-prinsip secara global, termasuk ayat-ayat muhkamat juga
mutasyabihat. Semuanya itu diturunkan Allah swt. melalui utusan-Nya yaitu
Nabi Muhammad saw. yang selanjutnya disampaikan kepada umat manusia.
disampaikan kepada umat manusia.
Kaum muslimin menyadari bahwa tiada kemuliaan bagi mereka
kecuali berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah tentunya untuk
mendapatkan hidayah dan taufiq-Nya yaitu kebahagiaan hidup di dunia
maupun di akhirat kelak. Namun kitab-kitab suci yang Allah turunkan kepada
para utusan-Nya tidak jarang mendapatkan hujatan bahkan penyelewengan dari
para pengikutnya baik penyelewengan dalam nash maupun dari segi makna.
Semua kitab-kitab suci itu diselewengkan oleh orang-orang yang mengikuti
hawa nafsunya kecuali satu yaitu kitab suci al-Qur’an. Karena Allah telah
menjamin keaslian kandungannya sampai akhir zaman.
Walaupun demikian, tetap saja al-Qur’an mendapat hujatan dari
berbagai pihak baik itu dari ekstern umat Islam maupun intern umat Islam itu
sendiri. Hal itu bukan berarti jaminan keaslian al- Qur’an Allah dicabut, namun
sudah menjadi aksioma bahwa kebenaran akan selalu mendapat tantangan dan
Allah swt. akan tetap menjaga keaslian al-Qur’an melalui para ulama yang
tafaqquh fi al-din hingga akhir zaman nanti.
Dalam penjagaan keaslian al-Qur’an baik secara lafdzi atau
ma’nawi perlu adanya ketekunan dibidang ilmu al-Qur’an salah satu caranya
yaitu mengetahui teori-teoti yang terkandung dalam Ulumul Qur’an (Ilmu-ilmu
al-Qur’an), ada satu ilmu yang berfungsi mensterilisasi al-Qur’an dari hal-hal
yang bukan sebenarnya dari al-Qur’an, yang dikenal dengan Ilmu Ad-Dakhil.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi al-ashil dan al-dakhil?
2. Apa saja macam-macam al-ashil dan al-dakhil?
3. Apa faktor yang mempengaruhi masuknya al-dakhil ke dalam tafsir?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi al-ashil dan al-dakhil.
2. Untuk mendeskripsikan macam-macam al-ashil dan al-dakhil.
3. Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya al-dakhil
ke dalam tafsir
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Ibrahim Syuaib, Metodologi Kritik Tafsir, al-dakhil fi al-Tafsir (Bandung: Fakultas Ushuluddin
UIN Sunan Gunung Jati, 2008), 2.
2
Muhammad Sa’id Muhammad Athiyyah Aram, As-Sabil ila Ma'rifat al-Ashil wa al-Dakhil fi al-
Tafsir. (Zaqaziq: Misr, 1998 M/1419 H), 43-45.
3
Abdul Wahhab Fayed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Kairo: Matba’ah al-Hadharah
al- ‘Arabiyah, 1978), 13.
3
pendapat sahabat dan tabiin yang valid, atau berasal dari rasio sehat yang
memenuhi kriteria dan prasyarat ijtihad.4
Adapun ad-dakhîl secara etimologi bermakna antara lain; (a)
orang yang berafiliasi kepada yang bukan komunitasnya, (b) tamu, disebut
dakhîl karena ia masuk ke rumah orang lain yang dikunjunginya, (c) kata
serapan, karena ia berasal dari bahasa asing, dan (d) orang asing yang
datang untuk tujuan eksploitasi.5
Sementara secara terminologis, al-dakhîl adalah penafsiran al-
Quran yang tidak memiliki sumber, argumentasi dan data yang valid dari
agama. Dengan kata lain, al-dakhîl adalah penafsiran yang tidak memiliki
landasan yang valid dan ilmiah, baik dari Al-Qur’an, hadits sahih, pendapat
sahabat dan tabiin, maupun dari akal sehat yang memenuhi kriteria dan
prasyarat ijtihad.6
B. Macam-macam Al-Ashil dan Al-Dakhil
Dalam buku al-dakhîl karya Fâyed dijelaskan tujuh klasifikasi al-
dakhîl dalam penafsiran yaitu; dakhîl yang berasal dari riwayat israiliyat,
hadtis maudhû‘ dan dhaîf, dakhil penafsiran dari sekte Bâthiniyah, dakhil
penafsiran sufistik yang mengabaikan makna eksoteris, penafsiran dari aspek
linguistik, dakhil penafsiran dari sekte Bâbiyah, Bahâ’iyah dan Qadyâniyah,
serta dakhil penafsiran dari sebagian pemikir kontemporer.7
Namun dalam beberapa karya ulama lain, al-dakhîl diklasifikasi
menjadi tiga jalur yaitu jalur al-ma’tsûr (riwayat), jalur al-ra’y (rasio) dan jalur
al-isyârah (intuisi). Masing-masing jalur kemudian dibagi lagi menjadi
beberapa bagian.
1. Al-dakhîl jalur al-atsar (riwayat), meliputi: hadits maudhû’ (palsu), hadits
dha‘îf (lemah), riwayat isra’iliyat yang bertentangan dengan Al-Quran dan
sunnah, pendapat sahabat dan tabiin yang tidak valid, pendapat sahabat dan
4
Husayn Muhammad Ibrahim Muhammad ‘Umar, al- Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Kairo:
Universitas Al-Azhar, t.th.), 11.
5
Majd al-Dîn Muhammad ibn Ya‘qûb ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn ‘Umar al-Shayrâzî al-
Fayrûz Âbâdî, al-Qâmûs al-Muhîth wa al-Qâbûs al- Wasîth al-Jîmi‘ li Mâ Dzahaba min Kalâm
al-‘Arab Shamâmîth, (Bairut: Mu’assasah al-Risalah, 1407 H), 275.
6
Ibid., 13-14.
7
Fayed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, 102-108.
4
tabiin yang bertentangan dengan Al-Quran, sunnah, hukum logika dan
tidak dapat dikompromikan.8
2. Al-dakhîl dari jalur ra’yu (rasio), meliputi: tafsir yang didasari niat buruk
dan skeptisme terhadap ayat-ayat Allah, tafsir eksoteris tanpa
mempertimbangkan sisi kepantasan bila disemat- kan kepada Dzat Allah,
penafsiran distorsif atas ayat-ayat dan syariat Allah dengan mengabaikan
sisi literal ayat, tafsir esoteris yang tidak didukung argumentasi yang kuat,
penafsiran yang tidak berbasis pada prinsip dan kaidah tafsir yang baku,
penafsiran saintifik yang terlalu jauh dari konteks linguistik, sosiologis dan
psikologis ayat .9
3. Al-dakhîl dari jalur al-isyârah (intuisi), meliputi antara lain: tafsir esoteris
yang dilakukan oleh sekte Bâthiniyah, tafsir sebagian kaum sufi yang tidak
mengindahkan makna eksoteris ayat. Secara lebih detail, klasifikasi al-
dakhîl di atas dapat dilihat pada tabel berikut:10
Klasifikasi al-
No. Sumber Bentuk/Macam
Dakhîl
8
Jamâl Mushthafâ ‘Abd al-Hamîd ‘Abd al-Wahhâb al- Najjâr, Ushûl al-Dakhîl fî Tafsîr Âyi
al-Tanzîl (Kairo: Universitas Al-Azhar, 2009), 27.
9
al-Najjâr, Ushûl al-Dakhîl fî Tafsîr Âyi al-Tanzîl, 28.
10
Muhammad Ulinnuha, “Konsep Al-Ashîl dan Al-Dakhîl dalam Tafsir Al-Quran”, Journal
Madania, Vol. 2. (Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta), 9.
5
2. bi al-Ra’yi Rasio/Ijtihad 1. Tafsir yang didasari niat buruk dan
skeptisme terhadap ayat-ayat Allah;
2. Tafsir eksoteris (tektualis) tanpa
mempertimbangkan terhadap sisi
kepantasannya bila disematkan
kepada Dzat Allah;
3. Penafsiran distorsif atas ayat-ayat
dan syari’at agama;
4. Penafsiran yang tidak berbasis pada
prinsip dan kaidah tafsir yang
disepakati mayoritas ahli tafsir;
5. Penafsiran saintifik yang terlalu
jauh dari konteks linguistik,
sosiologis dan psikologis ayat.
6
dan sebarkan di tengah-tengah umat. Salah satu contoh al-dakhîl melalui
hadits palsu yang dibuat dalam konteks ini adalah kisah Gharânîq (salah
satu jenis berhala yang disembah kaum kafir Quraisy) yang dikaitkan
dengan asbab nuzul (QS. al-Hajj: 53)
7
“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu”
Fanatisme adalah sikap yang tidak baik, sebab sikap ini dapat
merusak objektifitas mufasir. Diantara contoh al-dakhîl yang disebabkan
faktor fanatisme adalah penafsiran sebagian kelompok Syi‘ah terhadap
Q.S. al-Mâ’idah: 55.
11
Abdul Wahhab Fayed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Kairo: Matba’ah al-
Hadharah al- ‘Arabiyah, 1978), 102-108.
8
“(Allah berfirman)" lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua
orang yang sangat ingkar dan keras kepala”
9
untuk mencapai empat derajat sebagaimana disebutkan pada ayat tersebut,
yakni; kenabian (nubûwah), kebenaran, (shiddîqîyah), persaksian
(syahâdah) dan kebaikan (shalâh). Dengan demikian, semua orang yang
taat kepada Allah dan Rasul-Nya dimungkinkan dapat mencapai derajat
kenabian, seperti halnya Ghulam Ahmad.12 Padahal mayoritas ulama
menjelaskan bahwa ayat di atas merupakan tafsiran bagi ayat ketujuh surat
al-Fâtihah. Artinya, jalan bagi orang-orang yang tidak tersesat dan tidak
dimurkai Allah adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya yang sudah
direfleksikan dan diaplikasikan oleh para Nabi, shiddîqîn, syuhadâ’ dan
shâlihîn.13
d. Faktor Spiritualisme yang Keliru
12
Shaykh Muhammad Al-Khadhir Husayn, al-Qadyânîyah (Kairo: Al Makatabah Al
Salafîyah, 1932), 59-60.
13
Ibn Katsir. Tafsir al-Qur’ân al-’Azhîm, (Kairo: Dâr al-Turâts, 2000), 75.
14
Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, Terutama Ketika Menafsirkan Juz ‘Amma. Lihat juga Fâyed, al-
Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al- Karîm, Juz 2, 59-61.
10
Sebelum Islam datang, ada satu golongan yang disebut dengan
kaum Yahudi, yaitu sekelompok kaum yang dikenal mempunyai
peradaban yang tinggi dibanding dengan bangsa Arab pada waktu itu.
Mereka telah membawa pengetahuan keagungan berupa cerita-cerita
keagamaan dari kitab suci mereka.15
11
Islam. Sebelumnya mereka adalah kaum yang berperadaban tinggi. Tatkala
masuk Islam mereka tidak melepaskan seluruh ajaran-ajaran yang mereka
anut terlebih dahulu, sehingga dalam pemahamannya sering kali tercampur
antara ajaran yang mereka anut terdahulu dengan ajaran Islam.
Pada masa sahabat tidak ada seorangpun diantara Sahabat yang
berdalil tentang keesaan Allah SWT dan kerasulan Muhammad SAW
kecuali mereka berdalil dengan al-Qur`an dan al-Sunnah. Mereka tidak
mengetahui sedikitpun tentang perdebatan ilmu kalam dan masalah
filsafat. Pengembalian permaslahan mereka semuanya dikembalikan
kepada Rasulullah SAW. Para Sahabat bertanya kepada Nabi tentang ayat-
ayat yang dianggap sulit, oleh karena itu tafsir Sahabat semuanya shahih
dan benar.19
Kemudian berlanjut ke masa tabiin. Pada masa ini mulai
terdapat kelemahan dalam tafsir. Mereka kurang berpegang kepada manhaj
para sahabat dalam menyaring berita yang datang dari Ahli kitab dan tidak
menelitinya dengan penelitian yang mendalam. Ada beberapa tabiin yang
memasukkan Israiliyyat yang asing, dan cerita-cerita yang ajaib. Dalam
Tafsir At-Thabari misalnya, banyak terdapat Israiliyyat diantaranya yang
dinisbahkan kepada Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubair dan lain-lain.
Cerita-cerita Israiliyyat bertambah lebih banyak lagi pada masa
setelah tabi'in, orang yang paling tekenal memasukkan cerita Israiliyyat
antara lain adalah Muhammad bin Saib al-Kalbi, Muqatil bin Sulaiman
dan Muhammad bin Marwan As-Sadi Ash-Shagir.
Rasulullah memberikan peringatan kepada sahabat untuk
berhati-hati apabila mendapatpan cerita-cerita yang berasal dari kaum
yahudi, rasulullah bersabda:
19
Muhammad Sa’id Muhammad Athiyyah Aram, As-Sabil ila Ma'rifat al-Ashil wa al-Dakhil fi
al-Tafsir. (Zaqaziq: Misr, 1998 M/1419 H), 48.
12
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah
menceritakan kepada kami Utsman bin Umar telah mengabarkan kepada
kami Ali bin Mubarak dari Yahya bin Abu Katsir dari Abu
Salamah dari Abu Hurairah berkata, "Ahli kitab membaca Taurat dengan
bahasa Ibrani, dan mereka menafsirkannya dengan bahasa arab untuk
pemeluk Islam." Spontan Rasulullah Sallallahu'alaihiwasallam bersabda:
"Jangan kalian membenarkan ahli kitab dan jangan pula mendustakan
mereka, katakan saja: ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang
diturunkan'." (HR. Al-Bukhari No. 6987).
13
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
20
Ibn Jabir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur`an, (Bairut: Dar al-Fikr, 1988), 26-27.
14
Menurut Imam al-Khatibi nabi Muhammad saw tersenyum
bukan karena membenarkan apa yang disampaikan pendeta yahudi, beliau
kaget dan ingkar terhadap ucapan Yahudi yang menyerupakan Allah
dengan sesuatu. Ucapan penyerupaan itu merupakan rekayasa Yahudi
yang biasa menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.21
21
Ibn Hajar al-Atsqalani, Fath al-Bary, Juz XIII, hlm. 310.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan teori tentang al-ashil dan al-dakhil dapat
disimpulkan menjadi beberapa bagian penting sesuai teori yang telah
disebutkan yaitu:
1. Al-ashil merupakan metode tafsir yang dikategorikan sebagai tafsir yang
maqbul atau dapat diterima dikalangan ulama’ tafsir karena menggunakan
sumber-sumber hukum islam yang valid seperti al-Quran, Hadits, dan
Ijtihad yang benar. Sedangkan al-dakhil adalah metode penafsiran yang
dikategorikan sebagai tafsir mardud, karena sumber-sumber yang
diguunakan untuk menafsirkan ayat al-Quran bertentangan dengan al-
Quran, hadits, dan Ijtihad yang benar.
2. Secara umum macam-macam al-ashil dan al-dakhil, terdiri dari 3 jenis tafsir
bi al-ma’tsur, bi al-ra’yi, dan bi al-isyari, ketiga jenis tafsir tersebut dapat
menjadi al-ashil dan al-dhakhil tergantung dari kevalidan sumber yang
dipakai mufassir.
3. Faktor-faktor yang menyebakan terjadinya al-dakhil dalam tafsir
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Di antara faktor-faktor
eksternal yaitu faktor kebencian terhadap umat islam sedangkan faktor
internalnya dapat disebabkan oleh faktor politik dan kekuasaan, faktor
fanatisme, faktor perbedaan mazhab, faktor spiritualisme yang keliru, dan
masuknya cerita-cerita israiliyyat.
16
DAFTAR PUSTAKA
Âbâdî, Majd al-Dîn Muhammad ibn Ya‘qûb ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn
‘Umar al-Shayrâzî al-Fayrûz, al-Qâmûs al-Muhîth wa al-Qâbûs al-
Wasîth al-Jîmi‘ li Mâ Dzahaba min Kalâm al-‘Arab Shamâmîth,
Bairut: Mu’assasah al-Risalah, 1407 H..
Al-Dzahabi, Muhammad Husain. Al-Israiliyyat fi al-Tafsir wa al-Hadits, (Cairo:
Maktabah Wahbah, 1990 M/1411 H.
Ali Jafar, Musa’id Muslim Abdillah. Atsar al-Tathawwur al-Fikr fi al-Tafsir fi al-
Abbasi, Bairut: Mu`asasah al-Risalah, 1984.
Al-Khulli, Amin. Manhaj al-Tajdid fi al-Tafsir, (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1961),
227.
Al-Najjâr, Jamâl Mushthafâ ‘Abd al-Hamîd ‘Abd al-Wahhâb. Ushûl al-Dakhîl
fî Tafsîr Âyi al-Tanzîl, Kairo: Universitas Al-Azhar, 2009.
Al-Thabari, Ibn Jabir. Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur`an, Bairut: Dar al-Fikr,
1988.
Aram, Muhammad Sa’id Muhammad Athiyyah. As-Sabil ila Ma'rifat al-Ashil wa
al-Dakhil fi al-Tafsir. Zaqaziq: Misr, 1998 M/1419 H.
Aram, Muhammad Sa’id Muhammad Athiyyah. As-Sabil ila Ma'rifat al-Ashil wa
al-Dakhil fi al-Tafsir. Zaqaziq: Misr, 1998 M/1419 H.
Fayed, Abdul Wahhab. al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Kairo: Matba’ah
al-Hadharah al-Arabiyah, 1978.
Husayn, Shaykh Muhammad Al-Khadhir. al-Qadyânîyah, Kairo: Al
Makatabah Al-Salafîyah, 1932..
Katsir, Ibn. Tafsir al-Qur’ân al-’Azhîm, Kairo: Dâr al-Turâts, 2000.
Khalil, Sayyid Ahmad. Dirasat fi al-Qur`an, Mesir: Dar al-Ma’rifah, 1961.
Syuaib, Ibrahim Syuaib. Metodologi Kritik Tafsir, al-dakhil fi al-Tafsir, Bandung:
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Jati, 2008.
Ulinnuha, Muhammad, “Konsep Al-Ashîl dan Al-Dakhîl dalam Tafsir Al-Quran”,
Journal Madania, Vol. 2. (Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Umar, Husayn Muhammad Ibrahim Muhammad. al- Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-
Karîm. Kairo: Universitas Al-Azhar, t.th.
17