Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an menyatakan bahwa dirinya sebagai hudan linnas bagi
semua ajaran agama samawi. Diantara ajaran-ajarannya tertuang dalam kisah-
kisah baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam al-Qur’an agar manusia
mengambil pelajaran. Disamping itu terkandung dalam al-Qur’an kaidah-
kaidah umum, prinsip-prinsip secara global, termasuk ayat-ayat muhkamat juga
mutasyabihat. Semuanya itu diturunkan Allah swt. melalui utusan-Nya yaitu
Nabi Muhammad saw. yang selanjutnya disampaikan kepada umat manusia.
disampaikan kepada umat manusia.
Kaum muslimin menyadari bahwa tiada kemuliaan bagi mereka
kecuali berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah tentunya untuk
mendapatkan hidayah dan taufiq-Nya yaitu kebahagiaan hidup di dunia
maupun di akhirat kelak. Namun kitab-kitab suci yang Allah turunkan kepada
para utusan-Nya tidak jarang mendapatkan hujatan bahkan penyelewengan dari
para pengikutnya baik penyelewengan dalam nash maupun dari segi makna.
Semua kitab-kitab suci itu diselewengkan oleh orang-orang yang mengikuti
hawa nafsunya kecuali satu yaitu kitab suci al-Qur’an. Karena Allah telah
menjamin keaslian kandungannya sampai akhir zaman.
Walaupun demikian, tetap saja al-Qur’an mendapat hujatan dari
berbagai pihak baik itu dari ekstern umat Islam maupun intern umat Islam itu
sendiri. Hal itu bukan berarti jaminan keaslian al- Qur’an Allah dicabut, namun
sudah menjadi aksioma bahwa kebenaran akan selalu mendapat tantangan dan
Allah swt. akan tetap menjaga keaslian al-Qur’an melalui para ulama yang
tafaqquh fi al-din hingga akhir zaman nanti.
Dalam penjagaan keaslian al-Qur’an baik secara lafdzi atau
ma’nawi perlu adanya ketekunan dibidang ilmu al-Qur’an salah satu caranya
yaitu mengetahui teori-teoti yang terkandung dalam Ulumul Qur’an (Ilmu-ilmu
al-Qur’an), ada satu ilmu yang berfungsi mensterilisasi al-Qur’an dari hal-hal
yang bukan sebenarnya dari al-Qur’an, yang dikenal dengan Ilmu Ad-Dakhil.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi al-ashil dan al-dakhil?
2. Apa saja macam-macam al-ashil dan al-dakhil?
3. Apa faktor yang mempengaruhi masuknya al-dakhil ke dalam tafsir?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi al-ashil dan al-dakhil.
2. Untuk mendeskripsikan macam-macam al-ashil dan al-dakhil.
3. Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya al-dakhil
ke dalam tafsir

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi al-Ashil dan al-Dakhil


Al-dakhil wa al-ashil adalah salah satu kajian dari studi al-Qur’an
yang terbilang cukup baru. Sebagaimana pengakuan Ibrahim Syu’aib, ia
diperkenalkan kepada publik secara resmi pada tahun 1980-an oleh Ibrahim
Khalifah, seorang pengajar di Universitas al-Azhar Kairo, melalui bukunya al-
Dakhil fi al-Tafsir.1
Kalimat al-ashil menurut bahasa adalah sesuatu yang memiliki asal
yang kuat dalam objek yang dimasukinya. Sedangkan menurut istilah, al-ashil
adalah Tafsir yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan as-sunnah, atau
pendapat sahabat dan tabi'in atau berdasarkan ijtihad yang sesuai dengan
kaidah bahasa arab dan kaidah Syari'ah. Sedangkan kalimat al-dakhil,
Pengarang Lisan al-Arab berkata: “Ra'yun ashilun lahu Ashlun” (pendapat
yang ashil adalah pendapat yang mempunyai asalnya), dan “Fulanun
dakhilun fi bani fulan”(seseorang itu adalah orang asing di bani fulan). 2
Secara terminologi, ahli ilmu Al-Quran berbeda pendapat dalam
mendefinisikan term al-ashîl. Namun menurut ‘Abd al-Wahhâb Fâyed, secara
garis besar pendapat itu dapat dikerucutkan menjadi dua definisi: pertama,
tafsir yang memiliki asal-usul, dalil-dalil dan argumentasi yang jelas dari
agama. Kedua, tafsir yang ruh, dan nafasnya bersandarkan kepada Alquran,
sunah, pendapat para sahabat, dan tabiin.3
Jika diperhatikan, definisi Fâyed di atas hanya mencakup satu jalur
tafsir saja yaitu bi al-ma’thûr dan belum mengakomodir tafsir bi al-ra’yi. Oleh
karenanya, definisi al-ashîl fî al-tafsîr secara komprehensif adalah tafsir yang
memiliki sumber rujukan dan dasar yang jelas serta dapat
dipertanggungjawabkan, baik sumber itu berasal dari Al-Quran, hadits sahih,

1
Ibrahim Syuaib, Metodologi Kritik Tafsir, al-dakhil fi al-Tafsir (Bandung: Fakultas Ushuluddin
UIN Sunan Gunung Jati, 2008), 2.
2
Muhammad Sa’id Muhammad Athiyyah Aram, As-Sabil ila Ma'rifat al-Ashil wa al-Dakhil fi al-
Tafsir. (Zaqaziq: Misr, 1998 M/1419 H), 43-45.
3
Abdul Wahhab Fayed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Kairo: Matba’ah al-Hadharah
al- ‘Arabiyah, 1978), 13.

3
pendapat sahabat dan tabiin yang valid, atau berasal dari rasio sehat yang
memenuhi kriteria dan prasyarat ijtihad.4
Adapun ad-dakhîl secara etimologi bermakna antara lain; (a)
orang yang berafiliasi kepada yang bukan komunitasnya, (b) tamu, disebut
dakhîl karena ia masuk ke rumah orang lain yang dikunjunginya, (c) kata
serapan, karena ia berasal dari bahasa asing, dan (d) orang asing yang
datang untuk tujuan eksploitasi.5
Sementara secara terminologis, al-dakhîl adalah penafsiran al-
Quran yang tidak memiliki sumber, argumentasi dan data yang valid dari
agama. Dengan kata lain, al-dakhîl adalah penafsiran yang tidak memiliki
landasan yang valid dan ilmiah, baik dari Al-Qur’an, hadits sahih, pendapat
sahabat dan tabiin, maupun dari akal sehat yang memenuhi kriteria dan
prasyarat ijtihad.6
B. Macam-macam Al-Ashil dan Al-Dakhil
Dalam buku al-dakhîl karya Fâyed dijelaskan tujuh klasifikasi al-
dakhîl dalam penafsiran yaitu; dakhîl yang berasal dari riwayat israiliyat,
hadtis maudhû‘ dan dhaîf, dakhil penafsiran dari sekte Bâthiniyah, dakhil
penafsiran sufistik yang mengabaikan makna eksoteris, penafsiran dari aspek
linguistik, dakhil penafsiran dari sekte Bâbiyah, Bahâ’iyah dan Qadyâniyah,
serta dakhil penafsiran dari sebagian pemikir kontemporer.7
Namun dalam beberapa karya ulama lain, al-dakhîl diklasifikasi
menjadi tiga jalur yaitu jalur al-ma’tsûr (riwayat), jalur al-ra’y (rasio) dan jalur
al-isyârah (intuisi). Masing-masing jalur kemudian dibagi lagi menjadi
beberapa bagian.
1. Al-dakhîl jalur al-atsar (riwayat), meliputi: hadits maudhû’ (palsu), hadits
dha‘îf (lemah), riwayat isra’iliyat yang bertentangan dengan Al-Quran dan
sunnah, pendapat sahabat dan tabiin yang tidak valid, pendapat sahabat dan

4
Husayn Muhammad Ibrahim Muhammad ‘Umar, al- Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Kairo:
Universitas Al-Azhar, t.th.), 11.
5
Majd al-Dîn Muhammad ibn Ya‘qûb ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn ‘Umar al-Shayrâzî al-
Fayrûz Âbâdî, al-Qâmûs al-Muhîth wa al-Qâbûs al- Wasîth al-Jîmi‘ li Mâ Dzahaba min Kalâm
al-‘Arab Shamâmîth, (Bairut: Mu’assasah al-Risalah, 1407 H), 275.
6
Ibid., 13-14.
7
Fayed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, 102-108.

4
tabiin yang bertentangan dengan Al-Quran, sunnah, hukum logika dan
tidak dapat dikompromikan.8

2. Al-dakhîl dari jalur ra’yu (rasio), meliputi: tafsir yang didasari niat buruk
dan skeptisme terhadap ayat-ayat Allah, tafsir eksoteris tanpa
mempertimbangkan sisi kepantasan bila disemat- kan kepada Dzat Allah,
penafsiran distorsif atas ayat-ayat dan syariat Allah dengan mengabaikan
sisi literal ayat, tafsir esoteris yang tidak didukung argumentasi yang kuat,
penafsiran yang tidak berbasis pada prinsip dan kaidah tafsir yang baku,
penafsiran saintifik yang terlalu jauh dari konteks linguistik, sosiologis dan
psikologis ayat .9

3. Al-dakhîl dari jalur al-isyârah (intuisi), meliputi antara lain: tafsir esoteris
yang dilakukan oleh sekte Bâthiniyah, tafsir sebagian kaum sufi yang tidak
mengindahkan makna eksoteris ayat. Secara lebih detail, klasifikasi al-
dakhîl di atas dapat dilihat pada tabel berikut:10

Klasifikasi al-
No. Sumber Bentuk/Macam
Dakhîl

1. bi al-Ma’tsûr Riwayat 1. Isra’iliyat;


- Sunnah, 2. Hadis maudhû’ (palsu); dan hadits
dhaîf (lemah);
- Pendapat
3. Pendapat sahabat dan tabiin yang
sahabat dan tidak valid
tabiin 4. Pendapat sahabat dan tabiin yang
- Isra’iliyat bertentangan dengan Al-Quran,
sunnah, hukum logika dan tidak
dapat dikompromikan.

8
Jamâl Mushthafâ ‘Abd al-Hamîd ‘Abd al-Wahhâb al- Najjâr, Ushûl al-Dakhîl fî Tafsîr Âyi
al-Tanzîl (Kairo: Universitas Al-Azhar, 2009), 27.
9
al-Najjâr, Ushûl al-Dakhîl fî Tafsîr Âyi al-Tanzîl, 28.
10
Muhammad Ulinnuha, “Konsep Al-Ashîl dan Al-Dakhîl dalam Tafsir Al-Quran”, Journal
Madania, Vol. 2. (Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta), 9.

5
2. bi al-Ra’yi Rasio/Ijtihad 1. Tafsir yang didasari niat buruk dan
skeptisme terhadap ayat-ayat Allah;
2. Tafsir eksoteris (tektualis) tanpa
mempertimbangkan terhadap sisi
kepantasannya bila disematkan
kepada Dzat Allah;
3. Penafsiran distorsif atas ayat-ayat
dan syari’at agama;
4. Penafsiran yang tidak berbasis pada
prinsip dan kaidah tafsir yang
disepakati mayoritas ahli tafsir;
5. Penafsiran saintifik yang terlalu
jauh dari konteks linguistik,
sosiologis dan psikologis ayat.

3. bi al-Isyârah Hati/Intuisi 1. Tafsir esoteris yang dilakukan oleh


sekte Bâthiniyah, Bahâ’iyah dan
Qadyâniyah;
2. Tafsir sebagian kaum sufi yang
menafikan makna eksoteris ayat
dan tidak memiliki argumentasi
yang kuat.

C. Faktor Masuknya al-Dakhil dalam Tafsir


Untuk dapat menjelaskan tentang bagaimana sebuah tafsir dapat
dimasuki oleh hal-hal yang bertentangan dengan hukum islam dapat dilihat dari
dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal:
1. Faktor Eksternal, yaitu dari orang-orang yang memusuhi al-Qur’an,
diantaranya orang-orang Yahudi, Nashrani, Komunis, filosof eksistensi
dan lain-lain, yang ingin merusak Islam dan mengotori ajaran Islam dengan
hal-hal yang tidak layak. Mereka menyebar dan menyelipkan khurafat dan
kebatilan-kebatilan kedalam al-Qur’an agar umat Islam merasa ragu
dengan agamanya sendiri dari kitabnya. Di antaranya;

a. Faktor Kebencian Terhadap Islam


Golongan yang tidak senang dengan Islam sengaja membuat
berbagai riwayat palsu dengan tujuan untuk mengoyak Islam secara
internal. Berbagai penafsiran yang tidak memiliki dasar kuat mereka buat

6
dan sebarkan di tengah-tengah umat. Salah satu contoh al-dakhîl melalui
hadits palsu yang dibuat dalam konteks ini adalah kisah Gharânîq (salah
satu jenis berhala yang disembah kaum kafir Quraisy) yang dikaitkan
dengan asbab nuzul (QS. al-Hajj: 53)

       


       
 
“Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, sebagai
cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang
kasar hatinya. dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu, benar-benar
dalam permusuhan yang sangat”.

Tentu riwayat gharânîq ini dianggap tidak rasional dan


bertentangan dengan logika hukum ‘ishmah al-nubûwah (perlindungan
terhadap Nabi Muhammad saw). Karenanya tidak berlebihan jika para
pakar hadis dan tafsir membantah status riwayat tersebut dan
menggolongkannya ke dalam hadis palsu. Beberapa diantaranya adalah
Ibn ‘Athiyah (481-541 H) dan Syihabuddin al- Alûsî (1217-1270 H)37.
2. Faktor Internal, yaitu mereka yang mengaku bagian dari sekte Islam.
Tetapi memiliki kepentingan pribadi dengan cara memanipulasi ayat-ayat
al-Qur’an dan Hadits.
a. Faktor Politik dan Kekuasaan

Pertentangan politik yang timbul sejak akhir kekhalifahan


Ustman ibn Affan dan awal kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib bisa
dikatakan sebagai sebab munculnya sekte-sekte yang saling menyerang
dengan cara membuat hadits dan beragam penafsiran sektarian.
Misalnya, menafsirkan (QS. al-Lahab: 1)

     


“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan Sesungguhnya dia akan binasa.”

Ayat ini ditafsirkan oleh Syi’ah Rafidhah Sebagai Abu Bakar


dan Umar ibn al-Khattab. Padahal ayat tersebut sangat jelas bahwa yang
dimaksud adalah Abu Lahab sendiri. Kemudian ayat (QS. al-Rahmân: 19)
   

7
“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu”

Ayat ini ditafsirkan oleh Syi’ah Rafidhah sebagai ‘Ali dan


Fathimah. Padahal ayat tersebut menjelaskan tentang kebesaran Allah
tentang lautan yang bertemu, yang tidak dapat dijangkau oleh akal
manusia. dan ayat yang lain seperti (QS. al-Naba’:1-2)

      


“Tentang Apakah mereka saling bertanya-tanya?. tentang berita yang
besar.”
Ayat ini ditafsirkan oleh Syi’ah Rafidhah Sebagai Ali ibn Abu
Thalib,11 padahal yang dimaksud dari berita besar yaitu tentang datangnya
hari kiamat. Masih banyak lagi penafsiran-penafsiran subjektif yang
mendukung dan memuja madzhab mereka.
b. Faktor Fanatisme

Fanatisme adalah sikap yang tidak baik, sebab sikap ini dapat
merusak objektifitas mufasir. Diantara contoh al-dakhîl yang disebabkan
faktor fanatisme adalah penafsiran sebagian kelompok Syi‘ah terhadap
Q.S. al-Mâ’idah: 55.

      


      
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-
orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya
mereka tunduk (kepada Allah).”

Mereka mengatakan bahwa ketika ‘Ali ibn Abi Thalib


sedang shalat tiba-tiba datang seorang pengemis, maka Ali ibn Abi
Thalib yang sedang dalam keadaan ruku’ memberikan cincin kepada si
pengemis itu. Terkait dengan kejadian inilah, maka (QS. al-Mâ’idah: 55)
diturunkan. Contoh lain adalah penafsiran kaum Syi‘ah atas (QS. Qâf
[50]:24.)
      

11
Abdul Wahhab Fayed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Kairo: Matba’ah al-
Hadharah al- ‘Arabiyah, 1978), 102-108.

8
“(Allah berfirman)" lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua
orang yang sangat ingkar dan keras kepala”

Mereka melansir sebuah riwayat palsu yang berbunyi: “Ketika


kiamat datang, Allah berfirman kepadaku (Muhammad) dan ‘Ali ibn
Abi Thalib: ‘Masukkanlah orang-orang yang kalian cintai ke surga, dan
masukkanlah orang-orang yang kalian benci ke neraka’. Riwayat ini
menurut mereka merupakan tafsiran ayat (QS. Qaaf:24). Padahal yang
dimaksud kalian berdua adalah malaikat, karena yang bertugas di neraka
adalah malaikat bukan Rasulullah atau Ali ibn Abi Thalib.

c. Faktor Perbedaan Mazhab

Perbedaan (ikhtilâf) adalah suatu kepastian, sunnatullah, dan


manusia tidak mungkin untuk menghindarinya. Ikhtilâf dapat
dibenarkan selama tidak menyangkut masalah akidah yang prinsip,
melainkan dalam masalah furû‘. Karena itu, kehadiran berbagai macam
sekte kerap menjadi bumerang bagi umat Islam. Mereka tidak segan-
segan menjadikan al-Quran sebagai alat justifikasi terhadap ajaran sekte
mereka. Salah satu contonya adalah apa yang dilakukan Ahmadiyah
Qadyan. Karena meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang
nabi, maka berbagai ayat yang memungkinkan untuk dijadikan
pembenar ajaran tersebut, mereka tafsirkan secara subjektif sesuai
ajarannya. Misalnya ketika menafsirkan (QS. al-Nisa’:69)

       


     
     
“dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan RasulNya, mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah,
yaitu: para nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang saleh. dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”

Mereka mengatakan bahwa frase min al-nabîyîn wa al-


shiddîqîn wa al- syuhadâ’ wa al-shâlihîn adalah penjelasan (bayân)
bagi frase sebelumnya; wa man yuthi‘illah wa al-rasûl. Berdasarkan
penjelasan semacam ini maka umat Muhammad sangat dimungkinkan

9
untuk mencapai empat derajat sebagaimana disebutkan pada ayat tersebut,
yakni; kenabian (nubûwah), kebenaran, (shiddîqîyah), persaksian
(syahâdah) dan kebaikan (shalâh). Dengan demikian, semua orang yang
taat kepada Allah dan Rasul-Nya dimungkinkan dapat mencapai derajat
kenabian, seperti halnya Ghulam Ahmad.12 Padahal mayoritas ulama
menjelaskan bahwa ayat di atas merupakan tafsiran bagi ayat ketujuh surat
al-Fâtihah. Artinya, jalan bagi orang-orang yang tidak tersesat dan tidak
dimurkai Allah adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya yang sudah
direfleksikan dan diaplikasikan oleh para Nabi, shiddîqîn, syuhadâ’ dan
shâlihîn.13
d. Faktor Spiritualisme yang Keliru

Niat baik yang tidak dilandasi pengetahuan yang cukup tidak


selamanya berimplikasi kepada kebaikan. Salah satu contohnya adalah apa
yang dilakukan sebagian muballigh yang dengan sengaja melansir riwayat
tanpa mengetahui status dan validitas riwayat tersebut. Alih-alih membawa
kebaikan, riwayat-riwayat semacam itu bisa jadi malah menimbulkan
polemik yang berkepanjangan.

Mereka sengaja membuat riwayat-riwayat palsu mengenai


keutamaan (fadhail) surat-surat Al-Qur’an dengan tujuan agar umat Islam
gemar membaca dan mengamalkan Al-Qur’an. Riwayat-riwayat palsu itu
kemudian dinukil oleh sebagian mufasir seperti Al-Zamakhsyari (467-
538 H). dalam tafsirnya, Al-Zamakhsyari melansir berbagai riwayat
mengenai keutamaan surat-surat Al-Quran seperti surat al-Nâzi‘ât, al-
Infithâr, al-Burûj, al-Fajr, al-Dhuhâ, al-Tîn, al-Takâtsur, al-Kautsar, al-
Kâfirûn.14 dan beberapa surat lainnya. Namun setelah diselidiki ternyata
status riwayat-riwayat tersebut tidak valid dan karenanya dapat
dikategorikan sebagai al-dakhîl.
e. Masuknya Cerita-Cerita Israiliyyat

12
Shaykh Muhammad Al-Khadhir Husayn, al-Qadyânîyah (Kairo: Al Makatabah Al
Salafîyah, 1932), 59-60.
13
Ibn Katsir. Tafsir al-Qur’ân al-’Azhîm, (Kairo: Dâr al-Turâts, 2000), 75.
14
Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, Terutama Ketika Menafsirkan Juz ‘Amma. Lihat juga Fâyed, al-
Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al- Karîm, Juz 2, 59-61.

10
Sebelum Islam datang, ada satu golongan yang disebut dengan
kaum Yahudi, yaitu sekelompok kaum yang dikenal mempunyai
peradaban yang tinggi dibanding dengan bangsa Arab pada waktu itu.
Mereka telah membawa pengetahuan keagungan berupa cerita-cerita
keagamaan dari kitab suci mereka.15

Pada waktu itu mereka hidup dalam keadaan tertindas. Banyak


di antara mereka yang lari dan pindah ke Jazirah Arab. Ini terjadi kurang
lebih pada tahun 70M. Pada masa inilah diperkirakan terjadinya
perkembangan besar-besaran kisah-kisah Israiliyyat, dan mengalami
kemajuan pada taraf tertentu. Disadari atau tidak, maka terjadilah proses
percampuran antara tradisi bangsa Arab dengan khazanah tradisi
Yahudi tersebut.16 Dengan kata lain, adanya kisah Israiliyyat merupakan
konsekuensi logis dari proses akulturasi budaya dan ilmu pengetahuan
antara bangsa Arab Jahiliyah dan kaum Yahudi serta Nasrani.

Dikutip dari perkataan Muhammad Husain al-Dzahabi, Lafad


Israiliyyat secara tekstual menunjukkan kepada cerita atau berita-berita
yang berasal dari yahudi atau bani Israil, meskipun demikian lafadz
Israiliyyat digunakan pula penyebutannya kepada berita-berita dan cerita
zaman dahulu yang berasal dari selain yahudi baik itu nasroni, majusi, dan
selainnya.17

Menurut Sayyid Ahmad Khalil, Israiliyyat adalah riwayat-


riwayat yang berasal dari ahli kitab, baik yang berhubungan dengan agama
mereka ataupun yang tidak ada hubungan sama sekali dengannya.
Penisbatan riwayat Israiliyyat kepada orang-orang Yahudi karena pada
umumnya para perawinya berasal dari kalangan mereka yang sudah masuk
Islam.18
Pendapat lain menyatakan bahwa timbulnya Israiliyyat adalah,
pertama, karena semakin banyaknya orang-orang Yahudi yang masuk
15
Musa’id Muslim Abdillah Ali Jafar, Atsar al-Tathawwur al-Fikr fi al-Tafsir fi al-Abbasi (Bairut:
Mu`asasah al-Risalah, 1984), 120.
16
Amin al-Khulli, Manhaj al-Tajdid fi al-Tafsir, (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1961), 227.
17
Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Israiliyyat fi al-Tafsir wa al-Hadits, (Cairo: Maktabah
Wahbah, 1990 M/1411 H), 13-14.
18
Sayyid Ahmad Khalil, Dirasat fi al-Qur`an, (Mesir: Dar al-Ma’rifah, 1961), 113.

11
Islam. Sebelumnya mereka adalah kaum yang berperadaban tinggi. Tatkala
masuk Islam mereka tidak melepaskan seluruh ajaran-ajaran yang mereka
anut terlebih dahulu, sehingga dalam pemahamannya sering kali tercampur
antara ajaran yang mereka anut terdahulu dengan ajaran Islam.
Pada masa sahabat tidak ada seorangpun diantara Sahabat yang
berdalil tentang keesaan Allah SWT dan kerasulan Muhammad SAW
kecuali mereka berdalil dengan al-Qur`an dan al-Sunnah. Mereka tidak
mengetahui sedikitpun tentang perdebatan ilmu kalam dan masalah
filsafat. Pengembalian permaslahan mereka semuanya dikembalikan
kepada Rasulullah SAW. Para Sahabat bertanya kepada Nabi tentang ayat-
ayat yang dianggap sulit, oleh karena itu tafsir Sahabat semuanya shahih
dan benar.19
Kemudian berlanjut ke masa tabiin. Pada masa ini mulai
terdapat kelemahan dalam tafsir. Mereka kurang berpegang kepada manhaj
para sahabat dalam menyaring berita yang datang dari Ahli kitab dan tidak
menelitinya dengan penelitian yang mendalam. Ada beberapa tabiin yang
memasukkan Israiliyyat yang asing, dan cerita-cerita yang ajaib. Dalam
Tafsir At-Thabari misalnya, banyak terdapat Israiliyyat diantaranya yang
dinisbahkan kepada Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubair dan lain-lain.
Cerita-cerita Israiliyyat bertambah lebih banyak lagi pada masa
setelah tabi'in, orang yang paling tekenal memasukkan cerita Israiliyyat
antara lain adalah Muhammad bin Saib al-Kalbi, Muqatil bin Sulaiman
dan Muhammad bin Marwan As-Sadi Ash-Shagir.
Rasulullah memberikan peringatan kepada sahabat untuk
berhati-hati apabila mendapatpan cerita-cerita yang berasal dari kaum
yahudi, rasulullah bersabda:

ِ ‫اركِ َعنْ َيحْ َيى ب‬


‫ْن‬ َ ‫ار َح َّد َث َنا ع ُْث َمانُ بْنُ ُع َم َر أَ ْخ َب َر َنا َعلِيُّ بْنُ ْال ُم َب‬ ٍ ‫َح َّد َث َنا م َُح َّم ُد بْنُ َب َّش‬
َ ‫ب َي ْق َرء‬
‫ُون ال َّت ْو َرا َة‬ ِ ‫ان أَ ْه ُل ْال ِك َت ا‬ َ ‫ير َعنْ أَبِي َس لَ َم َة َعنْ أَبِي ه َُر ْي َر َة َق ا َل َك‬ ٍ ِ‫أَبِي َكث‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس لَّ َم‬َ ِ ‫ِب ْال ِعب َْرانِ َّي ِة َو ُي َف ِّسرُو َن َها ِب ْال َع َر ِب َّي ِة أِل َهْ ِل اإْل ِسْ اَل ِم َف َقا َل َرسُو ُل هَّللا‬
‫ب َواَل ُت َك ِّذبُو ُه ْم َوقُول ُوا { آ َم َّنا ِباهَّلل ِ َو َما أ ُ ْن ِز َل } اآْل َي َة‬ ِ ‫ص ِّدقُوا أَهْ َل ْال ِك َتا‬ َ ‫اَل ُت‬

19
Muhammad Sa’id Muhammad Athiyyah Aram, As-Sabil ila Ma'rifat al-Ashil wa al-Dakhil fi
al-Tafsir. (Zaqaziq: Misr, 1998 M/1419 H), 48.

12
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah
menceritakan kepada kami Utsman bin Umar telah mengabarkan kepada
kami Ali bin Mubarak dari Yahya bin Abu Katsir dari Abu
Salamah dari Abu Hurairah berkata, "Ahli kitab membaca Taurat dengan
bahasa Ibrani, dan mereka menafsirkannya dengan bahasa arab untuk
pemeluk Islam." Spontan Rasulullah Sallallahu'alaihiwasallam bersabda:
"Jangan kalian membenarkan ahli kitab dan jangan pula mendustakan
mereka, katakan saja: ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang
diturunkan'." (HR. Al-Bukhari No. 6987).

Dalam penjelasan hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa


cerita-cerita israiliyat dibagi menjadi dua, ada yang maqbul dan ada yang
mardud, diantara contoh israiliyat yaang maqbul yaitu
‫ت‬ ُ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْن ُه َم ا قُ ْل‬ ِ ‫اص َر‬ ِ ‫ْن ْال َع‬ ِ ‫ِيت َع ْب دَ هَّللا ِ ب َْن َعمْ ِرو ب‬
ُ ‫ار َق ا َل لَق‬ ِ ‫َع َط ا ِء ب‬
ٍ ‫ْن َي َس‬ ْ‫َعن‬
‫ص لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس لَّ َم فِي ال َّت ْو َرا ِة َق ا َل أَ َج ْل َوهَّللا ِ إِ َّن ُه‬
َ ِ ‫ول هَّللا‬
ِ ‫ص َف ِة َر ُس‬
ِ ْ‫رْ نِي َعن‬ ‫أَ ْخ ِب‬
َ ‫آن َيا أَ ُّي َها ال َّن ِبيُّ إِ َّنا أَرْ َس ْل َن‬
‫اك َش ا ِه ًدا َو ُم َب ِّش رً ا‬ ِ ْ‫ض صِ َف ِت ِه فِي ْالقُر‬ِ ْ‫لَ َم ْوصُوفٌ فِي ال َّت ْو َرا ِة ِب َبع‬
‫ْس ِب َف ٍّظ َواَل َغلِي ظٍ َواَل‬ َ ‫ت َع ْب دِي َو َر ُس ولِي َس َّم ْي ُت َك الم َت َو ِّك َل لَي‬ َ ‫َو َن ِذيرً ا َو ِح رْ ًزا لِأْل ُ ِّمي‬
َ ‫ِّين أَ ْن‬
‫ض ُه هَّللا ُ َح َّتى ُيقِي َم‬ َ
ِ ‫ب فِي اأْل سْ َو‬
َ ‫اق َواَل َي ْد َف ُع ِبال َّس ِّي َئ ِة ال َّس ِّي َئ َة َولَكِنْ َيعْ فُو َو َي ْغفِ ُر َولَنْ َي ْق ِب‬ ٍ ‫َس َّخا‬
ُ ‫ِب ِه ْال ِملَّ َة ْال َع ْو َجا َء ِبأَنْ َيقُولُوا اَل إِلَ َه إِاَّل هَّللا‬
“Dari Atha` bin Yasar, dia berkata : Aku menjumpai Abdullah bin Amr
bin ‘Ash radhiyallahu anhuma, lalu aku mengatakan,”Beritahukan
kepadaku tentang sifat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada
di dalam Taurat!’ Dia menimpali : “Ya. Demi Allah, sesungguhnya beliau
itu diterangkan sifatnya dalam Taurat dengan sebagian sifat yang ada di
dalam al Qur`an, (yaitu),’Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu
untuk menjadi saksi dan pembawa kabar gembira, dan pemberi peringatan
serta penjaga bagi orang-orang Arab. Kamu adalah hamba dan RasulKu.
Namamu al mutawakkil, bukan keras dan kasar,’ dan Allah Azza wa Jalla
tidak mencabut nyawanya sampai dia berhasil meluruskan millah (agama)
yang bengkok dengan mengatakan laa ilaha illallah” (HR. Bukhari)

Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa amr bin asy


menjelaskan sifat-sifat nabi yang akan datang dengan menggunakan
pengetahuannya tentang kitab taurat. Apa yang dipaparkan amr bin asy
ternyata sama dengan sifat nabi yang Allah sebutkan dalam al-Quran (QS.
Ali Imran:159).
          
       
        

13
      
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Ayat tersebut menjelaskan bahwa sifat nabi Muhammad adalah


lemah lembut, sehingga antara berita israiliyat dan ayat al-Quran tidak
bertentangan, oleh sebab itu cerita israiliyat yang tidak bertentangan
dengan al-Quran dan Hadits maka disebut israiliyat maqbul. Dan masih
banyak firman Allah SWT yang berkenaan dengan hal tersebut,
sebagaimana yang terkandung dalam Q.S. 7:157 dan 188, Q.S. 9:128,
29:48, 41:6, 42:15, 48:29, 62:2.
Diantara contoh israiliyat yang mardud atau tidak sesuai dengan
al-Quran dan Hadits yaitu hadits dari Ibnu Mas’ud, bahwa ada seorang
pendeta Yahudi yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan
mengatakan,:
‫ وس ائر الخالئ ق على إص بع‬،‫ إنا نجد أن هللا يجعل الس ماوات على إص بع‬،‫يا محمد‬
‫ أنا الملك‬:‫فيقول‬
“Wahai Muhammad, kami mendengar bahwa Allah menjadikan langit di
satu jari dan semua makhluk juga di salah satu jari. Lalu Allah berfirman:
“Sayalah Raja.”
Mendengar hal ini, Nabi Muhammad saw. langsung tertawa,
sehingga terlihat gigi geraham beliau, 20 Kemudian Nabi Muhammad
saw. membaca firman Allah;
       
     
    
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang
semestinya Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari
kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha suci Tuhan
dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.”

20
Ibn Jabir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur`an, (Bairut: Dar al-Fikr, 1988), 26-27.

14
Menurut Imam al-Khatibi nabi Muhammad saw tersenyum
bukan karena membenarkan apa yang disampaikan pendeta yahudi, beliau
kaget dan ingkar terhadap ucapan Yahudi yang menyerupakan Allah
dengan sesuatu. Ucapan penyerupaan itu merupakan rekayasa Yahudi
yang biasa menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.21

21
Ibn Hajar al-Atsqalani, Fath al-Bary, Juz XIII, hlm. 310.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan teori tentang al-ashil dan al-dakhil dapat
disimpulkan menjadi beberapa bagian penting sesuai teori yang telah
disebutkan yaitu:
1. Al-ashil merupakan metode tafsir yang dikategorikan sebagai tafsir yang
maqbul atau dapat diterima dikalangan ulama’ tafsir karena menggunakan
sumber-sumber hukum islam yang valid seperti al-Quran, Hadits, dan
Ijtihad yang benar. Sedangkan al-dakhil adalah metode penafsiran yang
dikategorikan sebagai tafsir mardud, karena sumber-sumber yang
diguunakan untuk menafsirkan ayat al-Quran bertentangan dengan al-
Quran, hadits, dan Ijtihad yang benar.
2. Secara umum macam-macam al-ashil dan al-dakhil, terdiri dari 3 jenis tafsir
bi al-ma’tsur, bi al-ra’yi, dan bi al-isyari, ketiga jenis tafsir tersebut dapat
menjadi al-ashil dan al-dhakhil tergantung dari kevalidan sumber yang
dipakai mufassir.
3. Faktor-faktor yang menyebakan terjadinya al-dakhil dalam tafsir
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Di antara faktor-faktor
eksternal yaitu faktor kebencian terhadap umat islam sedangkan faktor
internalnya dapat disebabkan oleh faktor politik dan kekuasaan, faktor
fanatisme, faktor perbedaan mazhab, faktor spiritualisme yang keliru, dan
masuknya cerita-cerita israiliyyat.

16
DAFTAR PUSTAKA

Âbâdî, Majd al-Dîn Muhammad ibn Ya‘qûb ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn
‘Umar al-Shayrâzî al-Fayrûz, al-Qâmûs al-Muhîth wa al-Qâbûs al-
Wasîth al-Jîmi‘ li Mâ Dzahaba min Kalâm al-‘Arab Shamâmîth,
Bairut: Mu’assasah al-Risalah, 1407 H..
Al-Dzahabi, Muhammad Husain. Al-Israiliyyat fi al-Tafsir wa al-Hadits, (Cairo:
Maktabah Wahbah, 1990 M/1411 H.
Ali Jafar, Musa’id Muslim Abdillah. Atsar al-Tathawwur al-Fikr fi al-Tafsir fi al-
Abbasi, Bairut: Mu`asasah al-Risalah, 1984.
Al-Khulli, Amin. Manhaj al-Tajdid fi al-Tafsir, (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1961),
227.
Al-Najjâr, Jamâl Mushthafâ ‘Abd al-Hamîd ‘Abd al-Wahhâb. Ushûl al-Dakhîl
fî Tafsîr Âyi al-Tanzîl, Kairo: Universitas Al-Azhar, 2009.
Al-Thabari, Ibn Jabir. Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur`an, Bairut: Dar al-Fikr,
1988.
Aram, Muhammad Sa’id Muhammad Athiyyah. As-Sabil ila Ma'rifat al-Ashil wa
al-Dakhil fi al-Tafsir. Zaqaziq: Misr, 1998 M/1419 H.
Aram, Muhammad Sa’id Muhammad Athiyyah. As-Sabil ila Ma'rifat al-Ashil wa
al-Dakhil fi al-Tafsir. Zaqaziq: Misr, 1998 M/1419 H.
Fayed, Abdul Wahhab. al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Kairo: Matba’ah
al-Hadharah al-Arabiyah, 1978.
Husayn, Shaykh Muhammad Al-Khadhir. al-Qadyânîyah, Kairo: Al
Makatabah Al-Salafîyah, 1932..
Katsir, Ibn. Tafsir al-Qur’ân al-’Azhîm, Kairo: Dâr al-Turâts, 2000.
Khalil, Sayyid Ahmad. Dirasat fi al-Qur`an, Mesir: Dar al-Ma’rifah, 1961.
Syuaib, Ibrahim Syuaib. Metodologi Kritik Tafsir, al-dakhil fi al-Tafsir, Bandung:
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Jati, 2008.
Ulinnuha, Muhammad, “Konsep Al-Ashîl dan Al-Dakhîl dalam Tafsir Al-Quran”,
Journal Madania, Vol. 2. (Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta.
Umar, Husayn Muhammad Ibrahim Muhammad. al- Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-
Karîm. Kairo: Universitas Al-Azhar, t.th.

17

Anda mungkin juga menyukai