BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Barat, dengan segala perkembangan keilmuannya yang begitu
mapan, nampaknya memberikan pengaruh yang sangat besar; tidak
hanya bagi peradaban barat itu sendiri, tetapi juga bagi peradaban
Timur. Pasalnya, dewasa ini, banyak sekali para ilmuan barat itu
menceburkan dirinya ke dalam dunia timur, untuk meneliti segala
keilmuan yang termuat di dalamnya. Pendekatan yang dipakai pun
adalah pendekatan ilmiah. Segala bangunan keilmuan yang sudah
dianggap kokoh oleh para sarjana timur, digoncangkan kembali;
sehingga tidak jarang para orientalis itu melahirkan suatu
kesimpulan yang benar-benar meragukan keyakinan yang telah
dibangun oleh orang-orang muslim selama berabad-abad itu.
Di antara hal-hal yang dijadikan objek kajian oleh orang-orang
barat itu adalah Nabi Muhammad; sebagai sosok yang diyakini
sebagai seorang nabi oleh seluruh muslimin. Ada sebagian dari
orientalis itu yang menyimpulkan bahwa nabi muhammad itu
bukanlah seorang rasul, melainkan seorang pemimpin perampok,
politikus, sekaligus juga seorang oportunis. 1 Tentu kesimpulan
semacam ini sangat bertolak belakang dengan apa yang diyakini
oleh semua orang muslim, bahwa Nabi Muhammad itu adalah
seorang rasul maksum yang terbebas dari segala bentuk kesalahan.
Hal lain, yang tidak luput dari sorotan para orientalis itu
adalah Alquran dan Hadis; sebagai dua sumber utama yang
mengokohkan keyakinan umat muslim terhadap agamanya.
Mengenai hadis, banyak di antara orientalis itu mempertanyakan
ulang kitab-kitab hadis yang oleh sebagian umat islam sudah
menjadi kitab yang sakral, dalam arti tidak perlu lagi diragukan
kebenaran hadis-hadis yang termuat di dalamnya. Seperti shahih
bukhari dan shahih muslim (shahihain). Bisa mereka kritisi kitab
hadis itu melalui kriteria yang ditetapkan oleh penulis kitab hadis
dalam menetapkan keadilan seorang perawi dan lain sebagainya.
2 Ibid,
ada kesadaran dan kepedulian yang lebih dari para sarjana muslim
terhadap persoalan ini, agar keilmuan yang telah dibangun oleh
para ulama terdahulu tidak dimonopoli oleh sarjana-sarjana barat
yang fanatik.
BAB II
Pembahasan
A. Biografi arthur jeffrey
Arthur Jeffrey dilahirkan di Melbourne-Australia pada tanggal 18
Oktober 1892 dan meninggal pada 2 Agustus 1959 di Milfrod
Selatan, Nova Scotia, Canada.3 Seperti yang diungkap oleh Adnin
Armas dalam tulisannya yang termuat di dalam Jurnal Islamia,
bahwa setelah menyelesaikan studi s2 di universitas Melbourne-
Australia, Jeffrey langsung berangkat menuju India sebagai seorang
misionaris kristen. Di India, lebih tepatnya di Madras Christian
College, ia bekerja sebagai seorang dosen. Di sanalah kemudian
Jeffrey berkenalan dengan seorang pastur yang bernama Edward
Sell. Edward Sell inilah yang menginspirasi Jeffrey untuk
menerjunkan diri dalam dunia pengkajian Alquran. Sehingga kelak,
ia banyak melahirkan karya-karya kritis seputar kesejarahan
Alquran.4
Belum Jeffrey menginjakkan kakinya di tanah India, ia langsung
pergi menuju Kairo-Mesir untuk menjabat sebagai staf di fakultas
School of orientalis Studies. Di Kairo ia bertemu dengan beberapa
orientalis yang cukup ternama seperti Earl E. Elder, William Henry,
Temple Graidner, dan Samuel Marinus Zwemer. Mereka inilah para
orientalis pencetus Konferensi Umum Misionaris Kristen dan
penggagas Jurnal The Muslim World; salah satu jurnal yang
dikemudian hari banyak memuat tulisan-tulisan Jeffrey terkait
dengan kritiknya terhadap kesejarahan Alquran. Kemudian oleh
Zwemer, Jeffrey diangkat menjadi editor pembantu dalam Jurnal The
Muslim World, sekalipun level pendidikannya masih sekelas master.5
3 Wikipedia.
4 Adnin Armas, Orientalis dan Misi Kristen, Majalah Islamia, edisi kamis, 23
September 2010.
Nampaknya di Kairo, Jeffrey mulai menerjunkan diri mempelajari
dunia islam, Nabi Muhammad, dan Alquran. Banyak karya yang
akhirnya berhasil beliau ciptakan. Di antara karya-karya itu adalah
tulisan yang berjudul Christian at Mecca, Material History for the
Alquran, The Textual History of Alquran, dan lain sebagainya.
Arthur Jeffrey memang seorang orientalis yang cukup dihormati
dan memiliki pengaruh bagi rekan-rekannya. Hal itu terlihat dari
ungkapan salah seorang koleganya, Jhon S Badeau yang
mengatakan, Kepakarannya memang layak untuk mendapatkan
setting yang lebih luas dan secara alami melebarkan lingkaran
pengaruh, pengajaran dan penelitiannya. Namun dengan
kepergiannya, Univeristas Amerika di Kairo dan komunitas sarjana di
Mesirbaik kalangan Mesir maupun Asing kehilangan sebuah
pengaruh yang tidak akan pernah dapat tergantikan.
Setelah lama berada di Mesir, ia pun pergi menuju Universitas
Columbia-Amerika. Di sana, karirnya sebagai seorang akademisi
terus mengalami perkembangan. Pada tahun 1938, Jeffery
mendapat anugerah gelar Doktor dalam kesusastraan (D.Litt)
dengan prestasi Summa Cum Laude dari Edinburg University.
Keahliannya dalam menguasai 19 bahasa membuat Jeffrey diangkat
menjadi seorang guru besar di Fakultas Near Eastern and Middle
East Language.
Seperti yang disampaikan oleh Adnin Armas, bahwa Jeffrey
terpengaruh dengan seruan yang dikumandangkan oleh Edward Sell
yang menyarankan para orientalis yang ingin mengkaji Alquran,
agar memfokuskan diri pada historisitas Alquran saja. oleh sebab
itulah, Jeffrey kemudian memfokuskan kajiannya pada kajian sejarah
Alquran dan kemudian bercita-cita untuk menciptakan suatu karya
Alquran edisi kritis. Demi mewujudkan cita-citanya itu, kemudian
Jeffrey mengumpulkan segala macam teks yang berbeda dari
berbagai sumber seperti tafsir, hadis, serta manuskrip-manuskrip.
Ia menghimpun segala jenis berbagai varian tekstual yang bisa
didapatkan dari berbagai sumber seperti buku-buku tafsir, hadits,
kamus, qiroah, karya-karya filologis dan manuskrip. Semua ini
dilakukannya untuk merealisasikan gagasan ambisiusnya yaitu,
membuat al-Quran edisi kritik (a critical edition of the Koran).
Dalam fikiran Jeffery, gagasan ambisius ini bisa direalisasikan
dengan dua hal; pertama, menampilkan haditshadits mengenai teks
al-Quran; kedua, menghimpun dan menyusun segala informasi
yang tersebar di dalam seluruh kesusastraan Arab, yang berkaitan
dengan varian bacaan (varratio lection) yang resmi dan tidak resmi
tentang kritis-historis al-Quran.6
5 Op.Cit, hal: 45
B. Gagasan Jeffrey Mengenai Kesejarahan Alquran
Bagi Jeffrey, pada dasarnya setiap agama yang memiliki teks
atau kitab suci; tentunya memiliki persoalan mengenai
keorisinalitasan kitab suci tersebut. Apakah benar teks keagamaan
yang sekarang dapat kita temukan itu adalah teks yang sama
dengan yang dulu, ketika pertama kali teks itu diturunkan. Bukan
hanya Alquran, sebagai kitab suci agama Islam; bahkan
keorisinalitasan kitab suci agama lain pun ia ragukan, seperti Budha
dan Zoroaster.7 Alquran dalam hal ini, tentu mengalami perubahan
kata Jeffrey. Terlebih tatkala ia dibubuhkan tanda baca. Sebab,
dahulu Alquran dituliskan dengan tulisan gundul tanpa
menggunakan tanda baca sedikitpun.
When we come to the Qur'an, we find that our early MSS are
invariably without points or vowel signs, and are in a Kufic script
very different from the script used in our modern copies.8
Saya kira, hal inti yang dipertanyakan oleh Arthur Jeffrey dalam
tulisannya yang berjudul Textual History of Alquran adalah
mengenai perbedaan manuskrip yang dimiliki oleh para sahabat.
Faktanya naskah Alquran yang dibawa oleh Hafsyah bukanlah satu-
satunya naskah Alquran yang dimiliki umat islam di masa itu.
Sebagian sahabat juga memiliki naskahnya masing-masing.
Beberapa sahabat pemiliki naskah Alquran yang disebutkan oleh
Jeffrey seperti Ali bin Abi Thalib, Anas bin Malik, Abu Musa al-Asyari
dengan mushafnya yang dikenal dengan nama Lubab al-Qulub,
Ubay bin Kaab, dan Abdullah bin Masud. Masing-masing mushaf
yang dimiliki oleh tiap-tiap sahabat itu pun memiliki perbedaan yang
cukup signifikan antara satu sama lain. Seperti yang disebutkan
oleh Jeffrey bahwa mushaf Ubai dan Abu Musa mencantumkan dua
surat pendek yang tidak kita dapati pada mushaf ustmani seperti
yang kita dapat temui sekarang.
Memang ini adalah sebuah persoalan, apalagi sejarah berkata
bahwa di masa khalifah Utsman, tatkala Alquran hendak
dikodifikasikan ulang; tiap-tiap mushaf yang dimiliki oleh para
sahabat itu dikumpulkan dan kemudian dibakar. Hanya satu sahabat
6 Jamaluddin Zuhri, Arthur Jeffrey dan Kajian Sejarah Teks Alquran, Kajian
Orientalis terhadap Alquran dan Hadis,hal:48
8 Ibid.
saja menolak untuk mengumpulkan mushafnya, ia adalah Abdullah
bin Masud.9 Ini yang diklaim oleh Jeffrey sebagai bentuk ketidak
sepakatan dari Abdullah bin Masud atas kodifikasi yang dilakukan
oleh khalifah Utsman.
Di dalam bukunya Material History of Alquran, Jeffrey
menyebutkan mushaf-mushaf Alquran yang pernah ada sebelum
kodifikasi pada masa khalifah Utsman dilakukan. mushaf-mushaf itu
adalah mushaf miliknya Salim, Umar, Ubai bin Kaab, Ibn Masud,
Ali, Abu Musa al-Asyari, Hafsa, Zaid bin Tsabit, Aisyah, Umm
Salamah, Abdullah bin Umar, Ibn Abbas, Ibn Az-Zubair, Ubaid bin
Umair, dan Anas bin Malik .
Banyak perbedaan yang ada di dalam mushaf para sahabat
waktu ituyang apabila dibandingkan dengan mushaf yang kita
temui sekarangmemiliki perbedaan yang cukup signifikan. Seperti
Mushaf Ibn Masud yang tidak mencantumkan al-Fathihah, al-Ikhlas,
serta an-Nas. Selain perbedaan yang ditampilkan dari mushaf Ibn
Masud ini, ada lagi perbedaan lain yang terjadi antara satu mushaf
dengan mushaf lainnya. Di antaranya adalah: kata dalam surat
al-Fathihah yang juga ditulis di dalam mushaf lain dengan ,
kemudian kata yang ditulis dalam mushaf lain dengan ,
dalam surat al-Baqarah dapat ditemukan berbagai perbedaan; di
antaranya adalah dengan , dengan , dan lain
sebagainya.10 Banyak sekali perbedaan baik ayat maupun tanda
baca yang ditampilkan oleh Jeffrey tatkala ia merujuk pada berbagai
mushaf terdahulu.11
Dari berbagai pembuktian serta pengkajian yang telah dilakukan
oleh Jeffrey itu, hingga akhirnya ia menyimpulkan bahwa Alquran
yang ada di tengah-tengah kita dewasa ini sudah tidak orisinalitas
lagi. Sudah banyak sekali terdapat penambahan maupun
pengurangan di dalam ayat-ayat yang termuat di dalamnya.
10 Ibid, hal: 25
11 Lebih lanjut, saya sarankan untuk para pembaca agar merujuk langsung ke
buku Jeffrey yang berjudul Material History of Alquran
various processes of alteration as it passed down from generation to
generation in transmission within the community.12
15 Jamaluddin Zuhri, Arthur Jeffrey dan Kajian Sejarah Teks Alquran, Kajian
Orientalis terhadap Alquran dan Hadis,hal: 51
16 Ibid.
kemudia ada pula sebagian dari mereka yang berkeyakinan bahwa
kata Alquran itu bisa diganti sinonimnya. Seperti perkataan Ibn
Masud yang dikutip oleh M.Hadi Marifat:
Setiap kali ada suatu kata yang sulit bagi kamu atau sulit bagi
pembaca untuk memahaminya, maka kata yang sulit itu bisa
diganti dengan kalimat yang mudah, jelas, dan memiliki makna
yang sama. Seperti dalam mushaf Ibn Masud yang mengganti kata
Zukhruf dengan kata Dzahab dan kata Ihn dengan kata Shuf.17
Barangkali, hal yang sama juga terjadi dengan kata Ihdina yang
dirubah menjadi Irsyidna, seperti yang dicantumkan oleh Jeffrey
dalam buku Material History of Alqurannya itu. Sebab makna kata
Ihdina dengan kata Irsyidna secara harfiah tidak memiliki perbedaan
yang teramat jauh; yakni sama-sama berarti menunjuki. Hampir
semua perbedaan kata yang dinukil oleh Jeffrey tidak memiliki
makna yang teramat jauh secara harfiah. Mungkin persoalan makna
ini akan menjadi bermasalah ketika dihadapkan dengan suatu
keyakinan yang menyatakan bahwa tidak ada sinonim dalam
Alquran. Artinya setiap kata itu memiliki makna yang teramat
dalam dan secara hakikat memiliki perbedaan dengan kata yang
lainnya.
Oleh para ulama, perbedaan kata atau Qiraat yang terjadi itu
adalah suatu hal yang sudah dibahas sebelumnya. Penyebabnya
adalah karena tiap-tiap sahabat yang mampu menulis masing-
masing menuliskan surat atau ayat-ayat yang mereka kehendaki.
Tatkala Rasulullah Saw. meninggal, maka masing-masing sahabat itu
saling bertikai serta menganggap bahwa naskah mereka adalah
yang paling benar.18
Hingga pada akhirnya, disepakatilah tujuh qiraat yang diakui
memiliki sanad yang mutawatir kepada Rasulullah Saw. Itulah yang
hingga kini dikenal dengan istilah qiraat as-sabah. Selain itu, ada
hadis yang mengatakan bahwa ,Alquran itu diturunkan dalam
tujuh huruf, yang oleh para ulama ditafsirkan sebagai dalil untuk
kebenaran qiraat as-Sabah.19
Persoalan yang terakhir; yakni mengenai sikap Ibn Masud yang
terkesan tidak menyepakati kodifikasi Alquran yang dilakukan oleh
khalifah Utsman. Jawaban yang diberikan oleh Adnin Armas terkait
masalah ini kiranya perlu juga untuk dipertimbangkan.
17 Ibid.
18 Ibid: 213
19 Ibid: 225
Jeffery mengutip pendapat yang menyebutkan bahwa ketika
Utsman mengirim teks standart ke Kufah dan memerintahkan
supaya teks-teks yang lain dibakar, Ibnu Masud menolak
menyerahkan mushafnya. Di sini jelas Jeffery tidak jujur dalam
menulis sejarah Alquran. Ia tidak mengkaji sikap menyeluruh dari
Abdullah ibnu Masud. Padahal, Kitab al-Masahif yang disuntingnya
menunjukkan bahwa Ibnu Masud meridhai kodifikasi yang
dilakukan Utsman ra Ibnu Masud merevisi pendapatnya yang awal
dan kembali kepada pendapat Utsman dan para Sahabat. Ibnu
Masud menyesali dan malu dengan apa yang telah dikatakannya20
DAFTAR PUSTAKA
20 Adnin Armas, Orientalis dan Misi Kristen, Majalah Islamia, edisi kamis, 23
September 2010.