Anda di halaman 1dari 10

Ilmu Qira’at Al- Qur’an

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Ulumul Qur’an yang dibina oleh

Ujang Supriyatna, S.Ag

Disusun oleh:
➢ Arnis Sapta Hany
➢ Nailah Lestari

Pragram studi pendidikan agama islam


Stai yaperi cibinong
September 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. karena atas rahmat dan
petunjuknya, kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan lancar.
Makalah ini kami tulis untuk memenuhi tugas Ulumul Qur’an dengan judul “Ilmu
Qira’at”.
Namun demikian, kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan. Dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran dari
berbagai pihak sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah berikutnya.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Semoga makalah ini akan besar
manfaatnya untuk dunia pendidikan.

Cibinong, 15 septembet 2023

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Qira’at merupakan salah satu cabang ilmu dalam Ulumul Qur‟an, namun tidak banyak
orang yang tertarik kepadanya, kecuali orang-orang tertentu saja, biasanya kalangan akademik.
Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, diantaranya adalah ilmu ini tidak berhubungan langsung
dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari, tidak seperti ilmu fiqih, hadis, dan tafsir
misalnya, yang dapat dikatakan berhubungan langsung dengan kehidupan manusia.
Hal ini dikarenakan ilmu Qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan secara
langsung dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia. Selain itu,
ilmu Qira’at juga cukup rumit untuk dipelajari. Banyak hal yang harus diketahui oleh peminat ilmu
Qira’at ini, yang terpenting adalah pengenalan al-Qur’an secara mendalam dalam banyak seginya.
Qira’at atau macam-macam bacaan al-Qur’an telah mantap pada masa Rasulullah saw.,
dan beliau mengajarkan kepada sahabat sebagaimana beliau menerima bacaan itu dari Jibril AS.
Sehingga muncul beberapa sahabat yang ahli bacaan al-Qur’an seperti: Ubay bin Kaab, Ali bin
Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, dan Abu Musa al-Asy’ari, mereka itulah yang menjadi
sumber bacaan alQur’an bagi sebagian besar sahabat dan tabi’in.

B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian Qira’at Qurra’ dan sejarahnya?
2. Apa syarat-syarat diterimanya Qira’at?
3. Apa saja macam-macam Qira’atil Qur’an?
4. Bagaimana pendapat para ulama tentang Qira’at?
5. Apa manfaat berpedoman pada Qira’at shahihah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Qira’at
2. Untuk mengetahui syarat diterimanya Qira’at
3. Untuk mengetahui macam Qira’at
4. Untuk mengetahui pendapat para ulama
5. Untuk mengetahui manfaat berpedoman pada Qira’at
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengartian Qira’at Qurra’
Qira’at adalah jamak dari qira’ah, artinya bacaan. Ia adalah mashdar dari qara’a.
Dalam istilah keilmuan, qira’at adalah salah satu madzhab pembacaan Al-Qur’an yang
dipakai oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu madzhab yang berbeda dari
madzhab lainnya.
Qira’at ini didasarkan kepada sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam. Periode Qurra’ yang mengajarkan bacaam Al-Qur’an
kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah berpedoman kepada
masa para sahabat. Di antara para sahabat yang terkenal mengajarkan qira’at ialah Ubay,
Ali, Zid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari dan lain lain. Dari mereka itulah
sebagian besar sahabat dan tabi’in di berbagai negeri belajar qira’at. Mereka itu
semuanya bersandar kepada Rasulullah.
Pada permulaan abad pertama Hijriyah di masa tabi’in, tampillah sejumlah ulama
yang konsen terhadap masalah qira’at secara sempurna karena keadaan menuntut
demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri
sebagaimana mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syariat lainnya, sehingga mereka
menjadi imam dan ahli qira’at yang diikuti dan dipercaya. Bahkan dari generasi ini dan
sesudahnya terdapat tujuh orang yang terkenal sebagai imam yang kemudian kepada
merekalah qira’at dinisbatkan hingga sekaranh ini.
Ketujuh orang imam yang terkenal sebagai ahli qira’at di seluruh dunia ialah Abu
Amr, Ashim, Hamzah, Al-Kisa’i, Ibnu Amir, dan Ibnu Katsir.
Sejumlah qira’at itu bukanlah tujuh huruf, menurut pendapat yang paling kuat,
walaupun dikesankan ada kesamaan penyebutan jumlah bilangan di anatara keduanya.
Sebab qira’at hanya merupakan madzhab bacaan Al-Qur’an para imam, yang sacara ijma’
masih tetap ada dan digunakan umat hingga kini, dan sumbernya adalah perbedaaan
langgam, cara pengucapan dan sifatnya. Seperti tafkhim, tarqiq, imalah, idgham, izhar,
isyba’, mad, qashr, tasydid, takhfaf, dan sebagainya. Namun semuanya itu hanya berkisar
dalam satu huruf, yaitu huruf Quraisy.
Maksud tujuh huruf (ahruf sab’ah) adalah berbeda dengan qira’at, seperti yang
telah kita jelaskan. Dan persoalannya sudah sampai pada pembukuan Al-Qur’an yang
terakhir, yaitu ketika wilayah ekspansi bertambah luas dan ikhtilaf tentang huruf-huruf itu
menjadi kekhawatiran bagi timbulnya fitnah dsn kerusakan, sehingga para sahabat pada
masa Utsman terdorong untuk mempersatukan umat islam dalam satu huruf, yaitu huruf
Qurais. Lalu, mereka menuliskan mushaf-mushaf dengan huruf tersebut sebagaimana
telah dijelaskan.
B. Macam-macam Qira’at, Hukum dan Kaidahnya
Sebagian ulama menyebutkan bahwa qira’at itu ada yang mutawatir, ahad, syadz.
Menurut mereka, qira’at yang mutawatir adalah qira’at yang tujuh. Qira’at ahad ialah tiga
qira’at pelengkap menjadi sepuluh qira’at, ditambah qira’at para sahabat. Selain itu
termasuk qira’at syadz.
Menurut para ulama, syarat-syarat qira’at yang shahih adalah sebagai berikut:
1. Kesusaian qira’at tersebut dengan kaidah bahasa Arab dalam satu segi, baik fasih maupun
lebih fasih. Sebab, qira’at adalah sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan
menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan pada rasio.
2. Qira’at sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani, meskipun hanya sekedar mendekati
saja. Sebab, dalam penulisan mushaf-mushaf itu para sahabat telah besungguh-sungguh
dalam membuat rasm yang sesuai dengan bermacam macam dialek qira’at yang mereka
ketahui.
3. Qira’at itu isnadnya harus shahih, sebab qira’at adalah sunnah yang diikuti yang
didasarkan pada penukilan dan keshahihan riwayat. Seringkali ahli bahasa Arab
mengingkari sesuatu qira’at hanya karena qira’at itu dianggap menyimpang dari aturan
atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qira’at bertanggung
jawab atas pengingkaran mereka itu.
Itulah beberapa patokan qira’at yang shahih. Apabila ketiga syarat ini telah
terpenuhi, yaitu 1) sesuai dengan bahsa Arab, 2) sesuai dengan rasm mushaf dan 3)
shahih sanadnya, maka qira’at tersebut adalah qira’at yabg shahih. Dan bila salah satu
syarat atau lebih tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz
atau batil.

Sebagian ulama menyimpulkan macam-macam qira’at menjadi enam macam:


Pertama; Mutawatir, yaitu qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar perawi yang
tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, sanadnya bersambung hingga penghabisannya,
yakni Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Inilah yang umum dalam hal qira’at.
Kedua; Masyhur, yaitu qira’at yang sanadnya shahih tetapi tidak mencapai derajat
mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, rasm Utsmani dan juga terkenal di
kalangan para ahli qira’at sehingga karenanya tidak dikategorikan qira’at yang salah atau
syadz. Para ulama menyebutkan bahwa qira’at macam ini termasuk qira’at yang dapat
dipakai atau digunakan.
Ketiga; Aha, yaitu qira’at yang sanadnya shahih, tetapi menyalahi rasm Utsmani,
manyalahi kaidah bahasa Arab atau tidak terkenal seperti halnya qira’at masyhur yang
telah disebutkan. Qira’at macam ini tidak termasuk qira’at yang dapat diamalkan
bacaannya.
Keempat; Syadz, yaitu qira’at yang tidak shahih sanadnya, seperti qira’at māliki
yaumid-dīn (Al-Fatihah:4), dengan bentuk fi’il madhi dan menashabkan yaumi.
Kelima; Maudhu’, yaitu qira’at yang tidak ada asalnya.
Keenam; Mudarraj, yaitu yang ditambahkan kedalam qira’at sebagai penafsiran,
seperti Laisa 'alaikum junāḥun an tabtagụ faḍlam mir rabbikum, fa iżā afaḍtum min
'arafātin (Al -Baqarah: 198), kalimat fa iżā afaḍtum min 'arafātin, adalah penafsiran yang
disisipkan Ibnu Abbas ke dalam ayat.
C. Syarat-syarat diterimanya Qira’at
Qira’at bukanlah merupakan hasil ijtihad (ciptaan, rekaan) para ulama ahli Qira’at,
karena ia bersumber dari Nabi saw. Namun demikian, untuk membedakan mana qira’at
yang benar-benar berasal dari Nabi SAW dan mana yang bukan, para ulama ahli qira’at
menetapkan pedoman atau persyaratan tertentu. Terdapat sedikit perbedaan pendapat
dikalangan para ahli qira’at dalam menetapkan persyaratan bagi qira’at yang tergolong
sahih, namun prinsipnya sama. Adapun persyaratan tersebut adalah sebagai berikut
adalah sebagai berikut:
▪ Ibnu khalawayh (w. 370 H) menetapkan persyaratan sebagai berikut:
1. Qira’at tersebut harus sesuai dengan rasm al-mushaf.
2. Qira’at tersebut harus sesuai dengan kaidah bahasa arab.
3. Qira’at tersebut bersambung periwayatannya
▪ Makki ibn Abi Thalib (w. 347 H) menetapkan persyaratan sebagai berikut:
1. Qira’at tersebut sesuai dengan kaidah bahasa arab yang baku.
2. Qira’at tersebut harus sesuai dengan rasm al-mushaf.
3. Qira’at tersebut disepakati oleh ahli qira’at pada umumnya.
▪ Al-Kawasyi (w. 680 H) menetapkan persyaratan sebagai berikut:
1. Qira’at tersebut memiliki sanad yang sahih.
2. Qira’at tersebut sesuai kaidah bahasa arab.
3. Qira’at tersebut sesuai rasm al-Mushaf.
▪ Ibn al-Jaziri (w. 833 H) menetapkan persyaratan sebagai berikut:
1. Qira’at tersebut memiliki sanad yang sahih.
2. Qira’at tersebut sesuai dengan kaidah bahasa arab secara mutlak.
3. Qira’at tersebut sesuai dengan rasm al-Mushaf meskipun tidak persis betul.
D. Pendapat para ahli tentang Qira’at
Ada banyak pendapat dari para ulama yang mendefinisikan pengertian qiraat ini.
Menurut Muhammad Aly al-Shabuni, qiraat diartikan sebagai suatu mazhab tertentu
dalam cara pengucapan Al Quran berdasarkan sanad-sanadnya yang sampai kepada Nabi
SAW.

Senada dengan itu, Imam Syihabuddin al-Qasthalani mengartikan qiraat sebagai


ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan cara pengucapan lafaz-lafaz Al
Quran. Seperti I'rab, hazf, isbat, fashl, washl, ibdal yang diperoleh dengan
periwayatannya.
Dengan pendekatan ini, ilmu qiraat adalah cara pengucapan lafaz-lafaz Al Quran
sebagaimana diucapkan Nabi SAW dan para sahabatnya. Qiraat Al Quran terkadang
hanya satu, namun ada kalanya punya beberapa versi.
Ilmu qiraat dan tajwid sama-sama mempelajari cara baca Al Quran meski
berbeda. Sebagian ulama mendefinisikan tajwid adalah mengucapkan setiap huruf (Al
Quran) sesuai dengan makhraj dan sifatnya.

Ulama lain mendefinisikan tajwid adalah mengucapkan huruf (Al Quran) dengan
tertib menurut bunyi asalnya. Selain itu harus sesuai makhraj disertai melembutkan
bacaan sesempurna mungkin, tidak serampangan atau dibuat-buat.

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan ilmu qiraat adalah pengucapan lafaz Al
Quran terkait substansi lafaz, kalimat, atau dialek kebahasaan. Sedangkan, tajwid adalah
kaidah yang bersifat teknis untuk memperindah bacaan Al Quran.
E. Manfaat berpedoman pada Qira’at shahihah

1. Tetap terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.


2. Meringankan dan memudahkan qira’ah.
3. Menunjukan kemukjizatan AlQur’an.
4. Menjelaskan ayat yang masih mujmal.

Kesimpulan Qira’at adalah bentuk jamak dari qira’ah yang artinya bacaan.
Sedangkan menurut istilah bahwa qira’at adalah merupakan metode atau cara baca
lafazh atau kalimat di dalam Al-Qur’an dari berbagai macam segi (riwayat),
sebagaimana yang telah diriwayatkan langsung dari Rasulullah S.A.W.
Secara kuantitas qira’at terbagi menjadi 3 bagian yang terkenal diantaranya,
qira’at sab’ah, qira’at asyrah dan qiraat qrba’ah Asyrah.
sedangkan secara kualitas sebagai berikut, mutawatir, masyhur, ahad, syadz,
mudraj, maudlhu. Manfaat dari adanya khilafiyah qira’at yang utamanya adalah tetap
terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan, dan memudahkan untuk
qira’ah perubahan dan penyimpangan, dan memudahkan untuk qira’ah.
DAFTAR PUSTAKA

Pengantar Ilmu Al-Quran karya Manna' Khalil Al-Qaththan

Ilmu Qira'at 1 karya Dr. K. H. Ahsin Sakho Muhammad

Kuliah Ulumul Qur’an karya Yunahar Ilyas

Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’an karya Manna’ Khalil Al-Qaththan

Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Qur’an karya Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasni

Pelopor Al-Qur’an Kota Seribu Parit Indragiri Hilir karya Shabri Shaleh Anwar

Manahil Al-Irfan Fi Ulum AL-Qur’an karya Muhammad ‘Abd Al-Adhim Al-Zarqani

Qira’at Al-Qur’an karya Bahtian Yusuf

Al-Qur’an Sang Mahkota Cahaya karya Gus Arifin dan Suhendri Abu Faqih

Anatomi Al-Qur’an : Perbedaan Qira’at Dan Pengaruhnya Terhadap Istinbat Hukum Dalam Al-
Qur’an karya Hasanuddin

AL-Qur’an Dan Qiraat karya Abduh Zulfidar

Ilmu-Ilmu AL-Qur’an “Media-Media Pokok Dalam Menafsirkan Al-Qur’an” karya M.Hasbi Ash-
Shiddieqy

Ulumul Qur’an I karya Ahmad Syadzali dan Ahmad Rofi’i

Anda mungkin juga menyukai