Anda di halaman 1dari 28

MATERI IV

Judul Materi:
Ad Dakhil Pada Masa Awal Islam

TUGAS MAKALAH
ADDAKHIL FI TAFSIR

Dosen Pengampu: Siti Hajar, STh.I, M.Ag

Disusun oleh:

1. B. Dian Rosiana (180921022)


2. Amalia Wulandari (180921025)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON
2021

1
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, puji dan syukur panjatkan kehadirat Allah SWT. Tak lupa
shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi besar kita Muhammad SAW.
Karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berisi
materi tentang “Ad Dakhil Pada Masa Awal Islam”.
Tugas makalah mata kuliah Addakhil Fi Tafsir yang berjudul “Ad Dakhil Pada Masa
Awal Islam” ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen pengampu
yaitu Ibu Siti Hajar, STh.I, M.Ag dan untuk menambah wawasan bagi penulis sendiri
terutamanya.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah tentang Ad
Dakhil Pada Masa Awal Islam. Penulis juga menyadari bahwa tidak banyak pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini dan penulis ucapkan terimakasih.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan berbagai kritik dan saran yang sifatnya membangun. Penulis juga berharap
semoga makalah ini bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan bagi penulis dan bagi semua
pihak umum.

Cirebon, 04 Juli 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG...................................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH................................................................................................................1
BAB II........................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................3
AD DAKHIL PADA MASA AWAL ISLAM..........................................................................................3
A. Realitas ad dakhil pada masa Nabi Muhammad SAW...............................................................3
B. Realitas al-Dakhil Pada Masa Sahabat......................................................................................16
BAB III.....................................................................................................................................................24
PENUTUP................................................................................................................................................24
SIMPULAN..............................................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................25

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam menafsirkan Al Qur’an, mufasir sering terpengaruh oleh latar belakang keilmuan
dan ideologinya. Mufasir yang ahli bahasa cenderung menafsirkan Al Qur’an secara lingustik,
seorang sufi cenderung menafsirkan secara intuitif dan begitu seterusnya. Tafsir yang diwarnai
secara kuat oleh background keilmuan dan ideology mufasirnya disinyalir tidak lagi objektif.
Oleh karenanya, ulama meletakkan dasar dan metodologi penafsiran secara ketat agar mufasir
tidak terjebak pada romantisme pra-konsepsi dan ideology yang dimilikinya di satu sisi, dan
supaya tafsir yang dihasilkan mencapai titik objektifnya di sisi yang lain.
Objektifitas dalam penafsiran tidak mungkin dapat dilakukan seratus persen. Maka benar
pernyataan Hasan Hanafi (I. 1935 M) bahwa setiap penafsiran, baik yang menggunakan
pendekatan rasional (bi al ‘aql) maupun riwayat (bi al naql), selalu berangkat dari kepentingan,
tidak ada penafsiran yang sepenuhnya objektif, absolut dan universal. Kendatipun demikian,
subjektifitas penafsiran bukan berarti tidak dapat diminimalisir dan dikendalikan. Abou el Fadl
(I. 1963 M) misalnya, menawarkan hermeneutika negosiasi untuk mengendalikan subjektifitas
dan kepentingan mufasir tersebut. Itu artinya, penafsiran dapat didekatkan kepada titik
objektifitasnya dengan menggunakan metode dan pendekatan ilmiah.
Sementara Fayed (1936-1999 M) juga menawarkan pendekatan ashalat al mashdar
(otensititas sumber) untuk mengetahui dan mengukur tingkat objektifitas penafsiran. Secara
singkat, pendekatan ini meniscayakan verifikasi sumber data penafsiran; apakah sumbernya
termasuk al ashilah (otentik) ataukah al dakhilah (terkontaminasi/terinfiltrasi dimensi lain).
Orisinalitas dan otentisitas sumber penafsiran itu disebut dengan istilah al ashil. Al ashil inilah
yang kemudian dijadikan sebagai parameter untuk mengukur sejauh mana kualitas penafsiran.
Jika sejalan dengan teori al ashil, maka sebuah tafsiran dapat dikatakan sahih dan objektif.
Sebaliknya, bila berlawanan, maka tafsir dapat dikategorikan sebagai al dakhil yang subjektif
sehingga perlu dilihat, diteliti, dievaluasi dan pada tahap tertentu, jika perlu, direkonstruksi.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana realitas ad dakhil pada masa Nabi Muhammad SAW?
2. Bagaimana realitas ad dakhil pada masa sahabat?
C. TUJUAN PENULISAN

1
1. Untuk mengetahui realitas ad dakhil pada masa Nabi Muhammad SAW.
2. Untuk mengetahui realitas ad dakhil pada masa sahabat.

2
BAB II
PEMBAHASAN
AD DAKHIL PADA MASA AWAL ISLAM

A. Realitas ad dakhil pada masa Nabi Muhammad SAW


Ad dakhil sebagai suatu disiplin ilmu yang tersusun secara sistematis baru dikenal pada
akhir abad yang lalu. Sekalipun demikian namun prinsip-prinsip dasar ilmu ini telah ada pada
masa nabi SAW. Ketika orang kafir atau sahabat melakukan kekeliruan dalam penafsiran Al
Qur’an dan selanjutnya nabi SAW membantah atau meluruskan kekeliruan itu maka pada
hakikatnya beliau menyingkapkan ad dakhil pada tafsir. Berikut dikemukakan beberapa contoh
kekeliruan dalam penafsiran Al Qur’an pada masa nabi SAW dan bantahan atau koreksi beliau
atasnya.1
1. Tafsir Surat Al Anbiya Ayat 98
Tugas utama para nabi adalah menyampaikan dan mengajarkan konsep tauhid kepada
kaumnya. Untuk melaksanakan tugas mulia ini mereka diberi mukzijat yang sesuai
dengan ilmu dan keterampilan yang berkembang pada saat itu. Mukzijat tersebut
seharusnya sudah cukup sebagai bukti kerasulan mereka bagi kaum mereka. Tetapi
sebagian mereka masih menolak ajaran para rasul karena berbagai factor.
Sekalipun hati nurani mereka mengakui bahkan benar-benar yakin bahwa
pembawa mukzijat adalah seorang rasul, namun mereka menolaknya karena angkuh dan
sombong. Sebagian kaum nabi Musa adalah salah satu contoh untuk factor ini (an naml :
14). Sebagian kaum musyrikin Makah menolak risalah nabi Muhammad SAW karena
takut miskin dan melarat. Ka’bah dengan sekitar 360 patung disekitarnya menjadi pusat
peribadatan bagi suku-suku arab musyrik disekitar Arabia. Kedatangan mereka secara
rutin ke Makah untuk beribadah sangat efektif menghidupkan perekonomian kota Makah.
Akhirnya Makah berkembang pula menjadi pusat perdagangan, disamping pusat
peribadatan dan perlombaan sastra. Ketika nabi Muhammad SAW menyampaikan risalah
tauhid, sebagian dari mereka merasa bahwa kepentingan ekonomi mereka terancam.
Karena bila Makah tidak lagi menjadi pusat ibadah bagi kaum musyrikin di semenanjung
Arabia, maka mereka tidak akan datang lagi ke Makah, dan selanjutnya akan

1
Ibrahim Syuaib, Metodologi Kritik Tafsir, (Bandung : Tanpa Penerbit, 2008), hal. 40. Muhammad Ulinnuha,
Konsep Al Ashil Dan Al Dakhil Dalam Tafsir Al Qur’an, (Jakarta : Jurnal MADANIA. No. 2, Edisi/Vol 21
Desember 2017), hal. 129.

3
mengehancurkan perekonomian mereka. Allah menerangkan kepada mereka bahwa
selayaknyalah mereka menerima risalah tauhid, karena Dia-lah yang memberi makan
mereka selama ini melalui perdagangan (Quraisy; 1-4).
Sebagian ahli kitab menolak risalah nabi Muhammad SAW karena takut sumber
pendapatan mereka yang berupa hadiah, hibah dan upeti dari pengikut mereka akan
hilang. Padahal pendapatan mereka itu tiada artinya bila dibandingkan dengan dunia dan
segala isinya. Sedang dunia dan segala isinya tiada nialainya dibandingkan dengan
akhirat. Mereka menolak risalah yang mereka akui kebenarannya karena dan untuk
sesuatu yang sedikit dari yang sedikit (Al Baqarah; 41). Sebagian mereka menolaknya
karena factor keamanan. Menurut mereka, dengan menuruti risalah nabi Muhammad
SAW jiwa mereka terancam (Al Qashash; 57). Sebagian mereka menolaknya karena
status sosial nabi Muhammad SAW yang sebelumnya hanya rakyat biasa, bukan seorang
bangsawan atau hartawan (Al Zukhruf ;31). Sebagian mereka menolaknya karena
mayoritas pengikut para nabi adalah berasal dari kelas bawah sedang mereka adalah
berasal dari kelas menengah dan atas (Hud; 27). Mereka merasa bahwa dengan menerima
risalah tauhid status sosial mereka akan turun, karena egalitarianism risalah tauhid akan
menyamakan derajat mereka dengan mayoritas pengikut nabi yang berasal dari kelas
bawah.
Sebagian mereka menolak ajaran rasul karena persaingan memperebutkan status
sosial. Muhammad ibn Ishaq meriwayatkan dialog antara Abu Jahal, paman nabi SAW,
dan Al Akhnas ibn Syuraiq. Al Akhnas betanya keapada Abu Jahal tentang bacaan Al
Qur’an yang mereka dengar langsung dari nabi SAW dan mengapa ia tidak
mengimaninya. Abu Jahal mejawab sebagai berikut; “Antara kami (bani Qushai selain
bani Abdu Manaf) dan bani Abdu Manaf ada perlombaan dan “perang dingin” dalam
memperebutkan status sosial dalam masyarakat arab. Ketika bani Abdu Manaf
melakukan bakti sosial untuk masyarakat melalui pemberian makanan, bantuan dan
hadiah, maka kami juga melakukannya. Ketika perlombaan sangat sengit, berimbang dan
belum usai, tiba-tiba mereka mengklaim bahwa ada warga mereka yang diangkat menjadi
nabi dan menerima wahyu. Lalu mungkinkah kami memenangkan perlombaan? Demi
Allah kami tidak akan mengimani kerasulannya selama-lamanya.

4
Inilah sebagian factor-faktor kaum musyrikin Makah menolak risalah nabi
Muhammad SAW. Al Qur’an sebagai mukzijat beliau tidak dapat mereka tandingi.
Karena itu cara yang mereka tempuh dalam mengurangi dan menghambat efektifitas
hidayah Al Qur’an adalah seperti; mengalihkan perhatian pendengarannya ke masalah
lain (Fushshilat ; 26), menuduh beliau orang gila (Al Qalam ; 51), menuduh Al Qur’an
sebagai sihir (Al Muddatsir ; 24), menuduh Al Qur’an sebagai hasil belajar nabi
Muhammad SAW dari orang lain (An Nahl ; 103), dan mencari-cari argument lain yang
dapat membela patung berhala dan menunjukan bahwa ayat-ayat Al Qur’an kontradiktif.
Yang terakhir ini adalah bentuk dakhil pertama dalam sejarah dakhil. Allah berfirman
dalam Q.S. Al Anbiya 98-100:
Sungguh, kamu (orang kafir) dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah
bahan bakar Jahannam. Kamu (pasti) masuk ke dalamnya. Seandainya (berhala-
berhala) itu Tuhan, tentu mereka tidak memasukinya (neraka). Tetapi semuanya
akan kekal didalamnya. Mereka merintih dan menjerit didalamnya (neraka), dan
mereka di dalamnya tidak dapat mendengar.
Orang yang diajak bicara dalam ayat di atas adalah kaum musyrikin Makah yang
menyembah berhala. Mereka merasa sangat terpukul dan hina ketika mendengar ayat-
ayat ini, karena mereka dan berhala yang selama ini mereka agungkan ternyata akan
menjadi kayu bakar api neraka. Tetapi disamping itu mereka juga mengetahui bahwa
malaikat, nabi Isa dan nabi Uzair juga dipertuhankan oleh manusia. Mereka juga
mendengar ayat-ayat Al Qur’an yang menerangkan tingginya posisi malaikat, nabi Isa
dan nabi Uzair disisi Allah Ta’ala. Lalu sebagian mereka mengklaim bahwa malaikat,
nabi Isa dan nabi Uzair juga akan menjadi kayu bakar api neraka seperti patung-patung
berhala mereka karena sama-sama dipertuhankan oleh manusia. Tujuannya adalah untuk
membela nasib berhala yang dihinakan dan menunjukkan kontradiksi Al Qur’an.
Dalam menafsirkan ayat-ayat ini Ibnu Katsir memaparkan empat riwayat di
bawah ini, yaitu ;
a. Abu Bakar ibn Mardawih meriwayatkan dari Muhammad ibn Ali ibn Sahl dari
Muhammad ibn Hasan Al Anmathi dari Ibrahim ibn Muhammad ibn ‘Ar’arah dari
Yazid ibn Abi Hakam dari Al Hakam (ibn Abban) dari Ikrimah bahwa ibnu
Abbas berkata, “Abdullah ibn al Zab’ari menemui rasulullah SAW dan berkata,
‘anda mengklaim bahwa anda menerima wahyu (sungguh, kamu (orang kafir)

5
dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah bahan bahakar Jahannam.
Kamu (pasti) masuk ke dalamnya.)? Ia bertanya lagi, matahari, bulan, malaikat,
Uzair, Isa ibnu Maryam juga disembah. Apakah semua objek sembahan ini akan
masuk neraka bersama tuhan-tuhan kami?’ lalu turunlah dua ayat berikut ini; Q.S
Az Zukhruf ayat 57-58:
Dan ketika putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan, tiba-tiba
kaummu (suku Quraisy) bersorak karenanya. Dan mereka berkata,
“manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)?” mereka
tidak memberikan (perumpamaan itu) kepadamu melainkan dengan
maksud membantah saja; sebenarnya mereka adalah kaum yang suka
bertengkar.
(Q.S Al Anbiya ayat 101)
Sungguh, sejak dahulu bagi orang-orang yang telah ada (ketetapan) yang baik
dari Kami, mereka itu akan dijauhkan (dari neraka).
Hadis ini diriwayatkan oleh Al Hafidz Abu Abdullah di dalam karyanya Al
Ahadits Al Mukhtarah.
b. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ayahnya dari Qubaishah ibn Uqbah dari
Sufyan al Tsauri dari Al A’amasy dari sahabat-sahabatnya bahwa Ibnu Abbas
berkata, “Ketika ayat (Sungguh kamu (orang kafir) dan apa yang kamu sembah
selain Allah, adalah bahan bakar Jahannam. Kamu (pasti) masuk ke dalamnya.)
turun, kaum musyrikin berkomentar, ‘Malaikat, Uzair dan Isa juga disembah
selain Allah.’ Lalu turunlah ayat Q.S. Al Anbiya ayat 99:
Seandainya (berhala-berhala) itu tuhan, tentu mereka tidak
memasukannya (neraka). Tetapi semuanya akan kekal di dalamnya.
c. Abi Kadinah meriwayatkan dari ‘Atha ibn Al Sa’id ibn Jubair bahwa Ibnu Abbas
berkata, “Ketika ayat (Sungguh kamu (orang kafir) dan apa yang kamu sembah
selain Allah, adalah bahan bakar Jahannam. Kamu (pasti) masuk ke dalamnya.)
turun, kaum musyrikin berkomentar, ‘Malaikat, Uzair dan Isa juga disembah
selain Allah.’ Lalu turunlah ayat 101 Q.S. Al Anbiya.
d. Muhammad ibn Ishaq ibn Yasar di dalam karyanya Al Sirah meriwayatkan bahwa
pada suatu hari rasulullah SAW duduk di masjid bersama Al Walid ibn Al
Mughirah. Kemudian datang Al Nadhar ibn Al Harits dan duduk di dekat majlis
nabi SAW., sedang di masjid ada beberapa orang musyrik lainnya. Rasulullah

6
SAW menyampaikan risalahnya kepada mereka. Al Nadhar menyangkal
pembicaraan nabi SAW tetapi nabi SAW dapat mematahkan argumentasinya
sehingga Al Nadhar kalah dalam perdebatan itu. Nabi SAW membaca ayat 98, 99
dan 100 dari surat Al Anbiya (seperti yang disebut di atas). Nabi SAW berangkat
meninggalkan masjid. Tidak lama kemudian Abdullah Al Zab’ari Al Sahmi
datang ke majlis itu. Al Walid ibn Al Mughirah berkata kepadanya, ‘Demi Allah,
baru saja Al Nadhar ibn Al Harits kalam dalam berdebat dengan cucu Abdul
Muthalib. Muhammad mengklaim bahwa kita dan tuhan-tuhan sembahan kita ini
akan menjadi kayu bakar neraka jahannam.’ Abdullah ibn Al Zab’ari
berkomentar, ‘Demi Allah bila saya bertemu dengan Muhammad niscaya saya
akan mengalahkannya dalam berdebat. Tanyalah ia, apakah semua yang disembah
selain Allah akan masuk neraka jahannam beserta para penyembahnya? Bukankah
kita menyembah Malaikat, orang yahudi menyembah Uzair, orang Nasrani
menyembah Al Masih Isa ibn Maryam?’ Al Walid dan yang ada di majlis itu
kagum mendengar ucapannya itu. Mereka berpendapat bahwa ia telah
mematahkan argumentasi nabi SAW. beliau bersabda, ‘semua yang senang
disembah selain Allah akan masuk neraka beserta para penyembahnya. Pada
hakikatnya mereka menyembah setan dan yang menyuruh mereka
menyembahnya.’ Lalu turunlah ayat 101 dan 102 surat Al Anbiya.
Menurut Ibnu Katsir bahwa maksud orang-orang yang telah ada untuk mereka
ketetapan yang baik dari kami adalah nabi Isa, Uzair dan para pendeta yang saleh lagi
taat yang dipertuhankan oleh orang-orang yang sesat.
Ibnu Katsir menegaskan bahwa ucapan Abdullah Al Zab’ari ini sangat salah,
karena orang yang diajak bicara dalam ayat di atas adalah penduduk kota Makah yang
menyembah berhala. Berhala adalah benda mati yang tidak berakal. Ayat ini mencela dan
menghina para penyembahnya. Kalimat dan apa yang kamu sembah selain Allah tidak
mungkin dipahami mencakup Isa Al Masih, Uzair dan makhluk berakal lainnya yang
saleh, taat dan tidak rela dipertuhankan. At Thabari di dalam kitab tafsirnya menegaskan
bahwa pronominal Ma’ digunakan oleh bangsa arab untuk sesuatu yang tidak berakal.
Abdullah Al Zab’ari akhirnya masuk islam dan menjadi seorang penyair yang terkemuka.

7
Ia mohon maaf kepada nabi SAW atas kesalahannya itu dan berjanji tidak akan
mengulanginya lagi. Ia bersyair yang artinya sebagai berikut :
Wahai rasulullah, lidahku meralat semua perkataanku yang salah ketika aku
jahat. Ketika aku mengikuti langkah kesesatan setan, dan yang mengikuti
langkahnya pasti celaka.
Sebab kerancuan pemahamannya terhadap ayat tersebut adalah karena memahami
pronominal Ma dengan pengertian umum. Pemahaman ini dengan tanpa
mempertimbangkan dua aspek, yaitu;
a. Makna leksikal pronominal Ma. Makna leksikal pronominal Ma dalam bahasa
arab adalah kata ganti sesuatu yang tidak berakal. Dengan demikian kata itu tidak
mencakup persona berakal seperti para malaikat dan nabi.
b. Ayat-ayat lain dan dalil-dalil logika. Nabi selalu membacakan ayat-ayat Al
Qur’an dihadapan mereka yang menerangkan ketinggian posisi para malaikat dan
nabi di sisi Allah. Mereka paham ayat-ayat itu. Mereka juga mengetahui bahwa
para nabi telah berjuang maksimal dalam menegakan risalah tauhid dan bahwa
mereka tidak rela dipertuhankan. Mereka juga mendengar dan paham ayat-ayat Al
Qur’an yang menegaskan bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.
Ayat-ayat Al Qur’an dan dalil logika ini sudah cukup kuat untuk mempersempit
makna pronominal Ma. Seandainya aspek pertama tidak cukup kuat sebagai dalil,
karena pronomina Ma sering juga digunakan untuk kata ganti sesuatu yang
berakal, maka aspek kedua sudah cukup sebagai dalil penyempitan makna kata
itu.
Al Razi dalam menafsirkan ayat-ayat ini menyatakan bahwa pertanyaan dan
peryataan Al Zab’ari ini salah dilihat dari lima aspek, yaitu;
a. Yang diajak bicara dalam pronominal kum (kamu, pronominal persona jamak)
dalam ayat 98 surat Al Anbiya di atas (sesungguhnya kamu dan apa yang kamu
sembah selain Allah, adalah umpan jahannam, kamu pasti masuk ke dalamnya)
adalah kaum musyrikin kota Makah yang menyembah berhala.
b. Ayat memakai pronominal Ma (apa, pronominal pengganti barang sesuatu, atau
kata ganti tak tentu) dan bukan memakai Man (siapa, pronominal persona yang
tidak tentu). Pronominal Ma tidak mencakup persona berakal.
c. Para penyembah malaikat tidak mengklaim bahwa para malaikat itu tuhan.

8
d. Sekalipun dengan asumsi bahwa pronominal Ma dapat digunakan sebagai
pronominal barang sesuatu dan pronominal persona, tetapi kata Ma diayat ini
khusus untuk pronomina barang sesuatu. Pengkhususan ini atas dasar dalil-dalil
akal dan wahyu yang mengindikasikan bahwa para malaikat, Isa Al Masih dan
Uzair adalah makhluk maksum dan mulia. Inilah yang dimaksud oleh ayat
berikutnya, yaitu Q.S. Al Anbiya ayat 101
Sungguh, sejak dahulu bagi orang-orang yang telah ada (ketetapan) yang
baik dari Kami, mereka itu akan dijauhkan (dari neraka).
e. Kaum musyrik kota mekkah, penyembah berhala, pada hakikatnya adalah
menyembah setan, seperti jawaban yang diberikan Rasulullah saw kepada
mereka. Bila jawaban ini didebat dengan pernyataan berikut ini , “ setan adalah
pesona berakal, pronomina Ma tidak mencakup setan, lalu mengapa Nabi saw
menggunakannya sebagai kata ganti setan?” Jawabannya adalah seolah-olah nabi
saw berkata kepada mereka, ”Bila kamu berasumsi bahwa pronomina Ma
mencakup pesona berakal, maka pertanyaan kamu itu sendiri salah.
Al Alusi dalam menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa jika pendapat yang
mengatakan bahwa sebenarnya penggunaan pronomina Ma untuk pesona berakal dapat
diterima, maka tidak dapat dipantah pula bahwa sebenarnya pada ayat tersebut ada dalil
logika yang mengkhususkan makna kata itu. Mayoritas ulama berpendapat bahwa dalil
logika dapat mengkhususkan makna. Hanya sekelompok kecil ulama teologi yang tidak
menerima pendapat ini. Dalil logikanya adalah mustahil seseorang disiksa karena
kesalahan orang lain, kecuali jika ia sendirirela dengan kesalahan orang lain itu. Semua
orang berakal tidak akan berasumsi bahwa Isa Al-Masih, Uzair dan para malaikat rela
dan senang dipertahankanoleh manusia. Inilah dalil logika yang mengiringi ayat ini.
Sedang ayat 101 surat Al Anbiya (Sesungguhnya orang-orang yang telah ada untuk
mereka ketetapan yang baik dari kami,mereka itu dijauhkan dari nereka) adalah dalil
wahyu yang memperkuat dan mempertegas dalil logika yang sudah ada.
Pengakuan Abdullah al Zab’ari bahwa ia melakukan kesalahan dalam
menafsirkan Al quran adalah bukti yang kuat atas kekeliruan itu.
2. Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 187
Bila dakhil di atas terjadi pada periode dakwah Makah, maka dakhil berikut ini
terjadi pada periode dakwah Madinah. Bila dakhil pertama sebabnya adalah kekafiran

9
dan niat jahat, maka dakhil kedua ini sebabnya adalah bukan kekafiran dan niat jahat
tetapi ijtihad yang tanpa melengkapi syarat-syaratnya dan dengan niat baik. Dakhil kedua
ini bukan karena tidak faham bahasa Al Qur’an, tetapi karena tergesa-gesa yang
merupakan sifat umum manusia. Sifat umum manusia ini seperti disebut dalam Al
Anbiya ayat 37 dan Al Isra ayat 11. Bila dakhil pertama dilakukan oleh orang yang masih
musyrik, maka dakhil kedua ini dilakukan oleh salah seorang sahabat yang mulia. Dakhil
yang dilakukan oleh seorang sahabat ini seharusnya menjadi iktibar bagi semua kaum
muslimin. Bila seorang sahabat yang bertemu dan bergaul dengan nabi, melihat dan
mengetahui sebab-sebab turunnya Al Qur’an dan memperoleh berkat kenabian masih
salah dalam memahami sebagian Al Qur’an, maka apa lagi kaum muslimin yang hidup
setelah periode sahabat! Kesalahan beliau tersebut seharusnya memperingatkan kaum
muslimin bahwa tafsir Al Qur’an adalah masalah besar, penting dan krusial. Karena itu
penafsiran Al Qur’an harus dilakukan dengan penuh ketelitian, kehati-hatian dan
melengkapi syaratnya. Ayat tentang awal wakt imsak adalah surat Al Baqarah ayat 187
Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang)
malam.
Pada mulanya ayat ini turun tanpa kata min al fajr. Kemudian turun lagi untuk
kedua kalinya dengan penambahan kata itu. Ketika ayat turun dengan tanpa kata min al
fajr, maka kata benang putih dan benang hitam terbuka dan mungkin untuk dipahami
dengan dua makna yaitu;
a. Makna denotatifnya yang literal yaitu benang putih dan benang hitam dalam arti
yang sebenarnya.
b. Makna metaforisnya yaitu cahaya siang dan kegelapan malam.
Dengan demikian kedua makna tersebut dapat diterima dan tidak salah. Setelah
ayat tersebut turun lagi utuk kedua kalinya dengan penambahan min al fajr, maka
tertutuplah kemungkinan untuk dipahami dengan makna denotatifnya yang literal. Karena
kata min al fajr berfungsi sebagai penjelasan yang menutup rapat kemungkinan
penafsiran ayat itu dengan makna denotatifnya atau sebagai penegas makna metaforisnya.
Tetapi setelah ayat tersebut turun untuk kedua kalinya dengan penambahan kata min al
fajr, masih ada seorang sahabat yang memahaminya dengan makna denotatif yang literal
dengan tanpa melihat konteksnya.

10
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas menyatakan bahwa disamping
hubungan seksual, Allah Ta’ala juga menghalalkan makan dan minum kepada orang
berpuasa di bagian malam manapun yang ia kehendaki. Batas waktu penghalalan tersebut
berakhir pada jelasnya cahaya waktu pagi hari dari kegelapan malam. Batas waktu ini
diungkapkan dengan ungkapan benang putih dari benang hitam. Ungkapan terakhir ini
masih samar dan tidak jelas. Kesamaran makna itu dihapus dengan kalimat min al fajr
(yaitu fajar). Selanjutnya beliau memaparkan beberapa riwayat, antara lain;
a. Hadits pertama
b. Hadits kedua
c. Hadits ketiga
d. Hadits keempat
Sebagian pensyarah hadits menafsirkan kalimat sesungguhnya tengkukmu sangat
lebar pada hadits di atas dalam arti kebodohan. Ibnu Katsir tidak sependapat dengan
penafsiran ini dan menilainya lemah.
Menurut Al Alusi hadits di atas (hadits tentang turunnya ayat ini sebanyak dua
kali dengan penambahan kata min al fajri pada yang kedua) tidak mengindikasikan
bahwa kaum muslimin tidak memahami makna ayat ini dan karenanya perlu penjelasan
tambahan. Bisa saja mereka sudah memahami makna ayat tersebut, karena makna
metaforis ayat tersebut sudah popular bagi mereka. Sedang penambahan penjelasan
hanya untuk sebagian mereka yang belum memahaminya secara akurat.
Al Razi mengatakan bahwa ada indicator absolut yang mengindikasikan bahwa
makna benang putih dan benang hitam adalam makna metaforisnya, yaitu cahaya di awal
siang dan kegelapan di penghujung malam. Salah satu indicator itu adalah kata al fajr.
Fajar disebut dengan al fajr karena sifatnya yang yanfajiru minhu al nur (sumber
pancaran cahaya, tempat cahaya menyingsing).
Ketulusan niat dalam menafsirkan Al Qur’an patut dihargai dan disyukuri. Namun
keberanian tanpa persiapan yang wajar dan pertimbangan yang matang adalah suatu
kekeliruan.
3. Tafsir Surat Al An’am Ayat 82
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka
dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan
mereka mendapat petunjuk.

11
Ayat diatas menerangkan syarat memperoleh kebahagiaan, kebaikan dan
keamanan di dunia dan akhirat. Syaratnya adalah beriman dan tidak melakukan
kelaliman. Kata zhulm (kedzaliman) di ayat tersebut adalah dalam bentuk nakirah
(indefinite noun) dan berada dalam konteks negasi (penyangkalan, al nafy). Karena dua
kondisi yang terakhir ini (nakirah dan negasi), kata zhulm (kelaliman) mengindikasikan
makna yang general. Dengan demikian kebahagiaan, kebaikan dan keamanan di dunia
dan akhirat hanya diperoleh oleh orang beriman yang mampu menghindari segala bentuk
kedzaliman, dosa dan kesalahan baik yang besar maupun yang kecil. Dengan redaksi lain
hanya para nabi yang masuk surge, karena hanya mereka yang maksum. Syarat ini sangat
berat dan sulit. Tetapi inilah penafsiran yang benar berdasarkan kaedah tata bahasa; al
nakirah fi siyaq al nafyi tufidu al umum (kata nakirah yang dalam konteks negasi
mengindikasikan makna yang general). Disamping kaedah tata bahasa ini, banyak pula
ayat-ayat Al Qur’an yang menegaskan bahwa islam adalah agama yang mudah, ringan,
toleran dan moderat. Ayat-ayat tersebut antara lain menegaskan bahwa Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya (Al Baqarah : 286),
bahwa Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kaum muslimin dalam agama sesuatu
kesempitan (Al Hajj : 78), bahwa Allah menghendaki kemudahan bagi kaum muslimin
dan tidak menghendaki kesukaran bagi mereka (Al Baqarah : 185) dan bahwa Allah
hendak memberikan keringanan kepada kaum muslimin (An Nisa : 28). Lalu apakah kata
zhulm di ayat tersebut bermakna umum berdasarkan tata bahasa di atas, atau bermakna
khusus berdasarkan ayat-ayat lain yang menegaskan bahwa islam adalah agama yang
ringan, toleran dan moderat? Ketika para sahabat mendengar ayat tesebut, sebagian
mereka memahaminya dengan makna general. Ketergesa-gesaan mereka dalam
memahami ayat dengan makna general tanpa mempertimbangkan makna kontekstual
ayat-ayat lain mendorong mereka ke bentuk dakhil dalam tafsir. Sekalipun ketergesa-
gesaan itu karena tingginya tingkat ketakwaan mereka dan ambisi mereka untuk
mendapat ampunan Allah Ta’ala.
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas menyatakan bahwa yang di maksud
dengan orang-orang yang beriman dan tidak menutupi iman mereka dengan kedzaliman
adalah orang-orang yang hanya beribadah kepada dan untuk Allah yang tiada sekutu
baginya dan tidak mempersekutunya dengan sesuatu apapun. Sedang maksud mereka

12
itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang yang
mendapat petunjuk ialah mereka mendapat keamanan di hari kiamat dan mendapat
petunjuk di dunia dan akhirat. Selanjutnya beliau memaparkan beberapa riwayat antara
lain:
a. Hadits pertama
Artinya : Dari Muhammad ibn Ja’far, dari Syu’bah, dari Sulaiman, dari Ibrahim,
dari Al Qamah, bahwa Abdullah berkata, “ketika ayat (orang-orang yang
beriman dan idak mencampuradukan iman mereka dengan kelaliman) (ayat 82
surat Al An’am) turun sebagian sahabat berkata, ‘siapakah diantara kita yang
tidak melalimi dirinya?’ lalu turunlah ayat (sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar) (ayat 13 surat Luqman).”
b. Hadits kedua
Dari Abu Mu’awiyah, dari al-A’masy, dan Ibrahim den ‘Alqamah, bahwa
Abdullah berkata,, “Ketika ayat (Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukan Iman mereka dengan kelaliman) (ayat 82 surah al-An’am)
turun, para sahabat merasa keberatan (merasa dituntut melakukan sesuatu yang
sulit dilaksanakan), lalu mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah di antara
kami yang tidak melalimi dirinya? Beliau menjawab, 'Maksud ayat bukan seperti
yang kamu pahami. Bukankah kamu telah membaca ayat tentang nasihat seorang
hamba yang taat? Yang berkata (wahai anakku, janganlah engkau
mempersekutukan Allah sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-
benar kezaliman yang besar (ayat 13 surah Luqman) Sesungguhnya maksud kata
kezaliman (di al-An’am, 82) itu adalah mempersekutukan Allah Taala.”
c. Ibnu Abi Hatim berkata, “Beberapa orang sahabat dan tabiin juga menafsirkan
kata kezaliman pada ayat 82 surah al-An ‘am itu dengan mempersekutukan Allah
Taala, mereka antara lain, Abu Bakar al Shiddiq, Umar, Ubaiy ibn Ka’ab, Salman,
Huzaifah Ibnu Abbas, Ibnu Umar, ‘Amru ibn Syarahbil, Abu Abdurrahman al
Silmi, Mujahid, Ikrimah, al Nakha’i, al Dhahhak, Qatadah, al Suddi dan lain lain.
Konteks ayat juga mengindikasikan bahwa zhulm di sini bermakna syirik. Karena
konteks ayat 74 sampai dengan 82 adalah dialog ketauhidan antara Nabi Ibrahim a.s.

13
dengan kaum dan ayahnya. Substansi ayat-ayat ini adalah penyangkalan adanya sekutu
bagı Allah Taala, dan tidak berkaitan dengan masalah-masalah amal saleh dan pahala.
Ayat sebelumnya (al-An’am 81) adalah pertanyaan Nabi Ibrahim a.s. kepada
kaumnya tentang siapa yang paling berhak memperoleh keamanan, orang musyrik atau
orang mukmin? Sedang ayat ini (al-An’am 82) adalah jawabannya. Dengan demikian
makna kontekstual dari zhulm adalah syirik. Makna kontekstual ini tidak
mengindikasikan bahwa selain syirik bukan kezaliman. Karena tanwin pada kata zhulm
berfungsi sebagai ta zhim atau indikator hiperbolis. Jadi maksud ayat orang yang tidak
menutupi iman mereka dengan kezaliman adalah orang yang tidak menutupi iman
mereka dengan kezaliman yang sangat besar. Makna kontekstual lain dapat juga dilihat
dari aspek generalisasinya. Karena makna denotatif kata yang umum adalah
individualnya yang paling sempurna (al-Mutabadir mın al-muthtaq akmalu afradiht).
Menurut orang bijak, salah satu sebab kerancuan berpikir adalah terlalu cepat
melakukan generalisasi. Dan kesalahan terakhir inilah yang dilakukan sebagian sahabat
yang memang tidak maksum.
4. Tafsir Surah al-Insyiqaq Ayat 7-8

‫ف ي َُحا َسبُ ِح َسابًا يَ ِسيرًا فَأ َ َّما َم ْن أُوتِ َي ِكتَابَهُ بِيَ ِمينِ ِه‬
kَ ْ‫فَ َسو‬

Maka adapun orang yang catatannya diberikan dari sebelah kanannya, maka dia
akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah.
Salah satu nikmat Allah Taala kepada orang mukmin pada hari kiamat ialah
mendapat kemudahan dalam pemerikasaan amal (hisab, perhitungan amal). Kemudahan
dalam pemeriksaan amal bagi orang mukmin dapat dipahami antara lain dengan,
a. Orang mukmin menjalani penyelidikan terhadap segala amalnya, sekalipun proses
penyelidikan itu singkat, mudah, tidak memberatkan dan tidak mempersulitnya.
Penafsiran ini senada dengan makna literal ayat.
b. Orang mukmin tidak menjalani penyelidikan sama sekali. Ia bebas murni, aman
dan selamat. Penafsiran inisesuai dengan makna kontekstual yang
mengindikasikanbahwa kemudahan dalam pemeriksaan amal adalah suatu nikmat.
Karena nikmat dalam hisab yang besar dan bernilai adalah bebas murni dari
segala bentuk penyelidikan yang membuat orang mukmin yang dihisab gembira
dan senang atas pemberian “vonis” bebas murni itu.

14
Aisyah r.a, isteri Rasulullah saw, memahaminya dengan penafsiran pertama yang
sesuai dengan makna literalnya. Karena itu ia sungguh terkejut ketika yang didengarnya
dari Nabi Muhammad saw. kontradiktif dengan pemahamannya. Yaitu ketika Nabi
menerangkan bahwa maksud kemudahan dalam pemeriksaan amal adalah sekedar
pemaparan dan pertunjukan amal.
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas menyatakan bahwa maksud
pemeriksaan yang mudah adalah pemeriksaan dengan tanpa penyidikan dan penyelidikan
terhadap semua amal-amal yang kecil. Karena orang yang menjalani penyidikan dan
penyelidikan terhadap amal-amalnya secara rinci pasti celaka. Berikut beberapa hadis
berkaitan dengannya:
a. Hadis Pertama
Dari Isma’il dari Ayyub, dari Abdulläa ibn Abi Mulaikah bahwa ‘Aisyah berkata
Rasulullah saw bersabda “Barang siapa diperiksa (dihisab) pada hari kiamat maka
ia akan disiksa. Saya bertanya, “Bukankah Allah menyatakan bahwa (dia akan
diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah?)” Beliau menjawab. “Maksud
pemeriksaan yang mudah itu bukanlah pemeriksaan (dalam arti yang sebenarnya),
tetapi sekedar pemaparan. Karena barang siapa menjalani proses pemeriksaan
maka ia akan disiksa”.
b. Hadis Kedua
Dari Isma’il, dari Muhammad ibn Ishaq, dari Abd al-Wahid ibn Hamzah ibn
‘Abdullah ibn al-Zubair, dari Abbad ibn ‘Abdullah ibn al-Zubair, bahwa ‘Aisyati
berkata “Saya mendengar Rasulullah berdoa dalam shalat, “Ya Allah, periksalah
aku dengan pemeriksaan yang ringan.’ Setelah beliau selesai shalat saya bertanya
“Wahai Nabi, apakah pemeriksaan yang ringan?” Beliau menjawab, ‘Allah
memandang kitab (catatan amal seorang hamba) lalu memaafkannya. Wahai
‘Aisyah, barang siapa yang menjalani proses pemeriksaan pada hari kiamat, maka
ia celaka. Allah menghapus segala dosaorang mukmin dengan musibah yang
menimpanya, (sekalipun musibah itu kecil seperti) duri yang menusuk
(tubuhnya).”
Hadis ini sahih menurut persyaratan Imam Muslim.

15
Al-Razi dalam menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa maksud pemeriksaan
yang mudah ialah bahwa orang mukmin yang diperiksa melihat seluruh amalnya yang
baik maupun yang buruk. Amal salehnya mendapat balasan yang baik, sedang amal
jahatnya diampuni. Tiada penyelidikan dan pertanyaan dalam bentuk apapun
terhadapnya. Karena pertanyaan seperti, Apa alasan dan argumentasi anda sehingga anda
melakukan dosa ini? pasti orang yang diperiksa tidak dapat menjawabnya dengan
jawaban yang dapat meringankan dan membebaskannya dari siksa. Selanjutnya bila
jawaban itu tidak dapat diberikannya dan pasti tidak dapat, maka ia merasa dipermalukan.
Konteks adalah salah satu alat bantu utama dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Pengabaiannya sering berdampak kepada kekeliruan, seperti yang dilakukan Aisyah r.a.
di atas.
B. Realitas al-Dakhil Pada Masa Sahabat
Berikut dikemukakan beberapa contoh kekeliruan dalam penafsiran Al-Qur’an pada masa
sahabat, dan bantahan atau koreksi sahabat atasnya
1. Tafsir Surah al-Maidah Ayat 93
Meminum-minuman yang memabukkan (khamar) adalah salah suatu tradisi masyarakat
Arab: Tradisi yang membudaya ini tidak mudah mereka tinggalkan. Allah Taala yang
Maha Bijaksana mengharamkannya secara bertahap agar mereka dapat menerima
keputusan final tentang khamar itu dengan kondisi jiwa, emosi dan sosial budaya yang
kondusif. Pada tahap pertama Al-Qur’an mengajak mereka merenungkan bahwa bahan
baku khamar juga baik dan enak untuk dikonsumsi sebelum diproses menjadi khamar
(QS. An-Nahl ayat: 67). Pada tahap kedua Al-Qur’an mengingatkan mereka bahwa
khamar bermanfaat, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya (al-Baqarah: 219),
dan mengajak mereka membuat penilaian yang objektif terhadapnya berdasarkan
pertimbangan manfaat duniawi dan mudarat ukhrawi. Pada tahap ketiga Al-Qur’an
melarang mereka shalat dalam kondisi mabuk (al-Nisa, 42). Dengan larangan ini, mereka
tidak meminumnya menjelang masuk waktu shalat wajib karena takut masih dalam
kondisi mabuk ketika waktu shalat berikutnya masuk. Selanjutnya pada tahap keempat
Al-Qur’an melarang khamar secara total dan final (al-Maidah: 90). Setelah ayat terakhir
ini turun. sebagian sahabat mempertanyakan nasib para sahabat yang telah wafat sebelum

16
ayat tersebut turun, sedang mereka pada masa hidupnya meminum khamar. Untuk
menjawab pertanyaan mereka ini, turunlah ayat 93 surah al-Maidah di bawah ini.
۟ َ‫ت ثُ َّم ٱتَّق‬
‫وا‬ ۟ ُ‫وا َو َع ِمل‬
َّ ٰ ‫وا ٱل‬
ِ ‫صلِ ٰ َح‬ ۟ ُ‫وا َّو َءامن‬
۟ َ‫ت ُجنَا ٌح فِيما طَ ِع ُم ٓو ۟ا إِ َذا ما ٱتَّق‬ِ ‫صلِ ٰ َح‬ ۟ ُ‫وا َو َع ِمل‬
َّ ٰ ‫وا ٱل‬ ۟ ُ‫ْس َعلَى ٱلَّ ِذينَ َءامن‬ َ ‫لَي‬
َ َ َ َ
۟ ُ‫وا َّوأَحْ َسن‬
َ‫وا ۗ َوٱهَّلل ُ يُ ِحبُّ ْٱل ُمحْ ِسنِين‬ ۟ َ‫وا ثُ َّم ٱتَّق‬
۟ ُ‫َّو َءامن‬
َ
“Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan
tentang apa yang mereka makan (dahulu), apabila mereka bertakwa dan
beriman, dan serta mengerjakan kebajikan, kemudian mereka tetap bertakwa dan
beriman selanjutnya mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Maksud ayat adalah: para sahabat tidak berdosa karena mereka meminum khamar
ketika khamar itu masih halal. Ayat ini seperti ayat yang mengubah arah kiblat dari
Baitul Maqdis ke Ka’bah, kemudian Allah menegaskan bahwa Dia tidak akan menyia-
nyiakan iman (sholat) kaum muslimin (al-Bagarah, 143). Maksudnya ketika arah kiblat
kaum muslimin ke Baitul Maqdis dasarnya adalah perintah Allah. Karena itu Allah tidak
akan membatalkan pahala shalat yang telah mereka laksanakan dengan berkiblat ke
Baitul Maqdis. Adapun persyaratan iman dan takwa dalam ayat diatasbukan syarat
sebenarnya, tetapi sebagai pujian Allah Taala terhadap kondisi mereka. Dengan demikian
maksud ayat adalah, orang mukminyang bertakwa dan saleh tidak berdosa memakan dan
meminum yag mubah dan halal selama ia menjauhi yang haram.
Al-Alusi dalam menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa selama mereka taat,
patuh dan saleh, maka makanan dan minuman yang mereka konsumsi tidak merupakan
suatu kesalahan. Mereka patuh dalam menjalankan semua perintah Allah Taala. Mereka
meminum khamar dan berjudi karena dua hal itu belum diharamkan. Sebaliknya jika
sudah diharamkan pada masa hidup mereka, maka mereka pasti langsung dan tanpa ragu-
ragu akan menjauhinya.
Dari Abdu ibn Humaid dari Ubaidilläh ibn Musa dari Israil dari Abi Ishaq bahwa
al-Bara berkata, “Sebagian sahabat Nabi saw wafat sebelum ayat pengharaman khamar
turun. Ketika ayat itu turun sebagian sahabat bertanya, “Bagaimana nasib sahabat-sahabat
kita yang telah wafat sedang sebelumnya mereka meminum khamar?” Lalu turunlah ayat
(Tidak berdosa bagi orang-orang yang berimun dan mengerjakan kebajikan tentang apa
yang mereka makan (dahulu), apabila mereka bertakwa dan beriman dan serta
mengerjakan kebajikan) (ayat 93 surah al-Maidah).

17
Kesulitan dalam meninggalkan suatu tradisi yang telah membudaya,
ketidakmengertian tentang sebab turunnya ayat 93 surah al-Maidah dan pemahaman
literal terhadapnya mendorong beberapa orang sahabat melakukan kesalahan dalam
menafsirkannya. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah
mengatakan bahwa Khalifah Umar ibn Khattab mengangkat Qudamah sebagai gubernur
Bahrain pada masa pemerintahannya. Ia meriwayatkan dari Abu al-Yaman dari Syu’aib
dari al-Zuhri bahwa Abdullah ibn Amir ibn Rabi’ah berkata, “Qudamah adalah salah
seorang tokoh Bani ‘Adi, ayahnya ikut berperang bersama Rasulullah saw. pada perang
Badar, Umar mengangkatnya sebagai gubernur Bahrain dan ia sendiri ikut dalam perang
Badar. Ia adalah paman Ubaidillah ibn Umar dan Hafshah Demikian riwayat Bukhari
secara singkat dan mauquf. Abdurrazzaq juga meriwayatkannya secara lengkap dari
Ma’mar dari Ibnu Syihab bahwa Abdullah ibn Amir ibn Rabi’ah berkata, “Umar
mengangkat Qudamah ibn Mazh’un sebagai gubernur Bahrain, dia adalah paman
Hafshah dan Abdullah. Dua yang terakhir ini adalah anak Umar ibn Khattab. Jarud,
kepala suku Abdu Alaf, berangkat dan Bahrain menuju Madinah untuk menemui Umar la
berkata, “Wahai Amirul Mukminın, Qudamah meminum-minuman yang memabukkan
dan ia mabuk. Saya berpendapat bahwa ia wajib dihukum sesuai dengan hukuman yang
ditetapkan oleh Allah dan saya berkewajiban melaporkannya kepada Anda.” Umar
bertanya, ‘Siapakah saksi tain yang menyaksikan kejahatan itu?’ Jarud menjawab, ‘Abu
Hurairah’ Lalu Abu Hurairah dipanggil. Umar bertanya kepadanya, ‘Apakah engkau
melihatnya meminum minuman yang memabukkan?’ Abu Hurairah menjawab, ‘Saya
tidak melihatnya meminum minuman memabukkan, tetapi saya melihatnya dalam kondisi
mabuk sambal muntah.’ Umar berkomentar, “Kesaksianmu sudah cukup jelas dan kuat”
Kemudian Umar menulis surat kepada Qudamah di Bahrain dan menyuruhnya datang ke
Madinah. Ketika ia datang, Jarud berkata kepada Umar, ‘Hukumlah ia berdasarkan
ketetapan Al-Qur’an! Umar bertanya kepadanya, “Apakah kamu penggugat atau saksi?”
Ia menjawab, Posisi saya hanya sebagai saksi. Umar berkata, ‘Kamu telah memberikan
kesaksianmu.’ Jarud terdiam, tetapi pada esok harinya ia datang lagi menemui Umar dan
berkata, ‘Hukumlah ia berdasarkan ketetapan Allah Taala!’ Umar berkata, “Kalau begitu
Anda bukan hanya sekedar seorang saksi, tetapi juga sebagai penggugat. Sedang saksi
lain selain Anda hanya seorang saja.” Jarud berkata “Demi Allah, saya memohon kepaia

18
Anda agar ia dihukum” Umar menjawab, Diam! Bila Anda tidak diam, saya akan
menghukum Anda’ Jarud berkata, ‘Wahai Umar, keputusan Anda itu tidak benar dan
tidak adil. Mengapa anak paman Anda yang mabuk tetapi saya yang dihukum’ Abu
Hurairah berkomentar, “Wahai Amirul Mukminin, jika Anda meragukan kesaksian kami,
maka panggilah putri al-Walid dan tanyalah dia. Karena ia adalah isteri Qudamah! Lalu
Umar memanggil Hindun, putri al-Walid dan memintanya memberikan kesaksiannya
Hindun memberikan kesaksian yang memberatkan suaminya. Umar berkata kepada
Qudamah, ‘Saya akan menghukum Anda! Qudamah menjawab. ‘Seandainya saya
meminum minuman yang memabukkan seperti yang Anda tuduhkan, Anda tidak berhak
menghukum saya” Umar bertanya. “Mengapa?” Ia menjawab. Karena Allah Taala
berfirman (seperti dalam surah al-Maidah ayat 93 di atas) Umar berkata, Penafsiran Anda
terhadap ayat itu salah. Kalau benar Anda bertakwa kepada Allah. pasti Anda menjauhi
yang diharamkan-Nya.” Kemudian Umar bertanya kepada para sahabat yang berada di
majelis itu, “Bagaimana pendapat kamu dalam eksekusi cambuk terhadap Qudamah?”
Mereka menjawab, ‘Kami berpendapat eksekusi cambuk itu ditunda sampai Qudamah
sembuh dari penyakit yang dideritanya.’ Setelah beberapa hari, Umar bermaksud
menjalankan eksekusi cambuk itu dan kembali bertanya kepada para sahabat, “Bagamana
pendapat kamu dalam eksekusi cambuk terhadap Qudamah” Mereka rmenjawab. “Kami
berpendapat eksekusi cambuk itu ditunda sampai Qudamah sembuh dari penyakit ringan
yang dideritanya” Umar berkata, ‘Seandainya ia mati karena dicambuk, maka itu lebih
aku sukai daripada aku mati sebelum melaksanakan kewajiban eksekusi cambuk
terhadapnya. Beri aku cambuk yang bagus dan cambuklah dia!” Setelah eksekusi itu
dijalankan Umar marah kepada Qudamah dan tidak menegurnya. Pada musin haji,
mereka berdua melaksanakan ibadah haji sedang Umar masih marah kepadanya. Setelah
selesai melaksanakan manasik haji keduanya pulang. Umar singgah di daerah al Saqya
dan tertidur. Ketika ia bangun dari tidurnya ia berkata kepada sahabatnya “Bawa
Qudamah menghadapku! Demi Allah saya bermimpi melihat seseorang mendatangiku
dan berkata kepadaku, “Berdamailah dengan Qudamah, karena ia adalah saudaramu!”
Tolong bawa ia segera menghadapku!” Ketika Qudamah didatangi oleh pengawal Umar
ia tidak mau menghadap Umar. Lalu Umar memaksanva menghadapnya. Kemudian
Umar menyapa, berbicara dengannya dan memohonkan ampun untuknya.

19
Sabab nuzul adalah salah satu alat bantu utama dalam menafsırkan Alquran
Mengabaikannya dapat menjurus kepada pemahanan yang keluar dari konteks ayat.
Tafsir Surah al-Ahqaf Ayat 17
ِ َ‫َوٱلَّ ِذى قَا َل لِ ٰ َولِ َد ْي ِه أُفٍّ لَّ ُك َمٓا أَتَ ِعدَانِنِ ٓى أَ ْن أُ ْخ َر َج َوقَ ْد خَ ل‬
ِ َ‫ت ْٱلقُ ُرونُ ِمن قَ ْبلِى َوهُ َما يَ ْست َِغيث‬
‫ان ٱهَّلل َ َو ْيلَكَ َءا ِم ْن إِ َّن‬
َ‫ق فَيَقُو ُل َما ٰهَ َذٓا إِٓاَّل أَ ٰ َس ِطي ُر ٱأْل َ َّولِين‬ ٌّ ‫َو ْع َد ٱهَّلل ِ َح‬
ٓ
۟ ُ‫ ِّمنَ ْٱل ِجنِّ َوٱإْل نس ۖ إِنَّهُ ْم َكان‬k‫ت ِمن قَ ْبلِ ِهم‬
َ‫وا ٰخَ ِس ِرين‬ ِ ِ ْ َ‫ق َعلَ ْي ِه ُم ْٱلقَوْ ُل فِ ٓى أُ َم ٍم قَ ْد خَ ل‬ َ ِ‫أُ ۟و ٰلَئ‬
َّ ‫ك ٱلَّ ِذينَ َح‬
“Dan orang yang berkata kepada kedua orang tuannya, “Ah.” Apakah kamu
berdua memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan (dari kubur),
padahal beberapa umat sebelumku telah berlalu?” Lalu kedua orang tuanya itu
memahon pertolongan kepada Allah (seraya mengatakan), “Celaka kam,u
berimanlah! Sungguh. janji Allah itu benar.” Lalu dia (anak itu) berkata, “Ini
hanyalah dongeng orang-orang yang dahulu.” Mereka itu orang-orang yang
telah pasti terkena ketetapan (azab) Bersama umat-umat dahulu sebelum mereka,
dari (golongan) jin dan manusia. Mereka adalah orang-orang yang rugi.”
Sebagian faktor yang mendorong para sahabat dan tabiin menghapal Alquran
ialah kondisi mereka yang masih buta aksara, kepintaran dan kecerdikan mereka,
kesederhanaan hidup mereka, kecintaan kepada Allah dan Rasul, nilai i’jaz Alquran, dan
kuatnya kemauan mereka dalam memperlajari Alquran. Kemampuan mereka
mengungkapkan kembali ayat-ayat Alquran yang mereka hapal untuk berargumentası
setara dengan kemampuan bangsa Indonesia berargumentasi dengan pribahasa atau kata-
kata mutiara yang sering mereka dengar dan telah mereka hapal. Pribahasa itu seperti;
Patah tumbuh hilang berganti, Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup
bercermin bangkai, Bagaikan pinang dibelah dua, Malu hertanya sesat di jalan, dan lain
lain. Karena itu mereka dapat menggunakan ayat-ayat Alquran dengan mudah untuk
tujuan-tujuan tertentu seperti menghujat, memuji, membentuk opini umum, menjatuhkan
lawan, menyangkal dan lain lain.
Muawiyah ibn Abu Sufyan, khalifah pertama dinasti Umayyah, berambisi
mengangkat anaknya, Yazid, sebagai penggantinya setelah ia wafat. Tetapi ia sadar
bahwa mayoritas sahabat masih berpendapat bahwa ia memperoleh jabatan khalifah
dengan proses yang ilegal dan akan menolak bila ia mewariskannya kepada anaknya.
Untuk mewujudkan ambisinya itu ia menempuh langkah-langkah persuasif dan ketika
langkah-langkah persuasif itu tidak efektif, ia pun melakukan intimidasi terhadap lawan-

20
lawan politiknya. Marwan ibn Hakam, gubernur Hijaz yang loyal kepada Muawiyah,
berkampanye di kota Madinah untuk proses suksesi itu Abdurrahman ibn Abu Bakar
tidak dapat menerima ide itu. Watak Marwan yang emosional dan ketersinggungannya
karena idenya dibantah di depan publik serta hapalan Alqurannya yang baik
mendorongnya melakukan identifikasi tanpa dasar terhadap ayat yang bermakna umum.
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas menyatakan bahwa setelah Allah
Taala menerangkan kondisi orang-orang yang berbakti kepada kedua orang tua mereka,
yang selalu mendoakan mereka dan memperoleh kesejahteraan dan keselamatan di sisi
Allah Taala, maka selanjutnya Allah Taala menerangkan kondisi orang-orang yang
durhaka kepada kedua orang tua mereka. Menurutnya maksud dan orang yang berkata
kepada dua orang ihu bapaknya. “Cis bagı kamu keduanya (seperti dalam ayat 17 di
atas) bersifat umum dan mencakup semua yang mengucapkannya. Berikut beberapa
argumentasi beliau berkenaan dengannya.
a. Hadis Bukhari
Dari Musa ibn Isma’il, dari Abu Awanah, dari Abi Bisyr, bahwa Yusuf ibn
Mahak berkata, “Muawiyah (ibn Abu Sufyan ra) mengangkat Marwan sebagai
(gubernur daerah) Hijaz. Dalam pidatonya, Marwan (berkampanye) agar Yazid
ibn Muawiyah dibaiat sebagai khalifah setelah ayahnya (wafat). Abdurrahman ibn
Abu Bakar berbicara (dan mengungkapkan ketidak setujuannya) Marwan
menyuruh (para pembantunya) menangkapnya. Abdurrahman masuk ke rumah
Aisyah dan selamat dari kejaran (para pembantu Marwan). Marwan berkomentar,
“Dialah sebab turunnya ayat (dan orang yang berkata kepada dua orang ibu
bapaknya, “Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan
kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan?)” ‘Allah Taala tidak menurunkan
Alquran satu ayatpun terhadap (keluarga) kami, kecuali ayat-ayat yang
membebaskan diriku (dari fitnah).”
b. Pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini turun terhadap Abdurrahman ibn Abi
Bakar r.a. adalah pendapat yang lemah. Karena Abdurrahman masuk Islam
setelah ayat ini turun. taat beragama dan salah seorang kaum muslimin yang
terbaik pada masanya.

21
c. Al-‘Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ayat ini turun terhadap salah
seorang anak Abu Bakar al-Shiddiq r.a., Menurut Ibnu Katsir kesahihan hadis ini
masih perlu diteliti.
d. Ibnu Juraij meriwayatkan bahwa Mujahid berpendapat bahwa ayat ini turun
terhadap Abdullah ibn Abu Bakar al-Shiddiq r.a., demikjan juga pendapat Ibnu
Juraij sendiri. Sebagian ulama salaf seperti al-Suddi berpendapat bahwa ayat ini
turun terhadap Abdurrahman ibn Abu Bakar r.a., Menurut Ibnu Katsir seperti
dinyatakannya di atas bahwa ayat ini bersifat umum dan mencakup semua orang
yang durhaka kepada kedua orang tuanya, mendustakan kebenaran dan
mengatakan kepada keduanya,”Cis bagi kamu berdua” sebagai indikasi
kedurhakaannya.
e. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ali ibn al-Husain dari Muhammad ibn
al-‘Alaa dari Yahya ibn Abi Zaidah dari Ismail ibn Abi Khalid bahwa Abdullah
ibn al-Madini berkata. “Pada suatu hari saya berada di dalam mesjid (mesjid
Nabawi) dan Marwan berpidato. Sesungguhnya Allah Taala telah memberi ilham
vang baik kepada Amirul Mukminin (Muawiyah ibn Abi Sufyan) dalam masalah
Yazid (anaknya). Ilham itu adalah agar ia mengangkat anaknya sebagai
penggantinya. Pengangkatan seperti itu juga telah dilakukan oleh Abu Bakar
terhadap Umar r.a., “Abdurrahman ibn Abu Bakar r.a. berkomentar, ‘Apakah
anda akan menerapkan sistem monarki? Sesungguhnya Abu Bakar r.a. tidak
pernah mengangkat anak dan keluarganya sebagai penggantinya, dan tidak
memberi jahatan kepada Muawiyah kecuali karena rasa sayang dan memuliakan
anaknya.’ Marwan berkata, “Bukankah engkau yang dimaksud oleh ayat dan
orang yang herkata kepada dua orang ibu bapaknya, “Cis bagi kamu keduanya
(ayat 17 surah al-Ahqaf)?” Abdurrahman r.a. berkata. ‘Bukankah engkau anak
orang yang dilaknat? Bukankah Rasulullah saw telah melaknat avahmu?’
Perdebatan panas mereka ini didengar oleh Aisyah r.a. dan ia berkata. “Wahai
Marwan, engkaukah yang berkata kepada Abdurrahman r.a. seperti yang aku
dengar? Engkau dusta! Ayat itu tidak turun terhadapnya, tetapi turun terhadap
Polan ibn Polan.’ Lalu Marwan menangis tersedu-sedu, turun dari mimbar dan
mendatangi pintu kamar Aisyah. Ia berbicara sejenak dengannya lalu pergi.

22
f. Hadis al-Nasai
Al-Nasai meriwayatkan dari Ali ibn al-Husain, dari Umayyah ibn Khalid, dari
Syu’bah, bahwa Muhammad ibn Ziyad berkata, “Ketika Muawiyah r.a. menunjuk
anaknya (sebagai penggantinya bila ia wafat), Marwan berkata, (Suksesi ini
mengikuti) tradisi (suksesi Abu Bakar r.a., dan Umar r.a. Abdurrahman ibn Abu
Bakar r.a. berkata, ‘(Yang diikuti adalah) tradisi Herkules dan Kaisar,’ Marwan
berkata, “Dialah sebab turunnya ayat (dan orang yang berkata kepada kedua
orang ibu bapaknya,”Cis bagi kamu keduanya.)” Ada yang menyampaikan
perkataan Marwan ini kepada Aisyah, ia berkata, ‘Marwan berdusta, demi Allah,
bukan (Abdurrahman) yang menjadi sebab turunnya (ayat itu)., bila akum au aku
dapat menyebut nama orang yang menjadi sebab turunnya (ayat itu). Tetapi
RAsulullah saw. melaknat ayah Marwan Ketika Marwan masih berada ditulang
sulbi ayayh ya. (Dengan demikian) Marwan sendiri mendapat Sebagian laknat
itu.’
Al-Razi dalam menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa ayat berikutnya menyebut
salah satu sifat anak yang sangat durhaka kepada orang tuannya. Yaitu menolak ajakan
kedua orang tuanya untuk mengimani adanya hari kiamat. Ajakan mulia dari orang tua
yang wajib dimuliakan itu dijawab dengan jawaban yang kasar dan tidak logis. Bila
maksud ayat adalah menerangkan salah satu sifat anak yang sangat durhaka kepada orang
tuanya, maka kata alladzi pada ayat sebelumnya tetap bermakna umum dan tidak tertuju
kepada satu orang, apalagi terhadap Abdurrahman ibn Abu Bakar r.a. Sedang al-Nasai
mengatakan bahwa kata alladzi pada ayat diatas bermakna umum dan mencakup semua
penuturnya. Karena itu khabar-nya berbentuk jamak.

23
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN

Dari pemaparan teori tentang ad dakhil pada masa awal islam dapat disimpulkan menjadi
beberapa bagian penting sesuai teori yang telah disebutkan yaitu :

24
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Ulinnuha, Konsep Al Ashil Dan Al Dakhil Dalam Tafsir Al Qur’an, Jakarta :
Jurnal MADANIA. No. 2, Edisi/Vol 21 Desember 2017.

Ibrahim Syuaibi, Metodologi Kritik Tafsir, (Bandung: Tanpa Penerbit, 2008).

25

Anda mungkin juga menyukai