Anda di halaman 1dari 15

Mata Kuliah: Dosen Pengampu:

Al-Dakhil fi Al-Tafsir Lukmanul Hakim, S.Ud., M.IRKH., Ph.D

AD-DAKHIL DALAM TAFSIR BI AL-MA’TSUR

Disusun Oleh:

Kelompok 2

Hersa Khalishah (11930220343)


Ipah Dilah Yumasyah (11930223544)
Kurnia Budiarti (11930220496)

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

TA. 2021/2022
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, berkat hidayah dan
rahmat-Nya penulis dapat menyusun makalah yang berjudul “AD-DAKHIL
DALAM TAFSIR BI AL-MA’TSUR”. Makalah ini disusun berdasarkan
silabus fakultas Ushuluddin UIN SUSKA Riau dalam mata kuliah Al-Dakhil fi
Al-Tafsir. Sholawat dan salam, penulis haturkan kepada Nabi Muhammad Saw.
beserta keluarga dan para pengikutnya, semoga kita selaku pengikutnya
senantiasa beriman dan memiliki ilmu yang bermanfaat dan diangkat derajatnya
oleh Allah beberapa derajat atas ilmu yang dimiliki. Terimakasih yang sebesar-
besarnya tak lupa kami ucapkan kepada bapak Lukmanul Hakim, S.Ud.,
M.IRKH., Ph.D selaku dosen pembimbing yang sudah membantu penulis
dalam menyusun makalah ini.

Makalah Ad-Dakhil dalam Tafsir Bi Al-Ma’tsur ini diharapkan memberikan


alternative penuntun belajar yang diterapkan dan dikembangkan untuk
meningkatkan kompetensi, kreativitas, kemandirian, dan integritasprestasibel
mahasiswa. Semoga makalah ini membawa manfaat dan menambah wawasan
mahasiswa dalam mata kuliah Al-Dkahil fi Al-Tafsir. Kritik dan saran yang
bersifat konstruktif sangat kami harapkan dari semua pihak demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga Allah Swt memberi petunjuk kepada penulis.

Pekanbaru, Maret 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................2
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ad-Dakhil dalam Tafsir Bi Al-Ma’tsur ....................................3
B. Cara Ad-dakhil masuk dalam Tafsir Bi Al-Ma’tsur ...................................4

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ............................................................................................11
B. Saran ......................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama Islam mengandung ajaran yang dapat membimbing umat
manusia menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dalam menjalani
kehidupan. Apabila ajaran itu dilakukan dengan baik, maka kehidupannya
akan menjadi kehidupan yang paling sempurna. Mengenai ajaran tersebut
dapat diketahui dasar-dasar dan undang-undangnya melalui salah satu
sumber hukum Islam, yaitu al-qur’an. Al-qur’an memuat wahyu Allah Swt
Pencipta alam semesta yang ditujukan kepada manusia. Di era
perkembangan zaman pada saat ini penafsiran oleh seorang mufassir
terhadap al-qur’an sulit untuk di hindari. Masing-masing mufassir
menafsirkan al-qur'an sesuai dengan keilmuan yang melatarbelakanginya,
lingkungan tempat ia berada serta latarbelakang mazhab yang di anut oleh
masing-masing mufassir.
Menurut Husain al-Dzahabi hal tersebut dapat memicu terjadinya
penyimpangan dalam menafsirkan al-qur’an, karena seorang mufassir
menafsirkan al-qur’an berdasarkan kehendaknya sendiri. Bahkan terkadang
khususnya dalam tafsir bi al-ma’tsur sumber-sumber yang dijadikan
rujukan oleh seorang mufassir tidak dapat dipertanggungjawabkan
kesahihannya atau ketika meriwayatkan hadis tidak mencantumkan nama
para perawinya (perawi yang menerima langsung dari Nabi Muhammad
Saw), sehingga menghasilkan sebuah penafsiran yang melenceng dan pada
puncaknya menghasilkan ad-dakhil fit-tafsir, yaitu penafsiran al-qur’an
yang tidak memiliki sumber yang jelas dalam Islam, baik tafsir yang
menggunakan riwayat-riwayat hadis lemah dan palsu, maupun
menafsirkannya dengan menggunakan teori-teori sesat disebabkan kelalaian
atau kesengajaan. Maka dalam hal ini, penulis tertarik untuk membahas
tentang “Al-Dakhil Dalam Tafsir Bi Al-Ma’tsur”

1
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang di maksud dengan ad-dakhil dalam tafsir bi al-ma’tsur?
2. Bagaimana cara ad-dakhil masuk dalam tafsir bi al- ma’tsur?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apakah yang di maksud dengan ad-dakhil dalam tafsir
bi al-ma’tsur.
2. Untuk mengetahui bagaimana cara ad-dakhil masuk dalam tafsir bi al-
ma’tsur.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ad-Dakhil dalam Tafsir Bi Al Ma’tsur


Secara bahasa ad-dakhil berarti “sesuatu yang masuk”. Menurut al-
Raghib al-Asfahany ad-dakhil merupakan kata kiasan yang bermakna rusak
atau permusuhan yang tersembunyi. Dalam istilah ulama tafsir ad-dakhil
berarti penafsiran yang tidak mempunyai pijakan dalam agama yang masuk ke
dalam makna dan kandungan al-qur’an disaat terjadi kelengahan. Jamal
Musthafa di dalam kitabnya “Ushul al-Dakhil” menyimpulkan, bahwa ad-
dakhil dalam kajian tafsir adalah sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi
Muhammad Saw, sahabat, dan tabi’in, atau sesuatu yang telah ditetapkan
periwayatannya kepada sahabat, dan tabi’in tetapi tidak memenuhi syarat-
syarat diterimanya periwayatan tersebut, dan lahir dari pendapat yang tercela.1
Sedangkan pengertian tafsir bil ma’tsur adalah sebuah tafsir yang
menjelaskan makna-makna dari ayat-ayat al-qur’an dengan ayat al-qur’an,
sunnah yang shahih ataupun perkataan para sahabat.2 Dengan kata lain, tafsir
bil ma’tsur merupakan tafsir al-qur’an berdasarkan riwayat yang meliputi ayat
dengan ayat, penafsiran ayat dengan sunah rasul, dan penafsiran dengan
riwayat sahabat. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat diketahui
bahwa ad-dakhil dalam tafsir bil ma’tsur merupakan suatu tafsir yang
didalamnya terdapat kecacatan atau kebohongan yang disandarkan kepada al-
qur’an, Nabi Muhammad Saw, sahabat, maupun tabi’in. Ad-dakhil fi Al-
ma’tsur meliputi penafsiran al-qur’an dengan ma’tsur yang tidak sahih atau
sahih tetapi tidak memenuhi syarat-syarat penerimaan suatu hadis. Ma’tsur
disini berarti suatu periwayatan yang tidak mutawattir dan tergolong kepada
dhaif dan maudhu’.

1
Mujiburrohman, Ad-Dakhil Dalam Ra’yi dan Ma’tsur; Ahsana Media, No. 1, Vol. 6, Tahun
2020, h. 82.
2
Afrizal Nur, Muatan Aplikatif Tafsir Bi Al-Ma’tsur & Bi Al-R’yi Telaah Kitab Tafsir Thahir
Ibnu ‘Asyur dan M. Quraish Shihab, (Yogyakarta: Kalimedia, 2020) h. 28.

3
B. Cara masuknya Ad-Dakhil dalam Tafsir Bi Al Ma’tsur
1. Ad-Dakhil Melalui Riwayat Hadis Maudhu’
Secara bahasa hadis maudhu’ berarti mengada-adakan atau
membuat-buat. Sedangkan menurut istilah hadis maudhu’ adalah hadis
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. secara dibuat-buat dan
dusta, padahal beliau tidak pernah mengatakan, berbuat ataupun
menetapkannya. Jadi, hadis maudhu’ bukanlah hadis yang bersumber dari
Nabi Muhammad Saw akan tetapi suatu perkataan atau perbuatan seseorang
atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alasan kemudian dinisbatkan kepada
Nabi Muhammad Saw.3
Salah satu contoh tafsir ad-dakhil melalui riwayat hadis maudhu’
adalah hadis maudhu’ yang membicarakan tentang keutamaan Ali bin Abi
Thalib yang disebutkan dalam asbabun Nuzul Surah al-Maidah ayat 55
sebagai berikut :
4 َّ َ‫ص ٰلوةَ َوي ُۡؤت ُ ۡون‬
َ‫الز ٰكوة َ َوه ُۡم َرا ِكعُ ۡون‬ َّ ‫س ۡولُهٗ َوالَّذ ِۡينَ ٰا َمنُوا الَّذ ِۡينَ يُق ِۡي ُم ۡونَ ال‬ ‫اِنَّ َما َو ِليُّ ُك ُم ه‬
ُ ‫ّٰللاُ َو َر‬
Artinya : “Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang yang beriman, yang menegakkan shalat dan menunaikan
zakat, seraya tunduk (kepada Allah).” (QS. al-Maidah ayat 55).5
Mengenai ayat tersebut, banyak ditemukan riwayat yang menyatakan bahwa
ayat ini diturun untuk orang-orang mukmin dan Ali bin Abi Thalib. Ibnu
Katsir dalam kitab tafsirnya banyak menyebutkan riwayat tentang hal ini,
diantaranya adalah yang diriwayatkan dari jalur Muhammad bin as-Saib al-
Kilabi. Pada akhir kutipannya Ibnu Katsir mengomentari bahwa segala
sesuatu yang datang dari al-Kilabi tidak ada yang benar karena sanad-
sanadnya dhaif dan perawinya tidak diketahui.6

3
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2016), h. 176.
4
Al-qur’anul Karim.
5
LPMQ, Al-Qur’an dan Terjemahannya : Edisi Penyempurnaan, (Jakarta: Pustaka Lajnah,
2019) h. 158.
6
Ahmad Fakhruddin Fajrul Islam, Al-Dakhil Fi Al-Tafsir (Studi Kritis Dalam Metodologi
Tafsir); Tafaqquh, No. 2, Vol. 2, Tahun 2014. h. 80.

4
2. Ad-Dakhil Melalui Riwayat Israiliyat
Secara bahasa kata israiliyat merupakan bentuk jamak dari kata
israiliyah yang berarti sesuatu yang dinisbahkan kepada Bani Israil. Bani
Israil itu sendiri berarti suatu gelar yang diberikan oleh Allah Swt kepada
Nabi Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim as. Sedangkan menurut istilah israiliyat
suatu istilah yang dikemukakan oleh para ulama peneliti terhadap kisah-
kisah dan berita-berita yang bersumber dari agama Yahudi dan Nasrani
yang masuk kepada umat Islam setelah masuknya mereka ke dalam agama
Islam atau mereka hanya berpura-pura masuk agama Islam.7 Terdapat
beberapa penyebab timbulnya israiliyat dalam agama Islam, diantaranya :
a) Semakin banyaknya orang-orang Yahudi yang masuk Islam, namun
belum seutuhnya melepaskan seluruh ajaran-ajaran yang mereka anut
sebelumnya. Sehingga tercampur antara ajaran yang mereka anut
sebelumnya dengan ajaran agama Islam.
b) Adanya keinginan kaum Muslimin pada saat itu untuk mengetahui
sepenuhnya tentang bangsa Yahudi yang berperadan tinggi dan hanya di
ungkapkan dalam al-qur’an secara sepintas.
c) Adanya ulama Yahudi yang masuk Islam, seperti Abdullah bin Salam,
Ka’ab bin Akhbar, dan Wahab bin Munabbih. Mereka dipandang
mempunyai andil besar terhadap tersebarnya kisah israiliyat pada
kalangan umat Islam.
Menurut pandangan para ulama pada umumnya Ad-Dakhil dalam israiliyat
terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :
a) Ad-Dakhil israiliyat yang sejalan dengan Islam.
Dalam tafsir al-Thabari yang dinukil oleh Ibnu Katsir dari al-
Mutsanna, dari Utsman bin Umar dari Fulailah dari Hilal bin Ali dari
Atha bin Abi Rabbah yang membahas tentang sifat-sifat Nabi
Muhammad Saw, sebagai berikut :

7
Moch Tolchah, Aneka Pengkajian Studi Al-qur’an, (Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara,
2016), h. 67.

5
‫س ْلنَاكَ شَا ِهدًا َو ُمبَش ًِرا‬
َ ‫ي إِنَّا أ َ ْر‬ ِ ‫صفَتِ ِه فِي ْالقُ ْر‬
ُّ ِ‫آن يَا أَيُّ َها النَّب‬ ِ ‫ض‬ ِ ‫وف فِي الت َّ ْو َراةِ بِبَ ْع‬
ٌ ‫ص‬ ُ ‫ّٰللا إِنَّهُ لَ َم ْو‬
ِ َّ ‫َو‬
ٍّ‫غلِيظ‬َ ‫ْس بِف ٍَّظ َو ََل‬ َ ‫س َّم ْيتُكَ المت ََو ِك َل لَي‬
َ ‫سولِي‬ ُ ‫ع ْبدِي َو َر‬ َ َ‫ِيرا َوحِ ْر ًزا ل ِْْل ُ ِميِينَ أ َ ْنت‬ ً ‫َونَذ‬

Artinya: “… Demi Allah sesungguhnya sifat Muhammad dalam Taurat


sama seperti yang diterangkan dalam al-qur’an. Wahai Nabi,
sesungguhnya kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira,
pemberi peringatan dan pemelihara yang ummi, engkau adalah hamba
hamba-Ku, namamu dikagumi, engkau tidak kasar dan tidak pula
keras...”
Riwayat tersebut sesuai dengan firman Allah Swt dalam al-qur’an surah
Ali Imran ayat 159 berikut ini :

‫ع ْن ُه ْم َوا ْست َ ْغف ِْر‬ ُ ‫ب ََل ْنفَض ُّْوا مِ ْن َح ْولِكَ ۖ فَاع‬


َ ‫ْف‬ ِ ‫ظ ْالقَ ْل‬
َ ‫غ ِل ْي‬ ًّ َ‫ّٰللا ِل ْنتَ لَ ُه ْم ۚ َولَ ْو ُك ْنتَ ف‬
َ ‫ظا‬ ِ ‫فَبِ َما َر ْح َم ٍّة ِمنَ ه‬
8
َ‫ّٰللا يُحِ بُّ ْال ُمت ََو ِك ِليْن‬ ِ ‫علَى ه‬
َ ‫ّٰللا ۗ ا َِّن ه‬ َ ‫عزَ مْتَ فَت ََو َّك ْل‬ َ ْ ‫لَ ُه ْم َوشَا ِو ْرهُ ْم فِى‬
َ ‫اَل ْم ۚ ِر فَ ِاذَا‬

Artinya: “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku


lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan
berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu
maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (penting). Kemudian,
apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada
Allah. sesungguhnya, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (QS. Ali
Imran ayat 159).9

b) Ad-Dakhil israiliyat yang tidak sejalan dengan Islam.


Salah satu contohnya terdapat dalam tafsir al-Thabari yang berkaitan
dengan kejadian alam dalam surah az-Zumar ayat 67 berikut ini:

8
Al-qur’anul Karim.
9
LPMQ, Al-Qur’an dan Terjemahannya : Edisi Penyempurnaan, (Jakarta: Pustaka Lajnah,
2019) h. 95.

6
ُ ۗ ‫ط ِويه ٌۢتٌ بِيَمِ ْين ِٖه‬
‫سبْحٰ نَهٗ َوت َعٰ ٰلى‬ ْ ‫ضتُهٗ يَ ْو َم ْال ِق ٰي َم ِة َوالسَّمٰ ٰوتُ َم‬ ُ ‫ّٰللا َح َّق قَد ِْر ٖ ۖه َو ْاَلَ ْر‬
َ ‫ض َجمِ ْيعًا قَ ْب‬ َ ‫َو َما قَدَ ُروا ه‬
10
َ‫ع َّما يُ ْش ِر ُك ْون‬
َ
Artinya: “Mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya
padahal bumi seluruhnya (ada dalam) genggaman-Nya pada hari
Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Mahasuci Dia
dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. az-
Zumar ayat 67).11
Dalam menafsirkan ayat tersebut, al-Thabari mengutip riwayat
israiliyyat yang mengatakan bahwa seorang Yahudi datang menemui
Nabi Muhammad Saw dan bertanya: wahai Muhammad! kami
menemukan (dalam kitab suci) bahwa langit dan makhluk lainnya
diciptakan diatas sebuah jari (setelah menciptakan itu semua) dan
berkata, kami adalah Raja. Mendengar ucapan tersebut, Nabi tertawa
karena takjub sambil membenarkan sehingga gigi gerahamnya terlihat
jelas. Hal ini menjadi pertanda bahwa sikap beliau membenarkan ucapan
seorang Yahudi itu, namun Imam al-Khatibi menolak anggapan tersebut.
Menurutnya sikap Nabi itu bukan pertanda membenarkan tetapi beliau
kaget dan ingkar terhadap ucapan Yahudi yang menyerupakan Allah Swt
dengan sesuatu. Ucapan penyerupaan itu merupakan rekayasa Yahudi
yang biasa menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.12

c) Ad-Dakhil israiliyat yang Mauquf


Salah satu contohnya adalah kisah Nabi Adam as dan pohon khuldi
dalam surah Al-Baqarah ayat 35 berikut ini:

َّ ‫ْث ِشئْت ُ َم ۖا َو ََل ت َ ْق َربَا ٰه ِذ ِه ال‬


َ‫ش َج َرة َ فَت َ ُك ْونَا مِ ن‬ َ ‫َوقُ ْلنَا ٰيٰٓ ٰادَ ُم ا ْس ُك ْن ا َ ْنتَ َوزَ ْوجُكَ ْال َجنَّةَ َو ُك ََل مِ ْن َها َر‬
ُ ‫غدًا َحي‬
13
َ‫ظلِمِ يْن‬ ‫ال ه‬

10
Al-qur’anul Karim.
11
LPMQ, Al-Qur’an dan Terjemahannya : Edisi Penyempurnaan, (Jakarta: Pustaka Lajnah,
2019) h. 679.
12
Abdul Matin, Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat; Al-A’raf, Vo. XI, No. 2, Tahun 2014,
h. 78.
13
Al-qur’anul Karim.

7
Artinya: “Kami berfirman, “Wahai Adam! Tinggallah engkau dan
istrimu di dalam surga, dan makanlah dengan nikmat (berbagai
makanan) yang ada di sana sesukamu. Dan janganlah kamu dekati
pohon ini, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim” (QS. Al-
Baqarah ayat 35). 14
Ayat tersebut tidak menjelaskan pohon apa yang dilarang untuk didekati
Nabi Adam as. dan Hawa. al-Thabari mengutip beberapa riwayat
israiliyat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan syajarah
adalah pohon gandum. Riwayat lain mengatakan pohon kurma.
Ketidakjelasan nama pohon tersebut tidak dikritik oleh al-Thabari.
Sedangkan pendapat yang benar adalah Allah Swt melarang Nabi Adam
as. dan Istrinya memakan bagian pohon yang ada di surga.

3. Ad-Dakhil yang dinisbahkan kepada Sahabat secara Dusta


Diantara kekeliruan riwayat yang disandarkan kepada sahabat
adalah disebabkan ketika terjadi penerimaan dan periwayatan hadis, tanpa
mengecek terlebih dahulu apakah hadis tersebut benar-benar dari Nabi
Muhammad saw. atau hanya perkataan seseorang. Al-Imam ibn al-Jauzy,
seperti yang dikutip oleh al-Adlabi mengatakan, bahwa pada masa
permulaan Islam, sebagian Sahabat menerima hadis dari Sahabat yang lain,
hanya mengatakan: “Rasulullah bersabda.....”, tanpa menyebutkan siapa
yang meriwayatkan hadis itu kepadanya. Hal itu mereka lakukan karena
tidak adanya kecurigaan pada periwayat yang bersangkutan, bahkan telah
diyakini kejujurannya. Sebagai bukti adalah riwayat Abu Hurairah dan Ibnu
Abbas mengenai cerita ayat ‫ وانذر عشيرتك األقربين‬, “Dan berilah peringatan
kepada kerabat-kerabat yang terdekat”.15 Cerita ini terjadi di Makkah pada
masa permulaan Islam. Pada saat itu Abu Hurairah belum masuk Islam, dan
Ibnu Abbas sendiri masih terlalu kecil. Ibnu Umar juga meriwayatkan kisah

14
LPMQ, Al-Qur’an dan Terjemahannya : Edisi Penyempurnaan, (Jakarta: Pustaka Lajnah,
2019) h. 7.
15
Ahmad Fakhruddin Fajrul Islam, Op.cit, h. 83.

8
berhentinya Nabi Muhammad Saw. di sumur Badar, padahal ia tidak
menyaksikannya. Fenomena kisah senada banyak dijumpai dalam hadis,
sehingga banyak terjadi kerancuan dan kesalahan. Karena itu, banyak
dijumpai riwayat dari generasi tabi’in, yang di dalamnya mereka
mengatakan: “Rasulullah saw. Bersabda…”, tanpa menyebutkan nama
sahabat yang meriwayatkan hadis itu kepada mereka.
Salah satu contoh ad-dakhil yang dinisbatkan kepada sahabat
dengan cara berdusta adalah hadis yang diriwayatkan oleh anas bin malik
ra. mengenai betapa gembiranya Nabi Muhammad Saw. Tatkala turunnya
surat at-tin, sehingga para sahabat berhasrat untuk menanyakannya kepada
ibnu abbas perihal penafsiran surat at-tin, kemudian ibnu abbas
menafsirkan, bahwa (‫ )التين‬adalah negeri sham, (‫ )والزيتون‬adalah negeri
Palestina, (‫ )وطور سينين‬adalah tempat dimana Allah Swt berbicara dengan
Nabi Musa, (‫ )وهذا البلد اَلمين‬adalah Makkah, (‫)لقد خلقنا اَلنسان فى احسن تقويم‬
adalah Muhammad.SAW, (‫ )ثم رددناه أسفل سافلين‬adalah penyembah Tuhan
Latta dan Uzza, (‫ )اَل الذين آمنوا وعملوا الصالحات‬adalah Abu Bakar dam Umar,
(‫ )فلهم اجر غير ممنون‬adalah Ustman bin Affan, (‫ )فما يكذبك بعد بالدين‬adalah Ali
bin Abi Thalib, dan (‫ )أليس هللا للحكم الحاكمين‬bukankah Allah telah mengutus
kepada seorang Nabi dan menjadikan engkau wahai Muhammad sebagai
hamba yang bertakwa. Hadis ini dalam sanadnya terdapat nama Muhammad
bin Banan al-Thaqafi dan dia adalah seorang yang dinyatakan sebagai orang
yang memalsukan hadis.

4. Ad-Dakhil dinisbahkan kepada Tabi’in secara Dusta


Ad-Dakhil dalam riwayat yang disandarkan kepada tabi’in dengan
cara berdusta dapat ditemukan dalam tafsir yang terkait dengan cerita-cerita
nabi, awal penciptaan makhluk, ya’juj dan ma’juj, tentang kondisi dinginya
air yang berada dalam sumur-sumur pada waktu shaif (musim panas) dan
dahsyatnya panas pada saat kedatangan shita’ (musim dingin). Riwayat-
riwayat yang terkait dengan cerita-cerita tersebut terdapat banyak yang tidak

9
disebutkan sanadnya, sehingga sangat sulit untuk ditelaah dan diteliti status
perawinya dalam kitab-kitab jarh wa ta’dil.
Sebagai contoh Ad-Dakhil yang dinisbatkan kepada tabi’in adalah
hadis yang berkenaan dengan firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 12 :

ٍّ َّ‫قَا َل َما َمنَعَكَ اَ ََّل ت َ ْس ُجدَ اِذْ ا َ َم ْرتُكَ ۗقَا َل اَن َ۠ا َخي ٌْر مِ ْن ۚهُ َخلَ ْقتَنِ ْي مِ ْن ن‬
‫ار َّو َخلَ ْقت َهٗ مِ ْن طِ ي ٍّْن‬
16

Artinya : “Dia (Alla) berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga)


kamu tidak bersujud ketika Aku menyuruhmu?” Ia (iblis) menjawab “Aku
lebih baik daripada dia. Aku Engkau ciptakan dari api sedangkan Dia
Engkau ciptakan dari tanah”. (QS. al-A’raf ayat 12). 17
Hadis yang terkait dengan ayat tersebut diriwayatkan oleh Abu al-Abbas al-
Manshury Ahmad Ibn Muhammad Ibn Shalih dengan sanadnya kepada ‘Ali
ra. Secara marfu’ : “yang pertama kali beranalogi adalah Iblis, karena itu
janganlah kalian beranalogi”. Hadis ini dinilai palsu, dari segi
penisbatannya kepada Nabi Muhammad Saw. Begitupun al-Dhahaby juga
memberikan penilaian senada.
Akan tetapi hadis tersebut benar adanya, jika dinisbatkan kepada Ibnu Sirin
dan al-Hasan al-Bashry. Al-Darimy telah meriwayatkan dari Ibnu Sirin,
bahwa ia berkata: “yang mula-mula melakukan analogi adala Iblis.
Matahari dan Bulan tidak akan menjadi sesembahan, kecuali adanya
berbagai analogi”. Al-Darimy juga meriwayatkan dari al-Hasan al-Basry,
yang kemudian membaca ayat: “Apakah yang menghalangimu untuk
bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?” Iblis menjawab:
“Saya lebih baik dari padanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia
Engkau ciptakan dari tanah”. Setelah membaca ayat itu, al-Hasan al-Bashry
berkata: “Iblis membanding-bandingkan sesuatu dengan yang lain. Dialah
yang kali pertama melakukannya”.

16
Al-qur’anul Karim.
17
LPMQ, Al-Qur’an dan Terjemahannya : Edisi Penyempurnaan, (Jakarta: Pustaka
Lajnah, 2019) h. 206.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam istilah ulama tafsir ad-dakhil berarti penafsiran yang tidak
mempunyai pijakan dalam agama yang masuk ke dalam makna dan
kandungan al-qur’an disaat terjadi kelengahan. Sedangkan pengertian tafsir
bil ma’tsur adalah sebuah tafsir yang menjelaskan makna-makna dari ayat-
ayat al-qur’an dengan ayat al-qur’an, sunnah yang shahih ataupun perkataan
para sahabat. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat diketahui
bahwa ad-dakhil dalam tafsir bil ma’tsur merupakan suatu tafsir yang
didalamnya terdapat kecacatan atau kebohongan yang disandarkan kepada
al-qur’an, Nabi Muhammad Saw, sahabat, maupun tabi’in.
Ad-dakhil masuk dalam tafsir bil ma’tsur melalui beberapa cara,
diantaranya melalui riwayat hadis maudhu’ (hadis yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad Saw. secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak
pernah mengatakan, berbuat ataupun menetapkannya), melalui riwayat
israiliyat (kisah-kisah dan berita-berita yang bersumber dari agama Yahudi
dan Nasrani yang masuk kepada umat Islam), dan Ad-Dakhil yang
dinisbahkan kepada sahabat dan tabi’in secara dusta.

B. Saran
Sebagai seorang muslim sudah sepantasnya untuk mempelajari dan
mendalami pelajaran Islam agar tidak tersesat di tengah jalan. Termasuk
pentingnya bagi kita mengetahui tentang Ad-Dakhil dalam Tafsir Bi Al-
Ma’tsur. Dengan terselesaikannya makalah ini tentu masih banyak
kekurangannya, namun syukur Alhamdulillah penulis ucapkan dengan
penuh ta’dzim kepada Allah Swt. yang telah memeberikan petunjuk-Nya
sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Semoga dapat menambah ilmu
pengetahuan bagi penulis dan pembaca, jazakumullah bii khair.

11
DAFTAR PUSTAKA

Al-qur’anul Karim.

Fakhruddin, Ahmad Fajrul Islam. Al-Dakhil Fi Al-Tafsir (Studi Kritis Dalam

Metodologi Tafsir); Tafaqquh, No. 2, Vol. 2, Tahun 2014.

LPMQ, Al-Qur’an dan Terjemahannya : Edisi Penyempurnaan, Jakarta: Pustaka

Lajnah, 2019.

Matin, Abdul. Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat; Al-A’raf, Vo. XI, No. 2, Tahun

2014.

Mujiburrohman. Ad-Dakhil Dalam Ra’yi dan Ma’tsur; Ahsana Media, No. 1, Vol.

6, Tahun 2020.

Nur, Afrizal. Muatan Aplikatif Tafsir Bi Al-Ma’tsur & Bi Al-R’yi Telaah Kitab

Tafsir Thahir Ibnu ‘Asyur dan M. Quraish Shihab, Yogyakarta: Kalimedia,

2020.

Suparta, Munzier. Ilmu Hadis, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2016.

Tolchah, Moch. Aneka Pengkajian Studi Al-qur’an, Yogyakarta: LKis Pelangi

Aksara, 2016.

12

Anda mungkin juga menyukai