Disusun Oleh:
Salma Febylia
1703150023
Rika
1703150038
Dengan demikian, tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada para
pembaca. Semoga Allah memberkahi makalah ini sehingga benar-benar
bermanfaat.
Penulis
i
Daftar Isi
A. Kesimpulan ......................................................................................... 9
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang mengandung mu’jizat yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dan ditulis di
dalam mushaf, serta disampaikan dengan jalan mutawatir, dan membacanya
merupakan ibadah, mulai dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Nas.
Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Quran. Dengan
demikian hadits menjadi penjelas dari apa-apa yang terkandung dalam Al-Quran.
Hadits sumber hukum Islam selain Al-Quran ini wajib diikuti baik daam bentuk
perintah maupun larangan. Karena itu, sangat penting dan mendasar mengetahui
pembagian hadis sumbernya yaitu hadis qudsi dan hadis nabawi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa perbedaan hadis Nabawi dan hadis Qudsi?
2. Apa perbedaan hadis dan Al-Qur’an?
3. Apa fungsi hadis terhadap Al-Qur’an?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui perbedaan hadis Nabawi dan hadis Qudsi.
2. Mengetahui perbedaan hadis dan Al-Qur’an.
3. Mengetahui fungsi hadis terhadap Al-Qur’an.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
2. Hadis Nabawi
Sedangkan hadits nabawi adalah segala yang disandarkan kepada nabi
Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat. Yang
berupa perkataan seperti perkataan Nabi SAW: Sesungguhnya sahnya amal itu
disertai dengan niat. Dan setiap orang bergantung pada niatnya.
Sedangkan yang berupa perbuatan ialah seperti ajaranya pada sahabat
mengenai bagaimana caranya mengerjakan shalat, kemudian ia mengatakan:
Shalatlah seperti kamu melihat aku melakukan shalat.
Juga mengenai bagaimana ia melakukan ibadah haji, dalam hal ini Nabi saw.
Berkata: Ambilah dari padaku manasik hajimu.
Sedang yang berupa persetujuan ialah seperti beliau menyetujui suatu perkara
yang dilakukan salah seorang sahabat, baik perkataan atau pun perbuatan, baik
dilakukan di hadapan beliau atau tidak, tetapi beritanya sampai kepadanya.
Misalnya mengenai makanan biawak yang dihidangkan kepadanya, di mana
beliau dalam sebuah riwayat telah mendiamkannya yang berarti menunjukkan
bahwa daging biawak itu tidak haram dimakan.
Hadis nabawi itu ada dua macam, yaitu:
a. Tauqifi
Yang bersifat tauqifi yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah SAW
dari wahyu, lalu ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri.
Bagian ini, meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi
pembicaraan lebih dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, sebab kata-kata itu
dinisbahkan kepada yang mengatakannya, meskipun di dalamnya terdapat makna
yang diterima dari pihak lain.
b. Taufiqi
Yang bersifat taufiqi yaitu: yang disimpulkan oleh Rasulullah SAW menurut
pemahamannya terhadap Quran, karena ia mempunyai tugas menjelaskan Quran
atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian
kesimpulannyang bersifat ijtihad ini, diperkuat oleh wahyu jika ia benar, dan jika
3
terdapat kesalahan didalamnya, maka turunlah wahyu yang membetulkannya.
Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti.
Dari sini jelaslah bahwa hadis nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi
dan taufiqi dengan ijtihad yang diakui oleh wahyu itu bersumber dari wahyu. Da
inilah makna dari firman Allah tentang Rasul kita Muhammad saw.:
Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (QS An-Najm:3-4).1
2 Al-Ustadz Drs. P.M. Gunawan Nst. (Dosen 'Ulumul Hadits di Sekolah Tinggi Ilmu
Tarbiyah Muhammadiyah Sibolga). Sumber
http://alquranhaditsonline.blogspot.co.id/2010/09/perbedaan-hadits-dengan-al-quran.html di akses
pada tanggal 6 Maret 2018 pukul 15.45 WIB.
3 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia
(Yogyakarta: Multi Kaya Grafika, t.t.), hlm. 370 &387.
5
menegaskan hukum yang terdapat di dalam al-Quran.4 Hal ini menunjukkan
bahwa masalah-masalah yang terdapat dalam al-Quran dan Hadits/Sunnah sangat
penting untuk diimani dan dijalankan oleh setiap muslim.
Di antara masalah-masalah yang ada dalam al-Quran dan disampaikan pula
oleh Rasulullah di dalam Hadits/Sunnah ialah tentang ketentuan awal puasa
Ramadhan, di antaranya terdapat dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 185;
ُ َش ْه َر فَ ْلي
)185 :(البقرة. ُص ْمه َّ ش ِهدَ ِم ْن ُك ْم ال
َ فَ َم ْن
“Barang siapa yang menyaksikan bulan maka berpuasalah.”(QS.Al-Baqarah:
185).
Hal ini ditegaskan dalam Hadits:
) (رواه مسلم. َي َعلَ ْي ُك ْم فَعُد ُّْوا ثَ ََلثِيْن ُ ْ َصو ُموا َوإذَا َرأيت ُ ُموهُ فَأ ْف ِط ُروا ف
ُ َإذَا َرأيت ُ ُموهُ ف
َ إن أع ِْم
“Jika kalian melihatnya (bulan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya
(bulan) maka berbukalah (hari Raya Fitri), namun jika bulan tertutup mendung
yang menyulitkan kalian untuk melihatnya, maka sempurnakanlah sampai 30
hari.”(HR. Muslim)
2. Bayan al-Tafsir
Tafsir secara bahasa berarti penjelasan, interpretasi atau keterangan.5 Maksud
dari Hadits/Sunnah sebagai bayan al-tafsir adalah Hadits/Sunnah berfungsi
sebagai penjelasan atau interpretasi kepada ayat-ayat yang tidak mudah
dipahami.6 Hal ini dikarenakan ayat-ayat tersebut bersifat mujmal (umum)
sehingga perlu penjelasan yang bisa menjelaskannya lebih terperinci. Sebagai
contoh ayat al-Quran kewajiban shalat dalam surat al-Baqarah ayat 43;
َّ الزكَاة َ َوا ْر َكعُ ْوا َم َع
)43: (البقرة. َالرا ِك ِعيْن َّ َوأَقِ ْي ُموا ال
َّ ص ََلة َ َواتُوا
“Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang
ruku’.”(QS.Al-Baqarah: 43)
Hal ini dirincikan tata cara pelaksanannya dalam Hadits berikut;
3. Bayan al-Tasyri’
Hadits/Sunnah sebagai bayan tasyri’ berarti sunnah dijadikan sebagai dasar
penetapan hukum yang belum ada ketetapannya secara eksplisit di dalam al-
Quran.7 Hal ini tidak berarti bahwa hukum dalam al-quran belum lengkap,
melainkan al-Quran telah menunjukkan secara garis besar segala masalah
keagamaan. Namun hadirnya Hadits/Sunnah untuk menetapkan hukum yang lebih
eksplisit sesuai dengan perintah yang ada dalam al-Quran surat an-Nahl ayat 44.
Salah satu contoh di antaranya tentang haramnya memadukan antara seorang
perempuan dengan bibinya. Sementara al-Quran hanya menyatakan tentang
kebolehan berpoligami, yaitu;
...ع َ اء َمثْنَي َوث ُ ََل
َ ث َو ُربَا ِ سَ ِاب لَ ُك ْم ِمنَ الن
َ طَ فَا ْن ِك ُح ْوا َما...)3:النساء
“...Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau
empat...”. (QS.al-Nisa’: 3)
Hadits berikut ini menetapkan haramnya berpoligami bagi seseorang terhadap
seorang wanita dengan bibinya.
.(متفق عليه) ََل َيْجْ َم ُع َبيْنَ ْال َم ْرأَ ِة َو َع َّم ِتها َو ََل َبيْنَ ْال َم ْرأَ ِة َو َخَالَ ِت َها
“Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan
bibinya (saudari bapaknya) dan seorang wanita dengan bibinya (saudari
ibunya).” (HR. Bukhari Muslim).8
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hadits di atas menetapkan hukum
syari’at yang melarang berpoligami dengan bibi dari wanita yang telah dinikahi.
9 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, hlm.
1908.
10 Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan Fleksibilitasnya, Cet.II
(Jakarta: Sinar Grafika,2004) , hlm. 184
11 Abuddin Nata, Al-Quran dan Hadits, hlm. 215.
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Quran dan Hadis merupakan dua sumber utama ajaran Islam yang
memiliki hubungan yang tidak mungkin terpisahkan antara keduanya. Hal ini
ditunjukkan oleh beberapa fungsi yang diperankan oleh Hadis terhadap al-Quran,
di antaranya: bayan al-ta’kid (menegaskan), bayan al-tafsir (menjelaskan), bayan
al-tasyri’ (menetapkan syari’at) dan bayan nasakh (menghapus/mengganti).
Berdasarkan semua fungsi-fungsi hadis tersebut menunjukkan bahwa al-
Qur’an lebih membutuhkan Hadis dari pada sebaliknya.
B. Saran
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karenanya makalah ini masih perlu perbaikan dan penyempurnaan melalui
kritikan dan masukan bermanfaat dari para pembaca sekalian. Semoga makalah
yang sederhana ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Aamiin.
9
DAFTAR PUSTAKA
10