Oleh :
WIRDANASARI
LAILA AHMAD
SIDIK
STAIN MAJENE
TAHUN AJARAN 2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan pedoman pertama dan utama bagi umat Islam. al-
Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, namun yang menjadi masalah dan pangkal
perbedaan adalah kapasitas manusia yang sangat terbatas dalam memahami al-
Qur’an. Karena pada kenyataannya tidak semua yang pandai bahasa Arab, sekalipun
orang Arab sendiri,mampu memahami dan menangkap pesan Ilahi yang terkandung di
dalam al-Qur’an secara sempurna. Terlebih orang ajam (non-Arab). Bahkan sebagian
para sahabat nabi, dan tabi’in yang tergolong lebih dekat kepada masa nabi, masih ada
yang keliru menangkap pesan al-Qur’an.
Artinya:
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab, dan kami turunkan kepadamu Al-
Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan.”(QS. An-Nahl: 44)
Memposisikan hadis secara structural sebagai sumber hokum kedua, atau secara
fungsional sebagai penjelas terhadap Al-Quran merupakan suatu keniscayaan. Nabi
Muhammad SAW dalam kapasitanya sebagai nabi dan rasul, adalah mediator yang
menjadi penengah atau juru bicara antara dua belah pihak (Tuhan dan mkhluk-Nya) yang
berkomunikasi, sehingga tanpa beliau, pesan-pesan tersebut akn sulit dipahami.
Hadis mempunyai kewenangan penetapan hokum yang tidak terdapat dalam Al-
Quran. Kewenangan hadis dalam menetapkan hokum baru, telah menjadi kesepakatan
para ulama. Orang yang menentang kewenangan dan kemandirian hadis dalam
menetapkan hokum, hanyalah orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang agama
Islam.[8]
Menurut banyaknya orang yang menyampaikan atau memberitakannya, hadis
dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) Hadis mutawatir, adalah segala sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW yang
diriwayatkan oleh sekian banyak sahabat, sehingga karena banyaknya, mustahil mereka
bersepakat untuk berdusta bersama-sama. Jumlah orang yang meriwayatkan hadis harus
dapat dibuktikan baik dalam generasi pertama, kedua, maupun ketiga.
2) Hadis masyhurah, adalah segala sesuatu yang datang dari Rasulullah yang
diraiwayatkan oleh seorang, dua orang atau lebih sahabat, namun jumlahnya tidak
sebanyak hadis mutawatir. Akan tetapi pada generasi kedua dan ketiga jumlah orang
yang meriwayatkan hadis masyhur sama dengan jumlah orang yang meriwayatkan hadis
mutawatir.
3) Hadis ahad, adalah segala sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW yang
diraiwayatkan oleh seorang, dua orang atau lebih sahabat, namun jumlahnya tidak
sebanyak hadis mutawatir. Sesudah generasi sahabat tersebut, hadis tersebut kemudian
diriwayatkan oleh seorang, dua orang atu lebih generasi tabi’in dan seterusnya sama oleh
generasi tabiin.[9]
Adapun dilihat dari kualitas atau integrias pribadi yang meriwayatkannya secara lisan
dari generassi ke generasi berikutnya, hadis dapat diklasifikasikan kedalam tiga
kelompok, yaitu:
1) Hadis shahih, adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, yaitu orangyang
senantiasa berkata benar dan menjauhi perbuatan terlarang, mempunyai ketelitian
sempurna, sanad bersambung kepada nabi Muhammad, tidak mempunyai cacat dan tidak
pula berbeda.
2) Hadis hasan, adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang
ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai nabi Muhammad, tidak mempunyai cacat,
dan tidak pula bertentangan dengan periwayatnya yakni orang-orang yang terpercaya.
3) Hadis dha’if, adalah hadis yang tidak mempunyai syarat yang harus dipumyai oleh
hadis shahih dan hadis hasan. Merupakan hadis yang bertentangan dengan Al-Quran,
tidak sesuai dengan akidah Islam dan bertentangan dengan hadis yang lain.[10]
C. Ijtihad Sebagai Sumber Hukum llmu Fiqh
1. Pengertian Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa berasal dari kata “ijtahada-yajtahidu-ijtihadan” yang
artinya mencurahkan tenaga dan pikiran atau mengerjakan sesuatu dengan sungguh-
sungguh. Sedangkan Ijtihad sendiri berarti mencurahkan segala kemampuan berpikir
untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syarak, yaitu Al Quran dan Hadist.
Orang yang menetapkan hukum dengan jalan ini disebut mujtahid. Hasil dari ijtihad
merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al Quran dan Hadist.
Adapun pengertian ijtihad maenurut para ahli adalah sebagai berikut:
· Menurut Wahbah Al-Zuhaily, ijtihad bukanlah satu kesatuan yang utuh, tidak dapat
dibagi-bagi tanpa menguasai berbagai masalah. Seorang mujtahid sudah dapat melakukan
ijtihad dalam satu bidang tertentu, jika tidak, maka hokum Islam akan menjadi beku
statis.
· Menurut Ibnu Human, ijtihad adalah pengarahan kemampuan ahli fiqh untuk
menemukan hokum syariat yang bersifar zhani.
· Menurut Abu Zahrah, ijtihad adalah pengarahan ahli fiqh dalam mengistinbatkan
hokum yang amaliah dari dalil-dalil yang terperinci.
· Menurut Muhammad Syawkani, ijtihad adalah pengarahan kemampuan dalam
memperoleh hokum syariat yang amaliah dengan cara istinbat.[11]
Lapangan atau medan di mana ijtihad dapat memaimkam peranannya adlah sebagai
berikut:
1) Masalah-maslah baru, yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash Al-Quran atau
hadis secara jelas.
2) Maslah-maslah baru, yang hukumnya belum diijma’i oleh ulama
3) Nash-nash dhanni dan dalil-dalil hokum yang diperselisihkan
4) Hokum islam yang kausalitas hukumnya atau ‘illatnya diketahui oleh mujtahid
2. Hukum ijtihad
Menurut Syekh Muhammad Kudlari bahwa hukum ijtihad itu dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
1) Waib’Ain yaitu seseorang yang ditanya tentang suatu masalah, dan masalah itu akan
hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sendiri mengalami sutau peristiwa yang ia
sendiri juga ingin mengetahui hukumnya.
2) Wajib Kifayah yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak
hilang sebelum diketahui hukumnya, sedangkan selain dia masih ada mujtahid lain.
Apabila seorang mujtahid telah menyelesaikan dan mentapkan hukum sesuatu tersebut,
maka kewajiban mujtahid yang lain telah gugur.
3) Sunnah yaitu ijtihad terhadap suatu masalah aatau peristiwa yang belum terjadi.
3. Metode Ijtihad
1) Ijma
a) Pengertian Ijm
Dari segi bahasa, kata ijma merupakan masdar (kata benda verbal) dari kata “ajma’a”
yang artinya memutuskan dan menyepakati sesuatu. Sedangkan menurut istilah, ijma
adalah kesepakatan (consensus) seluruh mujtahid pada suatu masa tertentu sesudah
wafatnya rasul atas hukum syara’ untuk satu peristiwa (kejadian).[12]
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa pengertian tentang ijma’, yaitu:
a) Terdapat beberapa orang mujtahid karena kesepakatan baru, bisa terjadi apabila ada
beberapa mujtahid.
b) Kebulatan pendapat harus tampak nyata, baik dengan perbuatan, perkataan maupun
fatwa.
c) Kebulatan pendapat orang-orang yang bukan mujtahid, tidak disebut ijma’.
b. Macam-macam ijma
a) Ijma Sharih, dari segi bahasa, Sharih artinya jelas, jadi Ijma Sharih adalah Ijma yang
memaparkan pendapat banyak utama secara jelas dan terbuka, baik dengan ucapan
maupun perbuatan.
b) Ijma Sukuti, dari segi bahasa, Sukuti artinya diam, jadi Ijma Sukuti adalah sebagian
mujtahid memaparkan pendapat-pemdapatnya secara terang dan jelas mengenai suatu
hukum suatu peristiwa melalui perkataan atau perbuatan, sedangkan mujtahid yang lain
tidak memberikan komentar apakah ia menerima atau menolak.
2) Qiyas
a. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahsa berarti menyamakan atau mengukurkan sesuatu dengan yang
lain. Menurut para ahli Ushul Fiqh merumuskan Qiyas adalah menayamakan atau
mengukur satu kejadian yang tidak ada nash tentang hukumnya dengan kejadian yang ada
nash tentang hukumnya di dalam hukum yang disebutkan di dalam nash karena ada
kesamaan antara dua kejadian itu di dalam illat hukum tersebut.[13]
b. Macam- macam Qiya
a) Qiyas Aula
Qiyas aula yaitu qiyas yang apabila ‘illatnya mewajibkan adanya hukum. Misalnya
berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan ‘uh, eh, busyet,’ atau kata-kata lain
yang semakna dan menyakitkan itu hukumnya haram, sesuai dengan firman Allah SWT:
Artinya :
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah
seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
Perkataan yang mulia.”(QS. Al-Isra: 23)
b) Qiyas Musawi
Qiyas musawi yaitu qiyas yang apabila ‘illatnya mewajibkan adanya hukum dan sama
antara hukum yang ada pada al-ashlu maupun hukum yang ada pada al-far’u (cabang).
Contohnya, keharaman memakan harta anak yatim. Firman Allah SWT:
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka).”(QS An-Nisa: 10)
c) Qiyas Adna
Qiyas adna yaitu adamya hukum al-far’u lebih lemah bila dirujuk dengan hukum al-
ashlu. Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal riba fadl
(riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar-menukar antar dua bahan
kebutuhan pokok atau makanan).
Dalam masalah kasus ini, ‘illah hukumnya adalah baik apel maupun gandum merupakan
jenis makanan yang bisa dimakan dan ditakar. Namun ada segi yang lain dari ‘illah
gandum yang tidak terdapat pada apel, yaitu apel tidak makanan pokok. Oleh
karenannya, ‘illah yang ada pada apel lebih lemah diabndingkan dengan illat yang ada
pada gandum yang menjadi makanan pokok.
c. Kedudukan dan Dasar Kehujjahan Qiyas
Sebagian ulama sunni berpendapat bahwa qiyas adalah salah satu sumber hokum
islam. Ulama yang menjadikan qiyas sebagai sumber hokum (musbitul qiyas) dan mereka
mempunyai dasar yang kuat baik dari nash maupun dari akal.[14]
Dalam Al-Quran terdapat banyak ayat yang menyuruh manusa untuk
menggunakan akalnya. Firman allah SWT:
Artinya:
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang
mempunyai pandangan.”(QS. Al-Hasyr: 2)
3) Istihsan
a. Pengertian Istihsan
Menurut bahasa istihsan berarti menganggap baik. Sedangkan menurut istilah ahli
ushul yang dimaksud dengan istihsan adalah ialah berpindahnya seorang mujtahid dari
hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh
qiyas khafy (samar-samar), atau dari hukum kully (umum) kepada hukum yang bersifat
istisna’i (pengecualkian), karena ada dalil syara’ yang menghendaki perpindahan itu.
b. Kedudukannya sebagai sumber hukum islam
Jumhur ulama menolak berhujjah dengan istihsan, sebab berhujjah dengan
istihsan berarti menetapkan hukum berdasarkan waktu. Golongan Hanafiyah
membolehkan berhujjah dengan istihsan. Menurut mereka, berhujjah dengan istihsan
hanyalah berdalilkan qiyas khafy yang dikuatkan terhadap qiyas jaly atau menguatkan
satu qiyas terhadap qiyas lain yang bertentangan dengannya berdasarkan dalil yang
menghendaki penguatan itu. Atau berdalilkan Maslahat untuk mengecualikan sebagian
dari hukum kully.
4) Istishab
a. Pengertian Istishab
Istishab adalah mengambil hukum yang telah ada atau ditetapkan pada masa lalu
dan tetap dipakai hingga masa-masa selanjutnya, selama tidak ada yang mengubahnya.
Atau sebaliknya, apa yang tidakditetapkan di masa lalu, terus demikian keadaannya
sampai ada dalil yang menetapkan hukumnya.[15]
b. Kedudukannya sebagai sumber hukum islam
a) Menjadikan istishab sebagai pegangan dalam menuntukan hukum sesuatu peristiwa
yang belum ada hukumnya, baik dalam Al-Quran, as-sunnah maupun ijma.
b) Menolah istishab sebagai pegangan dalam menetapkan hokum.[16]
5) Mashalihul Mursalah
a. Pengertian Mashalihul Mursalah
Mashalih bentuk jama dari mashlahah, artinya kemaslahatan, kepentingan.
Mursalah berarti terlepas. Dengan demikian mashalihul mursalah berarti kemaslahatan
yang terlepas. Maksudnya ialah penetapan hukum berdasarkan kepada kemaslahatan,
yaitu manfaat bagi manusia atau kemadharatan atas mereka. Al Khawarizmi menyatakan
bahwa mashlahah ialah menjaga tujuan syara’ dengan jalan menolok mafsadat
(kerusakan) atau madharat dari makhluk.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun penulis dapat simpulkan dari penulisan makalah ini yaitu Ayat-ayat
mutasyabih adalah merupakan salah satu ilmu atau pelajaran dalam Al-qur’an sehingga
para ulama menilainya dengan alasannya masing-masing yang terbagi menjadi dua
macam, yaitu pendapat ulama Salaf dan Khalaf, Muhkam adalah ayat yang sudah jelas
arti dan maksudnya ketika kita membacanya, sehingga tidak menimbulkan keraguan dan
memerlukan pentakwilan, Sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang perlu
ditakwilkan, dan setelah ditakwilkan baru kita dapat memahami tentang maksud ayat-ayat
itu. Dan Kita dapat mengatakan bahwa semua ayat al- Qur’an itu Muhkam. Jika maksud
Muhkam adalah kuat dan kokoh. Tetapi kita dapat pula mengatakan bahwa semua ayat itu
adalah Mutasyabih, jika maksud Mutasyabih itu adalah kesamaan ayat-ayatnya dalam hal
Balaghah danI’jaznya.
B. Saran
Ayat-ayat muhkam dan mutasyabih adalah dua hal yang saling melengkapi satu
sama lai di dalam Al-Qur’an. Muhkam sebagai ayat yang tersurat merupakan bukti bahwa
Al-Qur’an berfungsi sebagai bayan atau penjelas dan hudan “petunjuk”. Mutasyabih
sebagai ayat yang tersirat merupakan bukti bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai mukjizat
yang diturunkan oleh Allah dan kitab sastra terbesar sepanjang sejarah, manusia yang
tidak akan habis-habisnya untuk dikaji dan diteliti. Sebagai ummat islam hendaknya kita
lebih merenungi lagi maksud-maksud Allah menurunkan ayat-ayat tersebut dalam bentuk
yang berlainan. Dan menjadikannya pedoman dalam setiap langkah kita.
Daftar pustaka