Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

AL- QUR'AN SEBAGAI SUMBER ILMU FIQIH

Oleh :

WIRDANASARI
LAILA AHMAD
SIDIK

STAIN MAJENE
TAHUN AJARAN 2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan pedoman pertama dan utama bagi umat Islam. al-
Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, namun yang menjadi masalah dan pangkal
perbedaan adalah kapasitas manusia yang sangat terbatas dalam memahami al-
Qur’an. Karena pada kenyataannya tidak semua yang pandai bahasa Arab, sekalipun
orang Arab sendiri,mampu memahami dan menangkap pesan Ilahi yang terkandung di
dalam al-Qur’an secara sempurna. Terlebih orang ajam (non-Arab). Bahkan sebagian
para sahabat nabi, dan tabi’in yang tergolong lebih dekat kepada masa nabi, masih ada
yang keliru menangkap pesan al-Qur’an.

Kesulitan-kesulitan itu menyadarkan para sahabat dan ulama generasi


berikutnya akan kelangsungan dalam memahami al-Qur’an. Mereka merasa perlu
membuat rambu-rambu dalam memahami al-Qur’an. Terlebih lagi penyebaran Islam
semakin meluas, dan kebutuhan pada pemahaman al-Qur’an menjadi sangat
mendesak. Hasil jerih payah para ulama itu menghasilkan cabang ilmu al-Qur’an yang
sangat banyak. Adanya permasalahan tersebut menjadi urgensi dari ilmu- ilmu al-
Qur’an sebagai sarana menggali pesan Tuhan, serta untuk mendapat pemahaman yang
benar terhadap al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Al-Quran sebagai Sumber Hukum Ilmu Fiqh


1.      Pengertian Al Qur’an
Menurut bahasa Al-Quran  berasal dari kata qara’a, yaqra’u,
qiraa’atan, atau qur’anan yang berarti bacaan. Sedangkan menurut istilah, Al-Quran
adalah Kalam Allah  yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW yang sampai kepada
kita berupa teks dengan jalan mutawatir.[1]
Adapun menurut para ulama klasik, Al-Quran adalah Kalamulllah yang diturunkan
pada Rasulullah dengan bahasa arab, merupakan mukjizat dan diriwayatkan secara
mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
2.      Kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber islam
Allah menurunkan Al-Quran itu, gunanya untuk dijadikan dasar hukum, dan
disampaikan kepada ummat manusia untuk diamalkan segala perintahnya dan
ditinggalkan segala larangannya, sebagaiman firman Allah :
Artinya :         
“Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kbenaran,
supaya kamu menjadi antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantan karena membela orang-orang yang
khianat.”(An-Nisa: 105)
Al-Quran sebagai kitab Allah SWT menempati posisi sebagai sumber hokum
pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqih. Al-
Quran juga membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum
yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya. Karena kedudukan Al-Quran itu sebagai
sumber utama dan pertama bagi penetapan hukum, maka apabila seseorang ingin
menemukan hukum maka dilakukan penyelesainnya terlebih dahulu berdasarkan dengan
Al-Quran.
Apabila menggunakan sumber hukum lain di luar Al-Quran, maka harus sesuai
dengan petunjuk Al-Quran dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
Al-Quran. Hal ini berarati bahwa sumber-sumber hukum selain Al-Quran tidak boleh
menyalahi apa yang telah ditetapkan Al-Quran. Al-Quran juga mengatur hubungan
manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan
manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan alam.
2.      Hukum yang terkandung dalam Al-Quran 
Hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Quran adalah sebagai berikut:
1)      Hokum itiqadiyah, yaitu hokum yang berhubungan dengan keimanan kepada Allah
SWT, kepada malaikat, kepada kitab Allah, kepada para rasul, dan kepada hari akhir.
2)      Hokum khuluqiyah, yaitu hokum-hukum yang berhubungan dengan akhlak, manusia
wajub berakhlak yang baik dan menjauhi akhlak yang buruk.
3)      Hokum amaliyah, yaitu hokum yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia.
Hokum amaliyah ini dibagi menjadi dua yaitu hokum ibadah dan hokum muamalah.[2]
Adapun jika dilihat dari keseluruhan ayat-ayat Al-Quran mengandung berbagai macam
dilalah hokum, antara lain:
1)      Suatu ayat yang mengandung suatu perintah yang jelas dan tegas, namun tidak
dijelaskan caranya.
2)      Suatu ayat yang mengandung peritah yang jelas tempatnya namun tidak dijelaskan
batasannya. [3]
B.     Hadis Sebagai Sumber Hukum Ilmu Fiqh
Hadis menurut bahasa adalah khabar atau berita. Menurut istilah, Al-Hadis adalah
segala berita yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Meliputi: sabda
perbuatan beliau, dan perbuatan para sahabat yang beliau diamkan dalam arti
membenarkannya (taqrr). Hadis lazim pula disebut sunnah, atau sunnah Rasulullah
SAW., sedangkan menurut bahasa sunnah berarti kelakuan, perjalanan, pekerjaan, atau
cara.[4]
As-Sunnah atau Al-HAdis adalah sumber hokum islam yang kedua setelah Al-
Quran, berupa perkataan (sunnah Qauliyah), perbuatan (sunnah Fi’liyah), dan sikap diam
(sunnah taqririyah) Rasulullah yang tercatat (sekarang) dalam kitab-kitab hadis yang
merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang Al-Quran.
Ucapan, perbuatan dan sikap diam nabi dikumpulkan tepat pada awal penyebarab
Islam. Orang-orang yang mengumpulkan Sunnah nabi (dalam kitab-kitab hadis)
menelusuri seluruh jalur riwayat ucapan, perbuatan dan pendiaman nabi. Hasilnya di
kalangan Sunni terdapat enam kumpulan hadis utama, seperti yang dikumpukan antara
lain oleh Bukhari dan Muslim yang dengan segera mendapatkan pengakuan di kalangan
Sunni sebagai sumber nilai dan norma kedua sesudah kitab suci Al-Quran.
Di kalangan Syi’ah juga terdapat proses serupa tetapi disamping ucapan-ucapan
nabi, ditambahkan pula ucapan para Imam Syi’ah, yang menjelaskan arti petunjuk nabi
itu dan menjadi bagian kumpulan hadis. Salah satu kumpulan hadis yang menonjol di
kalangan Syi’ah adalah Usul il’kafi karya Kulaini.[5]
Melalui kitab-kitab hadis, seorang muslim mengenal nabi dan mengenal isi Al-
Quran.tanpa As-Sunnah sebagian besar isi Al-Quran akan tersembunyi di mata manusia.
Di dalam AlQuran tertulis misalnya perintah untuk mendirikan salat. Tanpa As-Sunnah
orang tidak akan tahu bagaimana cara mengerjakannya. Salat yang menjadi tiang semua
pusat ibadah Islam, tidak akan dapat dikerjakan tanpa perbuatan nabi sehari-hari. Ini
berlaku pula pada seribu satu hal lain sehingga hamper tidak perlu lagi untuk menyatakan
hubungan yang vital antara Al-Quran dengan sunnah Rasulullah, yang telah dipilih Allah
untuk menjadi pembawa dan penerang bagi petunjuk-Nya.[6]
Hadis merupakan sumber hokum islam yang wajib diikuti, dan diamalkan baik
dalam bentuk perintah maupun larangannya. Allah memerintahkan agar orang Islam
percaya kepada Rasul SAW, juga menyerukan agar menaati dan melaksanakan segala
bentuk peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah maupun laranga. Tuntutan taat
dan patuh kepada Rasu sama halnya tuntutan taat dan patuh kepada Allah SWT. [7]
Firman Allah SWT:
Artinya:
“Katakanlah! Taatlah kepada Allah dan Rasulnya; dan jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya kewajiban Rasul SAW itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan
kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika
kamu taat kepadanya, niscaya kamu dapat petunjuk.”(QS. An-Nur:54)
Kemudian dalam ayat yang lain, Allah SWT juga berfirman:
Artinya:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah dan apa-apa yang dilarangnya,
maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya.”(QS. Al-Hasyr:7)
Dari gambaran ayat tersebut, meunjukkan betapa urgennya kedudukan penetapan
kewajiban taat dan patuh terhadap semua yang disampaikan oleh Rsul Muhammad SAW.
Dengan demikian dapat diungkapkan bahwa kewajiban taat kepada Rasul SAW dan
larangan medurhakainya, merupakan suatu kesepakatan yang tidak diperselisihkan oleh
umat muslim.
Adapun salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan kewajiban
menjadikan hadis sebagai pedoman hidup, disamping Al-Quran sebagai pedoman hidup
utamaya. Sabda Rasullulah SAW:
Artinya:
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi
kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnah Rasulnya.” (HR.
Malik)
Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:
“Wajib bagi sekalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin ,
berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya.”(HR. Abu Daud dan Ibn. Majah
Di samping fungsi hadis sebagai peletak hokum, juga berfungsi sebagai penjelas
Al-Quran, baik berupa penjelas ayng global, paenagkhusus yang umum, atau pembatas
yang mutlak. Firman Allah SWT:

Artinya:
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab, dan kami turunkan kepadamu Al-
Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan.”(QS. An-Nahl: 44)
Memposisikan hadis secara structural sebagai sumber hokum kedua, atau secara
fungsional sebagai penjelas terhadap Al-Quran merupakan suatu keniscayaan. Nabi
Muhammad SAW dalam kapasitanya sebagai nabi dan rasul, adalah mediator yang
menjadi penengah atau juru bicara antara dua belah pihak (Tuhan dan mkhluk-Nya) yang
berkomunikasi, sehingga tanpa beliau, pesan-pesan tersebut akn sulit dipahami.
Hadis mempunyai kewenangan penetapan hokum yang tidak terdapat dalam Al-
Quran. Kewenangan hadis dalam menetapkan hokum baru, telah menjadi kesepakatan
para ulama. Orang yang menentang kewenangan dan kemandirian hadis dalam
menetapkan hokum, hanyalah orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang agama
Islam.[8]
Menurut banyaknya orang yang menyampaikan atau memberitakannya, hadis
dibagi menjadi tiga, yaitu:
1)      Hadis mutawatir, adalah segala sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW yang
diriwayatkan oleh sekian banyak sahabat, sehingga karena banyaknya, mustahil mereka
bersepakat untuk berdusta bersama-sama. Jumlah orang yang meriwayatkan hadis harus
dapat dibuktikan baik dalam generasi pertama, kedua, maupun ketiga.
2)      Hadis masyhurah, adalah segala sesuatu yang datang dari Rasulullah yang
diraiwayatkan oleh seorang, dua orang atau lebih sahabat, namun jumlahnya tidak
sebanyak hadis mutawatir. Akan tetapi pada generasi kedua dan ketiga jumlah orang
yang meriwayatkan hadis masyhur sama dengan jumlah orang yang meriwayatkan hadis
mutawatir.
3)      Hadis ahad, adalah segala sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW yang
diraiwayatkan oleh seorang, dua orang atau lebih sahabat, namun jumlahnya tidak
sebanyak hadis mutawatir. Sesudah generasi sahabat tersebut, hadis tersebut kemudian
diriwayatkan oleh seorang, dua orang atu lebih generasi tabi’in dan seterusnya sama oleh
generasi tabiin.[9]
Adapun dilihat dari kualitas atau integrias pribadi yang meriwayatkannya secara lisan
dari generassi ke generasi berikutnya, hadis dapat diklasifikasikan kedalam tiga
kelompok, yaitu:
1)      Hadis shahih, adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, yaitu orangyang
senantiasa berkata benar dan menjauhi perbuatan terlarang, mempunyai ketelitian
sempurna, sanad bersambung kepada nabi Muhammad, tidak mempunyai cacat dan tidak
pula berbeda.
2)      Hadis hasan, adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang
ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai nabi Muhammad, tidak mempunyai cacat,
dan tidak pula bertentangan dengan periwayatnya yakni orang-orang yang terpercaya.
3)      Hadis dha’if, adalah hadis yang tidak mempunyai syarat yang harus dipumyai oleh
hadis shahih dan hadis hasan. Merupakan hadis yang bertentangan dengan Al-Quran,
tidak sesuai dengan akidah Islam dan bertentangan dengan hadis yang lain.[10]
C.    Ijtihad Sebagai Sumber Hukum llmu Fiqh
1.      Pengertian Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa berasal dari kata “ijtahada-yajtahidu-ijtihadan” yang
artinya mencurahkan tenaga dan pikiran atau mengerjakan sesuatu dengan sungguh-
sungguh. Sedangkan Ijtihad sendiri berarti mencurahkan segala kemampuan berpikir
untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syarak, yaitu Al Quran dan Hadist.
Orang yang menetapkan hukum dengan jalan ini disebut mujtahid. Hasil dari ijtihad
merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al Quran dan Hadist.
Adapun pengertian ijtihad maenurut para ahli adalah sebagai berikut:
·         Menurut Wahbah Al-Zuhaily, ijtihad bukanlah satu kesatuan yang utuh, tidak dapat
dibagi-bagi tanpa menguasai berbagai masalah. Seorang mujtahid sudah dapat melakukan
ijtihad dalam satu bidang tertentu, jika tidak, maka hokum Islam akan menjadi beku
statis.
·         Menurut Ibnu Human, ijtihad adalah pengarahan kemampuan ahli fiqh untuk
menemukan hokum syariat yang bersifar zhani.
·         Menurut Abu Zahrah, ijtihad adalah pengarahan ahli fiqh dalam mengistinbatkan
hokum yang amaliah dari dalil-dalil yang terperinci.
·         Menurut Muhammad Syawkani, ijtihad adalah pengarahan kemampuan dalam
memperoleh hokum syariat yang amaliah dengan cara istinbat.[11]
Lapangan atau medan di mana ijtihad dapat memaimkam peranannya adlah sebagai
berikut:
1)      Masalah-maslah baru, yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash Al-Quran atau
hadis secara jelas.
2)      Maslah-maslah baru, yang hukumnya belum diijma’i oleh ulama
3)      Nash-nash dhanni dan dalil-dalil hokum yang diperselisihkan
4)      Hokum islam yang kausalitas hukumnya atau ‘illatnya diketahui oleh mujtahid
2.      Hukum ijtihad
Menurut Syekh Muhammad Kudlari bahwa hukum ijtihad itu dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
1)      Waib’Ain yaitu seseorang yang ditanya tentang suatu masalah, dan masalah itu akan
hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sendiri mengalami sutau peristiwa yang ia
sendiri juga ingin mengetahui hukumnya.
2)      Wajib Kifayah yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak
hilang sebelum diketahui hukumnya, sedangkan selain dia masih ada mujtahid lain.
Apabila seorang mujtahid telah menyelesaikan dan mentapkan hukum sesuatu tersebut,
maka kewajiban mujtahid yang lain telah gugur.
3)      Sunnah yaitu ijtihad terhadap suatu masalah aatau peristiwa yang belum terjadi.
3.      Metode Ijtihad
1)      Ijma
a)      Pengertian Ijm
Dari segi bahasa, kata ijma merupakan masdar (kata benda verbal) dari kata “ajma’a”
yang artinya memutuskan dan menyepakati sesuatu. Sedangkan menurut istilah, ijma
adalah kesepakatan (consensus) seluruh mujtahid pada suatu masa tertentu sesudah
wafatnya rasul atas hukum syara’ untuk satu peristiwa (kejadian).[12]
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa pengertian tentang ijma’, yaitu:
a)      Terdapat beberapa orang mujtahid karena kesepakatan baru, bisa terjadi apabila ada
beberapa mujtahid.
b)      Kebulatan pendapat harus tampak nyata, baik dengan perbuatan, perkataan maupun
fatwa.
c)      Kebulatan pendapat orang-orang yang bukan mujtahid, tidak disebut ijma’.
b.      Macam-macam ijma
a)      Ijma Sharih, dari segi bahasa, Sharih artinya jelas, jadi Ijma Sharih adalah Ijma yang
memaparkan pendapat banyak utama secara jelas dan terbuka, baik dengan ucapan
maupun perbuatan.
b)      Ijma Sukuti, dari segi bahasa, Sukuti artinya diam, jadi Ijma Sukuti adalah sebagian
mujtahid memaparkan pendapat-pemdapatnya secara terang dan jelas mengenai suatu
hukum suatu peristiwa melalui perkataan atau perbuatan, sedangkan mujtahid yang lain
tidak memberikan komentar apakah ia menerima atau menolak.

2)      Qiyas
a.      Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahsa berarti menyamakan atau mengukurkan sesuatu dengan yang
lain. Menurut para ahli Ushul Fiqh merumuskan Qiyas adalah menayamakan atau
mengukur satu kejadian yang tidak ada nash tentang hukumnya dengan kejadian yang ada
nash tentang hukumnya di dalam hukum yang disebutkan di dalam nash karena ada
kesamaan antara dua kejadian itu di dalam illat hukum tersebut.[13]
b.      Macam- macam Qiya
a)      Qiyas Aula
Qiyas aula yaitu qiyas yang apabila ‘illatnya mewajibkan adanya hukum. Misalnya
berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan ‘uh, eh, busyet,’ atau kata-kata lain
yang semakna dan menyakitkan itu hukumnya haram, sesuai dengan firman Allah SWT:

Artinya :
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah
seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
Perkataan yang mulia.”(QS. Al-Isra: 23)

b)      Qiyas Musawi
Qiyas musawi yaitu qiyas yang apabila ‘illatnya mewajibkan adanya hukum dan sama
antara hukum yang ada pada al-ashlu maupun hukum yang ada pada al-far’u (cabang).
Contohnya, keharaman memakan harta anak yatim. Firman Allah SWT:

Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka).”(QS An-Nisa: 10)
c)      Qiyas Adna
Qiyas adna yaitu adamya hukum al-far’u lebih lemah bila dirujuk dengan hukum al-
ashlu. Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal riba fadl
(riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar-menukar antar dua bahan
kebutuhan pokok atau makanan).
Dalam masalah kasus ini, ‘illah hukumnya adalah baik apel maupun gandum merupakan
jenis makanan yang bisa dimakan dan ditakar. Namun ada segi yang lain dari ‘illah
gandum yang tidak terdapat pada apel, yaitu apel tidak makanan pokok. Oleh
karenannya, ‘illah yang ada pada apel lebih lemah diabndingkan dengan illat yang ada
pada gandum yang menjadi makanan pokok.
c.         Kedudukan dan Dasar Kehujjahan Qiyas
Sebagian ulama sunni berpendapat bahwa qiyas adalah salah satu sumber hokum
islam. Ulama yang menjadikan qiyas sebagai sumber hokum (musbitul qiyas) dan mereka
mempunyai dasar yang kuat baik dari nash maupun dari akal.[14]
Dalam Al-Quran terdapat banyak ayat yang menyuruh manusa untuk
menggunakan akalnya. Firman allah SWT:

Artinya:
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang
mempunyai pandangan.”(QS. Al-Hasyr: 2)
3)      Istihsan
a.      Pengertian Istihsan
Menurut bahasa istihsan berarti menganggap baik. Sedangkan menurut istilah ahli
ushul yang dimaksud dengan istihsan adalah ialah berpindahnya seorang mujtahid dari
hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh
qiyas khafy (samar-samar), atau dari hukum kully (umum) kepada hukum yang bersifat
istisna’i (pengecualkian), karena ada dalil syara’ yang menghendaki perpindahan itu.
b.      Kedudukannya sebagai sumber hukum islam
Jumhur ulama menolak berhujjah dengan istihsan, sebab berhujjah dengan
istihsan berarti menetapkan hukum berdasarkan waktu. Golongan Hanafiyah
membolehkan berhujjah dengan istihsan. Menurut mereka, berhujjah dengan istihsan
hanyalah berdalilkan qiyas khafy yang dikuatkan terhadap qiyas jaly atau menguatkan
satu qiyas terhadap qiyas lain yang bertentangan dengannya berdasarkan dalil yang
menghendaki penguatan itu. Atau berdalilkan Maslahat untuk mengecualikan sebagian
dari hukum kully.
4)      Istishab
a.      Pengertian Istishab
Istishab adalah mengambil hukum yang telah ada atau ditetapkan pada masa lalu
dan tetap dipakai hingga masa-masa selanjutnya, selama tidak ada yang mengubahnya.
Atau sebaliknya, apa yang tidakditetapkan di masa lalu, terus demikian keadaannya
sampai ada dalil yang menetapkan hukumnya.[15]
b.      Kedudukannya sebagai sumber hukum islam
a)      Menjadikan istishab sebagai pegangan dalam menuntukan hukum sesuatu peristiwa
yang belum ada hukumnya, baik dalam Al-Quran, as-sunnah maupun ijma.
b)      Menolah istishab sebagai pegangan dalam menetapkan hokum.[16]

5)      Mashalihul Mursalah
a.      Pengertian Mashalihul Mursalah
Mashalih bentuk jama dari mashlahah, artinya kemaslahatan, kepentingan.
Mursalah berarti terlepas. Dengan demikian mashalihul mursalah berarti kemaslahatan
yang terlepas. Maksudnya ialah penetapan hukum berdasarkan kepada kemaslahatan,
yaitu manfaat bagi manusia atau kemadharatan atas mereka. Al Khawarizmi menyatakan
bahwa mashlahah ialah menjaga tujuan syara’ dengan jalan menolok mafsadat
(kerusakan) atau madharat dari makhluk.

b.      Syarat-syarat berpegang kepada Mashalihul Mursalah


1.      Maslahat itu harus jelas dan pasti dan bukan hanya berdasarkan kepada prasangka.
2.      Maslahat itu bersifat umum, bukan untuk kepentingan pribadi.
3.      Hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan dengan hukum
atau prinsip yang telah ditetapkan dengan nas atau ijma.
c.       Kedudukannya sebagai sumber hukum islam
1.      Jumlah ulama menolaknya sebagai sumber hukum, dengan alasan :
1)      Bahwa dengan nas-nas dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperhatikan
kemaslahatan umat manusia. Tak ada satupun kemaslahatn manusai yang tidak
diperhatikan oleh syariat melalui petunjuknya.
2)      Pembinaan hukum islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti
membuka pintu bagi kenginan hawa nafsu.
2.      Imam Malik membolehkan berpegang kepadanya secara mutlak. Namun menurut imam
Syafi’i boleh berpegang kepada mashalihul mursalah apabila sesuai dengan dalil kully
atau dalil juz’iy dari syara. Pendapat kedua ini berdasarkan :
1)      Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya, jika
pembinaan hukum dibatasi hanya pada maslahat-maslahat yang ada petunjuknya dari
syar’I (Allah), tentu banyak kemaslahatan yang tidak ada status hukumnya pada masa
dan tempat yang berbeda-beda.
2)      Para sahabat dan tabi’in serta mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan
maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syar’i. Misalnya membuat penjara, mencetak
uang, mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat Al-Quran dan sebaginya. [17]
6)      Al-‘Urf
a.      Pengertian Al-Urf
Al-‘Urf adalah segala sesuatau yang sudah saling dikenal dan dijalankan oleh
suatu masyarakat dan sudah menjadi adat istiadat, baik nerupa perkataan , perbuatan
maupun meninggalkan. Atau juga Urf adalah sikap perbuatan dan perkataan yang biasa
dilakukan oleh manusia seluruhnya.[18]
Menurut ahli syar’i bahwa antara adat istiadat dengan ‘Urf amali itu tidak ada
bedanya. Diantara contoh ‘Urf amali ialah jual beli yang dilakukan berdasarkan saling
pengertian dan tidak mengucapkan sighat yang diucapkan. Contoh ‘Urf Qauly ialah orang
telah mengetahui bahwa kata arrajul itu untuk laki-laki, bukan untuk perempuan. 
b.      Macam-macam Al-Urf
Secara garis besar Al-‘Urf terbagi menjadi dua yaitu :
1.      ‘Urf shahih, yaitu apa yang telah dikenal orang tersebut tidak bertentangan dengan
syari’at, tidak menghalalkan yang haram, dan tidak menggugurkan kewajiban. Misalnya
orang telah mengerti bahwa orang yang melamar itu menyerahkan sesuatu kepada
perempuan yang dilamar, berupa emas dan pakaian. 
2.      ‘Urf fasid, yaitu apa yang dikenal itu bertentangan dengan syara. Contoh nya orang
mengetahui bahwa untuk menduduki suatu jabatan itu dengan memberikan
uang  sogokan (risywah).

7)      Syar’u Man Qablana


a.      Pengertian Syar’u man Qablana
Syar’u man qablana adalah syari’at yang diturunkan kepada orang-orang sebelum
kita, yaitu ajaran agama sebelum datangnya islam dan telah terjadi pada sebalum masa
nabi Muhammad SAW., kemudian syari’at itu masih digunakan.[19]
Pada dasarnya syari’at yang diturunkan untuk dijadikan pedoman hidup manusia,
sejak dahuku hingga masa-masa selanjutnya bersumber dari satu yaitu Allah. Namun
karena masa turun dan keadaan pemakaiannya berbeda, maka kententuan-ketentuan
dalam syariat itu juga mengalami penyesuaian. Karenannya, di antara isi syrai’at tersebut
ada yang berlaku terus untuk umat selanjutya dan ada yang tidak.[20]
b.      Pembagian dan hukumnya
1)      Apa yang disayriatkan kepada mereka juga ditetapkan kepada umat Nabi Muhammad,
baik penetapannya itu melalui perintah melaksanakan, seperti puasa, maupun melalui
kisah, seperti qishash.
2)      Apa yang disyariatkan kepada mereka tidak disyariatkan kepada kita. Misalnya yang
disyariatkan kepada Nabi Musa, seperti “Dosa orang jahat itu tidak akan terhapus selain
membunuh dirinya sendiri” dan “pakaian yang terkena najis itu tidak suci kecuali harus
dipotong bagian yang terkena najis tersebut”. Terhadap syariat jenis kedua ini pada ulama
sepakat untuk ditinggalkan, karena syariat kita telah menghapusnya.[21]
8)      Saddudz Dzari’ah
a.      Pengertian Sadudz Dzari’ah
Dzarai’ jama dari kata dzari’ah artinya jalan. Saddudz dzari,ah berarti menutup
jalan. Menurut istilah ulama ushul fiqh bahwa yang disebut dengan dzaria’ah ialah
masalah yang lahirnya boleh (mubah) tetapi dapat membuka jalan untuk melakukan
perbuatan yang dilarang.
Dengan demikian, saddudz dzari’ah berarti melarang perkara-perkara yang
lahirnya boleh, karena ia membuka jalan dan menjadi pendorong kepada perbuatan-
perbuatan yang dilarang oleh agama. Seperti melarang perbuatan/ permainan judi tanpa
uang .
b.      Kedudukannya sebagai sumber hukum islam
1)      Menurut Imam Malik bahwa saddudz dzari’ah dapat dijadikan sumber hukum, sebab
sekalipun mubah akan tetapi dapat mendorong dan membuka perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh agama.
Al-Qurtubi, seorang ulama Madzhab Maliki menyatakan : “sesungguhnya apa-apa yang
dapat mendorong terjerumus kepada perkara yang dilarang (maksiat) adakalanya secara
pasti menjerumuskan dan tidak pasti menjerumuskan.”
Yang pasti menjerumuskan kepada maksiat bukanlah termasuk suddudz dzari’ah tetapi
harus dijauhi, sebab perbuatan maksiat wajib ditinggalkan. Yang tida pasti
menjerumuskan kepada maksiat, itulah yang termasuk suddudz dzari’ah.
Guna menjauhkan diri dari terjerumus kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh
agam, maka kita wajib menjauhkan diri dari perkara-perkara yang lahirnya mubah, tetapi
lambat laun dapat membawa dan mendorong kita kepada perbuatan maksiat.
2)      Menurut Imam Abu Hanafi dan Imam Syafi’I, bahwa saduddz dzari’ah tidak dapat
dijadikan sumber hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah, tetap
diperlakukan sebagai mubah.
Hadis nabi Muhammad SAW:
Artinya:
“Tinggalkan apa yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak meragukan.”
Artinya:
“Bagi siapa yang berputar-putar di sekitar larangan (Allah) lama kelamaan dia akan
melanggar larangan tersebut.”
9)      Madzhab Shahabi
a.      Pengertian Mazhab Shahabi
Mazhab Shahaby ialah fatwa-fatwa para sahabat megenai berbagai masalah yang
dinyatakan setelah rasulullah SAW wafat. Fatwa-fatwa mereka itu ada yang telah
dikumpulkan oleh para tabi’in sebagaimana mereka mengumpulkan hadist-hadist
Rasulullah. Fatwa-fatwa sahabat ini ada yang berdasarkan ijtihad mereka, yang terbagi
menjadi dua, yaitu hasil ijtihad yang mereka sepakati (ijma sahaby) dan hasil ijtihad yang
tidak disepakati.
b.      Kedudukan Mazhab Shahabi
1)      Mazhab sahabat yang berdasarkan kepada sabda dan perbuatan serta ketetapan Rasul
wajib ditaati, sebab hakekatnya ia merupakan Sunnah Rasul.
2)      Mazhab sahabat yang berdasakan hasil ijtihad tetapi telah mereka sepakati (ijma
sahaby) dapat dijadikan hujah dan wajib ditaati, sebab mereka di samping dekat dengan
Rasul, mereka mengetahui rahasia-rahasia tasyri’ dan mengetahui perbedaan pendapat
mengenai peristiwa yang sering terjadi. Contoh Mazhab sahabat yang telah mereka
sepakati, antara lain ialah mengenai bagian harta waris bagi nenek, yaitu seperenam. 
3)      Mazhab sahabat yang tidak mereka sepakati tidak dijadikan hujah dan tidak wajib
diikuti. Abu Hanifah dan Imam Syafi’i menyatakan : “tidak melihat seorang pun ada
yang menjadikan perkataan sahabat untuk dijadikan hujjah”, sebab perkataan sahabat
tersebut didasarkan kepada ra’yu dan di antara sahabat sendiri juga berbeda pendapat,
dan mereka tidak luput dari keslahan
10)  Dalalatul Iqtiran
a.      Pengertian Dalalatul Iqtiran
Dalalatul Iqtiran ialah dalil-dalil yang menunjukan kesamaan hukum terhadap sesuatu
yang disebutkan bersamaan dengan sesuatu yang lain.
b.      Kedudukanya sebagai sumber hukum islam
1)      Jumhur ulama berpendapat bahwa dalalatul iqtiran tidak dapat dijadikan hujjah, sebab
bersamaan dalam satu susunan tidak mesti bersamaan dalam hukum.
2)      Abu Yusuf dari golongan Hanafiyah, Ibnu Nashar dari golongan Malikiyah, dan Ibnu
Hurairah dari kalangan Syafi’iyah menyatakan dapat dijadikan hujjah. Alasan mereka
bahwa sesungguhnya ‘athaf itu menghendaki musyarakah.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun penulis dapat simpulkan dari penulisan makalah ini yaitu Ayat-ayat
mutasyabih adalah merupakan salah satu ilmu atau pelajaran dalam Al-qur’an sehingga
para ulama menilainya dengan alasannya masing-masing yang terbagi menjadi dua
macam, yaitu pendapat ulama Salaf dan Khalaf, Muhkam adalah ayat yang sudah jelas
arti dan maksudnya ketika kita membacanya, sehingga tidak menimbulkan keraguan dan
memerlukan pentakwilan, Sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang perlu
ditakwilkan, dan setelah ditakwilkan baru kita dapat memahami tentang maksud ayat-ayat
itu. Dan Kita dapat mengatakan bahwa semua ayat al- Qur’an itu Muhkam. Jika maksud
Muhkam adalah kuat dan kokoh. Tetapi kita dapat pula mengatakan bahwa semua ayat itu
adalah Mutasyabih, jika maksud Mutasyabih itu adalah kesamaan ayat-ayatnya dalam hal
Balaghah danI’jaznya.
B. Saran
Ayat-ayat muhkam dan mutasyabih adalah dua hal yang saling melengkapi satu
sama lai di dalam Al-Qur’an. Muhkam sebagai ayat yang tersurat merupakan bukti bahwa
Al-Qur’an berfungsi sebagai bayan atau penjelas dan hudan “petunjuk”. Mutasyabih
sebagai ayat yang tersirat merupakan bukti bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai mukjizat
yang diturunkan oleh Allah dan kitab sastra terbesar sepanjang sejarah, manusia yang
tidak akan habis-habisnya untuk dikaji dan diteliti. Sebagai ummat islam hendaknya kita
lebih merenungi lagi maksud-maksud Allah menurunkan ayat-ayat tersebut dalam bentuk
yang berlainan. Dan menjadikannya pedoman dalam setiap langkah kita.
Daftar pustaka

[1]  A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2, (Jakarta: 2010), hlm.143


[2]  Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bogor: Galia Indonesia, 2010), hlm.84
[3]  A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2, (Jakarta: 2010), hlm.146
[4]  Mustafa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), hlm.13

Anda mungkin juga menyukai