Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam hukum Islam, hadits menjadi sumber hukum kedua setelah al-Qur`an.
Penetapan hadits sebagai sumber kedua iniditunjukan oleh tiga hal, yaitu al-Qur`an
sendiri, kesepakatan (ijma`) ulama, dan logika akal sehat (ma`qul). Al-Quran
menekankan bahwa RasulullahSAW berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah
(QS. 16:44). Karena itu apa yang disampaikan Nabi harus diikuti, bahkan perilaku Nabi
sebagai rasul harus diteladani oleh kaum Muslimin. Sejak masa sahabat sampai hari ini
para ulama telah bersepakat dalam penetapan hukum didasarkan juga kepada sunnah
Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional. Keberlakuan hadits sebagai
sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa AlQur`an hanya memberikan
garisgaris besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut
untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena itu, keabsahan hadits
sebagai sumber kedua secara logika dapat diterima. a.Di antara ayat-ayat yang menjadi
bukti bahwa hadits merupakan sumber hukum dalam Islam adalah sebagai berikut: An-
Nisa’: 80
َ ‫َم ۡن ي ُِّط ِع ال َّرس ُۡو َل فَقَ ۡد اَطَا َع هّٰللا َ‌ۚ َو َم ۡن َعلَ ۡي ِهمۡ َحفِ ۡيظًات ََو ٰلّى فَ َم ۤا اَ ۡر َس ۡل ٰن‬
‫ك‬

Yang artinya : “Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah
menaati Allah. Dan barangsiapa berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami
tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka.”
Hadits merupakan landasan hukum Islam yang kedua setelah alQur’an.Hadits
sebagai sumber kedua ini ditunjukkan oleh tiga hal, yaitu; al-Qur`an sendiri, kesepakatan
(ijma`) ulama, dan logika akal sehat (ma`qul). Al-Quran menekankan bahwa Rasulullah
berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah. Karena itu apa yang disampaikan
Nabi harus diikuti, bahkan perilaku Nabi sebagai rasul harus diteladani oleh kaum
Muslimin. Tulisan ini menemukan bahwa fungsi hadist terhadap al-Quran adalah sebagai
bayan dan muhaqiq (penjelas dan penguat) bagi al-Quran. Baik sebagai bayan taqrir,
bayan tafsir, takhshish al-’am, bayan tabdila. Tidak hanya itu, tulisan ini juga

1
menemukan bahwa hadist Rasulullah telah menetapkan hukum baru yang tidak
ditetapkan oleh al-Qur`an. Karena dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang
memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk taat secara mutlak kepada apa yang
diperintahkan dan dilarang Rasulullah, serta mengancam orang yang menyelisihinya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang yang telah ada, tentu perlu untuk kita ketahui
apa saja yang akan dibahas dalam makalah ini. Perumusan masalah disusun dalam bentuk
pertanyaan yang dapat memudahkan kita untuk mengetahui isi makalah ini. Adapun
perumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Apa pengertian dan kedudukan fungsi hadist ?
2. Apa fungsi hadist dalam Islam ?
3. Apa pendapat para ulama tentang fungsi hadist dalam Islam ?

C. Tujuan
Dengan dibuatnya makalah ini, penulis berharap ilmu yang diperolah dapat
dikembangkan. Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, berikut tujuan dari
penulisan makalah ini.
1. Untuk mengetahui pengertian dan kedudukan fungsi hadist
2. Untukn mengetahui fungsi hadist dalam Islam
3. Untuk mengetahui pendapat ulama tentang fungsi hadist

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Kedudukan Fungsi Hadist


Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau
waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan,
diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain. Hadits menurut istilah
syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan, atau
pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan, dan
perkataan. Hadits Qauliyah ( ucapan) yaitu hadits hadits Rasulullah SAW, yang
diucapkannya dalam berbagai tujuan dan persuaian (situasi).

Hadits Fi’liyah yaitu perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW, seperti  pekerjaan


melakukan shalat lima waktu dengan tatacaranya dan rukun-rukunnya, pekerjaan
menunaikan ibadah hajinya dan pekerjaannya mengadili dengan satu saksi dan sumpah dari
pihak penuduh. Hadits Taqririyah yaitu perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah
diikrarkan oleh Nabi SAW, baik perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan, sedangkan
ikrar itu adakalanya dengan cara mendiamkannya, dan atau melahirkan anggapan baik
terhadap perbuatan itu, sehingga dengan adanya ikrar dan persetujuan itu. Bila seseorang
melakukan suatu perbuatan atau mengemukakan suatu ucapan dihadapan Nabi atau pada
masa Nabi, Nabi mengetahui apa yang dilakukan orang itu dan mampu menyanggahnya,
namun Nabi diam dan tidak menyanggahnya, maka hal itu merupakan pengakuan dari Nabi.
Keadaan diamnya Nabi itu dapat dilakukan pada dua bentuk :

a. Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi. Dalam hal
ini kadang-kadang Nabi mengetahui bahwa siapa pelaku berketerusan melakukan
perbuatan yag pernah dibenci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini tidaklah
menunjukkan bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukannya. Dalam bentuk lain, Nabi
tidak mengetahui berketerusannya si pelaku itu melakukan perbuatan yang di benci dan
dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini menunjukkan pencabutan larangan
sebelumnya.

3
b. Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula
haramnya. Diamnya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah meniadakan
keberatan untuk diperbuat. Karena seandainya perbuatan itu dilarang, tetapi Nabi
mendiamkannya padahal ia mampu untuk mencegahnya, berarti Nabi berbuat kesalahan ;
sedangkan Nabi terhindar bersifat terhindar dari kesalahan.

Dalam kedudukannya sebagai penjelas, hadits kadang-kadang memperluas hukum


dalam Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah
dalam Al-Quran. Kedudukan Hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang
menjelaskan hukum Al-Quran, tidak diragukan lagi dan dapat di terima oleh semua
pihak, karena memang untuk itulah Nabi di tugaskan Allah SWT. Namun dalam
kedudukan hadits sebagai dalil yang berdiri sendiri dan sebagai sumber kedua setelah Al-
Quran, menjadi bahan perbincangan dikalangan ulama. Perbincangan ini muncul di
sebabkan oleh keterangan Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Al-Quran atau ajaran
Islam itu telah sempurna. Oleh karenanya tidak perlu lagi ditambah oleh sumber lain.

Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil
kedua setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk
semua umat Islam. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat mentaati Rasul.
Ketaatan kepada rasull sering dirangkaikan dengan keharusan mentaati Allah ; seperti
yang tersebut dalam surat An-Nisa : 59 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)”

Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat tersebut adalah mengikuti
apa-apa yang dilakukan atau dilakukan oleh Rasul sebagaimana tercakup dalam
Sunnahnya. Dari ayat diatas jelaslah bahwa Hadits itu adalah juga wahyu. Bla wahyu
mempunyai kekuatan sebagai dalil hukum, maka hadits pun mempunyai kekuatan hukum
untuk dipatuhi. Kekuatan hadits sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua
segi: pertama, dari segi kebenaran materinya dan keduadari segi kekuatan penunjukannya
terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya kekuatan hadits mengikuti kebenaran
pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir,
masyhur, danahad sebagaimana dijelaskan diatas.

4
Meskipun jumlah hadits mutawatir ini tidak banyak namun mempunyai kekuatan
sebagai dalil sebagaimana kekuatan Al-Qur’an. Khabar mutawatir mempunyai kekuatan
tertinggi di dalam periwayatan dan menghasilkan kebenaran tentang apa yang diberitakan
secara mutawatir sebagaima kebenaran yang muncul dari hasil pengamatan. Para ulama
sepakat mengatakan bahwa khabar mutawatir menghasilkan ilmu yakin meskipun mereka
berbeda pendapat dalam menetapkan cara sampai kepada ilmu yakin itu secara tanpa
memerlukan pembuktian atau memerlukan pembuktian kebenarannya. Untuk sampainya
khabar mutawatir itu kepada ilmu yakin harus terpenuhi syarat-syarat tertentu. Di
antaranya syarat-syarat itu disepakati oleh ulama dan syarat lainnya diperselisihkan.
Syarat-syarat yang disepakati ada yang menyangkut pembawa berita.

B. Fungsi Hadist Dalam Al-Qur’an


Fungsi al-Hadits terhadap alQur`an yang paling pokok adalah sebagai bayân,
sebagaimana ditandaskan dalam ayat: “ k e t e r a n g a n - k e t e r a n g a n (mu`jizat) dan
kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,.
(Qs.16:44)”. Ayat tersebut menunjukkan bahwa Rasul SAW bertugas memberikan
penjelasan tentang kitab Allah.

Penjelasan Rasul itulah yang dikategorikan kepada alhadîts. Umat manusia tidak akan
bisa memahami al-Qur`ân tanpa melalui al-hadîts tersebut. AlQur`ân bersifat kullydan ‘am,
maka yang juz’iy dan rinci adalah alhadîts. Imam Ahmad menandaskan bahwa seseorang
tidak mungkin bisa 1memahami al-Qur`ân secara keseluruhan tanpa melalui al-hadîts. Imam
Al-Syatibi jugaberpendapat bahwa kita tidak akan bisa mengistinbath atau mengambil kesim
pulan dari hukum al-Qur`ân tanpa melalui al-hadîts.

Imam Ahmad menandaskan bahwa seseorang tidak mungkin bisa memahami al-Qur`ân
secara keseluruhan tanpa melalui al-hadîts. Imam Al-Syatibi berpendapat bahwa kita tidak

1
Maktabah al-Husna, Beirut: 1998,hal 95-96.
2
Hadits Riwayat Khamsah dari “Aisyah, AtTaj, III: 140.
3
Hadits riwayat Khamsah kecuali Bukhari dari Buraidah, At-Taj,III:141.
4
Hadits Riwayat Khamsah dari “Aisyah, AtTaj, III: 140.
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadist Pengantar Studi Hadis Praktis (Malang:UIN Malang Press, 2008) hal. 17

5
akan bisa mengistinbath atau mengambil kesimpulan dari hukum al-Qur`ân tanpa melalui al-
hadîts. Dengan demikian jelaslah bahwa fungsi al-hadîts terhadap al-Qur`ân itu cukup
penting, yaitu sebagai bayân atau penjelas.Contoh-contoh di bawah ini memberikan
gambaran tentang bagaimana al-hadîts menjelaskan isi al-Qur`ân:

1.  Al-Qur`ân telah menghalalkan makanan yang baik-baik (Qs.5:1), dan megharamkan


yang kotor-kotor (Qs.7:156); tetapi di antara keduanya (di antara yang baik-baik dan
yang kotor-kotor) itu ada terdapat beberapa hal yang tidak jelas atau syuhbat, yang
samar-samar (tidak nyata baik dan tidak nyata buruknya). Ukuran baik dan buruk pun
menurut pandangan manusia akan berbeda. Oleh sebab itu, Rasul SAW yang
menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk itu, dengan istilah halal dan
haramnya. Beliau mengharamkan segala hewan-hewan (binatang-binatang) buas, yang
mempunyai taring, dan burung-burung yang mempunyai kuku yang mencakar dan yang
menyambar, demikian juga beliau mengharamkan keledai jinak (bukan keledai hutan),
karena semua itu termasuk binatang yang kotor-kotor dan yang keji-keji.1
2. Al-Qur`ân telah menghalalkan segala minuman yang tidak memabukan, dan
mengharamkan segala mi-numan yang memabukkan. Di antara yang tidak memabukkan
dan yang memabukkan ada beberapa macam minuman, yang sebenarnya tidak
memabukkan, tetapi dikuatirkan kalau-kalau memabukkan juga, seperti tuak dari ubi,
tuak kedelai, tuak labu, atau tuak yang ditaruh dalam bejana yang dicat dengan ter dari
dalamnya (Al- Muzaffat), juga yang ditaruh di dalam batang kayu yang dilobangi (Al-
Naqir), dan yang serupa dengan minuman yang memabukkan dan membawa
kebinasaan.2 Kemudian Rasulullah SAW kembali menghalalkan segala sesuatu yang
tidak memabukan.3
3. Al Qur’an telah membolehkan daging hewan-hewan yang ditangkap oleh hewan-hewan
pemburu yang sudah diajar dengan patuh dan mengerti. Jelas, apabila hewan pemburu
itu belum terlatih, maka haramlah memakan hewan dari hasil buruan (yang
ditangkapnya), karena dikuatirtkan bahwa hewan yang ditangkapnya itu buat dirinya
sendiri. Kemudian timbul pertanyaan yang beredar antara dua masalah yaitu: apabila
hewan pemburu itu sudah terlatih, tetapi buruan itu ditangkapnya untuk dirinya sendiri,
tidak untuk tuan yang menyuruh-nya, denga tanda-tanda bahwa buruannya itu telah

6
dimakannya sendiri sekalipun sedikit,  maka bagaimanakah hukumnya?. Sunnah
Rasulullah SAW, menjelaskan bahwa jika buruan itu dimakan oleh anjing pemburu,
maka kaum muslimin dilarang memakannya, karena dikuatirkan hewan yang
ditangkapnya itu untuk dirinya sendiri.4

4. Al-Qur`ân melarang orang yang sedang ihram mem-buru buruan dengan muthlaq,
artinya tidak me-makai syarat, apabila larangan itu diabaikannya, maka diwajibkan jaza
(balasan) atas orang yang melanggarnya (membunuhnya). Tetapi larangan memburu itu
dikecualikan bagi orang yang halal, artinya bagi yang tidak mengerjakan ihram.
Pengecualian itu dengan muthlaq juga. Kemudian timbul pertanyaan: Bagaimana
hukumnya orang yang sedang ihram itu memburu dengan tidak disengaja?, Oleh Rasul
SAW dijelaskan bahwa memburu buruan bagi orang yang sedang ihram itu, sama saja,
hukumnya antara yang sengaja dengan yang tidak disengaja, dalam kewajibannya
menunaikan denda atau dam.

Dengan demikian jelaslah fungsi al-hadîts terhadap al-Qur`ân itu cukup penting, yaitu
sebagai bayân atau penjelas. Fungsi al-Hadits terhadap alQur`ân sebagai bayân itu
difahami oleh ulama dengan berbagai pemahaman, antara lain sebagai berikut:

a. Bayan Taqrir

Bayân taqrir ialah al-Hadits yang berfungsi menetapkan, memantapkan, dan


mengokohkan apa yang telah ditetapkan alQur`ân, sehingga maknanya tidak perlu
dipertanyakan lagi. Ayat yang ditaqrir oleh al-Hadits tentu saja yang sudah jelas
maknanya hanya memerlukan penegasan supaya jangan sampai kaum muslimin salah
menyim-pulkan. Contoh: Firman Allah SWT:

ُ َ‫فَ َم ْن َش ِه َد ِم ْن ُك ُم ال َّش ْه َر فَ ْلي‬


ُ‫ص ْمه‬

“Barangsiapa yang menyaksikan bulan ramadlan maka hendaklah shaum.” (Qs.2:185)

Hadits di atas dikatakan bayân taqrîr terhadap ayat al-Qur`ân, karena maknanya sama
dengan alQur`ân, hanya lebih tegas ditinjau dari bahasanya maupun hukumnya.

b. Bayan Tafsir

7
Bayân tafsir berarti menjelaskan yang maknanya samar, merinci ayat yang maknanya
global atau mengkhususkan ayat yang maknanya umum. Sunnah yang berfungsi
bayân tafsir tersebut terdiri dari :

1. Tafshîl- al-mujmal,

Hadits yang berfungsi tafshîl- almujmal, ialah yang merinci ayat al-Qur`ân yang
maknanya masih global, misalnya :

a) Tidak kurang enam puluh tujuh ayat al-Qur`ân yang langsung memerintah
shalat, tapi tidak dirinci bagaimana operasionalnya, berapa raka’at yang harus
dilakukan, serta apa yang harus dibaca pada setiap gerakan. Rasulullah SAW
dengan sunnahnya memperagakan shalat secara rinci, hingga beliau bersabda:
“Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku sedang shalat. HR. Jama’ah”
b) Ayat-ayat tentang zakat, shaum, haji pun demikian memerlukan rincian
pelaksanaannya. Ayat haji umpamanya menandaskan
‫هّٰلِل‬
ِ َ‫َواَتِ ُّموا ْال َح َّج َو ْال ُع ْم َرة‬

"Sempurnakanlah ibadah haji dan ibadah umrahmu karena Allah.” Rinciannya


ialah pelaksanaan Rasulullah dalam ibadah haji wada’

2. Tabyîn al-Musytarak

Tabyîn al-Musytarak ialah menjelas kan ayat al-Qur`ân yang mengandung kata
bermakna ganda. Contoh: Firman Allah SWT:

‫ت يَتَ َربَّصْ نَ بِا َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَ ٰلثَةَ قُر ُۤوْ ۗ ٍء‬


ُ ‫َو ْال ُمطَلَّ ٰق‬

““Wanita yang dicerai hendaklah menunggu masa iddah selama tiga quru”.
(Qs.2:228)”

Perkataan Quru adalah bentuk jama dari Qar’in. Dalam bahasa Arab
antara satu suku bangsa dengan yang lain ada perbedaan pengertian Qar’in. Ada
yang mengartikan suci ada pula yang mengarti-kan masa haidl. Dalam ketentuan
hukum, hamba sahaya itu berlaku setengah dari orang merdeka. Jika hadits ini
menetapkan dua kali haidl, maka me nurut sebagian pendapat, dalam perkataan

8
haidlatâni itu me rupa kan penjelas dari Qar`in yang musytarak, se hingga
kesimpulannya bahwa wanita yang dicerai itu iddahnya tiga kali haid.

c. Takhshish Al-’am

Takhshîsh al-’âm ialah sunnah yang mengkhususkan atau mengecualikan ayat yang
bermakna umum. Contoh:

‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةُ َوال َّد ُم َولَحْ ُم ْال ِخ ْن ِزي ِْر‬


ْ ‫ُح ِّر َم‬

“Diharamkan atasmu bangkai, darah dan daging babi”. (Qs.5:3)

Dalam ayat ini tidak ada kecuali, semua bangkai dan darah diharamkan untuk
dimakan. Sunnah Rasulullah SAW mentakhshish atau mengecualikan darah dan
bangkai tertentu. Sabda Rasululah saw:

“Telah dihalalkan kepada kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Yang
dimaksud dua macam bangkai adalah bangkai ikan dan bangkai belalang, sedangkan
yang dimaksud dua macam darah adalah ati dan limpa”. (Hadits Riwayat Ahmad,
Ibnu Majah dan al-Bayhaqi.)52

d. Bayan Tabdila

Bayân Tabdîl ialah mengganti hukum yang telah lewat keberlakuannya. Dalam istilah
lain dikenal dengan nama nâsih wa al- mansûh. Banyak ulama yang berbeda pendapat
tentang keberadaan hadits atau sunnah men-tabdil al-Qur`ân. Namun pada dasarnya
bukan berbeda dalam menyimpulkan hukum, melainkan hanya terletak pada
penetapan istilahnya saja.

Contoh sunnah yang dianggap Bayân Tabdîl oleh pen dapat yang mengakuinya ialah
dalam bab zakat pertanian. Dalam ayat alQur`ân tidak diterangkan batasan nisab zakat
melainkan segala penghasilan wajib dikeluarkan zakatnya. Sedangkan dalam sunnah
Rasul ditandaskan:

ً‫ص َدقَة‬ ٍ ‫ْس فِ ْي َما ُدونَ خَ ْم َس ِة َأو َس‬


َ ‫ق‬ َ ‫لَي‬

25
Musnad Ahmad, II, 97. Ibn Majah, II,1073. al-Bayhaqi, I, 254.

9
“Tidak ada kewajiban zakat dari hasil pertanian yang kurang dari lima wasak” .Hr. al-
Bukhari dan Muslim63

Sunnah yang berfungsi sebagai bayân tabsith ter-hadap al-Qur`ân adalah sunnah yang
menguraikan ayat al-Qur`ân yang ringkas yang memerlukan pen-jelasan secara
terurai. Contohnya kisah-kisah dalam al-Qur`ân yang ringkas diuraikan oleh sunnah
rasul secara gamblang dan terurai seperti isra mi’raj. Imam Syafi’i berpendirian
bahwa fungsi as-Sunnah terhadap alQur`ân itu adalah sebagai :

1) bayân tafshil atau perinci ayat yang mujmal


2) bayân takhshish atau pengkhusus yang yang bersifat umum
3) bayân ta’yien yaitu menetapkan makna yang dimaksud dari suatu ayat yang
memungkinkan memiliki beberapa makna seperti menjelaskan yang musytarak
4) bayân tasyri’ yaitu sunnah yang berfungsi tambahan hukum yang tidak tercantum
dalam al-Qur`ân. Contohnya: dalam alQur`ân telah ditetapkan bahwa yang haram
dimakan itu hanyalah bangkai, darah, daging babi dan yang disembelih bukan
karena Allah (Qs.6:145). Sedangkan dalam beberapa riwayat sunnah diterangkan
bahwa Rasul melarang memakan binatang buas, yang berbelalai, burung
menyambar, dan yang hidup di air dan di darat
5) bayân nasakh, yaitu mengganti hukum yang tidak berlaku lagi seperti diuraikan
pada bayân tabdil.

Ibnul-Qayim berpendapat bahwa fungsi as-Sunnah terhadap alQur`ân adalah


sebagai:

1) bayân ta’kid atau penguat seperti bayân taqrir yang telah dijelaskan di atas
2) bayân tafsir
3) bayân tasyri’,
4) bayân takhshish,
5) bayân taqyied, yaitu menentukan sesuatu yang dalam ayat bisa bermakna mutlak,
seperti seruan Allah tentang kewajiban shalat secara mutlak berlaku pada siapa
pun. Sedangkan sunnah mentaqyid wanita yang sedang haidl dari yang mutlak

Shahih al-Bukhari, II,524. Shahih Muslim, II,673


36

Yusuf al Qodrawi, Pengantar Studi Hadist (Bandung:Pustaka Setia,2007) hal. 105

10
tersebut. Wanita yang haidl tidak diwajibkan shalat dan tidak diwajibkan
mengganti.

Dengan memperhatikan beberapa pendapat di atas, tampaklah betapa pentingnya


sunnah terhadap al-Qur`ân, terutama memberikan kemudahan bagi kaum muslimin
untuk memahami isi al-Qur`ân. Jika Rasulullah SAW tidak memberikan
penjelasan tentang ayat al-Qur`ân, tentu saja akan menimbulkan berbagai kendala
dan kesulitan dalam melaksanakan al-Qur`ân. Itulah mungkin salah satu makna
dari fungsi Rasul sebagai rahmat bagi mu’minin bahkan bagi alam semesta.

C. Pendapat Para Ulama Tentang Fungsi Hadist Dalam Al-Qur’an


Sehubungan dengan fungsi Hadist sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an tersebut, para
ulama berbeda pendapat dalam merinci lebih lanjut, yaitu :
1. Pendapat Ahl ar-Ra.yi
Menurut pendapat Ahl ar-Ra’yi penerangan hadist terhadap Al-Qur’an tersbut terbagi
menjadi tiga, yaitu :
a. Bayan Taqrir : yakni keterangan yang didatangkan oleh as-Sunnah untuk
menambah kokoh apa yang telah diterangkan oleh Al-Qur’an
b. Bayan Tafsir : yakni menerangkan apa yang kira-kira tidak mudah diketahui
pengertiannya yaitu ayat-ayat yang mujmal dan mustarak fihi.
c. Bayan Tabdil : yakni mengganti sesuatu hokum atau menasakhkan nya.
Menasakhkan Al-Qur’an dengan as-Sunnah itu mutawatir, masyhur dan mustafidh.
2. Pendapat Malik
Malik berpendirian bahwa bayan (penerangan) al Hadist iu terbia menjadi empat, yaitu:
a. Bayan at-Taqrir : yakni mentetapkan dan menkokohkan hukum-hukum al-Qur’an
bukan mentauhidkan, bukan mentaqyidkan muthlaq dan bukan mentakhsihkan
‘aam.
b. Bayan at-Taudhih : yakni menerangkan maksud-maksud ayat seperti hadis-hadis
yang menerangkan maksud ayat yang dipahami oleh para sahabat berlainan dengan
yang dimaksudkan oleh ayat.
c. Bayan at-Tafshil : yakni menjelaskan majmul al-Qur’an sebagai hadist yang
mentafshilakan kemajmulan

11
d. Bayan Tasyri’ : yakni mewujudkan suatu hukum yang tidak tersebut dalam al-
Qur’an seperti menghukum dengan bersandar epada seorang saksi dan sumpah
apabila si mudda’I tidak mempunyai dua orang saksi, dan seperti ridha’
mengharamkan pernikahan antara keduanya
3. Pendapat Syafi’i
As-Syafi’i diantara ulama Ahl al-Atsar menetapkan, bahwa penjelasan al Hadist
terhadap al-Qur’an dibagi menjadi lima, yaitu :
a. Bayan Tafshil : menjelaskan ayat-ayat yang majmul yang sangat ringkas petunjuknya
b. Bayan Takhsish : menentukan sesuatu yang umum dari sebuah ayat
c. Bayan Ta’yin : menentukan nama yang dimaksud dari dua atau tiga perkara yang
mungkin dimaksudkan
d. Bayan Tasyri’ : menetapkan suatu hukum yang tidak didapati dalam al-Qur’an
e. Bayan Nasakh : menentukan mana yang dinasikhkan dan mana yang
dimansukhkandari ayat-ayat al-Qur’an

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa.
12
1. Al-Qur’an dan Hadist adalah sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran
dalam Islam, antara satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain,
hadist adalah sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an. Hadist sebagai penjelas
(bayan) terhadap al-Qur’an mempunyai empat macam fungsi, yaitu :
a. Bayan at-Taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’qid dan bayan al-isbat yaitu
menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan oleh al-Qur’an
b. Bayan al-Tafsir adalah fungsi hadist yang memberikan rincian dan tafsiran
terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global, memberikan persyaratan
atau batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan
mengkhususkan ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum.
c. Bayan at-Tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak
didapati dalam al-Qur’an atau dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokok nya
saja
d. Bayan at-nasakh yaitu penghapusan hukum syar’i dengan suatu dalil yang dating
kemudian
2. Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau
waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan,
diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain. Hadits menurut
istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan,
perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan,
perbuatan, dan perkataan. Hadits Qauliyah ( ucapan) yaitu hadits hadits Rasulullah
SAW, yang diucapkannya dalam berbagai tujuan dan persuaian (situasi).

DAFTAR PUSTAKA

Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Idris as-Syafi’i, Kitab Ikhtilaf Al-Hadits, Dar al-Fikr (Beirut:
1983)

Al Qodrawi, Yusuf. Pengantar Studi Hadist (Bandung: Pustaka Setia, 2007)


13
Ismail, M., Syuhudi, Kaedah Keshahihan Hadist (Jakarta: Bulan Bintang, 1988)

Khairuddin, Ahmad, Beberapa Interpretasi Hadits al-Aimmah Min Quraisy: Interpretasi Hadis
dengan Pendekatan Fiqh Siyasah (Banjarmasin: Antasari Press, 2005)

Mudasir. Ilmu Hadist (Bandung: Pustaka Setia, 2009)

Muhaimin,dkk. Studi Islam Dalam Rangka Dimensi dan Pendekatan (Jakarta:Kencana, 2012)

14

Anda mungkin juga menyukai