PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam hukum Islam, hadits menjadi sumber hukum kedua setelah al-Qur`an.
Penetapan hadits sebagai sumber kedua iniditunjukan oleh tiga hal, yaitu al-Qur`an
sendiri, kesepakatan (ijma`) ulama, dan logika akal sehat (ma`qul). Al-Quran
menekankan bahwa RasulullahSAW berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah
(QS. 16:44). Karena itu apa yang disampaikan Nabi harus diikuti, bahkan perilaku Nabi
sebagai rasul harus diteladani oleh kaum Muslimin. Sejak masa sahabat sampai hari ini
para ulama telah bersepakat dalam penetapan hukum didasarkan juga kepada sunnah
Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional. Keberlakuan hadits sebagai
sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa AlQur`an hanya memberikan
garisgaris besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut
untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena itu, keabsahan hadits
sebagai sumber kedua secara logika dapat diterima. a.Di antara ayat-ayat yang menjadi
bukti bahwa hadits merupakan sumber hukum dalam Islam adalah sebagai berikut: An-
Nisa’: 80
َ َم ۡن ي ُِّط ِع ال َّرس ُۡو َل فَقَ ۡد اَطَا َع هّٰللا َۚ َو َم ۡن َعلَ ۡي ِهمۡ َحفِ ۡيظًات ََو ٰلّى فَ َم ۤا اَ ۡر َس ۡل ٰن
ك
Yang artinya : “Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah
menaati Allah. Dan barangsiapa berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami
tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka.”
Hadits merupakan landasan hukum Islam yang kedua setelah alQur’an.Hadits
sebagai sumber kedua ini ditunjukkan oleh tiga hal, yaitu; al-Qur`an sendiri, kesepakatan
(ijma`) ulama, dan logika akal sehat (ma`qul). Al-Quran menekankan bahwa Rasulullah
berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah. Karena itu apa yang disampaikan
Nabi harus diikuti, bahkan perilaku Nabi sebagai rasul harus diteladani oleh kaum
Muslimin. Tulisan ini menemukan bahwa fungsi hadist terhadap al-Quran adalah sebagai
bayan dan muhaqiq (penjelas dan penguat) bagi al-Quran. Baik sebagai bayan taqrir,
bayan tafsir, takhshish al-’am, bayan tabdila. Tidak hanya itu, tulisan ini juga
1
menemukan bahwa hadist Rasulullah telah menetapkan hukum baru yang tidak
ditetapkan oleh al-Qur`an. Karena dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang
memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk taat secara mutlak kepada apa yang
diperintahkan dan dilarang Rasulullah, serta mengancam orang yang menyelisihinya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang yang telah ada, tentu perlu untuk kita ketahui
apa saja yang akan dibahas dalam makalah ini. Perumusan masalah disusun dalam bentuk
pertanyaan yang dapat memudahkan kita untuk mengetahui isi makalah ini. Adapun
perumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Apa pengertian dan kedudukan fungsi hadist ?
2. Apa fungsi hadist dalam Islam ?
3. Apa pendapat para ulama tentang fungsi hadist dalam Islam ?
C. Tujuan
Dengan dibuatnya makalah ini, penulis berharap ilmu yang diperolah dapat
dikembangkan. Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, berikut tujuan dari
penulisan makalah ini.
1. Untuk mengetahui pengertian dan kedudukan fungsi hadist
2. Untukn mengetahui fungsi hadist dalam Islam
3. Untuk mengetahui pendapat ulama tentang fungsi hadist
2
BAB II
PEMBAHASAN
a. Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi. Dalam hal
ini kadang-kadang Nabi mengetahui bahwa siapa pelaku berketerusan melakukan
perbuatan yag pernah dibenci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini tidaklah
menunjukkan bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukannya. Dalam bentuk lain, Nabi
tidak mengetahui berketerusannya si pelaku itu melakukan perbuatan yang di benci dan
dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini menunjukkan pencabutan larangan
sebelumnya.
3
b. Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula
haramnya. Diamnya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah meniadakan
keberatan untuk diperbuat. Karena seandainya perbuatan itu dilarang, tetapi Nabi
mendiamkannya padahal ia mampu untuk mencegahnya, berarti Nabi berbuat kesalahan ;
sedangkan Nabi terhindar bersifat terhindar dari kesalahan.
Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil
kedua setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk
semua umat Islam. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat mentaati Rasul.
Ketaatan kepada rasull sering dirangkaikan dengan keharusan mentaati Allah ; seperti
yang tersebut dalam surat An-Nisa : 59 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)”
Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat tersebut adalah mengikuti
apa-apa yang dilakukan atau dilakukan oleh Rasul sebagaimana tercakup dalam
Sunnahnya. Dari ayat diatas jelaslah bahwa Hadits itu adalah juga wahyu. Bla wahyu
mempunyai kekuatan sebagai dalil hukum, maka hadits pun mempunyai kekuatan hukum
untuk dipatuhi. Kekuatan hadits sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua
segi: pertama, dari segi kebenaran materinya dan keduadari segi kekuatan penunjukannya
terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya kekuatan hadits mengikuti kebenaran
pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir,
masyhur, danahad sebagaimana dijelaskan diatas.
4
Meskipun jumlah hadits mutawatir ini tidak banyak namun mempunyai kekuatan
sebagai dalil sebagaimana kekuatan Al-Qur’an. Khabar mutawatir mempunyai kekuatan
tertinggi di dalam periwayatan dan menghasilkan kebenaran tentang apa yang diberitakan
secara mutawatir sebagaima kebenaran yang muncul dari hasil pengamatan. Para ulama
sepakat mengatakan bahwa khabar mutawatir menghasilkan ilmu yakin meskipun mereka
berbeda pendapat dalam menetapkan cara sampai kepada ilmu yakin itu secara tanpa
memerlukan pembuktian atau memerlukan pembuktian kebenarannya. Untuk sampainya
khabar mutawatir itu kepada ilmu yakin harus terpenuhi syarat-syarat tertentu. Di
antaranya syarat-syarat itu disepakati oleh ulama dan syarat lainnya diperselisihkan.
Syarat-syarat yang disepakati ada yang menyangkut pembawa berita.
Penjelasan Rasul itulah yang dikategorikan kepada alhadîts. Umat manusia tidak akan
bisa memahami al-Qur`ân tanpa melalui al-hadîts tersebut. AlQur`ân bersifat kullydan ‘am,
maka yang juz’iy dan rinci adalah alhadîts. Imam Ahmad menandaskan bahwa seseorang
tidak mungkin bisa 1memahami al-Qur`ân secara keseluruhan tanpa melalui al-hadîts. Imam
Al-Syatibi jugaberpendapat bahwa kita tidak akan bisa mengistinbath atau mengambil kesim
pulan dari hukum al-Qur`ân tanpa melalui al-hadîts.
Imam Ahmad menandaskan bahwa seseorang tidak mungkin bisa memahami al-Qur`ân
secara keseluruhan tanpa melalui al-hadîts. Imam Al-Syatibi berpendapat bahwa kita tidak
1
Maktabah al-Husna, Beirut: 1998,hal 95-96.
2
Hadits Riwayat Khamsah dari “Aisyah, AtTaj, III: 140.
3
Hadits riwayat Khamsah kecuali Bukhari dari Buraidah, At-Taj,III:141.
4
Hadits Riwayat Khamsah dari “Aisyah, AtTaj, III: 140.
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadist Pengantar Studi Hadis Praktis (Malang:UIN Malang Press, 2008) hal. 17
5
akan bisa mengistinbath atau mengambil kesimpulan dari hukum al-Qur`ân tanpa melalui al-
hadîts. Dengan demikian jelaslah bahwa fungsi al-hadîts terhadap al-Qur`ân itu cukup
penting, yaitu sebagai bayân atau penjelas.Contoh-contoh di bawah ini memberikan
gambaran tentang bagaimana al-hadîts menjelaskan isi al-Qur`ân:
6
dimakannya sendiri sekalipun sedikit, maka bagaimanakah hukumnya?. Sunnah
Rasulullah SAW, menjelaskan bahwa jika buruan itu dimakan oleh anjing pemburu,
maka kaum muslimin dilarang memakannya, karena dikuatirkan hewan yang
ditangkapnya itu untuk dirinya sendiri.4
4. Al-Qur`ân melarang orang yang sedang ihram mem-buru buruan dengan muthlaq,
artinya tidak me-makai syarat, apabila larangan itu diabaikannya, maka diwajibkan jaza
(balasan) atas orang yang melanggarnya (membunuhnya). Tetapi larangan memburu itu
dikecualikan bagi orang yang halal, artinya bagi yang tidak mengerjakan ihram.
Pengecualian itu dengan muthlaq juga. Kemudian timbul pertanyaan: Bagaimana
hukumnya orang yang sedang ihram itu memburu dengan tidak disengaja?, Oleh Rasul
SAW dijelaskan bahwa memburu buruan bagi orang yang sedang ihram itu, sama saja,
hukumnya antara yang sengaja dengan yang tidak disengaja, dalam kewajibannya
menunaikan denda atau dam.
Dengan demikian jelaslah fungsi al-hadîts terhadap al-Qur`ân itu cukup penting, yaitu
sebagai bayân atau penjelas. Fungsi al-Hadits terhadap alQur`ân sebagai bayân itu
difahami oleh ulama dengan berbagai pemahaman, antara lain sebagai berikut:
a. Bayan Taqrir
Hadits di atas dikatakan bayân taqrîr terhadap ayat al-Qur`ân, karena maknanya sama
dengan alQur`ân, hanya lebih tegas ditinjau dari bahasanya maupun hukumnya.
b. Bayan Tafsir
7
Bayân tafsir berarti menjelaskan yang maknanya samar, merinci ayat yang maknanya
global atau mengkhususkan ayat yang maknanya umum. Sunnah yang berfungsi
bayân tafsir tersebut terdiri dari :
1. Tafshîl- al-mujmal,
Hadits yang berfungsi tafshîl- almujmal, ialah yang merinci ayat al-Qur`ân yang
maknanya masih global, misalnya :
a) Tidak kurang enam puluh tujuh ayat al-Qur`ân yang langsung memerintah
shalat, tapi tidak dirinci bagaimana operasionalnya, berapa raka’at yang harus
dilakukan, serta apa yang harus dibaca pada setiap gerakan. Rasulullah SAW
dengan sunnahnya memperagakan shalat secara rinci, hingga beliau bersabda:
“Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku sedang shalat. HR. Jama’ah”
b) Ayat-ayat tentang zakat, shaum, haji pun demikian memerlukan rincian
pelaksanaannya. Ayat haji umpamanya menandaskan
هّٰلِل
ِ ََواَتِ ُّموا ْال َح َّج َو ْال ُع ْم َرة
2. Tabyîn al-Musytarak
Tabyîn al-Musytarak ialah menjelas kan ayat al-Qur`ân yang mengandung kata
bermakna ganda. Contoh: Firman Allah SWT:
““Wanita yang dicerai hendaklah menunggu masa iddah selama tiga quru”.
(Qs.2:228)”
Perkataan Quru adalah bentuk jama dari Qar’in. Dalam bahasa Arab
antara satu suku bangsa dengan yang lain ada perbedaan pengertian Qar’in. Ada
yang mengartikan suci ada pula yang mengarti-kan masa haidl. Dalam ketentuan
hukum, hamba sahaya itu berlaku setengah dari orang merdeka. Jika hadits ini
menetapkan dua kali haidl, maka me nurut sebagian pendapat, dalam perkataan
8
haidlatâni itu me rupa kan penjelas dari Qar`in yang musytarak, se hingga
kesimpulannya bahwa wanita yang dicerai itu iddahnya tiga kali haid.
c. Takhshish Al-’am
Takhshîsh al-’âm ialah sunnah yang mengkhususkan atau mengecualikan ayat yang
bermakna umum. Contoh:
Dalam ayat ini tidak ada kecuali, semua bangkai dan darah diharamkan untuk
dimakan. Sunnah Rasulullah SAW mentakhshish atau mengecualikan darah dan
bangkai tertentu. Sabda Rasululah saw:
“Telah dihalalkan kepada kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Yang
dimaksud dua macam bangkai adalah bangkai ikan dan bangkai belalang, sedangkan
yang dimaksud dua macam darah adalah ati dan limpa”. (Hadits Riwayat Ahmad,
Ibnu Majah dan al-Bayhaqi.)52
d. Bayan Tabdila
Bayân Tabdîl ialah mengganti hukum yang telah lewat keberlakuannya. Dalam istilah
lain dikenal dengan nama nâsih wa al- mansûh. Banyak ulama yang berbeda pendapat
tentang keberadaan hadits atau sunnah men-tabdil al-Qur`ân. Namun pada dasarnya
bukan berbeda dalam menyimpulkan hukum, melainkan hanya terletak pada
penetapan istilahnya saja.
Contoh sunnah yang dianggap Bayân Tabdîl oleh pen dapat yang mengakuinya ialah
dalam bab zakat pertanian. Dalam ayat alQur`ân tidak diterangkan batasan nisab zakat
melainkan segala penghasilan wajib dikeluarkan zakatnya. Sedangkan dalam sunnah
Rasul ditandaskan:
25
Musnad Ahmad, II, 97. Ibn Majah, II,1073. al-Bayhaqi, I, 254.
9
“Tidak ada kewajiban zakat dari hasil pertanian yang kurang dari lima wasak” .Hr. al-
Bukhari dan Muslim63
Sunnah yang berfungsi sebagai bayân tabsith ter-hadap al-Qur`ân adalah sunnah yang
menguraikan ayat al-Qur`ân yang ringkas yang memerlukan pen-jelasan secara
terurai. Contohnya kisah-kisah dalam al-Qur`ân yang ringkas diuraikan oleh sunnah
rasul secara gamblang dan terurai seperti isra mi’raj. Imam Syafi’i berpendirian
bahwa fungsi as-Sunnah terhadap alQur`ân itu adalah sebagai :
1) bayân ta’kid atau penguat seperti bayân taqrir yang telah dijelaskan di atas
2) bayân tafsir
3) bayân tasyri’,
4) bayân takhshish,
5) bayân taqyied, yaitu menentukan sesuatu yang dalam ayat bisa bermakna mutlak,
seperti seruan Allah tentang kewajiban shalat secara mutlak berlaku pada siapa
pun. Sedangkan sunnah mentaqyid wanita yang sedang haidl dari yang mutlak
10
tersebut. Wanita yang haidl tidak diwajibkan shalat dan tidak diwajibkan
mengganti.
11
d. Bayan Tasyri’ : yakni mewujudkan suatu hukum yang tidak tersebut dalam al-
Qur’an seperti menghukum dengan bersandar epada seorang saksi dan sumpah
apabila si mudda’I tidak mempunyai dua orang saksi, dan seperti ridha’
mengharamkan pernikahan antara keduanya
3. Pendapat Syafi’i
As-Syafi’i diantara ulama Ahl al-Atsar menetapkan, bahwa penjelasan al Hadist
terhadap al-Qur’an dibagi menjadi lima, yaitu :
a. Bayan Tafshil : menjelaskan ayat-ayat yang majmul yang sangat ringkas petunjuknya
b. Bayan Takhsish : menentukan sesuatu yang umum dari sebuah ayat
c. Bayan Ta’yin : menentukan nama yang dimaksud dari dua atau tiga perkara yang
mungkin dimaksudkan
d. Bayan Tasyri’ : menetapkan suatu hukum yang tidak didapati dalam al-Qur’an
e. Bayan Nasakh : menentukan mana yang dinasikhkan dan mana yang
dimansukhkandari ayat-ayat al-Qur’an
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa.
12
1. Al-Qur’an dan Hadist adalah sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran
dalam Islam, antara satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain,
hadist adalah sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an. Hadist sebagai penjelas
(bayan) terhadap al-Qur’an mempunyai empat macam fungsi, yaitu :
a. Bayan at-Taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’qid dan bayan al-isbat yaitu
menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan oleh al-Qur’an
b. Bayan al-Tafsir adalah fungsi hadist yang memberikan rincian dan tafsiran
terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global, memberikan persyaratan
atau batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan
mengkhususkan ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum.
c. Bayan at-Tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak
didapati dalam al-Qur’an atau dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokok nya
saja
d. Bayan at-nasakh yaitu penghapusan hukum syar’i dengan suatu dalil yang dating
kemudian
2. Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau
waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan,
diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain. Hadits menurut
istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan,
perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan,
perbuatan, dan perkataan. Hadits Qauliyah ( ucapan) yaitu hadits hadits Rasulullah
SAW, yang diucapkannya dalam berbagai tujuan dan persuaian (situasi).
DAFTAR PUSTAKA
Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Idris as-Syafi’i, Kitab Ikhtilaf Al-Hadits, Dar al-Fikr (Beirut:
1983)
Khairuddin, Ahmad, Beberapa Interpretasi Hadits al-Aimmah Min Quraisy: Interpretasi Hadis
dengan Pendekatan Fiqh Siyasah (Banjarmasin: Antasari Press, 2005)
Muhaimin,dkk. Studi Islam Dalam Rangka Dimensi dan Pendekatan (Jakarta:Kencana, 2012)
14