Anda di halaman 1dari 13

Hubungan Antara Rasa Syukur Dengan Resiliensi pada Mahasiswa

Tugas Mata Kuliah Psikologi Ibadah


Dosen Pengampu : Drs. Mukhlis, M.Psi

Disusun Oleh:

Vingky Dinda Anggriani


(12160123507)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UIN SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2023
Latar Belakang

Mahasiswa memiliki pengalaman yang berbeda-beda dalam menghadapi


kehidupan akademik di perguruan tinggi dengan berbagai masalah dan kesulitan yang
dihadapi. Fenomena yang terlihat di perguruan tinggi adalah sejumlah mahasiswa dapat
melalui serta mencapai berbagai tahapan dengan baik namun ada pula yang gagal
menjalaninya. Morales dan Trotman (dalam Utami, 2020) mengatakan bahwa setiap
individu mahasiswa menghadapi masalah dan kesulitan yang berbeda dalam kehidupan
akademik.
Rasa syukur adalah perasaan positif yang muncul ketika seseorang menghargai
dan bersyukur atas apa yang dimilikinya, baik itu berupa prestasi, kesempatan,
keberuntungan, atau hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari. Resiliensi akademik
adalah kemampuan seseorang untuk mengatasi dan bertahan dalam menghadapi
tantangan dan rintangan dalam lingkungan akademik, termasuk tuntutan belajar, tekanan
sosial, dan masalah pribadi.
Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara rasa
syukur dan resiliensi akademik pada mahasiswa. Mahasiswa yang memiliki tingkat rasa
syukur yang tinggi cenderung lebih optimis dan bersemangat dalam menghadapi
tantangan akademik, karena mereka menghargai kesempatan belajar yang diberikan
kepada mereka dan melihat kesulitan sebagai peluang untuk belajar dan tumbuh.
Selain itu, rasa syukur juga dapat membantu mahasiswa mengatasi stres dan
kecemasan yang mungkin muncul selama masa studi mereka. Dengan merasa bersyukur
atas keberhasilan dan dukungan yang diterima, mahasiswa dapat memperkuat ketahanan
mereka dalam menghadapi stres dan rintangan akademik yang muncul.
Di sisi lain, kurangnya rasa syukur dapat membuat mahasiswa merasa putus asa
dan lelah dalam menghadapi tantangan akademik, sehingga mengurangi resiliensi
akademik mereka. Mahasiswa yang kurang bersyukur cenderung lebih rentan terhadap
stres dan depresi, karena mereka cenderung fokus pada kekurangan dan kegagalan dalam
hidup mereka.
Dalam hal ini, membantu mahasiswa untuk mengembangkan rasa syukur dapat
menjadi strategi penting untuk meningkatkan resiliensi akademik mereka. Oleh karena
itu, penting bagi universitas dan institusi pendidikan untuk memberikan dukungan dan
bimbingan kepada mahasiswa dalam mengembangkan rasa syukur dan mengelola stres
dan tekanan dalam lingkungan akademik.

A. Resiliensi
1. Pengertian Resiliensi
Connor dan Davidson (dalam Utami, 2020) menambahkan bahwa individu yang
resilien tidak hanya mampu menghadapi kesulitan yang dihadapi tetapi juga dapat
beradaptasi secara positif dengan kejadian-kejadian yang negatif.
Menurut Reivich & Shatte (dalam Putra , Siregar, dan Fauziah, 2017) resiliensi
merupakan kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi ketika keadaan menjadi tidak
pasti. Resiliensi merupakan hal yang penting saat harus mengambil keputusan yang cepat
meskipun berada dalam keadaan yang kacau. Dengan resiliensi akan memberikan
perubahan dalam kehidupan, kesulitan akan menjadi tantangan, kegagalan menjadi
keberhasilan, keputusasaan menjadi kekuatan. Resiliensi dapat mengubah korban menjadi
survivor dan membuatnya menjadi lebih baik.
Menurut Grotberg (dalam Putra , Siregar, dan Fauziah, 2017) resiliensi bukan
merupakan suatu keajaiban, tidak hanya ditemukan pada sebagian manusia dan bukan
merupakan sesuatu yang berasal dari sumber yang tidak jelas.
Resiliensi bersifat universal namun setiap manusia memiliki kapasitas resiliensi
yang berbeda-beda. Situasi lingkungan juga mempengaruhi untuk meningkatkan atau
justru memperlemah resiliensi untuk menghadapi tekanan (Gallo, Bogart, Vranceanu &
Matthews) dalam Putra, Siregar, dan Fauziah, 2017
Menurut Masten ( dalam Utami, 2020 ) Secara psikologis resiliensi adalah
kecenderungan untuk dapat menghadapi stress dan kondisi sulit.
Wolin ( dalam Utami, 2020) mengatakan bahwa kekuatan dapat muncul setelah
menghadapi kesulitan. Kesulitan memang dapat melemahkan atau menguatkan individu
tergantung bagaimana dia memanfaatkan kondisi sulit tersebut. Jika memang kesulitan
itu menyakitkan akan mendorong individu tidak mampu melanjutkan kehidupannya yang
sehat. Namun jika mereka mampu menghadapinya dengan baik maka kesulitan itu akan
dapat menjadi kesempatan atau tantangan yang membuatnya menjadi lebih kuat dan
mendapatkan banyak kemampuan lainnya.
Menurut Masten dan Reed ( dalam Utami, 2020) resiliensi telah banyak diteliti
sebagai kemampuan individu untuk beradaptasi, menghadapi stress, dan menghadapi
kondisi sulit.
Martin & Marsh ( dalam Utami, 2020) mengatakan Resiliensi secara akademik
dalam konteks perguruan tinggi diartikan sebagai kemampuan menghadapi tantangan,
kesulitan, dan tekanan dalam seting akademik secara efektif . Ada sejumlah faktor resiko
yang harus dihadapi mahasiswa seperti nilai yang rendah, mengejar batas waktu yang
telah ditentukan, tugas yang sulit, absensi yang ketat, serta kewajiban mengikuti sejumlah
kelas perkuliahan. Singkatnya resiliensi akademik mengacu pada fenomena yang
digambarkan dengan kemampuan mencapai hasil yang baik meskipun berhadapan
dengan kesulitan dalam berdaptasi dan mengikuti perkembangan akademik.
Menurut Morales ( dalam Utami,2020) resiliensi akademik dipengaruhi oleh
keyakinan yang dimiliki mahasiswa tentang dirinya, orang lain dan dunia sekitarnya
sehingga resiliensi itu berangkat dari kesehatan mental yang dialami mahasiswa.
Rickinson ( dalam Utami, 2020) juga menambahkan bahwa ketrampilan coping yang
dimiliki mahasiswa dapat meningkatkan resiliensinya, motivasi dan persistensinya
sampai dia dapat menyelesaikan masa studinya.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa resiliensi
adalah Kemampuan seorang individu yang untuk kembali pulih dari suatu keadaan yang
menekan seperti trauma, atau sebuah peristiwa yang menyebabkan individu dalam
kondisi stress, dan mampu kembali beradaptasi dan bertahan dari situasi tersebut.
Sedangkan resiliensi akademik adalah kemampuan seseorang untuk mengatasi dan
bertahan dalam menghadapi tantangan dan rintangan dalam lingkungan akademik,
termasuk tuntutan belajar, tekanan sosial, dan masalah pribadi.
2. Aspek Resiliensi
Menurut Connor dan Davidson (2003) resiliensi terdiri atas lima aspek, yaitu
personal competence, trust in one's instincts, positive acceptance of change and secure
relationships, control and factor dan spiritual influences yang akan dijelaskan sebagai
berikut:
1. Kemampuan Personal
Aspek ini menjelaskan tentang kompetensi personal individu dimana individu
merasa sebagai orang yang mampu untuk mencapai tujuan walaupun dalam situasi
kemunduran atau kegagalan. Individu ketika mengalami tekanan atau stres cenderung
merasa ragu akan berhasil dalam mencapai tujuan sehingga dibutuhkan standar yang
tinggi dan keuletan dalam diri individu tersebut. Indikator dalam aspek ini adalah mampu
menjadi individu yang kompeten; mampu menjadi individu yang ulet; dan memiliki
standar yang tinggi.
2.Toleransi Terhadap Situasi yang tidak Menyenangkan
Aspek ini berhubungan dengan ketenangan dalam bertindak. Individu yang tenang
cenderung berhati-hati dalam mengambil sikap atas masalah yang dihadapi. Individu juga
mampu melakukan coping terhadap stres dengan cepat serta tetap fokus pada tujuan
walaupun sedang mengalami tekanan atau masalah. Indikator dalam aspek ini adalah
percaya pada naluri; toleran pada hal buruk, dan mampu mengatasi akibat dari stres.
3. Penerimaan Positif Terhadap Perubahan dan Hubungan Social yang Terjaga
Aspek ini berhubungan dengan kemampuan menerima kesulitan secara positif
serta jika berada dalam kesulitan mampu untuk berhubungan aman dengan orang lain.
Individu menunjukkan kemampuan untuk menerima masalah secara positif sehingga
tidak mempengaruhi kehidupan sosial individu dengan orang lain. Indikator dalam aspek
ini adalah dapat menerima perubahan secara positif dan dapat menjaga hubungan baik
dengan orang lain.
4. Kemampuan Untuk Mengendalikan Situasi
Aspek ini merupakan kemampuan untuk mengontrol diri dan mencapai tujuan.
Individu memiliki kontrol terhadap dirinya sendiri dalam mencapai tujuan serta memiliki
kemampuan untuk meminta dan mendapatkan dukungan sosial dari orang lain ketika
mengalami suatu masalah. Indikator dalam aspek ini adalah mampu mengontrol diri
sendiri; mampu mengendalikan diri sendiri.
5. Spiritual
Aspek ini berhubungan dengan kemampuan untuk selalu berjuang karena
keyakinannya pada Tuhan dan takdir. Individu yang percaya kepada Tuhan akan
menganggap bahwa masalah yang ada merupakan takdir dari Tuhan dan harus dilalui
dengan perasaan yang positif sehingga individu harus tetap berjuang dalam mencapai
tujuan. Indikator pada aspek ini adalah individu percaya kepada Tuhan dan individu
percaya pada takdir.
2. Faktor-faktor Resiliensi
Reivich dan Shatte (dalam Ifdil dan Taufik, 2012 ), memaparkan tujuh kemampuan yang
membentuk resiliensi, yaitu sebagai berikut:

1) Emotion Regulation
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang kurang memiliki kemampuan untuk
mengatur emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan dengan
orang lain. Reivich dan Shatte juga mengungkapkan dua jenis keterampilan yang dapat
memudahkan individu untuk melakukan regulasi emosi, yaitu yaitu tenang (calming) dan
fokus (focusing). Dua jenis keterampilan ini akan membantu individu untuk mengontrol
emosi yang tidak terkendali, menjaga fokus pikiran individu ketika banyak hal
mengganggu, serta mengurangi stres yang dialami oleh individu.
2) Impulse Control
Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan,
dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individ memiliki
kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang
pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan
perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berprilaku agresif. Tentunya
perilaku yang ditampakkan ini akan membuat orang di sekitarnya merasa kurang nyaman
sehingga berakibat pada buruknya hubungan sosial individu dengan orang lain. Individu
dapat mengendalikan impulsivitas dengan mencegah terjadinya kesalahan pemikiran,
sehingga dapat memberikan respon yang tepat pada permasalahan yang ada. Pencegahan
dapat dilakukan dengan menguji keyakinan individu dan mengevaluasi kebermanfaatan
terhadap pemecahan masalah. Individu dapat melakukan pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat rasional yang ditujukan kepada dirinya sendiri, seperti apakah saya sudah melihat
permasalahan secara keseluruhan? apakah manfaat dari semua ini?', dan lain-lain.
3) Optimism
Optimisme adalah kemampuan melihat bahwa masa depan yang cemerlang (Reivich &
Shatte, 2002). Optimisme yang dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa
individu tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi
kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan. Hal ini juga merefleksikan self-efficacy
yang dimiliki oleh seseorang, yaitu kepercayaan individu bahwa ia mampu
menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan hidupnya. Optimisme akan
menjadi hal yang sangat bermanfaat untuk individu bila diiringi dengan self-efficacy,
karena dengan optimisme yang ada seorang individu terus didorong untuk menemukan
solusi dan permasalahannya dan terus bekerja keras demi kondisi yang lebih baik.
Tentunya optimisme yang dimaksud adalah optimisme yang realistis (optimism), yaitu
sebuah kepercayaan akan terwujudnya masa depan yang lebih baik dengan diiringi segala
usaha untuk mewujudkan hal tersebut. Berbeda dengan unrealistic optimism dimana
kepercayaan akan masa depan yang cerah tidak dibarengi dengan usaha yang signifikan
untuk mewujudkannya. Perpaduan antara optimisme yang realistis dan self-efficacy
adalah kunci resiliensi dan kesuksesan
4) Causal Analysis
Causal analysis merujuk pada kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara
akurat penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi. Individu yang tidak mampu
mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan
terus menerus berbuat kesalahan yang sama.
Individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibelitas kognitif. Mereka
mampu mengidentifikasi semua penyebab kemalangan yang menimpa mereka, tanpa
terjebak pada salah satu gaya berpikir explanatory. Mereka tidak mengabaikan faktor
permanen maupun pervasif. Individu yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain
atas kesalahan yang mereka perbuat demi menjaga self-esteem membebaskan mereka
dari rasa bersalah. Mereka tidak terlalu terfokus pada faktor faktor yang berada di luar
kendali mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali penuh pada
pemecah masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang ada,
mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan.
5) Empathy
Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda tanda
kondisi emosional dan psikologis orang lain (Reivich & Shatte, 2005). Beberapa individu
memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam menginterpretasikan bahasa bahasa
nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara,
bahasa tubuh dan mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh
karena itu, seseorang yang punya kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan
sosial yang positif. Ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam
hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002). Individu ya membangun kemampuan untuk
peka terhadap tanda-tanda nonverbal tersebut tidak dapat nempatkan dirinya pada posisi
orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari
orang lain. Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang lain
dapat sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun hubungan personal,
hal ini karena salah satu kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai. Individu
dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu
yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain.
6) Self-efficacy
Self-efficacy adalah kesuksesan dalam pemecahan masalah. Self-efficacy
merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahk alami dan mencapai
kesuksesan.
Self-efficacy merupakan salah satu faktor kognitif yang menentukan sikap dan perilaku
seseorang dalam sebuah permasalahan. Dalam teori belajar sosial, Bandura menjelaskan
bahwa faktor kognitif yang pada individu sangat menentukan perilaku seseorang.
Bandura menolak pandangan behavioris dan psikoanalis yang sangat deterministik.
Dengan yang tinggi, maka individu akan melakukan berbagai usaha dalam
menyelesaikan sebuah permasalahan. Dengan keyakinan kemampuan dalam
menyelesaikan permasalahan, individu akan dapat mencari penyelesaian masalah yang
ada, dan tidak mudah menyerah terhadap berbagai kesulitan.
7) Reaching out
Kemampuan individu keluar dan meraih aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan
yang menimpa. Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching out, hal ini
dikarenakan mereka telah diajarkan sejak kecil untuk sedapat mungkin menghindari
kegagalan dan situasi yang memalukan. Mereka adalah individu-individu yang lebih
memilih memiliki kehidupan standar dibandingkan harus meraih kesuksesan namun
harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup dan hinaan masyarakat. Hal ini
menunjukkan kecenderungan individu untuk berlebih-lebihan (overestimate) dalam
memandang kemungkinan hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa mendatang. Individu-
individu ini memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalkan kemampuan mereka hingga
batas akhir.

Menurut Grotberg (dalam Amilasih, 2016) ada beberapa sumber dari resiliensi yang
ada pada individu yaitu sebagai berikut:

1. Have( sumber dukungan eksternal ) Dukungan bersumber dari lingkungan di


sekitar individu. Dukungan ini berupa hubungan yang baik dengan keluarga,
lingkungan sekolah yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar
keluarga. Melalui I Have, seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh
kepercayaan. Hubungan seperti ini diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan
teman-teman yang mencintai dan menerima diri anak tersebut. Individu yang resilien
juga mempunyai struktur dan aturan di dalam rumah yang ditetapkan oleh orang tua
mereka. Dukungan yang diberikan oleh orangtua ataupun anggota keluarga lainnya
akan sangat membantu dalam membentuk sikap mandiri dalam diri seseorang.

2. Am( kemampuan individu ) Merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri


seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada
dalam dirinya. Individu yang resilien merasa bahwa mereka mempunyai karakteristik
yang menarik dan penyayang sessama. Hal tersebut ditandai dengan usaha mereka
untuk selalu dicintai dan mencintai orang lain. Individu yang resilien juga merasakan
kebanggaan akan diri mereka sendiri. Individu akan bangga terhadap apa yang
telah dicapai. Ketika mendapatkan masalah atau kesulitan, rasa percaya dan harga diri
yang tinggi akan membantu dalam mengatasi kesulitan tersebut. Individu selalu merasa
mandiri, bertanggungjawab, mampu melakukan kegiatan dengan kemampuan mereka sendiri

3. Can( kemampuan sosial dan interpersonal ) I Can merupakan kemampuan individu


untuk melakukan hubungan sosial dan interpersonal. Individu dapat belajar kemampuan
ini melalui interaksinya dengan orang yang ada disekitar. Individu juga mempunyai
kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik. Individu akan
mampu mengekspresikan pikiran dan perasaandengan baik. Individu yang resilien juga dapat
menemukan seseorang yang meminta bantuan, untuk menceritakan perasaan dan
masalah, serta mencari cara untuk menyelesaikan masalah pribadi dan interpersonal.
B. Rasa Syukur

1. Pengertian Syukur

Kata syukur diambil dari bahasa Arab yaitu kata syakara, syukuran, Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, syukur berarti 1) rasa terima kasih kepada Allah; 2) untunglah (pernyataan
lega, senang, dan sebagainya). Orang-orang yang bersyukur adalah mereka yang dapat
mengambil manfaat dan pelajaran dari ayat-ayat Allah. Bersyukur mencakup tiga hal yaitu
bersyukur dengan hati, bersyukur dengan lidah, dan bersyukur dengan perbuatan. Mayoritas
ayat-ayat tentang bersyukur dalam alQur‟an disandingkan dengan sabar, seperti yang termuat
pada Surah Luqman ayat 31: “ ... Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur.“.

Emmons, McCullough and Tsang (dalam Haryanto & Kertamuda, 2016) menjelaskan
konsep syukur sebagai bentuk perasaan takjub, berterimakasih dan menghargai atas manfaat
yang diperolehnya. Perasaan tersebut bisa diarahkan pada orang lain maupun pada diri sendiri.

Menurut Emmons & McCullough ( dalam Rachmadi, Safitri, & Aini, 2019) bahwa
syukur merupakan salah satu bentuk emosi moral yang terdiri dari keinginan untuk membalas
kebaikan orang yang telah berbuat baik sebelumnya.

Robert W. Fitzgerald, seorang psikologis sosial, menyatakan bahwa syukur adalah suatu
sikap mental atau emosional yang melibatkan rasa terima kasih atau penghargaan terhadap
kebaikan atau bantuan yang diberikan oleh orang lain atau keadaan yang ada di sekitar kita.
Fitzgerald juga menjelaskan bahwa rasa syukur dapat dilihat sebagai suatu aspek dari positivitas,
di mana rasa syukur dapat membantu seseorang untuk lebih fokus pada sisi positif dari
pengalaman hidup, serta membantu meningkatkan kesejahteraan mental dan emosional.

Makna syukur dari bahasa Arab tampak sejalan dengan bersyukur (gratitude) menurut
Peterson dan Seligman (dalam Listiyandini, Dkk. 2015), yakni perasaan berterima kasih dan
bahagia sebagai respon atas suatu pemberian, entah pemberian tersebut merupakan keuntungan
yang nyata dari orang tertentu ataupun momen kedamaian yang diperoleh dari keindahan
alamiah. Bersyukur menurut bahasa Arab dan Peterson dan Seligman, sama-sama menyiratkan
adanya perasaan positif baik itu puas, bahagia, damai, maupun berterima kasih karena suatu hal
yang sedikit tetapi dinilainya positif atau menguntungkan. Misalnya orang yang hidup miskin
tetapi merasa bahagia karena ia bersyukur masih dapat hidup sampai sekarang, bersyukur karena
matahari memberikan kehangatan, bersyukur karena seseorang telah memberikan bantuan yang
sangat berarti, atau bersyukur memiliki orang tua dan teman-teman yang baik. Bahkan
penderitaan juga dapat mengingatkan seseorang untuk beryukur. Adanya apresiasi yang tinggi
terhadap suatu hal yang kecil maupun hal yang menyedihkan dapat menumbuhkan perasaan
bersyukur dalam diri individu. Bersyukur membuat seseorang akan memiliki pandangan yang
lebih positif dan perspektif secara lebih luas mengenai kehidupan, yaitu pandangan bahwa hidup
adalah suatu anugerah.

Berdasarkan American Heritage Dictionary of the English Language (dalam Listiyandini,


Dkk, 2015), bersyukur (gratitude) berasal dari bahasa Latin, yaitu gratus atau gratitude yang
artinya berterima kasih (thankfulness) atau pujian (pleasing). Dalam Bahasa Indonesia, rasa
terima kasih bisa dipadankan dengan rasa syukur. Kata syukur itu sendiri berasal dari Bahasa
Arab yang bermakna ‘pujian atas kebaikan’ dan ‘penuhnya sesuatu’. Dalam terminologi Bahasa
Arab, kata syukur memiliki dua makna dasar terkait rasa berterima kasih. Pertama adalah pujian
karena kebaikan yang diperoleh, yakni merasa ridha dan puas sekalipun hanya sedikit. Ibaratnya
adalah kuda yang gemuk namun hanya membutuhkan rumput yang sedikit. Kedua adalah adanya
perasaan telah dipenuhi kebutuhan kita dan disertai ketabahan. Dengan demikian, makna-makna
dasar itu menjelaskan arti bersyukur bahwa siapa yang merasa puas dengan sedikit maka ia akan
memperoleh yang lebih banyak (Amin, dalam Listiyandini, Dkk, 2015).

McCullough, Kilpatrick, Emmons, dan Larson (dalam Listiyandini, Dkk, 2015)


menjelaskan bahwa bersyukur merupakan afek moral karena berasal dari dan mendorong tingkah
laku yang dimotivasi oleh kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain. Afek moral disini
adalah sesuatu yang subjektif dan bukan sesuatu yang mutlak karena penerima dapat
mempersepsi sebuah pemberian sebagai sesuatu yang bisa meningkatkan kesejahteraannya
walaupun hal tersebut belum tentu menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi orang lain.

2. Aspek Syukur

Ada tiga aspek rasa syukur Menurut Fitzgerald ( dalam Triwahyuningsih, 2021) adalah
sebagai berikut :

1) penghargaan yang tulus untuk individu atau sesuatu, yang terdiri rasa cinta dan welas
asih. Rasa syukur adalah merupakan emosi moral yaitu sesuatu yang mendorong individu untuk
peduli pada individu lain dan mendorong relasi sosial. Rasa syukur menunjukkan adanya welas
asih yang dirasakan individu dengan membantu individu lain yang mengalami masalah.
Penghargaan ini biasa dikatakan sebagai barometer moral (moral barometer).
2). Niat baik (goodwill), adalah suatu keinginan menolong individu lain yang kesulitan
dan kemauan untuk bersedekah. Niat baik biasa dikatakan sebagai motif moral (moral motive)
yaitu rasa syukur yang membuat individu secara suka rela untuk berlaku timbal balik terhadap
individu lainnya yang telah menolong secara langsung.

3). Preferensi berbuat baik atas alasan rasa penghargaan dan kemauan baik, terdiri dari
niat membantu individu lain, bertindak balik berbuat kebaikan pada individu lain dan
menjalankan ibadah. Preferensi untuk berbuat baik biasa dikatakan sebagai penguat moral (moral
reinforcer).

McCullough, Emmons dan Tsang (dalam Rachmadi, Safitri, & Aini, 2019 ), yang memaparkan
bahwa terdapat empat aspek dalam syukur: intensitas (intensity),frekuensi (frequency),rentang
(span), dan kerapatan (density)

1. aspek intensitas (intensity) merupakan individu yang sangat bersyukur ketika terjadi hal-
hal positif.
2. aspek kedua, yaitu frekuensi (frequency) dijelaskan sebagai individu yang sering
mengekspresikan rasa syukurnya setiap hari.
3. Aspek ketiga yaitu rentang (span), diartikan sebagai rasa syukur individu di berbagai
kondisi kehidupannya seperti rasa syukur atas pekerjaan, kesehatan maupun keluarga.
4. Aspek terakhir yaitu kerapatan (density) artinya rasa syukur individu terhadap lebih
banyak orang (Prabowo, 2017).

Ada dua klasifikasi rasa syukur Menurut Peterson & Seligman (dalam Triwahyuningsih,
2021) yaitu rasa syukur transpersonal dan rasa syukur personal.

1. Rasa syukur transpersonal yaitu respon terimakasih kepada Tuhan, kepada


kekuatan yang lebih tinggi. Manusia yang bersyukur akan menyatakan dirinya
memiliki relasi dengan seluruh kehidupan, serta ikut memiliki tanggungjawab
terhadap manusia lainnya.
2. Rasa syukur personal yaitu rasa terimakasih untuk orang lain lain, yang telah
memberikan kebaikan. Rasa syukur ini adalah suatu emosi yang berempati
(Emmonse & Mccullough, 2003) karena dianggap memiliki kemampuan untuk
mendekteksi fungsi hidup individu.

3. Faktor-faktor Syukur

Peterson dan Seligman (2004) berpendapat bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi rasa
syukur, yaitu:

1. Kebajikan (virtue): Rasa syukur dapat terbentuk melalui pengembangan kebajikan


tertentu, seperti rasa rendah hati (humility), kesederhanaan (simplicity), dan kebaikan hati
(generosity).
2. Penerimaan (acceptance): Rasa syukur juga dapat terbentuk melalui penerimaan terhadap
situasi yang ada, termasuk penerimaan terhadap kebaikan dan keburukan yang ada dalam
hidup.

3. Komitmen (commitment): Rasa syukur dapat ditingkatkan melalui komitmen untuk


menghargai kebaikan dan berterima kasih kepada orang lain.

C. Kaitan Antara Rasa Syukur dengan Resiliensi

Resiliensi adalah karakter personal yang memungkinkan seseorang untuk dapat berkembang di
tengah kesulitan (Connor & Davidson, 2003). Sesuai dengan pendapat dari McCullough, Tsang
& Emmons (2004), orang yang bersyukur memiliki coping yang positif dalam menghadapi
kesulitan hidup, mencari dukungan sosial dari orang lain, menginterpretasikan pengalaman
dengan sudut pandang berbeda, serta memiliki rencana dalam memecahkan masalah. Dapat
dikatakan bahwa dengan adanya rasa syukur, seseorang mampu memiliki cara coping yang
adaptif, hubungan yang positif dengan orang lain, dan fleksibilitas kognitif. Lin (2015) juga
menambahkan bahwa rasa syukur memunculkan kondisi emosi yang positif sehingga
meningkatkan kesejahteraan emosional, yang artinya seseorang menjadi lebih bahagia dan puas
akan hidupnya. Selain itu, rasa syukur juga mampu meningkatkan kontrol yang dimiliki
seseorang akan diri dan lingkungannya. Adanya coping yang adaptif, fleksibilitas kognitif, dan
kontrol diri merupakan aspek resiliensi. Oleh karena itulah, orang yang bersyukur cenderung
mampu bangkit dari kesulitan yang dialaminya karena mampu untuk mencari jalan keluar
dengan cara yang adaptif, mengontrol lingkungannya, memanfaatkan hubungan baiknya dengan
orang lain, dan mengendalikan afek negatif menjadi lebih positif.

Menurut Fitzgerald, rasa syukur dapat membantu meningkatkan resiliensi pada mahasiswa
karena melalui rasa syukur, mahasiswa dapat memperkuat koneksi sosial, meningkatkan empati,
mengembangkan keterampilan coping, dan menumbuhkan rasa optimisme.

Menurut Reivich dan Shatte, rasa syukur dapat membantu meningkatkan resiliensi pada
mahasiswa dengan memperkuat tiga faktor kunci, yaitu koneksi sosial, keterampilan emosi, dan
keterampilan berpikir. Rasa syukur dapat membantu mahasiswa membangun koneksi sosial yang
kuat, mengembangkan kemampuan untuk mengatasi emosi negatif, dan meningkatkan
kemampuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang kesulitan hidup.

Rasa syukur dapat membantu meningkatkan resiliensi pada mahasiswa dengan memperkuat
optimisme, meningkatkan kesejahteraan mental, memperkuat hubungan sosial, dan
meningkatkan ketahanan mental.

Brown, & Benard (dalam Utami, 2020) juga mengatakan bahwa dukungan lingkungan kampus
berhubungan dengan resiliensi siswa. Keterlibatan dalam kegiatan akademik, pandangan positif
terhadap sekolah, serta self-esteem yang tinggi adalah faktor yang membentuk resiliensi
akademik mahasiswa. Wasonga, Christman dan Kilmer (dalam Utami, 2020) membandingkan
antara mahasiswa yang memiliki resiliensi akademik dan yang tidak. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa mereka yang memiliki resiliensi tinggi adalah mereka dengan persepsi
tinggi terhadap motivasi prestasi, kepuasan diri, keterlibatan, serta konsep diri tentang akademik.
Gonzales dan Padilla (dalam Utami, 2020) mengatakan bahwa rasa memiliki menjadi prediktor
yang signifikan terhadap resiliensi akademik sehingga itu mendukung teori yang mengatakan
bahwa mahasiswa yang terlibat dalam berbagai kegiatan akademik dan memiliki hubungan
positif dengan lingkungan kampus akan memiliki resiliensi akademik yang lebih besar.

jenis bersyukur yang paling menonjol dan kuat adalah aspek personal, namun yang berkontribusi
signifikan justru aspek transpersonal. Seperti definisi bersyukur transpersonal yang sudah
disebutkan sebelumnya, aspek ini melibatkan sisi spiritual, yaitu keyakinan akan adanya
kekuatan yang lebih besar (Tuhan) yang melakukan kebaikan pada manusia. Pengaruh spiritual
merupakan salah satu aspek penyusun resiliensi (Connor & Davidson, 2003). Dengan adanya
keyakinan akan kekuatan yang lebih besa yang memberi dan mengatur segala kehidupan
manusia, serta menghargai adanya peran Tuhan dalam hidup, maka akan menimbulkan adanya
kepasrahan dan keberserahterimaan mengenai apa yang terjadi dalam hidup. Hal ini pada
akhirnya membantu individu untuk selalu bersyukur dan meningkatkan kemampuan resiliensi.
Peningkatan aspek bersyukur transpersonal menjadi semakin penting untuk dilakukan lebih
intensif. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan
untuk menumbuhkan rasa syukur, seperti menghitung kebaikan yang dirasakan tiap hari
(Emmons & MucCullough, 2003)

Dari Penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa rasa syukur dapat membantu meningkatkan resiliensi
pada mahasiswa dan memberikan dampak positif dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu,
penting bagi mahasiswa untuk memperkuat rasa syukur dalam kehidupan sehari-hari sebagai
bagian dari upaya untuk meningkatkan resiliensi. Rasa syukur memiliki korelasi positif dengan
resiliensi pada mahasiswa. Mahasiswa yang lebih sering merasa bersyukur cenderung memiliki
tingkat resiliensi yang lebih tinggi dalam menghadapi berbagai tantangan akademik dan
kehidupan. Oleh karena itu, rasa syukur dapat menjadi faktor penting yang membantu
meningkatkan resiliensi pada mahasiswa.

Daftar Pustaka

Amelasasih.P. (2017). Resiliensi Orangtua yang Mempunyai Anak Berkebutuhan


Khusus. Psikosains, Vol.11, No.2, Hal. 72-81 ISSN: 1907-5235
Fitzgerald, P. (1998). Gratitude and justice. Ethics, 109(1), 119–153
Hambali, Meiza,& Fahmi. (2015). Faktor-faktor yang Berperan Dalam
Kebersyukuran (Gratitude) Pada Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus
Perspektif Psikologi Islam. Jurnal Ilmiah Psikologi, Vol. 2, No. 1, Hal: 94 –
101
Haryanto, & Kertamuda. (2016). Syukur Sebagai Sebuah Pemaknaan, InSight, Vol.
18 No. 2
Ifdil & Taufik. (2012). Urgensi Peningkatan dan Pengembangan Resiliensi Siswa di
Sumatra Barat, Jurnal Ilmu Pendidikan, Volume XII No.2
Listiyandini, Dkk. (2015). Mengukur Rasa Syukur: Pengembangan Model Awal
Skala Bersyukur Versi Indonesia, Jurnal Psikologi Ulayat, Vol. 2. No. 2 hlm.
473-496
Peterson, C., & Seligman, M. E. P. (2004). Character strengths and virtues: A
handbook and classification. Oxford University Press.
Putra ,Siregar,& Achmad. (2016). Efektivitas Pelatihan Bersyukur Untuk
Meningkatkan Resiliensi Pada Penyintas Erupsi Gunung Sinabung, Jurnal
Dialog Penanggulangan Bencana Vol. 7, No. 2 Hal. 120-127
Rachmadi, Safitri, & Aini. (2019). Kebersyukuran: Studi Komparasi Perspektif
Psikologi Barat dan Psikologi Islam, Jurnal Pemikiran dan Penelitian
Psikologi Volume 24 Nomor 2, hal : 115-128
Rahmah, Abidin,& Abidin. (2022). Mengupas makna syukur dari sudut pandang
remaja awal, Jurnal Psikologi Udayana, Vol.9, No.1, 1-10
Roap & Kadir . (2011). Pengertian Hidup, Syukur dan Hubungannya Dengan
Kegembiraan Subjektif di Kalangan Pekerja, Journal of Social Sciences dan
Humanites, Volume 6, Number 2, 349-358
Sukmaningpraja, & Santhoso. (2016). Peran Regulasi Emosi terhadap Resiliensi pada
Siswa Sekolah Berasrama Berbasis Semi Militer, Gadjah Mada Journal of
Psychology volume 2, NO. 3, hal: 184-191
Triwahyuningsih, Yeni. (2021). Pengujian Konsep dan Aspek-aspek Rasa Syukur
Pada Ibu Bekerja yang Memiliki Anak Usia Prasekolah, Jurnal Ilmiah
Psikologi, Vol. 23 No. 2, Hal 151 – 161
Utami, Harnani. (2020). Bersyukur dan Resiliensi Akademik Mahasiswa, Jurnal
Psikologi Islam

Anda mungkin juga menyukai