Anda di halaman 1dari 27

SELF DICLOSURE DAN STRESS AKADEMIK PADA MAHASISWA

PASACASARJA

PROPOSAL SEMINAR PENDIDIKAN DAN PERKEMBANGAN

Dosen Pembimbing : Nida Muthi Annisa, S.Psi., M.A

Oleh

Mariam Matafani

18411007

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS INFORMATIKA DAN BISNIS INDONESIA

2022
BAB I

1.1 Latar Belakang

Mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu ataupun

belajar dan terdaftar sedang menjalani Pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi

yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas. Menurut

Siswoyono (2007) mahasiswa dapat didefinisikan sebagai individu yang sedang menuntut

ilmu di tingkat perguruan tinggi, baik negri maupun swasta atau lembaga lain yang setingkat

dengan perguruan tinggi,kecerdasan, dalam berpikir dan kerencanaan dalam bertindak

dengan cepat dan tepat merupakan sifat yang cenderung melekat pada diri setiap mahasiswa,

yang merupakan prinsip yang saling melengkapi. Saat mengenyam pendidikan di perguruan

tinggi, masa studi diukur dalam Satuan Kredit Semester (SKS) yang harus dipenuhi seluruh

mahasiswa agar mencapai kualifikasi lulusan masing-masing strata. Hal ini juga menjadi

perbedaan mendasar antara jenjang S1, S2, dan S3.

Transisi ke perguruan tinggi dapat dikarakteristikkan sebagai peristiwa kehidupan

yang penuh dengan tekanan karena terjadi berbagai perubahan hidup. Beberapa orang lebih

sensitif terhadap tekanan yang dihadapi daripada yang lain sehingga karakteristik seseorang

dan pola perilaku harus dilihat untuk menentukan kepentingan dan kerentanan mereka

terhadap stres. Dalam Artikel lokadata 2018 menuliskan temuan survei baru yang diterbitkan

dalam jurnal Nature Biotechnology mengungkap bahwa mahasiswa pascasarjana punya

kecenderungan enam kali lebih besar menderita depresi dan kecemasan, dibandingkan

dengan populasi umum.

Stres bisa terjadi pada siapapun termasuk pada mahasiswa pascasarjana. Stres pada

mahasiswa bisa disebabkan ketidakmampuan dalam melakukan kewajibannya sebagai

mahasiswa atau karena permasalahn lain tingginya kompleksitas masalah yang dihadapi

misalnya kehidupan akademik, tugas-tugas perkulihan, target pencapaian nilai, prestasi


akademik, dan kebutuhan untuk mengatur diri sendiri dan mengembangkan kemampuan

berpikir yang lebih baik. ( Septiani, 2013 ; Rini, Kartika, & Qurroyzhin, 2007;Heiman&

Kariv,2005 dalam Fadillah ,2013).

Pendapat lain disampaikan oleh Abdulghani (2008) yang mengatakan bahwa stres itu

bisa berdampak positif atau negatif. Stres bisa berdampak positif ketika tekanan itu tidak

melebihi toleransi stresnya atau tidak melebihi kemampuan dan kapasitas dirinya. Dampak

positif stres terhadap mahasiswa diantaranya tertantang untuk mengembangkan diri dan

menumbuhkan kreativitas. Dampak negatif dari stres bisa berupa sulit memusatkan perhatian

(konsentrasi) selama perkuliahan termasuk saat mengikuti proses bimbingan skripsi dengan

dosen pembimbingnya, menurunnya minat terhadap hal-hal yang biasa ia kerjakan,

menurunnya motivasi bahkan memengaruhi perilaku menjadi kurang adaptif.

Stressor yang dirasakan melebihi kapasitas dan kemampuan seseorang bisa menjadi

ancaman, misalnya kesulitan menyelesaikan skripsi sehingga merasa tidak sanggup untuk

menuntaskan, yang membuat skripsi tidak kunjung selesai dan membuat masa studi menjadi

lama. Gejala stres yang muncul umumnya dibagi ke dalam tiga aspek, pertama gejala fisik

berupa gangguan tidur (tidak bisa tidur atau terbangun tengah malam dan tidak bisa

melanjutkan tidurnya) dan berubahnya selera makan. Gejala emosional berupa perubahan

suasana hati, merasa gelisah, cemas dan tidak memiliki semangat dalam melakukan akivitas

(malas). Gejala berupa tidak bisa fokus dalam berpikir, pikiran menjadi kacau dan berpikir

negatif menjadi meningkat (Astiko, 2013 dalam Putri & Savari, 2013); dan pikiran menjadi

kacau (Rini, Kartika, & Qurroyzhin, 2007).

Fenomena lapangan yang ditemukan peneliti oleh beberapa mahasiswa pasacasarjana

melalui wawanacara disimpulkan bahwa mahasiswa pascasarjana mengalami terhadap

tuntutan tugas yang semakin banyak yaitu mencari banyaknya bacaan atau buku sebagai

penunjang dalam memecahkan tugas yang diterima dalam sehari adanya tugas yang
didapatkan maksimal 10 tugas yang harus mampu meningkatkan kapasitas pembelajaran

secara mandiri dan mampu menyusun ide, hasil pemikiran, dan argumen saintifik secara

bertanggung jawab dan berdasarkan etika akademik, serta mengkomunikasikannya melalui

media kepada masyarakat akademik dan masyarakat luas, sehingga terdapat kecemasan dan

bisa saja tidak adanya kemampuan dalam melakukan tugas tersebut.

Stres dianggap sebagai bagian dari kehidupan dari perkuliahan dan dapat berdampak

kepada kesehatan seorang mahasiswa. Kegiatan seperti persiapan ujian, persaingan antara

para pelajar, menguasi sebuah materi dan kehidupan diluar kelas dianggap sebagai hal yang

menyebabkan stres pada mahasiswa. Stres memiliki korelasi yang sangat tinggi terhadap

penurunan performa akademis dari seseorang. Secara psikologis akan berdampak pada

peningkatan kecemasan, depresi dan juga stres. Secara fisiologis dapat berupa penurunan

daya tahan tubuh.

Sarafino dan Smith (2011) mendefinisikan stres adalah kondisi yang diakibatkan

adanya interaksi individu dengan lingkungan yang menyebabkan individu melihat

ketidaksesuaian antara tuntutan fisik atau keadaan psikologis dengan tuntutan sosial. Stres

yang berasal dari tuntutan akademik yang melebihi kemampuan pada diri individu disebut

sebagai stres akademik (Kadapatti dan Vijayalaxmi, 2012).

Alvin (2007) mendefinisikan stres akademik sebagai stres yangterjadi karena adanya

tekanan-tekanan dalam kondisi persaingan akademik yang semakin meningkat untuk

menunjukkan prestasi dan keunggulan individu yang membuat mereka merasa terbebani oleh

adanya tuntutan dan tekanan tersebut. Stres yang terjadi pada siswa biasanya disebabkan

adanya tuntutan tugas yang banyak, persaingan dengan siswa lain, kegagalan, serta hubungan

yang kurang baik dengan teman, dosen, atau anggota keluarga (Fairbrother & Warn dalam

Agolla & Ongori, 2009).


Folkman (1986) mengatakan bahwa salah satu cara untuk memahami pertanyaan-

pertanyaan mengenai stres adalah dengan mengetahui lebih lanjut tentang situasi yang

dialami. Salah satu upaya untuk mengetahui situasi tersebut adalah dengan membuka diri.

Pengungkapan diri atau self-disclosure yang baik dinilai dapat meringankan stres yang

dialami. Self-disclosure juga dapat membantu dalam menghadapi stres dan ketegangan,

karena dengan mengungkapkan sesuatu kepada orang lain, maka seseorang akan merasa

bebannya telah berkurang. Berbagi masalah atau keprihatinannya dengan orang lain mungkin

akan membantu dalam menemukan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah yang sedang

dihadapi. Bahkan transisi besar dalam hidup seperti berada jauh dari rumah ke perguruan

tinggi dapat memperburuk gangguan mental yang ada atau memicu yang baru.

Wawancara yang dilakukan kepada sebagian mahasiwa pascasarjan Self disclosure

yang dilakukan oleh sebagian mahasiswa pasacasarjana biasanya dengan mengungkapkan

segala bentuk permasalahan yang dihadapi dengan menggunakan media sosial membagikan

cerita terhadap khalayak umum. Konteks self disclosure yang dilakukan di media sosial,

secara umum terlihat dari bagaimana cara individu membagikan informasi pribadi di berbagai

macam situs media sosial miliknya dalam bentuk tulisan, foto/video, pesan, komentar, opini,

dan lain sebagainya sebagai suatu hal yang perlu untuk diketahui oleh sesama pengguna

media sosial terkait. Bebasnya penggunaan media sosial di era digital ini membuat individu

cenderung membagikan informasi mengenai perasaan, isi hati maupun hal-hal lainnya yang

sifatnya intim atau sebenarnya tidak perlu diketahui oleh banyak orang.

Umumnya individu hanya akan membagikan informasi tersebut kepada orang-orang

tertentu yang dekat dengannya namun sebaliknya, hal ini justru diketahui oleh khalayak luas.

Dan sebagaian mahasiswa yang ketika mereka bertemu sebelum bimbingan atau sekedar

duduk di selasar kampus, mereka saling berbagi permasalahan mengenai proses penyelesaian

tesis. Hal itu bisa mengurangi beban karena merasa ada teman senasib atau bisa katarsis,
mengeluarkan semua perasaannya penelitian oleh Bell dan Bromnick (1998) yang

memaparkan bahwa self disclosure yang tinggi secara signifikan mengurangi homesickness

daripada self-disclosure yang rendah.

Wheeless (1976) mengemukakan bahwa self-disclosure adalah komunikasi yang

terjadi dengan mengacu pada individu atau individu tertentu. Self-disclosure menurut

Wheeless & Grotz (1976) adalah pesan tentang diri seseorang yang dikomunikasikan dengan

orang lain.

Menurut DeVito (2011) self disclosure adalah jenis komunikasi yaitu seseorang

terbuka mengungkapkan informasi mengenai dirinya (pikiran, perasaan, dan perilaku). Self

disclosure adalah ketika seseorang mengungkapkan informasi pribadi mengenai dirinya

kepada orang lain, salah satu manfaatnya adalah untuk mendapatkan bantuan dan dukungan

atau mencapai kontrol sosial (Rime, 2016).

Menurut Johnson (1996) keuntungan self disclosure diantaranya adalah pertama, self-

disclosure memungkinkan kita untuk memvalidasi persepsi kita tentang realitas. Kedua, self

disclosure dapat membantu mengelola stres dan kesulitan. Berkomunikasi erat dengan orang

lain, terutama pada saat mengalami stres, tampaknya menjadi kebutuhan dasar manusia.

Pengungkapan diri membentuk dasar untuk dukungan dan kepedulian selama krisis. Ketiga,

pengungkapan diri memenuhi kebutuhan manusia untuk diketahui secara erat. Kebanyakan

orang ingin seseorang yang mengetahui mereka dengan baik dan menerima, menghargai,

menghormati, serta menyukai mereka. Akhirnya, pengungkapan diri meningkatkan kesadaran

diri dan pemahaman tentang diri sendiri dengan memperoleh perspektif yang lebih obyektif

tentang pengalaman dan melalui memprovokasi umpan balik dari orang lain.

Efek dari self disclosure adalah mengurangi stres dikaitkan dengan dua mekanisme,

pertama, melampiaskan perasaan negatif dapat membangkitkan perasaan lega. (Derlega dkk.,

1993; Kahn & Hessling, 2001; Stiles, 1987, dalam Zhang, 2017) . Efek dari perasaan negatif
tersebut menjadi berkurang bila diekspresikan atau diceritakan kepada orang lain, hal tersebut

disebut “katarsis” (Stiles, 1987 dalam Zhang, 2017). Kedua, self disclosure bisa membuat

pikiran menjadi tenang dan tidak terganggu oleh kejadian yang muncul, sehingga

memungkinkan individu mengevaluasi dan memahami masalah yang sedang atau telah

dialami dan meningkatkan kemampuan yang ada pada diri individ. Dalam mengungkapkan

diri, individu juga dapat menceritakan permasalahan - permasalahan atau stres yang ia alami

dan bisa mendapatkan tanggapan, informasi, saran, ataupun dukungan dari orang lain.

Timbal balik tersebut dapat memberikan individu persepsi lain terhadap apa yang ia

alami (Asandi, 2010). Dampak lain dari self disclosure adalah individu yang sengaja berbagi

pengalaman dan emosi dapat membantu mengurangi gejala depresi pada saat stres dan akan

mengalami peningkatan kepuasan hidup ketika self disclosure dilakukan dengan penuh

kedekatan (Zhang, 2017); bisa terbuka mengatakan masalah pribadi secara tepat, lebih adaptif

dalam menyesuaikan diri, memiliki kepercayaan diri yang lebih baik, kompeten, bisa

diandalkan, bersikap positif, mempercayai orang lain, objektif dan lebih terbuka (Johnson,

1981 dalam Gainau, 2009). Individu yang kurang mampu membangun keterbukaan dengan

orang lain tumbuh menjadi orang yang keterampilan sosialnya terganggu, kepercayaan diri

rendah, yang menimbulkan perasaan takut, cemas, self esteem rendah dan tertutup. Itu semua

memengaruhi kesehatan mental seseorang.

1.2 Identifikasi Masalah

Fenomena yang peneliti dapatkan dari beberapa mahasiswa pascasarjana stres pada

mahasiswa karena menyusun tugas akhir terjadi pada mahasiswa Fakultas Hukum Bandung

angkatan 2020 yaitu berkeluh kesah, sering merasa lelah, pusing, terlihat cemas dan tidak

bersemangat, bahkan ada beberapa yang merasa ingin mengakhiri studinya begitu saja atau
membuat status di media sosial berisi keluhan tentang perasaannya ketika mengalami kendala

dalam menyelesaikan Tesis.

Dampak stres lainnya adalah sengaja tidak mengerjakan Tesis karena tidak ingin

merasa terbebani sehingga lebih memilih mencari kesenangan dari kegiatan lain di luar

kampus dan menghindari dosen pembimbing. Selain itu beberapa mahasiswa pascasarjana

yaitu faktor tuntutan tugas yang semakin banyak karna mencari banyaknya bacaan atau buku

sebagai penunjang dalam memecahkan tugas yang diterima dalam sehari adanya tugas yang

didapatkan melebihi yang biasa dikerjakan membuat mahasiswa harus mampu meningkatkan

kapasitas pembelajaran secara mandiri dan mampu menyusun ide, hasil pemikiran, dan

argumen saintifik.

Secara bertanggung jawab dan berdasarkan etika akademik, serta

mengkomunikasikannya melalui media kepada masyarakat akademik dan masyarakat luas,

sehingga terdapat kecemasan dan bisa saja tidak adanya kemampuan dalam melakukan tugas

tersebut. Dalam faktor tersebut adanya penekanan terhadap batas studi yang harus tempuh

dan juga faktor bekerja sehingga tidak maksimal dalam membagi waktu yang menyebabkan

adanya tidak maximal dalam mengerjakan tugas akademik.

Permasalahan yang dialami terkait stress akademik mahasiswa ini mengungkapkan

diri nya kepada orang lain karna faktor tidak percaya akan temannya dikampus dan sering

menghabiskan waktu sendiri dan karna faktor mahasiswa tersebut perantau takut akan hal-hal

negatif yang diterima bila diceritakan kepada orang lain.

Berdasarkan uraian permasalahan diatas dapat ditarik kesimpulan pertanyaan

penelitian dalam Bagaimanakah hubungan Self Disclosure dan Stress Akademik pada

mahasiswa pascasarjana?

1.3 Tujuan penelian


Berdasarkan identifikasi masalah di atas, tujuan penilitian ini yaitu untuk mengetahui

Hubungan Self Diclosuredan Stress Akademik pada mahasiswa pascasarjana.

1.4 Manfaat Penelitian

1) Manfaat Teoritis

Memberikan pengetahuan mengenai peran self disclosure terhadap stres akademik

pada mahasiswa, dan diharapkan dapat menjadi sumbangan yang berguna bagi

perkembangan ilmu psikologi. Khususnya terkait dengan bidang psikologi Pendidikan

dan psikologi klinis.

2) Manfaat Praktis

Mahasiswa dapat mengetahui terkait hubungan Self Diclosure terhadap Stress

Akademik.
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Self Diclosure

2.1.1 Pengertian Self Diclosure

Menurut Derlega (1993) menyebutkan bahwa self-disclosure sebagai

pengungkapan tentang hal-hal yang berkaitan dengan informasi kepada orang lain

secara sengaja. Dalam pengembangan selanjutnya Derlega bersama Petrinio dan

Margullis (1994) memperbarui pengertian dari self-disclosure sebagai interaksi

antara setidaknya dua orang yang mana satu orang berniat atau dengan sengaja

memberitahukan tentang informasi pribadi mereka kepada orang lain.

Rosenfeld dalam Derlaga (2000) Pengertian lain dari self disclosure adalah

sebagai sebuah akses yang diberikan seseorang tentang sesuatu yang bersifat

rahasia dan pribadi kepada orang lain. Ia juga menjelaskan dalam mengantarkan

perasaan yang mereka rasakan sering kali menggunakan kosa kata yang sama

pada setiap individu. Kata yang biasa digunakan adalah “ saya merasa” atau “saya

pikir”. Rosenfeld juga menyebutkan bahwa para pengamat acap kali hanya

berfokus pada pengungkapan informasi yang bersifat sangat sensitif dari

seseorang seperti apa yang sedang menjadi hal yang mereka cemaskan, ketakutan

apa yang mereka miliki, hambatan dalam hidup apa yang sedang mereka rasakan

dan berbagai hal mendalam lain. Pandangan dalam cakupan informasi ini berbeda

menurutnya dimana hal yang kurang dianggap sensitif seperti pernyataan


“sebenarnya saya rasa pizza buatan rumah lebih enak dari pada buatan toko” juga

dianggap sebagai self-disclosure.

Masaviru, Mwangi and Masindano (2015) menjelaskan bahwa semua

komunikasi verbal atau nonverbal mengungkapkan tentang diri seseorang adalah

self-disclosure. Pendapat ini juga mendukung apa yang disebutkan oleh Steinberg

bahwa informasi yang disampaikan tidak harus informasi yang penuh makna dan

dalam. Percakapan kecil tentang pernyataan suka atau tidak suka terhadap sesuatu

juga dianggap sebagai self-disclosure.

Wheeless & Grotz (1976) dalam karya dirinya sendiri berjudul Self Disclosure

Interpersonal Solidarity : Measurement, Validation, and Relationship

menyebutkan bahwa self-disclosure merupakan pesan apapun yang disampaikan

oleh seseorang kepada orang lain. Dengan akibat dimana setiap pesan atau unit

pesan memiliki tingkat berbeda pada pengungkapan diri tergantung pada persepsi

pesan yang disampaikan. Paul C. Cozby (1973 ) mendefinisikan self-disclosure

sebagai apapun informasi tentang dirinya yang dikomunikasikan oleh individu A

kepada individu B secara verbal.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa self disclosure

merupakan maka dapat disimpulkan bahwa self-disclosure adalah suatu interaksi

antara dua orang secara verbal dan nonverbal dimana setidaknya salah satu dari

mereka secara sadar memberitahukan kepada orang lain tentang informasi diri,

pikiran, perasaan, rahasia atau bahkan hanya sekedar preferensi dan juga hal yang

tidak disukai kepada orang lain guna mendapatkan keakraban dan mendapatkan

dukungan.

2.1.2 Dimensi

Wheeless dan Grotz (1976) menuliskan dimensi dari self-disclosure sebagai berikut :
a. Ukuran atau jumlah, ditinjau dari seberapa tinggi rendah seseorang atau frekuensi

yang dilakukan seseorang atau waktu yang dibutuhkan untuk seseorang melakukan

self-disclosure.

b. Valensi, diartikan sebagai konten yang dibagikan dalam sebuah kegiatan self-

disclosure baik itu positif atau negatif tentang dirinya. Apakah seseorang hanya

menceritakan tentang hal positif tentang dirinya atau hanya perasaan negatif saja atau

dapat berisi kedua hal.

c. Ketepatan dan kejujuran, individu bisa saja menceritakan tentang apa yang sedang

mereka rasakan atau pengalaman mereka namun bisa saja tidak secara kesuluruhan

cerita dimana mungkin ada bagian yang tidak diceritakan, dilebih-lebihkan atau

mungkin mengalami perubahan yang disengaja.

d. Tujuan dan maksud, dimensi ini diartikan bagaimana seseorang mengontrol apa yang

sedang mereka bicarakan kepada orang lain saat menceritakan sesuatu.

e. Kedalaman, bagaimana seseorang sampai pada fase dimana ia bisa menceritakan

sebuah hal yang begitu dalam dan personal kepada orang yang dianggap bisa

dipercaya oleh dirinya.

2.1.3 Faktor Self Diclosure

Derlega (2010) mengungkapakan bahwa faktor yang mempengaruhi seseorang untuk

mengganti mode dari terbuka kepada orang lain dan tertutup kepada orang lain. Beberapa

faktor tersebut adalah sebagai berikut :

a. Perbedaan budaya diantara orang yang akan diungkapkan informasi tersebut. Orang-

orang dari budaya timur akan menganggap bahwa pembahasan tentang aktivitas seks

bukanlah sesuatu yang akan baik untuk diungkapkan walaupun kepada pasangan
sekalipun. Hal ini mungkin akan berbeda jika pembahasan ini dilakukan oleh orang-

orangdari budaya barat dimana secara umum edukasi tentang seks sudah

dimulai sejak dini.

b. Kepada siapa informasi ini akan dibagi juga membedakan bagaimana

seseorang akan menjadi terbuka atau tidak. Jika hal tersebut tentang perbuatan

perselingkuhan maka akan menjadi sangat berat untuk seorang pasangan

mengungkapkan informasi tersebut kepada pasangannya tentang perbuatan salah yang

sudah dilakukan karena konsekuensi yang mungkin akan didapatkan setelah

memberikan rahasia tesebut.

c. Perbedaan kemampuan interpersonal antar orang. Kemampuan orang dalam

memberikan informasi ini juga dipengaruhi oleh kemampuan seseorang dalam hal

interpersonal. Pengugkapan informasi sensitif tentu membutuhkan orang yang sudah

kita anggap akrab. Berbeda dengan mereka yang memiliki kemampuan interpersonal

rendah, menemukan seseorang yang anggap sebagai teman yang akrab adalah hal

yang lebih sulit untuk dilakukan.

d. Perbedaan gender dalam hal self-disclosure. Seorang laki-laki akan merasa lebih

canggung untuk mengatakan tentang apa yang sedang mereka rasakan dari pada

perempuan. Kecanggungan ini juga didukung oleh penelitian Tang (2013) yang

menyebutkan bahwa laki-laki lebih merasa tidak nyaman untuk mengungkapkan

informasi pribadi mereka jika dibandingkan dengan perempuan.

Derlaga (2001) dalam Mohan Msaviru menjelaskan bahwa menurutnya dalam

pengungkapan diri atau self-disclosure terdapat beberapa faktor seperti perbedaan budaya

antara mereka yang sedang menjalin hubungan dan bagaimana budaya yang dimiliki oleh

orang asing yang akan menjadi lawan bicara. Terkadang terdapat beberapa aturan dan juga
sanksi yang diberikan jika seseorang mengungkapkan diri mereka kepada orang asing.

Penduduk Rusia tersenyum kepada orang lain yang tidak kita kenal menurut penduduk local

adalah bentuk kebodohan. Faktor selanjutnya adalah sifat setiap individu yang berbeda

dimana berakibat pada kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dalam bersosialisasi.

Perasaan dekat dan self-disclosure berkorelasi positif. Faktor gender juga berpengaruh

dimana pria cenderung untuk canggung dan wanita cenderung memiliki keinginan yang sama

dalam self-disclosure

2.2 Stress Akademik

2.2.1 Pengertian Stres Akademik

Stres dalam kamus psikologi Reber (2010) memiliki makna umum sebagai sebuah

daya atau kekuatan apa pun yang ketika digunakan kedalam sebuah bentuk menghasilkan

modifikasi. Modifikasi disini diartikan sebagai tekanan fisik, psikologis dan sosial. Selain itu

juga dimaknai sebagai kondisi tegangan psikologis yang dihasilkan oleh jenis dan daya yang

kemudian menghasilkan dampak. Dampak yang dihasilkan berupa stres dihasilkan dari

stressor yang diartikan sebagai agen penyebab dari stres.

Pendapat Lazarus & Folkman (1984) menjelaskan bahwa stres adalah fenomena

mental atau fisik yang terbentuk melalui penilaian kognitif terhadap sebuah stimulasi akibat

interaksi dengan lingkungan. Edward P. Sarafino dan Timothy W. Smith (2011) dalam buku

mereka mendefinisikan stres sebagai sebuah keadaan dimana individu melakukan sebuah

evaluasi yang berakhir pada kesimpulan bahwa terdapat perbedaan antara tuntutan keadaan

terhadap sumber daya fisiologi, sosial dan psikologi yang dimiliki oleh seorang individu

tersebut untuk mengatasi tuntutan.

Carveth (1996) menjelaskan bahwa academic stress adalah persepsi mahasiswa

tentang kedalaman pengatahuan dasar dimiliki yang dibutuhkan untuk praktik yang aman dan
waktu pengembangan yang tidak mencukupi. Menurut Scott E. Wilks (2008) dalam jurnalnya

Menjelaskan bahwa academic stress merupakan hasil dari kombinasi yang berhubungan

dengan tuntutan akademik yang melebihi dari sumber daya adaptasi yang dimiliki individu.

Bisht dalam Krisnan Lal (1989) mendefinisikan academic stress sebagai sebuah tekanan yang

terkait dengan pembelajaran yang melebihi sumber daya internal maupun eksternal yang

dimiliki oleh seseorang dalam menyelesaikan permasalahan yang dimiliki. Tekanan

akademik dicerminkan dari bagaimana seseorang mempersepsikan tuntutan akademik.

Krishan Lal (2014) memberikan pengertian dari academic stress sebagai tekanan

mental sehubungan dengan beberapa frustrasi yang diantisipasi terkait dengan kegagalan

akademik atau bahkan ketidaksadaran terhadap kemungkinan kegagalan tersebut. Siswa harus

menghadapi banyak tuntutan akademis, untuk misalnya, ujian sekolah, menjawab pertanyaan

di kelas, menunjukkan kemajuan dalam mata pelajaran sekolah, memahami apa yang

diajarkan guru, bersaing dengan teman sekelas lainnya, memenuhi guru dan orang tua dan

seterusnya. Keadaan seperti menghabiskan sumber daya yang dimiliki oleh seseorang saat

menghadapi banyak tekanan dari sekitar.

Menurut Gupta & Khan dalam Smrithikana Mitra Gosh (1990) memandang

academic stress tekanan mental yang sehubungan dengan beberapa frustasi yang diantisipasi

terkait dengan kegagalan akademik atau kedasaran akan kegagalan akademik.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa academic stress

merupakan dinamika yang terjadi dalam lingkup pembelajaran baik intra maupun ekstra serta

tekanan akibat kegagalan akademik atau perasaan takut akan kegagalan yang dinilai sebagai

hal negatif melebihi sumber daya yang dimiliki oleh seorang individu dan berdampak kepada

perubahan fisiologis maupun psikologis.

2.2.2 Dimensi
Edward P. Sarafino dan Timothy W. Smith (2011) dan sejalan dengan Shelley E. Taylor

(2015) membagi beberapa aspek dari stres sebagai berikut :

a. Aspek fisiologis; dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah,

detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan.

b. Aspek kognitif; dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif

individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran

berulang, dan pikiran tidak wajar.

c. Aspek emosi; dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin dialami

individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya.

d. Aspek tingkah laku; dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang

menekan, dan flight, yaitu menghindari situasi yang meneka

2.2.3 Faktor Stress Akademik

Krishan Lal (2004) merangkum beberapa penyebab stres di rentang usia remaja akhir

dan dewasa awal atau umur pada mahasiswa. Menurutnya tekanan akademik yang berasal

dari kelas. masalah percintaan walaupun juga mengandung muatan eustress namun juga

memiliki distres tidak berjalan lancar dalam menjalin hubungan. Selanjutnya, lingkungan

yang baru dimana para mahasiswa harus menyesuaikan lagi diri dengan lingkungan yang

berbeda dengan rumah. Kesalahan yang sering dibuat oleh mahasiswa baru yang terlalu

antusias dengan kehidupan perkuliahan adalah terlalu banyak mengikuti ekstrakulikuler.

Selain hubungan asmara, hubungan pertemanan juga bisa menjadi faktor stres ketika terjadi

konflik dengan teman. Terakhir yang tidak bisa ditinggalkan adalah tuntutan yang diberikan

oleh keluarga untuk berprestasi, menyelesaikan tugas akhir secepatnya, ekonomi, nilai yang

baik dan berbagai keinginan orang tua.

Smirithikana Mitra Ghosh (2016) menjelaskan dalam bahwa faktor penyebab dari

academic stress, pertama masalah tekanan akademik, sederhananya menangani tugas yang
berat saja akan menuntut tubuh mengatur manajemen stres. Kebutuhan untuk melakukan hal

seperti melakukan wawancara atau interaksi dengan orang lain akan sangat menakutkan bagi

mereka yang canggung ketika berhadapan dengan orang baru. Kedua adalah tekanan dari

keluarga, keinginan keluarga yang ingin melihat anaknya berhasil disekolah dengan

mendapatkan nilai yang baik. Ketiga adalah tekanan dari lingkungan, tekanan ini disebabkan

peningkatan beban tugas ketika memasuki tingkat yang lebih tinggi. Lingkungan yang

menuntut penyesuaian ketika berpindah tempat tinggal untuk masukuniversitas juga

memberikan sumbangsih. Terakhir adalah teman sebaya, beberapa hal seperti pakaian,

perilaku, dan berbagai area dalam kehidupan dan interaksi dengan individu lain dapat

menyebabkan tekanan.

Perhatian terhadap hal lingkungan fisik dari seseorang terkadang mendapatkan

perhatian yang rendah padahal sebenarnya memilki dampak yang signifikan bagi kesehatan

mental seseorang. David M. Wright (2018)) beserta koleganya memberikan pembuktian

bahwa masyarakat yang tinggal disekitar bandara George Best Belfast City Airport di Inggris

dengan hasil peningkatan 2,7% pada perbandingan tingkat kebisingan yang diterima daerah

kebisingan tinggi dan rendah. Hal ini juga dikuatkan dengan kemungkinan sepertiga lebih

banyak laporan terhadap isu kesehatan mental.

Sementara itu menurut Pratiba Sagar dan Bijender Singh (2017) menjelaskan bahwa

faktor penyeb ab stres dalam lingkup akademik terdapat beberapa hal yaitu stres karena guru,

tekanan akibat mengerjakan tugas dan ujian, sumbangsih dari faktor lingkungan dan orang

tua yang memberikan tuntutan kepada siswa, mengatur waktu dan infrastruktur serta faktor

yang merugikan diri.

Richard Lazarus dalam Jerrold S. Greenberg dalam Comprehensive Stress

Management (2003) terdapat dua cara invidu ketika mengalami stres atau berbagai kesatuan

tindakan yang dilakukan guna mengatasi stres yang disebut dengan coping of stres yaitu
dengan coping pada permasalahan dan coping pada emosi. Coping pada masalah dimana

individu menggunakan semua modalitas yang dimilikinya dalam membantu pemecahan

masalah yang sedang dihadapi.

Intinya adalah penggunaan otak dalam memberikan solusi pada sumber stres yang

memberikan gangguan. Selanjutnya adalah coping pada emosi, pada bagian ini individu

memberikan perhatian pada emosi yang sedang mereka rasakan dengan melakukan mode

bertahan. Cara ini individu lebih akan menghindari dan menggunakan mechanism of defens.

Kesamaan faktor yang menjadi penyebab dalam hal tekanan akademik yang mereka alami

selama masa perkuliahan berupa tekanan dari keluarga, persyaratan dari pemberi beasiswa

atau persyaratan untuk mendapatkan beasiswa, beban keuangan, kompetisi didalam kelas dan

juga hal lain yang berbuhubngan dengan pembelajaran di kelas.

2.3 Kerangka Pikir

Pada wawancara awal yang dilakukan peneliti terhadap mahasiswa pasacasarjana

adanya stress akademik karna banyak nya tuntutan tugas yang dikerjakan, mencari

banyaknya bacaan untuk mengembangkan kemanpuan berpikir yang lebih baik, adanya lagi

dengan masa studi yang singkat sehingga harus adanya tuntutan yang dilakukan yaitu target

pencapaian nilai, beberapa mahasiswa yang harus menyusun tugas akhir atau tesis. Faktor -

faktor itulah yang yang berpengaruh pada kejadian stress mahasiswa yang meliputi usia, jenis

kelamin,tempat tinggal, fator biologi dan faktor psikologi. Menurut Weidner,

Kohlmann,Dotzauer & Burns (1996) Stress akademik adalah stress yang terjadi karena faktor

atau kegiatan Pendidikan yang terjadi dalam Pendidikan yang disebabkan oleh tuntutan yang

timbul saat mahasiswa dalam masa Pendidikan.

Ross,Neibling, dan Heckert (1999) mengategorikan stress pada mahasiswa

berdasarkan stressor atau sumber stress yang diterima, yakni terdiri atas interpersonal,

interpersonal akademik dan lingkungan. Pada lingkungan Pendidikan, stress yang biasanya
terjadi adalah stress akademik. Stress akademik merupakan persepi individu terkait stressor

akademik dan juga bagaimana individu itu beraksi terhadap stressor akademik tersebut.

Stres biasanya muncul pada situasi-situasi yang kompleks, menuntut sesuatu di luar

kemampuan individu, dan munculnya situasi yang tidak jelas. Segala tuntutan baik internal

maupun eksternal dalam upaya pemenuhan tugas perkembangan dapat menimbulkan stres

dengan tingkatan yang berbeda pula pada mahasiswa. Dampak yang timbul akibat stres yang

berlebihan dapat mengganggu dan menimbulkan perilaku negatif yang muncul sebagai

respon dari stress.

Salah satu dari 8 nasihat umum untuk menghadapi stres yang dikemukakan oleh Jare

Yates (dalam Rice, 1992) adalah tetap percaya diri dan mempunyai teman untuk berbagi

dalam kesusahan. Semakin lama seseorang memendam permasalahannya, maka akan

semakin berat beban yang akan dirasakan. Berbagi dengan orang lain bukan hanya sekadar

untuk menuangkan pikiran dan melegakan perasaan, namun juga agar dapat memperoleh

saran-saran dan informasi dari orang lain sehingga dapat berpikir dengan jernih dan

mendalam. Dengan demikian, individu mempunyai tempat untuk mengutarakan kesulitan-

kesulitan yang dihadapinya karena setiap masalah yang membebani pikiran dan perasaan

akan banyak mereda jika diutarakan kepada orang lain. Pengungkapkan diri memberi

kesempatan bagi individu untuk membiarkan orang lain memahami siapa dirinya dan apa

yang ia pikirkan atau rasakan. Dengan mengungkapkan diri, individu menciptakan potensi

timbulnya kepercayaan, kepedulian, komitmen, perkembangan, penerimaan diri, dan

pertemanan (Johnson, 1996). Dalam mengungkapkan diri, individu juga dapat memaparkan

permasalahan-permasalahan atau stres yang ia alami dan memungkinkan ia mendapatkan

tanggapan, informasi, saran, ataupun dukungan dari orang lain. Timbal balik tersebut dapat

memberikan individu persepsi lain terhadap apa yang ia alami. Sehingga dengan demikian

diketahui bahwa ada hubungan antara self-disclosure dengan stres. Berdasarkan hal tersebut,
Hubungan kedua variabel tersebut dapat digambarkan dengan kerangka pemikiran sebagai

berikut:

Bagan Kerangka Berpikir

Self-disclosure

Self-disclosure tinggi Self-disclosure rendah


- Pengungkapan diri lebih baik Pengungkapan diri kurang baik
- Mudah membagi informasi Sulit membagi informasi
- Tidak bisa membagi pikiran, gagasan, dan
Membagi pikiran, gagasan, da
perasaan
perasaan n

Mendapatkan umpan balik


Memiliki lebih banyak dukungan informasi - Tidak mendapatkan umpan
dan emosi - balik
Kurang memiliki dukunga
informasi dan n
emosi

Stres rendah Stres tinggi


Lebih mampu mengatasi berbagai situasi Kurang mampu mengatasi berbagai situasi
yang menekan. yang menekan.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini diarahkan pada upaya untuk mengetahui hubungan antara Self

Diclosure dan Stress Akademik pada Mahasiswa Pascasarjana. Penelitian yang akan

digunakan pada penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan korelasional.

Penelitian kuantitiatif adalah suatu pendekatan yang menekankan analisis pada data-data

numerical (angka) yang diolah dengan metode statistika (Azwar, 2010). Pada dasarnya

pendekatan kuantitatif dilakukan pada penelitian inferensial dalam rangka pengujian

hipotesis) dan menyandarkan kesimpulan hasilnya pada suatu probabilitas kesalahann

penolakan hipotesis nihil. Dengan metode kuantitatif akan diperoleh signifikansi perbedaan

kelompok atau signifikansi hubungan antar variabel yang diteliti. Pada umumnya, penelitian

kuantitatif merupakan penelitian pada sampel besar.

Penelitian ini menggunakan pendekatan korelasional dengan tujuan untuk melihat

hubungan antara variabel Self Diclosure dengan Stress Akademik pada Mahasiswa

Pascasarjana. Menurut (Azwar, 2010) penelitian korelasional bertujuan untuk menyelidiki

sejauh mana variasi pada suatu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel

lain, berdasarkan koefisien korelasi. Dari Penelitian ini dapat memperoleh informasi
mengenai taraf hubungan yang terjadi, bukan mengenai ada-tidaknya efek variabel satu

terhadap variabel yang lain.

Adapun variabel yang dihubungkan dalam penelitian ini adalah variabel yang terdiri

dari variabel Self Diclosure (x) dengan Stress Akademik (y).

3.2 Variabel Penelitian

Noor (2011) mengatakan bahwa variabel adalah suatu nilai atau sifat pada orang,

benda, atau suatu kegiatan yang ditentukan oleh peneliti untuk diukur dan ditarik

kesimpulannya. Penelitian ini menggunkan dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel

tergantung. Variabel bebas adalah suatu variabel yang dapat mempengaruhi variabel lain

yang diukur. Sedangkan variabel tergantung adalah suatu variabel yang diteliti atau diukur

untuk melihat apakah ada pengaruh atau efek dari variabel lain (Azwar, 2004). Di dalam

penelitian ini, terdapat 2 variabel yang akan dilihat hubungannya :

Variabel 1 : Self Diclosure

Variabel 2 : Stress Akademik

3.3 Definisi Operasional Variabel

Noor (2011) mengemukakan definisi operasional merupakan bagian yang berisi

definisi dari variabel/kosep yang akan diukur dengan indikator yang telah ditentukan seperti

sifat, perilaku dan aspek. Definisi operasional pada penilitian ini meliputi:

3.3.1 Definisi Operasional Self Diclosure

Penelitian ini definisi operasional dari self-dislcosure adalah adalah suatu interaksi

antara dua orang secara verbal dan nonverbal dimana salah satu dari mereka secara sadar

memberitahukan kepada orang lain tentang informasi diri, pikiran, perasaan, rahasia atau

bahkan hanya sekedar preferensi dan juga hal yang tidak disukai kepada orang lain.

3.3.2 Definisi Operasional Stress Akademik


Penelitian ini definisi operasional dari Academic Stress merupakan dinamika yang

terjadi dalam lingkup pembelajaran baik intra maupun ekstra serta tekanan akibat kegagalan

akademik atau perasaan takut akan kegagalan yang dinilai sebagai hal negatif melebihi

sumber daya yang dimiliki oleh seorang individu dan berdampak kepada perubahan fisiologis

maupun psikologis.

3.4 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari

dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiono, 2015).

Penelitian ini merupakan penelitian populasi. Populasi yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah seluruh mahasiswa pasacasarjana yaitu berjumlah 50 orang. Oleh karena

itu, disebut studi populasi karena studi populasi adalah penelitian yang dilakukan terhadap

lingkungan yang luas dengan semua subjek penelitian dan kesimpulan berlaku bagi semua

subjek penelitian tersebut (Suharsimi, 2010).

3.1 Alat Ukur

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kuisioner untuk melakukan

pengambilan data. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan

dengan cara memberi seperangkat pernyataan tertulis kepada responden untuk di

jawabnya (Sugiyono, 2015). Teknik pengambilan data dengan menggunakan kuisioner

dipilih selain karena tergolong efektif dan efisien. Maksudnya ialah dengan

menggunakan kuisioner maka waktu yang diperlukan lebih singkat dan hemat biaya dan

dengan guna memperoleh data jumlah yang banyak.

Instrument penelitian yang digunakan untuk mengukur data kuantitatif ini harus

mempunyai skala. Skala yang digunakan dalam pengukuran setiap variabel dalam
peneltian ini adalah skala ordinal. Untuk keperluan kuantifikasi data masing-masing

pernyataan memiliki satu nilai yang hasilnya kemudian diklasifikasikan kedalam empat

kategori yaitu: Masing- masing jawaban tersebut memiliki nilai sendiri-sendiri yang

disesuaikan dengan pilihan alternatif jawaban yang bergerak dari satu sampai dengan

empat. Sifat item-item dalam kuisioner tersebut dibuat bervariasi, mulai dari yang

bersifat favorable sampai dengan yang bersifat unfavorable. Untuk memperoleh data

yang diperlukan, peneliti mengukur variabel-variabel dalam peneltian ini dengan

menggunakan alat ukur sebagai berikut:

3.5.1 Alat Ukur Self Diclosure

Skala Self-disclosure disusun berdasarkan pendapat Wheeless dan Grotz (1976)

Menyebutkan lima dimensi self-disclosure tersebut terdiri ukuran atau jumlah, valensi,

ketepatan dan kejujuran, tujuan dan maksud, kedalaman. Setiap dimensi dari aspek self-

disclosure memiliki indikator yang terdiri dari satu atau dua indikator dengan total terdapat

10 indikator. Semua indikator tersebut menjadi landasan untuk mengambangkan item yang

merupakan bentuk operasional dari sebuah gagasan yang diturunkan dari varibel yang

diturunkan menjadi lima variabel dan 10 indikator. Setelah melalui berbagai seleksi dan tes

pra penelitian maka didapatkan sebanyak 25 item yang memenuhi syarat minimal untuk tetap

digunakan pada penelitian lapangan dimana telah melalui uji validitas dan uji reliabiltas.

Blueprint dari skala self-disclosure yang digunakan dalam penelitian ini akan dijelaskan lebih

rinci dalam tabel dibawah ini. Dimana blueprint ini merangkung dari turunan dimensi sampai

kepada item yang digunakan dalam penelitian.

Tabel 3.1

Blueprint skala Self Diclosure

Dimensi Indikator Nomor Item Jumlah


Favorable Unfavorable

Sengaja dalam

melakukan Self 1 1

Diclosure
Intent
Seberapa banyak

melakukan Self 12 1

Diclosure

Seberapa banyak

melakukan Self 2,8 13 3

Diclosure

Amount Waktu yang

dibutuhkan ketika
3 1
melakukan Self

Diclosure

Mengungkapkan

informasi yang 4,918,21 4

bersifat positif.

Valency
Mengungkapkan

informasi yang bersifat 5,10,25 3

negatif.

Menceritakan lebih

Depth detail informasi 6,19,22,24 14,17 6

pribadi.
Menceritakan

informasi pribadi
7,11,20,23 17 5
dengan jujur, dan apa

Honesty adanya.

Memahami diri

sendiri. 15 1

Jumlah 20 5 25

3.5.2 Alat Ukur Stress Akademik

Skala academic stress dalam penelitian ini menggunakan acuan dari pendapat yang

disampaikan oleh Edward P. Sarafino dan Timothy W. Smith (2011) Shelley E. Taylor

(2018) yang menyebutkan membagi pada dasarnya dua dimensi dari academic stress yaitu

biologis dan psikologis yang kemudian dijabarkan lebih rinci menjadi kognisi, emosi dan

perilaku.

Sebenarnya terdapat dua opsi alat ukur academic stress dari riset yang dilakukan oleh peneliti

tentang kemudian dikelompokan secara gagasan berdasarkan pendapat dari berbagai tokoh

yaitu academic stress yang item-itemnya merupakan stimulus dan academic stress yang

itemnya merupakan reaksi.

Tabel 3.2

Blueprint Skala Academic Stress

Aspek Indikator Nomor Item Jumlah


Favorable Unfavorable

Defisit konsentrasi 24 1

Masalah pada hal 18,20,21,25,


5
Kognitif mengingat. 28

Penilaian negatif 1,2,11,13,16,


7
terhadap suatu hal. 23,30

Perasaan cemas 4,5,10 3

Afektif Perasaan depsresi 8 1

Perasaan takut 14,15,22 3

Grogi 12 1

Susah tidur 3 1

Behavioral Menunda pekerjaan 19 1

Perilaku kompulsif 7,17 2

Mudah marah 27 1

Fisiologi Badan lemes 6 1

Suhu tubuh 9,29 2

Jantung berdebar 26 1

Jumlah 30

Anda mungkin juga menyukai