Anda di halaman 1dari 14

1

PERAN KECENDERUNGAN KEPRIBADIAN NEUROTICISM DAN PROBLEM


FOCUSED COPING DALAM MENJELASKAN STRES AKADEMIK PADA
MAHASISWA TINGKAT AKHIR FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU
POLITIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

ABSTRAK
Qurrota A’yuni Fitriana
Program Studi Psikologi Universitas Brawijaya Malang
qayunif@gmail.com

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran neuroticism dan problem focused
coping dalam menjelaskan stres akademik pada mahasiswa tingkat akhir Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (FISIP UB). Alat ukur yang digunakan
terdiri dari 3 alat ukur yaitu neuroticism, problem focused coping, dan stres akademik.
Sampel penelitian sebanyak 204 mahasiswa FISIP yaitu jurusan Ilmu Komunikasi,
Psikologi, dan Hubungan Internasional. Metodologi penelitian menggunakan kuantitatif
korelasional. Data dianalisis dengan regresi linier berganda. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada peran simultan antara neuroticism dan problem focused coping
dalam menjelaskan stres akademik. Terdapat pula peran parsial yang signifikan
neuroticism dalam menjelaskan stres akademik, namun tidak ada peran parsial yang
yang signifikan problem focused coping dalam menjelaskan stres akademik pada
mahasiswa tingkat akhir FISIP UB. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara stres
akademik yang ditunjukkan oleh variabel demografis dalam penelitian ini yaitu jenis
kelamin, angkatan, dan usia, sehingga variabel demografis tidak dikontrol. Kesimpulan
dari penelitian ini masih mencakup suatu populasi tertentu, sehingga untuk penelitian
selanjutnya disarankan untuk memperluas ruang lingkup penelitian.

Kata Kunci: neuroticism, problem focused coping, stres akademik

ABSTRACT

The purpose of this study was to know the role of neuroticism and problem focused
coping in explaining academic stress in final year students in Faculty of Social and
Political Science Brawijaya University (FISIP UB). Data were collected through
questionnaires consisting of neuroticism, problem focused coping, and academic stress.
Participants was 204 students of Communication Science, Psychology and International
Affairs Departments. Methodology of this study is correlational quantitative. Data were
analyzed by multiple linear regression. The results of this study revealed a significantly
simultaneous role neuroticism and problem focused to explain academic stress. There is
also a significant partial role of neuroticism in explaining academic stress. However,
there is no significant partial of role problem focused coping in explaining academic
stress in final year students of FISIP UB. Implicatively, demographic variables of
gender, students degree, and age proved to have no significant effects on academic
stress. The conclusion of this study still includes a certain population, so it is suggested
for further research to expand the scope of the study.

Keywords: neuroticism, problem focused coping, academic stress

1
2

PENDAHULUAN

Setiap individu pasti pernah mengalami stres, karena stres merupakan realitas
sehari-hari yang dialami oleh setiap orang. Stres sering hanya dikaitkan dengan kejadian
yang negatif, namun stres juga dapat terjadi pada kejadian yang positif. Tidak semua
stres merupakan hal yang negatif, ada kalanya stres merupakan hal yang
menyenangkan. Seyle (Bariyyah, 2011) membagi stres menjadi dua tipe yaitu eustres
dan distres.
Eustres adalah stres positif yang mendorong individu mencapai kesuksesan dan
kebahagiaan (Surbakti, 2010). Eustres juga merupakan pengalaman stres yang
menyenangkan yang dapat meningkatkan kesiagaan mental dan motivasi untuk lebih
maju, seperti menjadi ketua organisasi atau karena perubahan status dan tanggung jawab
yang baru. Distres adalah stres negatif yang mendorong individu kehilangan rasa aman,
putus asa, kehilangan harapan, dan mengalami kekecewaan. Hal ini dirasakan sebagai
suatu keadaan dimana individu mengalami rasa cemas, ketakutan, khawatir, gelisah
hingga individu mengalami keeadaan psikologis yang negatif, menyakitkan, dan timbul
keinginan untuk menghindarinya (Bariyyah, 2011).
Stres akademik yang dialami oleh mahasiswa mengalami peningkatan tiap
semester. Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan oleh Irma, Daud, &
Khumas (2005) mengenai stres akademik pada 102 mahasiswa dari berbagai perguruan
tinggi yang ada di Makassar diketahui bahwa terdapat 18% mahasiswa mengalami
tingkat stres akademik yang rendah, 69% tingkat stres akademik yang sedang, dan 15%
mengalami tingkat stres akademik yang tinggi. Di sisi lain, banyak beasiswa dari ilmu
perilaku yang menawarkan penelitian mengenai topik ini, hal ini membuktikan bahwa
stres akademik membutuhkan perhatian lebih (Agolla & Ongori, 2009).
Stres akademik merupakan permasalahan substantif yang dihadapi peserta didik di
dunia pendidikan yang bersumber dari tuntutan institusi dan dunia pendidikan. Stres
pada institusi akademik dapat memberi pengaruh positif jika dikelola dengan baik,
namun sebaliknya dapat juga memberi konsekuensi negatif. Stres akademik menjadi
topik penting dalam dunia pendidikan, khususnya di Perguruan Tinggi, karena dapat
mempengaruhi keberhasilan belajar mahasiswa (Nurdini, 2009).
Stres akademik disebabkan oleh adanya stressor yang berasal dari faktor internal
dan eksternal. Stressor merupakan segala hal yang terjadi pada diri seseorang dan yang
memperkuat perasaan tidak dapat mengatasi daripada kondisi dapat mengatasi. Stressor
menurut asalnya dapat dibedakan menjadi stressor eksternal dan stressor internal
(Chadha, 2006). Stressor eksternal merupakan penyebab stres yang berasal dari luar diri
individu seperti banyaknya tugas-tugas dan persaingan dengan teman, sedangkan
stressor internal merupakan penyebab stres yang berasal dari dalam diri individu, yaitu
tuntutan dari diri sendiri seperti keinginan untuk selalu menjadi yang terbaik dan
kepribadian masing-masing individu.
Stressor eksternal untuk stres akademik telah banyak diteliti, misalnya penelitian
dari Irma, Daud & Khumas (2005) yang menyimpulkan bahwa semakin baik
manajemen waktu mahasiswa maka semakin rendah tingkat stres akademik. Penelitian
lain yaitu dari Misra & McKean (2000) menyebutkan bahwa peraturan lingkungan
fakultas akademik menjadi salah satu pemicu adanya stres pada mahasiswa, sedangkan
untuk stressor internal masih jarang untuk didalami, terutama yang berkaitan dengan
kepribadian. Padahal tidak sedikit stres akademik yang bersumber dari beratnya
tuntutan yang berasal dari diri sendiri sesuai dengan kepribadian individu.
3

Setiap individu memiliki kepribadian yang membedakan antara satu dengan yang
lainnya. Kepribadian merupakan suatu kekhasan setiap manusia. Allport (Feist & Feist,
2008) mendefinisikan kepribadian sebagai suatu organisasi yang dinamik dalam diri
individu yang merupakan sistem psikofisik dan hal tersebut menentukan penyesuaian
diri individu secara unik terhadap lingkungan. Pervin & Cervone (2012) menjelaskan
terdapat tiga tokoh kepribadian yaitu Allport, Eysenck, dan Cattell yang memiliki aliran
sama, yaitu humanistik yang mencetuskan pendekatan trait dalam memahami
kepribadian manusia. Trait didefinisikan sebagai dimensi-dimensi dari perbedaan
individu dalam kecenderungannya memperlihatkan pola yang konsisten dari berpikir,
merasa, dan bertindak. Terdapat beberapa penelitian yang dilakukan oleh Costa &
McCrae (Edwina, 2012) yang menjelaskan bagaimana teori trait dapat dengan baik
memprediksi tingkah laku. Trait berlangsung untuk jangka waktu yang lama,
kemampuannya untuk memprediksi pola tingkah laku untuk waktu yang lama
merupakan hal yang luar biasa.
Salah satu teori kepribadian yang fokus pada trait adalah five factor theory of
personality yang lebih dikenal dengan big five personality yang dicetuskan pertama kali
oleh Goldberg pada tahun 1981 kemudian mengalami penyempurnaan oleh Costa &
McRae (Pervin & Cervone, 2012) terdiri dari lima dimensi utama dalam menjelaskan
kepribadian yaitu Opennes to New Experience, Conscientiusness, Extraversion,
Agreeableness, dan Neuroticism. Dimensi-dimensi ini lebih mudah disingkat dengan
OCEAN. Dari ke-lima dimensi tersebut, individu cenderung memiliki salah satu
dimensi kepribadian sebagai faktor yang dominan.
Di antara ke-lima dimensi tersebut menurut Hoffman, Shiff & Malinski (1996),
neuroticism menjadi dimensi yang paling relevan jika dikaitkan dengan stres. Costa &
McCrae (Hoffman, Shiff & Malinski, 1996) berargumen bahwa trait neuroticism
memiliki penjelasan yang lengkap dalam kaitannya dengan situasi stres. Menurut
Larsen & Ketelaar (Hoffman, Shiff & Malinski, 1996), neuroticism secara khusus
menggambarkan individu yang memiliki masalah dengan emosi negatif seperti rasa
khawatir dan rasa tidak aman. Individu dengan neuroticism yang tinggi cenderung
mudah mengalami kecemasan, rasa marah, depresi, dan memiliki kecenderungan
emotionally reactive, sehingga individu diperkirakan memiliki kenaikan mood negatif
lebih tinggi dibandingkan dengan individu dengan neuroticism rendah yang cenderung
akan lebih gembira dan puas terhadap hidup.
Setiap orang mempunyai pendekatan yang berbeda dalam menanggulangi dan
mengurangi stressor terhadap dirinya. Individu khususnya mahasiswa pasti melakukan
strategi dalam mengurangi stres yang sedang dihadapi, strategi ini dinamakan coping
stres. Coping stres menurut Sarafino (Aryani, 2008) adalah suatu proses dimana
seseorang berusaha menangani kesenjangan antara kebutuhan atau tuntutan-tuntutan
dengan sumber-sumber yang ia miliki dalam situasi yang dapat menimbulkan stres.
Salah satu faktor yang ikut menentukan bagaimana stres bisa dikendalikan dan diatasi
secara efektif adalah strategi coping yang digunakan inividu.
Lazarus dan Folkman (Primaldhi, 2002) mengemukakan dua macam strategi coping,
yaitu problem focused coping dan emotion focused coping. Problem focused coping
merupakan tindakan yang dilakukan oleh individu untuk mencoba memecahkan
masalah yang sedang dihadapinya dengan melakukan perubahan terhadap dirinya dan
lingkungannya. Sedangkan emotion focused coping merupakan pikiran-pikiran atau
tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mengurangi atau meredakan tekanan emosi
yang ditimbulkan oleh stressor, sedangkan kondisi obyektif yang menimbulkan masalah
4

tidak ditangani. Strategi problem focused coping paling banyak dilakukan untuk
menghadapi stres terutama pada lingkungan akademik (Hernawati, 2006).
Mahasiswa ketika berhadapan dengan stressor maka mengalami suatu penilaian
(appraisal) yang selanjutnya akan melakukan coping untuk menangani stressor tersebut
agar tetap dalam keadaan stabil. Reaksi terhadap stressor bervariasi antara indidividu
satu dengan yang lain. Menurut Smet (Sumbayak, 2009), salah satu faktor yang
mempengaruhi strategi coping ialah karakteristik kepribadian. Individu memiliki
kecenderungan kepribadian yang berbeda akan menampilkan peirlaku yang berbeda-
beda pula. Tampilan gaya merespon mahasiswa terhadap stres merupakan cerminan
kepribadian yang dimilikinya. Costa & Mc Crae (Primaldhi, 2002) menunjukkan bahwa
trait kepribadian merupakan faktor yang menentukan jenis strategi coping yang
digunakan secara konsisten oleh individu. Hal ini dapat diartikan strategi coping
tersebut tidak dapat terlepas dari preferensi kepribadian masing-masing individu.
Berdasarkan penelitian Utomo (2008) terdapat hubungan problem focused coping
dengan stres tingkat sedang dan stres tingkat tinggi, sedangkan emotional focused
coping memiliki hubungan dengan stres tingkat rendah dan stres tingkat sedang pada
mahasiswa semester awal. Penelitian mengenai hubungan neuroticism dan stres yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari masih sangat terbatas (Gunthert, Cohen, & Armeli,
1999). Selama ini masih belum ada penelitian yang menyebutkan hubungan antara trait
kepribadian neuroticism bersamaan dengan strategi coping khususnya problem focused
coping terhadap stres akademik.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti berminat untuk melakukan penelitian
dengan judul “Peran Kecenderungan Kepribadian Neuroticism dan Problem Focused
Coping dalam menjelaskan Stres Akademik Mahasiswa Tingkat Akhir Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya.”

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu suatu desain yang


memungkinkan dilakukannya pencatatan data hasil penelitian secara nyata dalam
bentuk angka, sehingga memudahkan proses analisis dan penafsirannya dengan
menggunakan perhitungan-perhitungan statistik (Azwar, 2010). Dalam melakukan
penelitian, diperlukan definisi operasional untuk mengoperasionalkan variabel yang
akan diteliti sehingga bisa dipelajari secara empiris.
Skala neuroticism yang akan digunakan dalam penelitian ini disusun berdasarkan
teori Mc Crae dan Costa (Pervin & Cervone, 2012). Skala tersebut terdiri dari 48 aitem
yang disusun menurut enam dimensi dengan penjelasan sebagai berikut:

Tabel 1. Definisi Operasional Neuroticism


No Dimensi Indikator Perilaku
1. Anxiety (kecemasan) individu takut berlebihan, khawatir, cemas yang
berlebihan, dan gelisah.
2. Self-consciousness merasa tidak aman, tidak santai, tidak tenang.
(kesadaran diri)
3. Depression (depresi) murung, sedih, merasa tidak berarti.
4. Vulnerability (mudah merasa tidak aman, emosional, gelisah, dan
tersinggung) mudah curiga
5. Impulsiveness (menuruti tidak berpikir panjang menggunakan logika,
5

kata hati) menuruti kata hati


6. Angry hostility (amarah) individu kurang kontrol diri, pendendam, sinis.

Sedangkan pengukuran problem focused coping menggunakan alat ukur yang disusun
oleh peneliti berdasarkan teori coping yang dikemukakan oleh oleh Lazarus & Folkman
terdiri dari 36 aitem. Alat ukur coping telah banyak berkembang di seluruh dunia,
Lazarus & Folkman menciptakan alat ukur coping yang bernama revised Ways of
Coping questionnaire (WCQ) yang merupakan penyempurnaan dari Ways of Coping
(WOC) scale. WCQ telah digunakan secara luas untuk mengukur coping stres.

Tabel 2. Definisi Operasional Problem Focused Coping


No Dimensi Indikator Perilaku
1. Cautiousness (kehati-hatian) Individu berpikir dan mempertimbangkan
beberapa alternatif pemecahan amsalah
yang tersedia, meminta pendapat orang
lain, berhati-hati dalam memutuskan
masalah serta mengevaluasi strategi yang
pernah dilakukan sebelumnya.
2. Negotiation (negosiasi) Beberapa usaha yang dilakukan individu
yang ditujukan pada orang lain yang
terlibat atau merupakan penyebab
amsalahnya untuk ikut menyelesaikan
masalah
3. Instrumental action Tindakan individu yang diarahkan pada
(tindakan instrumental) penyelesaian masalah secara langsung,
serta menyusun langkah yang akan
dilakukannya

Skala stres akademik disusun berdasarkan dimensi yang sama seperti pada Student
Academic Stress Scale (SASS) yang telah divalidasi oleh Busari (2011). Skala ini terdiri
dari 40 aitem yang akan mengukur stres akademik pada mahasiswa dengan
menggunakan skala Likert dengan lima skor.
Tabel 3. Definisi Operasional Stres Akademik
No Dimensi Indikator Perilaku
1. Afektif Perasaan khawatir, terancam, sedih, tertekan, ingin
menangis, emosi yang meledak-ledak.
2. Behavioral Bermasalah dengan memori, melakukan
pelanggaran, tidak dapat berkonsentrasi,
bermasalah dengan beberapa orang.
3. Fisiologikal Bermasalah dengan kesehatan, tidak dapat
berekspresi pada saat tertentu.
4. Kognitif Ketidakmampuan mengikuti materi, khawatir
terhadap beberapa hal.

Populasi diartikan sebagai kelompok subjek yang hendak dikenai generalisasi hasil
penelitian (Azwar, 2009). Populasi dalam penelitian ini ialah seluruh mahasiswa tingkat
akhir Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya Malang yang
terbagi dalam 6 jurusan dan program studi dengan rincian sebagai berikut:
6

Tabel 4. Jumlah Mahasiswa tingkat akhir FISIP


No. Jurusan / Program Studi Jumlah Mahasiswa
2008 2009
1. Ilmu Komunikasi 189 202
2. Psikologi 98 133
3. Hubungan Internasional 97 119
4. Sosiologi 78 88
5. Ilmu Politik 26 61
6. Ilmu Pemerintahan 0 0
Total 1091

Tabel 5. Jumlah Mahasiswa berdasarkan jenis kelamin


No. Jenis Kelamin Jumlah
1. Laki-laki 513
2. Perempuan 578
Total 1091

Sampel penelitian merupakan sebagian dari populasi yang ahrus memiliki ciri-ciri
dari populasinya. Sampel dalam penelitian ini ialah mahasiswa yang sedang berada pada
tingkat akhir FISIP Universitas Brawijaya. Berdasarkan nomogram sampel yang
dilibatkan dalam uji coba sebanyak 70 orang sedangkan untuk penelitian sebanyak 204
orang berdasarkan penghitungan menentukan anggota jumlah sampel dengan
menggunakan nomogram Herry King (Sugiyono, 2007). Berdasarkan nomogram
tersebut peneliti menggunakan taraf kesalahan 5 % yang umumnya digunakan dalam
penelitian sosial kemudian mencari jumlah populasi yang dibulatkan menjadi 1100,
didapatkan faktor pengali sampelnya yaitu 265. Berikutnya merupakan rumusnya:

Berikut merupakan rincian perhitungannya:


Ilmu Komunikasi :
Psikologi :
Hubungan Internasional :
Sehingga jika dijumlahkan akan didapatkan jumlah sampel sebanyak 204 orang
dengan rincian jurusan Ilmu Komunikasi sebanyak 95 responden, program studi
Psikologi sebanyak 56 responden, dan program studi Hubungan Internasional sebanyak
53 responden.
Pada saat penelitian skala yang disebar sebanyak 240 skala yang terdiri dari skala
neuroticism, problem focused coping dan stres akademik. Skala tersebut terdiri dari 2
versi yaitu versi cetak dan versi online. Peneliti menyebar 200 skala dalam versi cetak
dan 40 skala dalam versi online menggunakan bantuan google documents. Data yang
telah didapat, diolah dengan menggunakan program SPSS (Statistical Product for
Service Solution) version 17.0 for Windows.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik probability
sampling. Probability sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana setiap
anggota populasi memiliki peluang yang sama untuk menjadi sampel. Teknik yang
7

digunakan dengan menggunakan teknik sampling acak berstrata (stratified random


sampling).
Suatu instrumen atau alat ukur harus diuji validitas dan reliabilitasnya sebelum
digunakan untuk pengambilan data. Uji coba dilakukan pada mahasiswa tingkat akhir
yang dipilih secara acak oleh peneliti di lingkungan Universitas Brawijaya.
Reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini ialah reliabilitas konsistensi
internal. Formula reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah formula
Cronbach Alpha. Sedangkan untuk vadilitas yang digunakan ialah validitas isi,
merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap kelayakan atau relevansi
isi tes melalui analisis rasional oleh panel yang berkompeten atau melalui expert
judgement (Azwar, 2010). Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis
regresi linier. Analisis regresi linier digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel
bebas terhadap variabel terikat (Suharyadi & Purwanto, 2004). Analisis regresi linier
yang digunakan ialah analisis regresi linier berganda, hal ini disebabkan variabel bebas
berjumlah dua yang berpengaruh atau tidak terhadap variabel terikat.

DISKUSI

Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui peran neuroticism dan problem
focused coping dalam menjelaskan stres akademik. Hasil analisis data menunjukkan
bahwa hipotesis pertama terbukti yang menyebutkan bahwa ada peran simultan yang
signifikan neuroticism dan problem focused coping dalam menjelaskan stres akademik.
Dengan demikian, stres akademik dapat dijelaskan oleh variabel neuroticism dan
problem focused coping sebesar 32,5%. Sedangkan sisanya sebesar 67,5% variabel
terikat dijelaskan oleh variabel bebas lain yang tidak diamati di penelitian ini. Variabel
lain tersebut dapat berupa dimensi lain dari Big Five Personality yang tidak diteliti,
yaitu opennes to a new experience, consciountiousness, extraversion dan
agreeableness. Sedangkan dari strategi coping lain yang tidak diteliti yaitu emotion
focused coping dapat pula mempengaruhi penelitian. Terdapat pula faktor lain
yang dapat mempengaruhi penelitian ini ditinjau dari faktor eksternal seperti dukungan
dari lingkungan sosial, kurikulum dari fakultas, hubungan dengan teman dan dosen.
Faktor lainnya dapat berupa resistensi mahasiswa dalam menghadapi stres yang datang
pada dirinya, jika mahasiswa sejak semester awal telah terbiasa dihadapkan dengan
tugas-tugas akademik, maka pada semester akhir mahasiswa cenderung menganggap
tugas akhir sebagai hal yang tidak terlalu mengkhawatirkan sehingga tidak
menimbulkan stres dalam tingkat tinggi.
Neuroticism merupakan satu trait dasar kepribadian yang stabil dan menampakkan
ciri-ciri yang jelas. Menurut Costa & Mc Crae (Pervin & Cervone, 2012), neuroticism
merupakan bagian dari fungsi psikologis individu yang berkaitan erat dengan stres dan
coping. Strategi coping yang digunakan oleh individu tergantung pada kepribadian
masing-masing. Fokus dalam penelitian ini ialah kecenderungan individu menggunakan
problem focused coping dalam menghadapi stres akademik yang dihadapinya.
Kecenderungan neuroticism dan problem focused coping ini secara bersamaan
memberikan peran dalam menjelaskan stres akademik.
Hipotesis kedua terbukti bahwa ada peran parsial yang signifikan dari neuroticism
terhadap stres akademik, semakin tinggi neuroticism maka semakin tinggi stres
akademik dan semakin rendah neuroticism maka semakin rendah stres akademik.
Neuroticism dapat menjelaskan stres akademik sebesar 55,7%.
8

Neuroticism merupakan bagian dari big five personality. Big five personality
merupakan salah satu teori kepribadian yang menitik utamakan pada trait. Lima
dimensi utama dari big five personality ialah Opennes to Experience,
Conscientiousness, Extraversion, Agreeableness dan Neuroticism. Dari kelima dimensi
utama tersebut yang berkaitan langsung dengan stabilitas emosi dan faktor penyesuaian
diri ialah neuroticism. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, mahasiswa di
lingkungan FISIP UB sebagian besar memiliki neuroticism di tingkat sedang yaitu
sebanyak 61,28%. Sedangkan mahasiswa yang memiliki kecenderungan neuroticism di
tingkat rendah sebanyak 38,72% dan tidak ada mahasiswa yang memiliki neuroticism di
tingkat tinggi atau sebanyak 0%.
Skor neuroticism yang tinggi menunjukkan bahwa individu cenderung menilai
situasi secara negatif, hal ini sesuai dengan pendapat dari Atkinson (2000), sehingga
menimbulkan emosi-emosi yang negatif bagi dirinya. Emosi negatif tersebut dapat
berupa perasaan murung, sedih, merasa tidak aman dan tidak tenang. Permasalahan
akademik tidak hanya muncul dari tugas-tugas akademik atau perkuliahan, namun juga
berasal dari hubungan dengan teman atau dosen yang kurang baik. Hal ini menjadi salah
satu penyebab individu merasa tidak tenang dan mengalami stres akademik.
Ketidakmampuan mengikuti materi dan menyelesaikan studi seringkali menjadikan
masalah tersendiri bagi kesehatan atau fisik individu, sehingga muncul perasaan mudah
gelisah dan mudah curiga terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Neuroticism
menampung kemampuan individu untuk menahan stres.
Skor neuroticism sedang menunjukkan bahwa individu memiliki stabilitas emosi
yang kadangkala menunjukkan arah kecemasan dan emosi-emosi negatif, namun pada
situasi tertentu yang dianggap tidak begitu mengancam dirinya, menunjukkan stabilitas
emosi yang baik yang ditunjukkan dengan sikap santai, tidak emosional, merasa aman,
puas dengan diri sendiri dan merasa nyaman dengan kondisinya saat ini.
Namun, hipotesis ketiga yang berbunyi ada peran parsial yang signifikan problem
focused coping terhadap stres akademik dimana semakin tinggi problem focused coping
maka semakin rendah stres akademik dan semakin rendah problem focused coping
maka semakin tinggi stres akademik tidak terbukti karena koefisiennya tidak signifikan
yaitu sebesar 0,558, namun korelasinya sesuai dengan hipotesis yaitu berkorelasi
negatif.
Coping dilakukan untuk mengatasi, mengurangi atau bersikap dalam menghadapi
tuntutan terhadap lingkungan yang dipersepsikan sebagai suatu tekanan. Problem
focused coping merupakan salah satu bentuk coping dari teori yang dicetuskan oleh
Lazarus dan Folkman. Problem focused coping lebih berorientasi pada pemecahan
masalah, meliputi usaha-usaha untuk mengatur atau merubah kondisi objektif yang
merupakan hambatan dan dalam penyesuaian diri atau melakukan sesuatu untuk
merubah hambatan tersebut. Individu memikirkan dan mempertimbangkan beberapa
alternatif pemecahan masalah yang ada dan meminta pendapat orang lain, berhati-hati
dalam memutuskan pemecahan masalah serta mengevaluasi strategi yang pernah
dilakukan sebelumnya.
Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil yang tidak signifikan dari problem
focused coping dalam menjelaskan stres akademik. Hal ini dapat dikarenakan individu
cenderung menggunakan strategi coping lain selain problem focused coping dalam
menghadapi stres akademik, yaitu emotion focused coping. Studi lain yang dilakukan
oleh Sarafino (2006) menyebutkan bahwa individu dapat menggunakan problem
focused coping dan emotion focused coping secara bersamaan ketika sedang
9

menghadapi masalah. Namun, menurut Folkman (Sarafino, 2006) usia juga dapat
mempengaruhi penggunaan strategi coping. Individu dewasa madya lebih sering
menggunakan problem focused coping sedangkan individu yang berada pada usia
dewasa akhir lebih sering menggunakan emotion focused coping. Berikut merupakan
ringkasan analisis statistik yang dilakukan:

Tabel 6. Ringkasan Analisis Regresi


Dimensi Koefisien Standardized t Sig. Keterangan
β Koefisien β hitung
Constant 38,580 3,602 0,000 Signifikan
Neuroticism 0,557 0,554 8,118 0,000 Signifikan
Problem -0,047 -0,040 -0,040 0,558 Tidak
Focused Signifikan
Coping
α = 0,05
2
Koefisien Determinasi (Adj R ) = 0,325
F hitung = 49,952
F tabel = 3,00
Signifikansi = 0,000
t-tabel = 1,645

Selain itu, jenis kelamin juga mempengaruhi penggunaan strategi coping, bahwa
pria cenderung lebih sering menggunakan problem focused coping dibandingkan wanita
yang lebih sering menggunakan emotion focused coping. Dalam penelitian ini,
didapatkan hasil bahwa antara jenis kelamin perempuan dan laki-laki tidak terdapat
perbedaan yang signifikan dalam menggunakan strategi problem focused coping, begitu
juga dengan usia. Hal ini disebabkan rata-rata sampel dalam penelitian ini berada di
antara usia 20 hingga 25 yang berada pada masa dewasa awal dimana pada masa ini
individu dituntut untuk bisa berpikir secara rasional dalam menghadapi masalah. Selain
itu, tingkat pendidikan juga menjadi penyebab individu cenderung menggunakan
problem focused coping dibandingkan strategi coping lainnya. Pada penelitian
Sholichatin (2011), strategi coping yang dilakukan oleh anak didik penghuni Lembaga
Pemasayarakatan (LAPAS) lebih berfokus pada emotion focused coping, dibandingkan
dengan problem focused coping. Anak didik tersebut sebagian besar tidak mengenyam
pendidikan, sehingga pengalaman untuk mengolah emosi dan kemampuan untuk
memikirkan strategi dalam mengahdapi stres masih kurang, dibandingkan dengan
mahasiswa yang sehari-hari diberi materi perkuliahan yang mengasah logika.
Problem focused coping merupakan strategi yang bersifat eksternal yang artinya
individu berorientasi pada mencari dan menghadapi titik utama permasalahan dengan
cara mempelajari strategi dan keterampilan baru dalam mengurangi stressor yang
dihadapi. Berbeda dengan emotion focused coping yang menitikberatkan pada pelepasan
emosi sesaat yang dialami karena stressor yang dirasakan oleh individu. Strategi coping
yang dilakukan oleh individu juga disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor
personal dan faktor lingkungan. Faktor personal seperti status sosial ekonomi, persepsi
terhadap stimulus yang dihadapi dan tingkat perkembangan kognitif individu
sedangkan faktor lingkungan ialah pengaruh dari teman dekat dan keluarga.
10

Berkaitan dengan cara individu menghadapi stres yaitu coping, dalam penelitian
ini dijelaskan secara spesifik hanya pada problem focused coping. Pemilihan strategi
coping tergantung dari karakteristik kepribadian masing-masing individu. Berdasarkan
hasil penelitian, didapatkan mayoritas mahasiswa FISIP menggunakan strategi problem
focused coping tingkat sedang, yaitu sebanyak 87,74%, sedangkan 10,79% mahasiswa
menggunakan strategi problem focused coping dengan tingkat tinggi, dan sisanya
sebesar 1,47% menggunakan strategi problem focused coping tingkat rendah.
Penggunaan strategi problem focused coping dengan skor tinggi menunjukkan
individu cenderung mengatasi masalah dengan mempelajari cara atau keterampilan baru
untuk mengurangi stressor dalam dirinya. Orientasi pada pemecahan masalah ialah
fokus utama dari problem focused coping. Sebagai contohnya, saat menghadapi banyak
tugas dan tuntutan akademik, maka individu segera mencari referensi dan mengerjakan
tugas tanpa menundanya. Penjelasan untuk problem focused coping sedang ialah
individu memiliki kecenderungan untuk berorientasi pada masalah, meskipun diselingi
dengan strategi coping lain yang tidak langsung berfokus pada masalah, seperti pergi
jalan-jalan terlebih dahulu, baru mengerjakan tugas yang diberikan. Sedangkan untuk
penggunaan problem focused coping tingkat rendah menunjukkan individu tidak
berorientasi pada masalah, melainkan berfokus pada melepaskan emosi yang dirasakan
karena adanya tuntutan yang ia alami.
Stres merupakan hal yang wajar terjadi pada kehidupan manusia. Pada
mahasiswa, stres yang paling sering dialami ialah stres dalam bidang akademik yang
disebut dengan stres akademik. Stres akademik ialah suatu keadaan individu mengalami
tekanan sebagai hasil persepsi dan penilaian mahasiswa tentang stressor akademik dan
reaksi terhadap stressor ketika menghadapi tuntutan akademik yang berhubungan
dengan ilmu pengetahuan, pendidikan di perguruan tinggi (Irma, Daud & Khumas,
2005). Kejadian di sekitar yang dialami oleh individu bergantung pada interpretasi yang
diberikan kepada persitiwa tersebut apakah menimbulkan stres atau tidak karena
sebenarnya lingkungan bersifat netral. Cara individu bereaksi terhadap stres pun
berbeda-beda. Hal ini bergantung pada jenis kelamin, usia, kepribadian, inteligensi,
emosi, status sosial ekonomi atau pekerjaan.
Stres akademik pada mahasiswa berbeda dalam hal stressor (Moore, 2012).
Stressor tersebut dapat berasal dari internal dan eksternal. Stressor eksternal dapat
berupa keuangan, beban tugas, ujian, masalah interaksi dengan teman. Terdapat pula
manajemen waktu, hubungan dengan dosen, aktivitas di organisasi kampus, dan
kurangnya dukungan sosial menjadi penyebab stres pada mahasiswa. Terutama pada
mahasiswa tingkat akhir, tuntutan untuk segera menyelesaikan tugas akhir, tingginya
standar dari orang tua maupun individu sendiri dan ketidakpastian terhadap masa depan
setelah lulus menjadi stressor utama. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan hasil
sebanyak 72,54% mahasiswa FISIP menalami stres akademik tingkat sedang,
sedangkan 26,96% mahasiswa mengalami stres akademik tingkat rendah, sedangkan
0,5% mahasiswa mengalami stres akademik tingkat tinggi.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa tingkat akhir FISIP UB sebagian
besar mengalami stres akademik di taraf sedang, dan hampir tidak ada mahasiswa yang
mengalami stres akademik tingkat tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena pemilihan
subjek penelitian pada mahasiswa di tingkat akhir, bukan pada mahasiswa di masa-masa
sibuk yaitu semester 5 dan 6. Pada masa tersebut mahasiswa dihadapkan pada tugas-
tugas akademik dengan intensitas yang cukup tinggi dibandingkan semester-semester
11

lainnya. Sedangkan pada mahasiswa tingkat akhir, hal yang harus dihadapi ialah tugas
akhir dan tuntuta untuk segera menyelesaikan studi.
Skor stres akademik tinggi menunjukkan individu yang merasakan
ketidakmampuan dalam 4 dimensi yaitu afektif, behavioral, fisiologikal, dan kognitif
dalam kaitannya dengan tekanan bidang akademis, sehingga hal ini sangat mengganggu
kehidupannya sehari-hari. Skor stres akademik pada tingkat sedang menunjukkan
bahwa individu merasakan adanya ketidak mampuan dan masalah yang berkaitan
dengan bidang akademis dalam dimensi afektif, behavioral, fisiologikal, dan kognitif
yang dirasakan cukup mengganggu dalam hidupnya. Sedangkan skor stres akademik
pada tingkat rendah menunjukkan kecenderungan individu yang merasa tidak
mengalami masalah yang begitu berarti dalam bidang akademis, dan hal tersebut tidak
mengganggu kehidupannya sehari-hari.
Stres akademik dapat menimbulkan serangkaian reaksi-reaksi neurologis dan
fisiologis. Seyle (Cordon, 2013) menunjukkan bahwa individu yang menjadi subjek dari
stres yang berlangsung lama melalui tiga fase yaitu: Alarm Reaction, Stage of
Resistance, dan Exhaustion yang disingkau dengan General Adaptation Syndrome
(GAS). Pada tahap Alarm Reaction, individu akan mengalami suatu respon neurologis
dan fisiologis yang ditandai dengan meningkatnya kelenjar adrenalin. Pada tahap Stage
of Resistance ini individu dapat merasakan apakah organ-organ internal dirinya
terganggu atau tetap berjalan normal. Jika dirasakan memberikan perubahan negatif
berupa penyakit seperti sakit kepala, insomnia, atau bahkan penyakit kardiovaskular dan
penyakit yang dinilai parah, maka individu dikatakan berada pada tahap Exhaustion
stage. Pada tahap exhaustion stage inilah individu dinilai berada pada stres akademik
tingkat tinggi.
Stres akademik merupakan tingkat penyesuaian individu terhadap kondisi yang
tidak menyenangkan sebagai akibat adanya ketidaksesuaian antara harapan atau
keinginan individu dengan tuntutan yang diberikan sehingga berpengaruh pada kondisi
fisik, psikologis dan kognitif individu. Mahasiswa yang mengalami stres akademik,
akan menjadi salah satu penghambat dalam menyelesaikan studinya. Maka dari itu
adanya antisipasi dalam mengurangi tingkat stres pada mahasiswa tingkat akhir perlu
dilakukan. Salah satu caranya ialah dengan manajemen waktu. Pemahaman terhadap
kontrol waktu, penetapan tujuan dan prioritas, mekanisme manajemen waktu, dan
kecenderungan untuk terorganisasi menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi
manajemen waktu.
Mahasiswa pada tingkat stres tertentu akan memberikan dampak yang positif bagi
dirinya, karena hal ini akan mendesak mahasiswa untuk mengerjakan tugas lebih baik.
Namun, pada tingkat stres yang tinggi atau tingkat stres yang ringan dan
berkepanjangan justru akan membuat menurunnya semangat mahasiwa dalam
menyelesaikan studi. Kesadaran akan kemampuan diri sendiri dan menyanggupi
tanggung jawab sangat diperlukan agar individu tidak memaksakan diri untuk
mengambil lebih dari batas kemampuannya yang mengakibatkan munculnya tekanan
yang melebihi batas kemampuan untuk menanggungnya.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang peran neuroticism dan
problem focused coping dalam menjelaskan stres akademik, didapatkan hasil untuk
menjawab rumusan masalah yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
12

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa neuroticism, problem focused coping dan stres
akademik pada mahasiswa tingkat akhir FISIP UB tergolong dalam kategori sedang.
Dengan rincian 38,72% mahasiswa memiliki neuroticism tingkat rendah, 61,28%
mahasiswa memiliki neuroticism tingkat sedang, dan 0% mahasiswa mengalami
neuroticisim tingkat tinggi. Untuk hasil problem focused coping, sebanyak 87,74%
mahasiswa memiliki problem focused coping tingkat sedang, 1,47% memiliki
problem focused coping tingkat rendah dan 10,79% memiliki problem focused
coping tingkat tingi. Sedangkan hasil stres akademik yang dialami oleh mahasiswa
FISIP UB, sebanyak 26,9% mengalami stres akademik tingkat rendah, 72,54%
mengalami stres akademik tingkat sedang dan 0,5% mengalami stres akademik
tingkat tinggi. Sedangkan berdasarkan hasil uji t, didapatkan hasil rata-rata
mahasiswa FISIP UB memiliki tingkat neuroticism rendah, problem focused coping
tinggi, dan stres akademik tingkat rendah.
2. Hasil uji simultan menunjukkan bahwa nilai signifikansi sebesar 0,000 jauh lebih
kecil dari 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa neuroticism dan problem focused
coping secara bersama-sama berpengaruh terhadap stres akademik.
3. Hasil uji parsial menunjukkan bahwa ada peran parsial yang signifikan neuroticism
terhadap stres akademik, dimana semakin tinggi neuroticism maka semakin tinggi
stres akademik dan semakin rendah neuroticism maka semakin rendah stres
akademik. Neuroticism dapat menjelaskan stres akademik sebesar 55,7%. Namun
hipotesis ketiga yang berisi ada peran parsial yang signifikan problem focused
coping terhadap stres akademik dimana semakin tinggi problem focused coping
maka semakin rendah stres akademik dan semakin rendah problem focused coping
maka semakin tinggi stres akademik tidak terbukti karena koefisiennya bernilai
0,558.
4. Dari hasil uji regresi diperoleh koefisien regresi parsial neuroticism sebesar 0,557,
hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang positif antara variabel
neuroticism dengan variabel stres akademik, yakni apabila neuroticism meningkat
maka stres akademik juga meningkat. Apabila neuroticism mengalami peningkatan
sebesar 1 poin dan variabel lain dianggap konstan, maka stres akademik akan
meningkat sebesar 0,557. Sedangkan koefisien regresi problem focused coping
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh negatif antara variabel problem focused
coping dengan variabel stres akademik, yakni apabila problem focused coping
meningkat maka stres akademik menurun, begitu pula apabila problem focused
coping meningkat sebesar 1 poin dan variabel lain dianggap tetap maka stres
akademik diperkirakan menurun sebesar -0,47. Berdasarkan hasil analisis regresi
didapatkan koefisien determinasi (Adj R2) sebesar 0,325. Hal ini berarti bahwa
model regresi yang didapatkan mampu menjelaskan pengaruh antara semua dimensi
yang yang ada pada variabel bebas terhadap variabel terikat sebesar 32,5% dan
sisanya sebesar 67,5% variabel terikat dijelaskan oleh variabel bebas lain yang tidak
diamati di penelitian ini.
5. Tidak ada perbedaan yang signifikan untuk stres akademik yang ditunjukkan oleh
variabel demografis dalam penelitian ini yaitu jenis kelamin, angkatan dan usia,
sehingga variabel demografis tidak perlu dikontrol dalam penelitian ini.

SARAN
13

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran yang bisa
disampaikan oleh Peneliti baik secara akademik maupun secara praktis yang berguna
bagi penelitian selanjutnya maupun bagi masyarakat:
1. Saran Metodologis
a. Untuk penelitian lebih lanjut perlu dilakukan pada sampel penelitian yang berada
pada semester pertengahan yaitu semester 5-6 yang merupakan semester dengan
tugas akademik dalam jumlah yang banyak.
b. Penelitian ini masih mencakup suatu populasi tertentu, sehingga untuk penelitian
selanjutnya agar ruang lingkup dapat diperluas dengan menambah karakteristik
responden yang beragam untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih umum.
c. Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan variabel lain dari
teori big five personality maupun strategi coping agar hasil penelitian yang
diperoleh lebih komprehensif
2. Saran Praktis
a. Bagi mahasiswa tingkat akhir diharapkan dapat mengubah persepsi negatif dari
stres menjadi persepsi positif agar stres yang dialami dapat menjadi pendorong
untuk lebih maju.
b. Bagi dosen diharapkan dapat memahami kemampuan dari mahasiswa, sehingga
mahasiswa tidak merasa dibebani oleh tugas dan tuntutan yang dapat membuat
mahasiswa mengalami stres akademik dengan persepsi negatif.

DAFTAR PUSTAKA

Agolla, J.E. & Ongori, H. (2009). An Assessment of Academic Stress Among


Undergraduate Students: The Case of University of Botswana. Educational
Reserach and Review, 4, 63-70.
Aryani, F. (2008). Efektivitas Pendekatan Cognitive Behavior Modification (CBM)
untuk engelola Stres Belajar Siswa. Disertasi Tidak Diterbitkan. Program Studi
Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang.
Atkinson, W. (2000). Strategies for workplace stress: Risk & Insurance. Diunduh dari:
http:www.findarticles.com pada tanggal 30 Januari 2013
Azwar, S. (2009). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_______. (2010). Reliabilitas dan Validitas. Edisi 4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bariyyah, K. (2011). Stres Akademik. Diunduh dari:
http://konselingindonesia.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=3
79 pada tanggal 4 Desember 2012.
Busari, A.O. (2011). Validation of Student Academic Stress Scale (SASS). European
Journal of Social Sciences, 21, 94-105.
Chadha, P. (2006). Stressors-External and Internal. Diunduh
dari:http://ezinearticles.com/?Stressors---External-And-Internal &id=134317 pada
tanggal 5 Desember 2012.
Cordon, M. I. (2008). Stres (Stres California State University, Northridge). Diunduh
dari http://www.csun.edu/~vcpsy00h/ students/stress pada tanggal 13 Februari
2013
Edwina, I.P. (2012). Studi Deskriptif The Five-Factor Model of Personality pada
Remaja usia 15-18 tahun (Studi pada siswa SMA “X” Bandung dan Mahasiswa
14

Semester II Universitas Y Bandung. Skripsi Tidak Diterbitkan. Bandung:


Fakultas Psikologi Universita Kristen Maranatha.
Feist, J. & Feist G.J. (2008). Theories of Personality 6th edition. New York: McGraw
Hill Companies, Inc.
Gunthert, K.C., Cohen, L.H., & Armeli, S. (1999). The Role of Neuroticism in Daily
Stress and Coping. Journal of Personality and Social Psychology, 77, 1087-1100.
Hernawati, N. (2006). Tingkat Stres dan Strategi Coping menghadapi Stres pada
Mahasiswa Tingkat Pesiapan Bersama tahun akademik 2005/2006. Jurnal Ilmu
Pertanian Indonesia,11, 18-29.
Hoffman, M.A., Shiff, R.L., & Malinski, D. (1996). Stress and Adjustment in the
Transition to Adolescence: Moderating Effects of Neuroticism and Extroversion.
Journal of Youth and Adolescence, 25, 161-175.
Irma., Daud, M. & Khumas, A. (2005). Manajemen Waktu dengan Stres Akademik
pada Mahasiswa Perguruan Tinggi di Makassar. Makassar: Jurnal Fakultas
Psikologi Universitas Negeri Makassar.
Misra, R. & McKean, M. (2000). Academic Stress of College Students: Comparison of
Student and Faculty Perceptions. American Journal of Health Studies, 1, 1-25.
Moore, W. (2012). Students Stress. Diunduh dari: http://www/channel4.com
/health/microsites/0-9/4heealth/stress/syp/student. html pada tanggal 4 Desember
2012
Nurdini, K. (2009). Efektivitas Konseling Kognitif Perilaku untuk. Mengelola Stres
Akademik Siswa SMK. Skripsi Tidak Diterbitkan. Bandung: PPB FIP Universitas
Pendidikan Indonesia.
Pervin, L. A., & Daniel, C. (2012). Kepribadian: Teori dan Penelitian Edisi 10 Buku 2.
Singapore: John Wiley & Sons, Inc.
Primaldhi, A. (2002). Hubungan Antara Trait Kepribadian Neuroticism, Strategi
Coping, dan Stres Kerja. Seminar Psikologi Terapan pada Universitas Mercu
Buana Jakarta.
Sarafino, E.P. (2006). Health Psycholology: Biopsychosocial Interactions: Fifth
Edition. USA: John Wiley & Sons.
Sholichatin, Y. (2011). Stres dan Strategi Coping pada Anak Didik di Lembaga
Pemasayarakatan Anak. Jurnal Psikologi Islam (Psikoislamika), 18, 23-42.
Sugiyono. (2007). Statistika Untuk Penelitian. Cetakan Keduabelas. Bandung: Alfabeta.
Suharyadi & Purwanto. (2004). Statistika Dasar. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Sumbayak, B. S. (2009). Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five Personality Terhadap
Coping Stress pada Polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan. Skripsi Tidak
Diterbitkan. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Surbakti. (2010). Gangguan Kebahagiaan Anda dan Solusinya. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
Utomo. (2008). Hubungan antara Model-Model Coping Stres dengan Tingkat Stres
pada Mahasiswa Tahun Pertama Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri
(UIN) Malang. Skripsi Tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Psikologi Universitas
Negeri Islam Malang.

Anda mungkin juga menyukai