Anda di halaman 1dari 6

Nama Mata Kuliah : Psikologi Kepribadian I C.

Dosen Pengampu : Sr. Th. Dewi .fcJ, S.Psi, Psi.

Judul Tugas : Anxiety and Coping.

Jenis Tugas : Kelompok.

Tanggal Pengumpulan : 2 November 2017

Nama Mahasiswa :

1. Ismi Maya Dwi Astuti (179114030) (koordinator)


2. Bernadus Ibnu (179114067)
3. Wening Asmara (179114104)
4. Yaffa Manuela Wibowo (179114105)
5. Surya Pasha P. (179114110)
6. Tessa Cristantya (179114144)
7. Maria Yantri (179114147)

Anxiety

Anxiety merupakan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan. Ketika seseorang


mengalami kecemasan akan merasakan kekhawatiran, panik, dan rasa takut yang berlebihan.
Walaupun Freud memiliki pemikiran yang berbeda – beda tentang definisi kecemasan selama
hidupnya, tulisan terakhir yang sangat berpengaruh dalam aspek kecemasan diidentifikasikan
menjadi 3 macam kecemasan. 3 macam kecemasan tersebut antara lain :

1. Reality Anxiety

Reality Anxiety adalah pengalaman emosional yang menyakitkan yang berasal dari
persepsi akan bahaya yang ada dunia. Bahaya yang dimaksud adalah lingkungan yang mengancam
untuk melukai dan menyakiti orang tersebut. Contohnya ketika mahasiswa yang telah lulus cemas
tidak mendapatkan pekerjaan.

2. Neurotic Anxiety

Neurotic Anxiety adalah ketakutan kepada tidak terkontrolnya insting dan akan
mengakibatkan hukuman, Neurotic Anxiety dapat terjadi ketika impuls Id yang tidak bisa
diterima, hampir lepas kendali dan menembus kesadaran (ego). Contohya mahasiswa yang merasa
bersalah ketika makan secara diam-diam dikelas.

3. Moral Anxiety

Moral Anxiety adalah perasaan bersalah dimana seseorang berniat atau melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan kode etika yang telah ada di masyarakat. Moral anxiety
dimunculkan oleh superego untuk merespon impuls dari Id yang melanggar kode etik dari
superego. Biasanya diinterpretasikan dalam rasa bersalah. Contohnya mahasiswa rantau yang
sedang memahami norma dan kode etik di daerah perantauannya dan kebingungan dalam
berperilaku menghadapi norma baru untuk menyesuaikan diri.
Coping with anxiety.

Coping with anxiety merupakan strategi yang disusun masing masing individu dalam upaya
menghadapi situasi yang berpotensi menyebabkan kecemasan (Anxiety).

Tipe coping anxiety setiap orang berbeda namun berdasarkan fokusnya dapat dikategorikan
menjadi 3 kategori,yaitu :

1. Strategi yang berfokus pada penyelesaian masalah. (Problem-Focused Strategies)


Ketika menghadapi masalah,akan cenderung mencari solusi dari permasalahan dan
menyelesaikan masalah tersebut. Contohnya Mahasiswa yang tidak mengerti
penjelasan dosen di kelas, akan berusaha lebih memahami materi kuliah dengan
cara belajar sebelum kuliah, agar dapat memahami materi yang di berikan dosen.
2. Strategi yang berfokus pada emosi. (Emotional-Focused Strategies)
Mengurangi tekanan emosi yang ditimbulkan oleh masalah yang dihadapi. Biasanya
dilakukan dengan menceritakan kejadian dan permasalahan yang menyebabkan
timbulnya rasa kecemasan. Contohnya mahasiswa yang kehabisan uang bulanan di
pertengahan bulan, biasanya menceritakan perasaan nya dengan temannya yang
juga kehabisan uang bulanan.
3. Strategi menghindar. (Avoidance Strategies)
Orang yang menggunakan strategi menghindar mengatasi emosi dengan
menjauhkan situasi yang memicu kecemasan keluar dari kesadaran. Contohnya
ketika sedang ada UTS, dan pacar sedang marah, biasanya melupakan sejenak
masalah hubungan, karena harus fokus belajar.

Biasanya setiap orang memiliki cara yang relatif sama di jangka waktu yang lama, hal ini
cenderung di generalisasikan sebagai coping style orang tersebut.

Seberapa efektif kah coping strategies?

Pada hampir semua kasus, strategi aktif lebih efektif dibandingkan strategi menghindar
dalam membantu seseorang dalam menghadapi masalah. Strategi aktif disini yaitu strategi yang
berfokus pada penyelesaian masalah dan berfokus pada menceritakan tentang perasaan emosi
yang terkait penyebab kecemasan.

Namun dalam beberapa hal, avoidance strategies juga dibutuhkan untuk jangka waktu
yang singkat, contohnya. Ketika memiliki permasalahan hubungan dengan pacar, ada baiknya di
lupakan sejenak bila ada hal lain yang lebih penting untuk di lakukan, misalnya UAN. Dalam
penggunaan secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama, avoidance strategies dapat
menciptakan masalah baru.

Karena strategi yang berbeda efektif di dalam situasi yang berbeda pula, kunci untuk
mengatasi masalah adalah mengetahui kapan dan strategi apa yang harus digunakan untuk
mengatasi masalah tersebut. Peneliti menyebut kemampuan ini sebagai “coping flexibility”.
Artinya ketika kecemasan muncul, orang-orang yang menggunakan coping strategies yang sesuai
dengan situasi penyebab kecemasan cenderung dapat mengatasi masalah hidup dengan lebih
efisien dan lebih baik daripada mereka yang tidak.
JURNAL PSIKOLOGI
2013, NO. 2, 67-71

KEPERCAYAAN DIRI DAN KECEMASAN

KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA MAHASISWA


Siska, Sudarjo, & Esti Hayu Purnamaningsih

 LATAR BELAKANG
Pokok masalah dalam kecemasan komunikasi interpersonal adalah adanya perasaan
khawatir akan tanggapan dan penilaian pada dirinya terkait pesan yang disampaikan
dan bagaimana pesan itu ia sampaikan. Ketergantungan terhadap penilaian orang
lain pada diri sendiri adalah penanda rasa percaya diri yang rendah.
 HIPOTESA
Hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
o Ada korelasi negative antara kepercayaan diri dengan kecemasan komunikasi
interpersonal pada mahasiswa.
o Ada perbedaan tingkat kecemasan komunikasi interpersonal antara mahasiswa
laki-laki dan perempuan. Mahasiswa perempuan lebih tinggi kecemasannya
dibanding mahasiswa laki-laki.
 SUBJEK
o Subjek Penelitian adalah mahasiswa program studi manajemen fakultas ekonomi
Universitas Kristen Imanuel Yogyakarta. Jumlah subjek 118 orang. Terdiri dari 61
orang mahasiswi dan 57 orang mahasiswa.
Variable-variabel dalam penelitian ini adalah:
o Variable bebas Kepercayaan diri
o Variabel Tergantung Kecemasan komunikasi interpersonal
o Variabel Moderator Jenis kelamin
 HASIL
o Analisis terhadap data penelitian menghasilkan koefisien korelasi sebesar 0.725
denga P < 0.01 yang berarti ada hubungan negatif yang signifikan antara
kepercayaan diri dengan kecemasan komunikasi interpersonal.
o Hal ini menandakan bahwa semakin tinggi kepercayaan diri, maka semakin rendah
kecemasan komunikasi interpersonalnya, begitu pula sebaliknya.
o Sementara dari uji t diperoleh hasil sebesar 0.678 dengan P>0.05 yang berarti
tidak ada perbedaan kecemasan komunikasi interpersonal yang signifikan antara
subjek perempuan dan laki-laki.

Data dikumpulkan dengan menggunakan dua (2) skala, yaitu Skala Kepercayaan Diri yang
terdiri dari 43 item, yang merupakan modifikasi dari The Test of Self Confidence yang disusun
oleh Peter Lauster (1978), dan Skala Kecemasan Komunikasi Interpersonal yang terdiri dari 57
item, dimodifikasi dari skala yang disusun oleh Syarani (1995) berdasarkan aspek-aspek
kecemasan yang dikemukakan oleh Sue (1986). Data dianalisis dengan menggunakan korelasi
moment tangkar dan uji t, dengan bantuan Seri Program Statistik (SPS) edisi Sutrisno Hadi dan
Seno Pamardiyanto.

Diterimanya hipotesis yang diajukan menguatkan pendapat beberapa ahli bahwa salah
satu penyebab kecemasan berkomunikasi adalah keraguan terhadap kemampuan diri sendiri
(Taylor dkk, 1986 & Rakhmat, 1986).
Kepercayaan diri memberikan sumbangan efektif sebesar 52,6 % terhadap kecemasan
komunikasi interpersonal, sementara sisanya 47,4 % ditentukan oleh faktor lain di luar
kepercayaan diri, seperti ketrampilan berkomunikasi, situasi, pengalaman kegagalan atau
kesuksesan dalam komunikasi interpersonal, dan predisposisi genetik.

Hasil uji t menunjukkan tidak ada perbedaan kecemasan komunikasi antara subjek laki-
laki dan perempuan. Kemungkinan besar hal ini disebabkan karena adanya pengaruh faktor
lingkungan. Fakta yang bisa dilihat pada lingkungan subjek penelitian yaitu di kampus, tidak
menunjukkan adanya perbedaan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan. Selain itu model
pendidikan dalam keluarga saat ini sudah mulai berubah, dimana tidak menonjol lagi diskriminasi
perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan, sehingga kedua-duanya dapat mengaktualisasikan
dirinya dengan leluasa.

Dalam penelitian ini diperoleh rerata empirik kecemasan komunikasi sebesar 144,542
sedangkan rerata hipotetik sebesar 171. hal ini menunjukkan bahwa kecemasan komunikasi subjek
cenderung rendah. Kondisi seperti ini akan memberi pengaruh positif bagi pengembangan diri
mahasiswa. Karena kecemasan komunikasi tidak lagi menjadi penghambat dalam mencari
informasi, merundingkan sesuatu atau dalam kerjasama.

JOURNAL OF CROSS CULTURE PSYCHOLOGY


VOL. 27 NO.3, MAY 1996 Hal 315-328
Western Washington University

COPING WITH UNIVERSITY-RELATED PROBLEM


(A CROSS CULTURAL COMPARISON)
Cecilia Ahmoi Essau
University of Bremen
&
Gisela Trommsdorff
University of Constance

 Latar Belakang
o Coping style tidak hanya di pengaruhi oleh penjabaran individu (individual’s
appraisal) dari situasi yang ia hadapi, tetapi juga pilihan yang ada, dan bagaimana
pilihan itu diterima atau ditentang oleh nilai dan norma kebudayaan yang ada
(Lazarus & Folkman, 1984).
o Lebih jauh, kebudayaan dapat berbeda menyesuaikan dengan keadaan lingkungan,
struktur sosial, sumber daya, dan norma kebudayaan, yang bisa saja
mempengaruhi pola coping seseorang.
o Bagaimanapun juga, penelitian mengenai coping lebih sering di lakukan di dalam
kultur individualistik (Barat) dan jarang di kultur kolektivis (Asia) yang
menjadikan pemahaman kita hanya berdasarkan sudut pandang dan konsep dari
budaya barat (individualistik)
 Hipotesa
o Mahasiswa yang berasal dari Malaysia yang memiliki kultur kolektivisme akan
memiliki penilaian lebih tinggi di emotion-focused coping daripada mahasiswa yang
berasal dari Amerika Utara dan Jerman.
 Subjek
o Semua subjek merupakan mahasiswa yang teleh / sedang menempun kuliah pada
tahun pertama dan tahun kedua.
o Total subjek adalah 365 orang yang terdiri dari 143 Pria dan 222 Wanita
o Malaysia 92 Orang
o Amerika Utara 162Orang
o Jerman 111 Orang
o Rata rata umur mahasiswa adalah 21,8 tahun.
o Sebagian besar belum menikah.
 Hasil
o Dengan menggunakan metode penelitian secara The Sociodemographic checklist
yang adaptasi dari symptom checklist dikemukakan oleh Cockerham, Lueschen,
Kunz & Spaeth, 1986. Dan Ways of Coping Checklist (WOCC) yang digunakan
untuk mengetahui tipe tipe coping (Folkman & Lazarus, 1984). Maka diketahui
hasil pengujian.
o Perbandingan dengan menggunakan “ the unique sum of squares” (MANOVA)
menunjukan pengaruh kebangsaan yang tinggi untuk emotion-focused coping
(F[2,350]=54.51,p=.0003), tetapi tidak kepada problem-focused coping.
Subsekuen “univariate analysis” menduga bahwa mahasiswa yang berasal dari
Malaysia memiliki nilai lebih tinggi dalam hal “distancing”
(F[2,344]=23.99,p=.0001) dan “keep to self” (F[2,344]=12.58,p=.0001). Mahasiswa
yang berasal dari Amerika Utara cenderung memiliki skor dalam hal “wishful
thinking” yang lebih tinggi dari kelompok mahasiswa di negara lain
(F[2,344]=4.12,p=.02).
o Problem-focused coping dengan umur di kelompok mahasiwa Malaysia memiliki
korelasi yang tinggi. Maka dari itu, problem-focused coping paling sering di
gunakan oleh kelompok mahasiswa malaysia yang masih muda, untuk menanggapi
penyebab stress mereka. (r=.22,p<.05). Mahasiswa Amerika Utara (R=-.20,p<.01)
dan Jerman (r=-.20,p<.01) yang menggunakan lebih banyak emotion-focused coping
tercatat lebih sedikit gejala fisik (physical symptoms), sedangkan hal yang
berkebalikan ditemui di kelompok mahasiswa Malaysia (r=.31,P<.0001).

Mahasiswa Malaysia lebih sering menggunakan emotion-focused coping ketika menghadapi


kecemasan yang bersifat akademik dibandingkan mahasiswa America Utara Dan Jerman. Temuan
ini mungkin terpengaruh oleh kepercayaan agama mahasiswa malaysia yang mempercayaai
“menyerahkan diri kepada tuhan dan menerima situasi yang telah di takdirkan tuhan”.

Mahasiswa malaysia memiliki tendensi untuk memendam permasalahan mereka untuk


mempertahankan hubungan yang damai di kelompok mereka dengan cara tidak “upsetting” anggota
kelompok mereka dengan masalahnya.

Ada baiknya untuk mengingat bahwa penelitian ini hanya menguji coping dengan 1 jenis
situasi yang dapat memunculkan stress, yaitu, permasalahan yang menyangkut kehidupan
akademik mahasiswa. Hal ini membatasi interpretasi kita, disebabkan “coping behaviors”
cenderung terlihat karena situasi tertentu.

Selaras dengan temuan yang dahulu (Band & Weisz, 1988; Folkman & Lazarus, 1984;
Holahan & Moos, 1985), hampir semua mahasiswa yang menjadi subjek penelitian menggunakan
kedua coping strategy dalam menghadapi problematika kehidupan akademik.
DAFTAR PUSTAKA

Burger, Jerry M. (2011). Personality - 8th Ed. Belmond, CA: Wadsworth, Cengage Learning.

Lauster,P., 1978, The Personality Test, London: Pan Books

Sue, D., & Sue,S., 1986, Understanding Abnormal Behavior, Boston: Houghton Mifflin Company

Rakhmat,J., 1986, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Karya

Syarani,D., 1995, Perilaku Asertif dan Kecemasan Komunikasi Interpersonal, Fakultas Psikologi
UGM, Skripsi, tidak diterbitkan.

Band, E. B., & Weisz, J. R. (1988). How to feel better when it feels bad: Children’s perspectives
on coping with everyday stress. Development Psychology , 24, 247-253.

Folkman, S., & Lazarus, R. S. (1984). An analysis of coping in a middle-aged community sample .
Journal of health and Social Behaviors, 21, 219-239.

Holahan, C. J., & Moos, R. H. (1985). Life stress and health: Personality, coping, and family
support in stress resistance. Journal of Personality and Social Psychology , 49, 739-747.

Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal and coping. New York: Springer.

Anda mungkin juga menyukai