BAHASA INDONESIA
DOSEN PENGAMPU : Farida Fitriani,M.Pd
DISUSUN OLEH :
Nama : SALSABILA NAKHLAH
Prodi : DIII KEPERAWATAN
NIM : 040SYE21
Tuntutan kehidupan, baik di dalam maupun di luar kampus, menuntut agar mahasiswa
mampu mengatasi masalah yang muncul dengan lebih dewasa, lebih bertanggung jawab,
lebih tangguh dan lebih kuat. Sumber stres dapat muncul dari kekhawatiran dan pikiran
negatif tentang diri mereka. Banyak kasus bunuh diri atau percobaan bunuh diri, tindakan
brutal yang terjadi pada kebanyakan mahasisa, hal ini menggambarkan gejala gejala stres
pada mahasiswa yang mulai dari yang mudah sampai yang berat kemudian berakhir dengan
sangat tragis, tentunya hal ini sangat penting untuk dipelajari.
Seorang mahasiswi berusia 23 tahun berinisial ED, mahasiswi di salah satu akademi
kebidanan Medan, mencoba mengakhiri hidupnya dengan cara melompat dari gedung
asramanya di pabrik tenun Jalan, Medan, Sumatera Utara pada 12 Februari 2008, misalnya. .
Contoh lain, EP, mahasiswa Fakultas 'X' di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta,
bunuh diri karena stres saat mempersiapkan proyek kelulusan/tesisnya (news.okezone.com.,
2008).
Ada juga insiden di luar negeri yang menunjukkan gejala stres yang tidak kalah
mencengangkan pada siswa. Enam mahasiswa tewas dan 15 terluka dalam penembakan di
kampus Northern Illinois University. Setelah penembakan brutal, SK mengakhiri hidupnya
sendiri dengan senjata yang digunakan dalam aksinya (Jawa Pos, 16 Februari 2008).
Data yang diperoleh dari hasil penelitian Sari (2003) kelebihan beban kerja siswa akibat
beban kerja sebesar 46,9%. Arta (2004) dalam penelitiannya menemukan bahwa stres yang
disebabkan oleh faktor lingkungan mencapai 64,1% pada siswa SMA. Hapsari (2004)
melaporkan dalam penelitiannya bahwa 45,3% mahasiswa yang mengerjakan skripsinya
mengalami stres. Penelitian lain oleh Rohmah (2006) menemukan bahwa beban mahasiswa
dalam menulis skripsi adalah 39,2%. Supradewi (2006) melaporkan dalam penelitiannya
bahwa 44,3% siswa awal mengalami stres.
Data yang diperoleh dari layanan bimbingan dan konseling salah satu universitas
Yogyakarta menunjukkan bahwa sebagian besar penyebab masalah yang menyebabkan stres
pada mahasiswa adalah karena kompetensi kinerja yang intens, kemampuan beradaptasi
dengan lingkungan sosial di kampus beradaptasi, tugas membaca , pilihan yang salah tentu
saja, nilai buruk mengancam untuk putus sekolah, terputusnya hubungan interpersonal,
magang, manajemen waktu dan keuangan. Konflik dengan teman, dosen, dan keluarga,
pencarian apartemen, tekanan orang tua untuk segera lulus, tuntutan kinerja, skripsi, dan
persiapan karir atau peluang karir setelah lulus juga dapat memicu stres dalam pekerjaan
mahasiswa. . Selain menyebabkan masalah-masalah di atas yang membuat siswa stres, juga
disebabkan oleh sikap negatif terhadap diri sendiri, lingkungan, dan masalah yang
dihadapinya.
Stres adalah bagian yang tak terhindarkan dari kehidupan sehari-hari di kampus. Stres
mahasiswa dapat memiliki beberapa penyebab. Archer dan Carroll (2003) mengatakan bahwa
persaingan, kebutuhan untuk bertindak, dapat menyebabkan stres pada siswa. Menyesuaikan
diri dengan universitas, kehidupan sosial dan tanggung jawab pribadi adalah bagian dari
tugas yang juga merupakan tantangan besar bagi mahasiswa.
Menurut Bartsch dan Evelyn (2005), stres adalah ketegangan, beban yang menarik
seseorang dari segala arah, tekanan ketika dihadapkan dengan tuntutan atau harapan yang
menantang kemampuan seseorang untuk menghadapi kehidupan. Dengan pemikiran ini, jelas
bahwa strategi untuk mengatasi stres diperlukan bagi seseorang untuk melanjutkan hidup
dengan cara yang sehat. Seringkali ketika orang mengalami stres, mereka tidak dapat
mengatasi strategi yang tepat sehingga masalah yang mereka hadapi tidak dapat diselesaikan.
Menurut Shenoy (2004), tuntutan siswa dapat menjadi sumber stres yang potensial. Potensi
sumber stres memicu timbulnya stres sehubungan dengan peristiwa akademik dan psikologis,
dalam tingkat keparahan yang tinggi dapat menekan daya tahan tubuh, bahkan tragisnya
dapat menyebabkan tindakan brutal (anarkis) atau bunuh diri yang nekat. Stres yang
melampaui tahap tertentu jika tidak dikelola dengan baik menyebabkan beberapa masalah
bagi siswa (Romas & Sharma, 2004).
Mengatasi stres umumnya dikaitkan dengan keterampilan koping. Coping membantu orang
menghilangkan, mengurangi, mengontrol, atau mengelola stres yang mereka alami. Coping
dianggap sebagai faktor penyeimbang dalam upaya individu untuk mempertahankan adaptasi
dalam situasi stres (Billing & Moos, 1984). Penatalaksanaan menggunakan pendekatan
restrukturisasi kognitif yang disebut terapi kognitif, disarankan oleh Beck, yang bertujuan
untuk mengubah pola berpikir yang maladaptif. Pendekatan lain yang dikembangkan oleh
Meichenbaum adalah pelatihan vaksinasi stres. Pelatihan dirancang untuk melatih
keterampilan untuk mengurangi stres dalam pencapaian tujuan pribadi (Sarafino, 1998).
Peale (1996) mengemukakan bahwa perjuangan utama untuk mencapai ketenangan pikiran
adalah berusaha mengubah sikap pikiran. Berpikir positif, menurutnya, adalah penerapan
praktis langsung dari teknik spiritual untuk mengatasi kekalahan dan mendapatkan
kepercayaan diri dan menciptakan suasana yang menguntungkan untuk mengembangkan
hasil positif.
Penelitian Widuri (1995), Siswanto (2002) dan Lerik (2004) menunjukkan bahwa sumber
stres yang biasanya dialami siswa disebabkan oleh:
1.Tingkat akademik yang tinggi.
Mahasiswa dipandang sebagai orang dewasa dan harus belajar mandiri.Tugas kuliah juga
melibatkan instruksi yang kompleks, waktu yang terbatas dan kesulitan yang besar,
sehingga situasi yang muncul dapat membahayakan integritas individu.
2. Berpindah dari tinggal bersama orang tua ke orang lain.
Misalnya, pensiun, kontrak atau tin BERPIKIR POSITIF, STRES PSIKOLOGIS gagal
dengan kerabat. Di sini berarti siswa harus belajar mengurus kebutuhannya sendiri,
mengatur keuangannya dengan sebaik-baiknya dan memprioritaskan kebutuhannya secara
tepat.
3. Perubahan teman dengan pindah tempat tinggal atau tempat belajar
perubahan hubungan dari staf menjadi lebih fungsional. Penyesuaian di klub pemuda,
mencari teman baru dan mengeksplorasi kemungkinan baru dalam kegiatan,
4. mengubah budaya asli dengan budaya hidup baru.
Penyesuaian dengan masyarakat sekitar dan standar yang berlaku.
5. Adaptasi dengan jurusan yang dipilih. Bagi yang menyukai pilihannya dan merasa cocok
serta tidak kesulitan mengikuti perkuliahan, hal ini tidak akan menjadi masalah besar.
Sedangkan bagi mahasiswa yang merasa “di bidang yang salah”, tidak fit, sulit mengikuti\
perkuliahan yang akan menimbulkan masalah besar,
6. Mulai berpikir dan mempersiapkan karir yang diinginkan bisnis dan mencari pekerjaan
setelah lulus. Stresor yang ada dapat menjadi tekanan hidup dan menimbulkan stres pada
mahasiswa.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa stres mahasiswa adalah ketegangan
atau beban yang dirasakan mahasiswa akibat tuntutan akademik, lingkungan sosial budaya,
penyesuaian diri dan kehidupan sosial sebagai mahasiswa.
Pelatihan merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk
melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan tugas tertentu (Troelove, 1995) Berpikir positif
adalah keterampilan kognitif yang dapat diperoleh melalui pelatihan. Pada prinsipnya subjek
diharapkan mengalami proses pembelajaran keterampilan kognitif melalui berpikir positif
dengan memvisualisasikan peristiwa yang dialaminya. Limbert (2004) dari penelitiannya
menyimpulkan bahwa berpikir positif berperan dalam membuat individu lebih positif
menerima situasi yang dihadapinya.
Materi pelatihan berpikir positif untuk penelitian ini datang dalam bentuk materi yang
mencakup bidang-bidang berikut:
A. Kepuasan hidup
yaitu bagaimana orang merasa puas dengan hidupnya.
B. Harga diri.
Harga diri menyebabkan perasaan percaya diri dalam kualitas diri dan penerimaan
karakteristik pribadi.
C. Optimisme.
Optimisme mengacu pada kemampuan untuk melihat harapan untuk kesuksesan masa
depan (Caprara & Steca 2006).
Pelatihan berpikir positif diterapkan pada lembar materi untuk melawan pikiran negatif yaitu:
a. Kaca mata hitam; individu hanya melihat sesuatu secara negatif atas apapun yang terjadi,
b.Tidak menganggap adanya hal yang positif; menilai pengalaman-pengalaman positif bukan
hal penting dan menganggapnya hanya sebatas keberuntungan.
c. Membesar-besarkan masalah-melihat hal kecil yang buruk menjadi lebih buruk dari yang
sebenarnya.
d. Meramalkan bahwa hal-hal buruk akan terjadi, yaitu: pembaca pikiran; berpikir bahwa
dirinya mengetahui apa yang individu lain pikirkan dan Peramal-berpikir bahwa dirinya
mengetahui apa yang akan terjadi (Stallard, 2005).
Dalam penelitian ini, pelatihan berpikir positif digunakan berbagai pendekatan agar lebih
efektif dibandingkan dengan hanya menggunakan satu model yang berpotensi menimbulkan
kejenuhan bagi peserta. Dalam modul yang disusun, materi untuk peserta dipadukan dengan
berbagai kegiatan yang sifatnya menyenangkan. Modul dikemas dalam berbagai bentuk
presentasi dengan tayangan yang menarik, disertai dengan diskusi, ice breaking, permainan,
sharing, sosiodrama bermain peran, memutar klip video yang menarik, melihat film,
mendengarkan musik, lembar tugas peserta, bernyanyi,menari ataupun aktivitas lainnya.
Berdasarkan teori dan data beberapa penelitian yang telah di uraikan di atas, maka hipotesis
penelitian ini ialah ‘Pelatihan berpikir positif efektif menurunkan tingkat stres pada
mahasiswa’. Kelompok eksperimen yang mendapatkan pelatihan mengalami penurunan
tingkat stres dibandingkan kelompok kontrol yang tidak mendapatkan pelatihan.
Metode
Variabel
Variabel dalam penelitian ini yaitu pelatihan berpikir positif sebagai variabel bebas
(independent variable) dan stres pada mahasiswa sebagai variabel tergantung (dependent
variable).
Subjek Penelitian
Pada penelitian ini subjek penelitian ialah 48 mahasiswa Fakultas ”K”, Universitas ”P”
Yogyakarta, yang menyatakan diri secara sukarela ikut sebagai subjek penelitian dengan
karakteristik sebagai berikut:
a.) Berstatus sebagai mahasiswa aktif.
b.) Memiliki tingkat stres sangat tinggi dan tinggi.
c.) Bersedia secara sukarela mengikuti penelitian.
Kelompok eksperimen memiliki 24 peserta dan 24 peserta untuk kelompok kontrol. Guna
mencapai efektivitas proses pelatihan dan melihat seberapa besar tingkat penurunan stres
pada subjek, maka pemilihan subjek difokuskan pada 48 peserta yang memiliki tingkat stres
sangat tinggi dan tinggi. Penempatan subjek ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol dilakukan dengan random assignment. Hal ini dimaksudkan agar kedua kelompok
dalam kondisi relatif setara; untuk mengeliminir ancaman internal invaliditas. Pertimbangan
jumlah subjek dalam pelatihan didasarkan pada pendapat Kelly (dalam Candra, 2006) yang
menyatakan bahwa suatu eksperimen akan efektif dilaksanakan apabila jumlah peserta antara
8 - 12 peserta.Berdasarkan hal tersebut, maka kelompok eksperimen dan untuk kelompok
kontrol, dalam penelitian ini masing-masing terdiri dari 12 orang peserta.