Anda di halaman 1dari 33

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kondisi atau situasi yang menekan dalam kehidupan akan selalu ada dalam setiap rentang
perkembangan kehidupan manusia. Dalam teori perkembangan Erikson (dalam Santrock)
dinyatakan bahwa setiap tahap perkembangan dalam rentang kehidupan manusia mempunyai
tugas perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis yang harus
dihadapi. Semakin individu berhasil mengatasi krisis yang dihadapi maka akan semakin
meningkatkan potensi individu dalam rangka menghadapi tahapan perkembangan berikutnya.
Mahasiswa yang berada dalam tahap perkembangan masa remaja akhir dan dewasa awal
juga tidak terlepas dari permasalahan-permasalahan yang dapat mendatangkan kondisi
tertekan yang dimana dapat menimbulkan dampak negative baik psikis maupun fisik.
Menurut Santrock, ketakutan akan kegagalan dalam mencapai kehidupan yang sukses sering
kali menjadi alasan munculnya stres dan depresi pada mahasiswa. Selain itu tekanan dari
bidang akademis, harapan mendapatkan pekerjaan yang layak dan mapan secara ekonomi
merupakan suatu hal yang sangat berpengaruh pada sebagian besar mahasiswa. Seringkali
juga mahasiswa mengalami perasaan jenuh, yang dimana mahasiswa merasa tidak berdaya
yang diakibatkan oleh stress yang berlarut-larut.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan tersebut, diperlukan kemampuan agar
individu dapat beradaptasi dalam situasi yang menekan dan juga dapat meningkatkan potensi
setelah melewati situasi tertekan tersebut. Pada kenyataannya terdapat individu yang mampu
mengendalikan situasi sulit secara positif dan efektif, namun juga terdapat individu yang
gagal sehingga menghasilkan perilaku yang negative.
Bagi mahasiswa yang gagal beradaptasi, seringkali akan mengalami stress karena
ketidakmampuannya

tersebut,

sehingga

menimbulkan

persoalan-persoalan

dibidang

akademik. Seperti nilai akademik yang rendah, waktu studi yang terlampau molor, dan
bahkan dropout. Namun disisi lain terdapat mahasiswa yang dapat mengendalikan situasi,
dapat menghadapi berbagai permasalahan atau stressor yang ada beriringan dengan
kehidupan akademiknya secara positif. Mereka dapat beradaptasi terhadap berbagai
permasalahan yang muncul. Sehingga tetap dapat mendapat nilai unggul dan mampu
menyelesaikan studi tepat waktu. Individu yang mengalami berbagai permasalahan dan

kekacauan karena stress kemudian menggunakan kekuatan personal untuk tumbuh lebih kuat
dan berfungsi secara lebih baik dianggap sebagai individu yang resilien dan kekuatan
personal tersebut dikenal dengan istilah resiliensi (ketangguhan).
Desmita (2007) menjelaskan bahwa resiliensi merupakan kekuatan dasar yang menjadi
fondasi dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologis
remaja. Menurut Grotberg (1999), Resiliensi adalah kapasitas manusia untuk menghadapi,
mengatasi, mempelajari kesulitan dalam hidup dan bahkan ditransformasi oleh kesulitan
dalam kehidupan tersebut. Adanya resiliency dalam diri manusia dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah: I am yang bersumber dari kekuatan pribadi, I have yang
bersumber dari pemaknaan seseorang terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh
lingkungan sosial terhadap dirinya, dan I can yang bersumber dengan apa saja yang dapat
dilakukan oleh seseorang sehubungan dengan ketrampilan-ketrampilan sosial dan
interpersonal (Grotberg dalam Desmita 2009). Reivich & Shatte (dalam Kurniawan) juga
mengungkapkan beberapa kemampuan yang menyumbang pada resiliensi individu yaitu:
regulasi emosi, pengendalian dorongan, optimisme, analisis kausal, empati, kemampuan
untuk meraih apa yang diinginkan, dan self- efficacy.
Self-efficacy merupakan salah satu elemen penting terhadap resiliensi seseorang Baron
dan Byrne (2004) mengungkapkan bahwa self efficacy merupakan keyakinan seseorang akan
kemampuan atau kompetensinya atas kinerja tugas yang diberikan, mencapai tujuan, atau
mengatasi sebuah hambatan. Garmezy dan Werner & Smith (dalam Roberts) menyatakan
self-efficacy merupakan salah satu karakterisitik individu yang

berhubungan dengan

resiliensi. Rutter (dalam Axford) menyatakan bahwa semakin tinggi self-efficacy pada
individu, maka semakin mampu individu tersebut untuk beradaptasi terhadap tantangan dan
tekanan hidup.
Peneliti melakukan wawancara terhadap dua orang mahasiswa UAI yang mempunyai
faktor resiko yaitu mempunyai tingkat ekonomi yang rendah,. Berdasarkan hasil pengamatan
peneliti, kedua responden ini tetap mampu mengembangkan dan beradaptasi secara positif,
mempunyai prestasi akademik, dan berpartisipasi dalam keanggotaan organisasi. Berdasarkan
hasil wawancara mereka mempunyai efikasi diri yang cukup tinggi, karakteristik lain yang
membuat mereka mampu beradaptasi secara positif yaitu antara lain: kejelasan tujuan hidup,
mempunyai pergaulan yang luas, dan optimis.
Dari latar belakang di atas peneliti mencoba untuk melakukan penelitian yang untuk
mengetahui pengaruh self-efficacy terhadap resiliensi pada mahasiswa Fakultas Psikologi
Pendidikan Universitas Al Azhar Indonesia angkatan 2013-2016.

1.2 Identifikasi Masalah


1. Bagaimana tingkat self-efficacy mahasiswa Fakultas Psikologi Pendidikan Universitas Al
Azhar Indonesia?
2. Bagaimana tingkat resiliensi mahasiswa Fakultas Psikologi Pendidikan Universitas Al
Azhar Indonesia?
3. Apakah ada pengaruh self-efficacy terhadap resiliensi pada mahasiswa Fakultas Psikologi
Pendidikan Universitas Al Azhar Indonesia?
4. Seberapa besar pengaruh self-efficacy terhadap resiliensi pada mahasiswa Fakultas
Psikologi Pendidikan Universitas Al Azhar Indonesia?
1.3 Pembatasan Masalah
Dari beberapa permasalahan yang dipaparkan diatas, agar penelitian lebih fokus dan
tidak meluas dari pembahasan yang dimaksud, maka penelitian ini penulis batasi pada ruang
lingkup Pengaruh Self Efficacy terhadap Resiliensi.
1.4 Perumusan Masalah
Dari adanya pembatasan rmasalah yang dipaparkan diatas, maka yang dapat
dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Apakah ada pengaruh self-efficacy terhadap resiliensi pada mahasiswa Fakultas Psikologi
Pendidikan Universitas Al Azhar Indonesia?
b. Seberapa besar pengaruh self-efficacy terhadap resiliensi pada mahasiswa Fakultas
Psikologi Pendidikan Universitas Al Azhar Indonesia?
1.5 Tujuan dan Manfaat
1.5.1 Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh self
efficacy terhadap resiliensi dan juga memberi gambaran seberapa besar pengaruh self
efficacy terhadap resiliensi pada mahasiswa Fakultas Psikologi Pendidikan Universitas Al
Azhar Indonesia
1.5.2

Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis

maupun praktis:
a. Secara Teoritis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi
pengembangan ilmu psikologi Terutama yang berhubungan dengan self efficacy dan
resiliensi.
b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi praktisi
psikologi dan sebagai bahan pertimbangan bagi pihak kampus dalam mengambil
kebijakan terkait dengan mahasiswa.
1.6 Sistematika Penulisan

Dalam menguraikan penulisan proposal skripsi ini agar lebih sistematis, maka
penyajian proposal skripsi ini penulis bagi atas tiga bab, dan setiap bab dibagi lagi menjadi
beberapa sub bab yang lebih rinci. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN, Terdiri dari Latar Belakang, Identifikasi, Pembatasan dan
Perumusan masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI, Terdiri dari teori-teori yang berkaitan dengan variabel judul
yaitu Resiliensi, Self Efficacy, dan Mahasiswa. Bab ini juga membahas Penelitian Terdahulu,
Kerangka Berpikir, serta Hipotesis Penelitian.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN, Terdiri dari Jenis dan Desain Penelitian, Tempat
dan Waktu Penelitian, Variabel penelitian, Definisi operasional dan Definisi Konseptual,
Populasi dan Sampel, Serta Metode Pengumpulan Data.

BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Resiliensi
2.1.1 Pengertian Resiliensi
Menurut Reivich. K dan Shatte. A yang dituangkan dalam bukunya The Resiliency
Factor menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap
kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan
tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami
dalam kehidupannya (Reivich. K & Shatte. A, 2002 ). Menurut Jackson (2002) resiliensi
adalah kemampuan individu untuk dapat beradaptasi dengan baik meskipun dihadapkan
dengan keadaan yang sulit. Dalam ilmu perkembangan manusia, resiliensi memilki makna
yang luas dan beragam, mencakup kepulihan dari masa traumatis, mengatasi kegagalan
dalam hidup, dan menahan stres agar dapat berfungsi dengan baik dalam mengerjakan tugas

sehari-hari. Dan yang paling utama, resiliensi itu berarti pola adaptasi yang positif atau
menunjukkan perkembangan dalam situasi sulit (Masten & Gewirtz, 2006).
Resiliensi dipandang oleh para ahli sebagai kemampuan untuk bangkit kembali dari
situasi atau peristiwa yang traumatis. Siebert (2005) dalam bukunya The Resiliency
Advantage memaparkan bahwa yang dimaksud dengan resiliensi adalah kemampuan untuk
mengatasi dengan baik perubahan hidup pada level yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah
kondisi penuh tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah cara
hidup ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, dan
menghadapi permasalahan tanpa melakukan kekerasan.
Desmita (2007) menjelaskan bahwa resiliency merupakan kekuatan dasar yang
menjadi fondasi dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan
psikologis remaja . Sedangkan menurut Grotberg (dalam Desmita, 2007), Resiliensi adalah
kapasitas manusia untuk menghadapi, mengatasi, mempelajari kesulitan dalam hidup dan
bahkan ditransformasi oleh kesulitan dalam kehidupan tersebut . Menurut Hildayani (2007),
resiliensi adalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh individu, dan dengan kemampuan
tersebut individu mampu bertahan dan berkembang secara sehat serta menjalani kehidupan
secara positif dalam situasi yang kurang menguntungkan dan penuh dengan tekanan .
Resiliensi pada individu itu sendiri terdiri dari faktor external dan faktor internal, Dimana
faktor-faktor ini seringkali disebut faktor protektif yang menjadi pelindung individu sehingga
tidak terpengaruh secara negative oleh faktor-faktor beresiko dalam hidupnya (Werner &
Smith, dalam Benard, 2004) .
Dari berbagai pengertian resiliensi yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa
resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan dan tidak menyerah pada keadaankeadaan yang sulit dalam hidupnya, serta berusaha untuk belajar dan beradaptasi dengan
keadaan tersebut dan kemudian bangkit dari keadaan tersebut dan menjadi lebih baik.

2.1.2 Sumber-sumber Resiliensi


Menurut Grotberg (1999) ada beberapa sumber dari resiliensi yaitu sebagai berikut :
a. I Have ( sumber dukungan eksternal )
I Have merupakan dukungan dari lingkungan di sekitar individu. Dukungan
ini berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang

menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga. Melalui I Have,
seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan. Hubungan seperti ini
diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan teman-teman yang
mencintai dan menerima diri anak tersebut. Individu yang resilien juga mempunyai
struktur dan aturan di dalam rumah yang ditetapkan oleh orang tua mereka. Para
orang tua berharap bahwa anak-anak dapat mematuhi semua peraturan yang ada.
Anak-anak juga akan menerima konsekuensi dari setiap tindakan yang mereka
lakukan dalam menjalani aturan tersebut. Ketika mereka melanggar aturan, mereka
butuh seseorang untuk memeberi tahu kesalahan yang mereka perbuat dan jika perlu
menerapkan hukuman.
Individu yang resilien juga memperoleh dukungan untuk mandiri dan dapat
mengambil keputusan berdasarkan pemikiran serta inisiatifnya sendiri. Dukungan
yang diberikan oleh orangtua ataupun anggota keluarga lainnya akan sangat
membantu dalam membentuk sikap mandiri dalam diri seseorang. Orangtua akan
mendukung serta melatih anak untuk dapat berinisiatif dan berkuasa atas dirinya
sendiri untuk mengambil keputusan tanpa harus bergantung pada orang lain.
Individu yang resilien juga akan mendapatkan jaminan kesehatan, pendidikan,
dan kesejahteraan serta keamanan dari orangtua. Sehingga hal ini akan membantu
mereka untuk mengembangkan rasa percaya diri dalam diri anak.
b. I Am ( kemampuan individu )
I am, merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan
tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya.
Individu yang resilien merasa bahwa mereka mempunyai karakteristik yang menarik
dan penyayang sessama. Hal tersebut ditandai dengan usaha mereka untuk selalu
dicintai dan mencintai orang lain.
Mereka juga sensitif terhadap perasaan orang lain dan mengerti yang
diharapkan orang lain terhadap dirinya. Mereka juga merasa bahwa mereka memiliki
empati dan sikap kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu mereka
tunjukkan melalui sikap peduli mereka terhadap peristiwa yang terjadi pada orang
lain. Mereka juga merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan yang dirasakan oleh
orang lain dan berusaha membantu untuk mengatasi masalah yang terjadi.
Individu yang resilien juga merasakan kebanggaan akan diri mereka sendiri.
Mereka bangga terhadap apa yang telah mereka capai. Ketika mereka mendapatkan
masalah atau kesulitan, rasa percaya dan harga diri yang tinggi akan membantu
mereka dalam mengatasi kesulitan tersebut. Mereka merasa mandiri dan cukup

bertanggungjawab. Mereka dapat melakukan banyak hal dengan kemampuan mereka


sendiri. Mereka juga bertanggungjawab atas pekerjaan yang telah mereka lakukan
serta berani menangung segala konsekuensinya.
Selain itu mereka juga diliputi akan harapan dan kesetiaan. Mereka percaya
bahwa akan memperoleh masa depan yang baik. Mereka memiliki kepercayaan dan
kesetiaan dalam moralitas dan ke-Tuhan-an mereka.
c. I Can ( kemampuan sosial dan interpersonal )
I Can merupakan kemampuan anak untuk melakukan hubungan sosial dan
interpersonal. Mereka dapat belajar kemampuan ini melalui interaksinya dengan
semua orang yang ada disekitar mereka. Individu tersebut juga memiliki kemampuan
untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik. Mereka mampu
mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan baik.
Kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati juga
dimiliki oleh individu yang resilien. Mereka mampu menyadari perasaan mereka dan
mengekspresikannya dalam kata-kata dan perilaku yang tidak mengancam perasaan
dan hak orang lain. Mereka juga mampu mengendalikan dorongan untuk memukul,
melarikan diri dari masalah, atau melampiaskan keinginan mereka pada hal-hal yang
tidak baik.
Mereka juga dapat memahami karakteristik dirinya sendiri dan orang lain. Ini
membantu individu untuk mengetahui seberapa banyak waktu yang diperlukan untuk
berkomunikasi, dan seberapa banyak ia dapat menangani berbagai macam situasi.
Selain itu, individu yang resilien juga dapat menemukan seseorang untuk meminta
bantuan, untuk menceritakan perasaan dan masalah, serta mencari cara untuk
menyelesaikan masalah pribadi dan interpersonal.

2.1.3 Aspek-Aspek Resiliensi


Reivich K. & Shatte A. (2002: 36-46) memaparkan tujuh aspek dari resiliensi, aspekaspek tersebut adalah regulasi emosi (emotional regulation), kontrol impuls (impulse control),
optimisme (optimism), analisis kausal (causal analysis), empati (empathy), efikasi diri (self
efficacy), dan pencapaian (reaching out). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.
a. Regulasi emosi (emotional regulation)
Pengaturan emosi diartikan sebagai kemampuan untuk tetap tenang dalam
kondisi yang penuh tekanan. Individu yang resilien menggunakan serangkaian
keterampilan yang telah dikembangkan untuk membantu mengontrol emosi, atensi

dan

perilakunya.

Kemampuan

regulasi

penting

untuk

menjalin

hubungan

interpersonal, kesuksesan bekerja dan mempertahankan kesehatan fisik. Tidak setiap


emosi harus diperbaiki atau dikontrol, ekspresi emosi secara tepatlah yang menjadi
bagian dari resiliensi.
b. Kontrol impuls (impulse control)
Kontrol impuls berkaitan erat dengan regulasi emosi. Individu dengan kontrol
impuls yang kuat, cenderung memiliki regulasi emosi yang tinggi, sedangkan individu
dengan control emosi yang rendah cenderung menerima keyakinan secara impulsive,
yaitu suatu situasi sebagai kebenaran dan bertindak atas dasar hal tersebut. Kondisi
ini seringkali menimbulkan konsekuensi negatif yang dapat menghambat resiliensi.
c. Optimisme (optimism)
Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Mereka yakin bahwa
berbagai hal dapat berubah menjadi lebih baik. Mereka memiliki harapan terhadap
masa depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah kehidupannya
dibandingkan orang yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik, lebih
produktif dalam bekerja dan lebih berprestasi dalam olahraga. Hal ini merupakan
fakta yang ditujukkan oleh ratusan studi yang terkontrol dengan baik.
d. Kemampuan menganalisis masalah (causal analysis)
Kemampuan menganalisis masalah merupakan istilah yang digunakan untuk
merujuk pada kemampuan pada diri individu secara akurat mengidentifikasi
penyebab-penyebab dari permasalahan mereka. Jika seseorang tidak mampu
memperkirakan penyebab dari permasalahannya secara akurat, maka individu tersebut
akan membuat kesalahan yang sama.
e. Empati (empathy)
Empati menggambarkan sebaik apa seseorang dapat membaca petunjuk dari
orang lain berkaitan dengan kondisi emosional orang tersebut. Beberapa individu
dapat menginterpretasikan perilaku non verbal orang lain, seperti ekspresi wajah, nada
suara, bahasa tubuh dan menentukan apa yang dipikirkan serta dirisaukan orang
tersebut. Ketidakmampuan dalam hal ini akan berdampak pada kesuksesan dalam
bisnis dan menunjukan perilaku non resilien.
f. Efikasi Diri (self efficacy)
Efikasi diri menggambarkan

keyakinan

seseorang

bahwa

ia

dapat

memecahkan masalah yang dialaminya dalam keyakinan seseorang terhadap


kemampuannya untuk mencapai kesuksesan. Dalam lingkungan kerja, seseorang yang

memiliki keyakinan terhadap dirinya untuk memecahkan masalah, maka dia muncul
sebagai pemimpin.
g. Pencapaian (reaching out)
Pencapaian menggambarkan kemampuan individu untuk mencapai keberhasilan.
Dalam hal ini terkait dengan keberanian seseorang untuk mencoba mengatasi
masalah, karena masala dianggap sebagai suatu tantangan bukan suatu ancaman.

2.2 Self Efficacy


2.2.1 Pengertian Self Efficacy
Self-efficacy merupakan salah satu kemampuan pengaturan diri individu. Konsep
self-efficacy pertama kali dikemukakan oleh Bandura. Self-efficacy mengacu pada persepsi
tentang kemampuan individu untuk mengorganisasi dan mengimplementasi tindakan untuk
menampilkan kecakapan tertentu (Bandura, 1986,). Baron dan Byrne (2000) mengemukakan
bahwa self-efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya
untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu. Di samping
itu, Schultz (1994) mendefinisikan self-efficacy sebagai perasaan kita terhadap kecukupan,
efisiensi, dan kemampuan kita dalam mengatasi kehidupan.
Berdasarkan persamaan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa selfefficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu mengenai kemampuan dirinya
untuk untuk mengorganisasi, melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, menghasilkan
sesuatu dan mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu.

2.2.2 Dimensi Self Efficacy


Bandura (1997) mengemukakan bahwa self-efficacy individu dapat dilihat dari tiga dimensi,
yaitu :
a. Tingkat (level)
Self-efficacy individu dalam mengerjakan suatu tugas berbeda dalam tingkat
kesulitan tugas. Individu memiliki self-efficacy yang tinggi pada tugas yang mudah
dan sederhana, atau juga pada tugas-tugas yang rumit dan membutuhkan kompetensi

yang tinggi. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung memilih
tugas yang tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya.
b. Keluasan (generality)
Dimensi ini berkaitan dengan penguasaan individu terhadap bidang atau tugas
pekerjaan. Individu dapat menyatakan dirinya memiliki self-efficacy pada aktivitas
yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja. Individu dengan selfefficacy yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang sekaligus untuk
menyelesaikan suatu tugas. Individu yang memiliki self-efficacy yang rendah hanya
menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu tugas.
c. Kekuatan (strength)
Dimensi yang ketiga ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau
kemantapan individu terhadap keyakinannya. Self-efficacy menunjukkan bahwa
tindakan yang dilakukan individu akan memberikan hasil yang sesuai dengan yang
diharapkan individu. Self-efficacy menjadi dasar dirinya melakukan usaha yang keras,
bahkan ketika menemui hambatan sekalipun.

2.2.3 Sumber Self Efficacy


Keyakinan seseorang terhadap efikasi dirinya terdiri dari aspek- aspek pengetahuan
yang terdapat pada individu tersebut. Self-efficacy dibangun dari empat prinsip sumber
informasi yang dimiliki oleh seseorang yaitu pengalaman yang telah dilalui (enactive mastery
experience), pengalaman orang lain (vicarious experiences), persuasi verbal

(verbal

persuasion), dan keadaan fisiologis dan emosi (physiological and affective states)
(Bandura,1997).
a. Pengalaman yang telah dilalui (enactive
mastery experience)
Merupakan informasi yang paling berpengaruh karena menyediakan bukti
yang paling otentik berkenaan dengan kemampuan

seseorang dalam melakukan

sesuatu. Hasil yang dicapai oleh individu melalui pengalaman sebelumnya adalah
sumber informasi yang penting karena langsung berhubungan dengan pengalaman
pribadi seseorang. Kesuksesan dibangun dari keyakinan yang mantap berkenaan
dengan efiksi diri seseorang. Pengalaman keberhasilan atau kesuksesan dalam
mengerjakan sesuatu akan meningkatkan self-efficacy seseorang, sedangkan
kegagalan juga akan menguranginnya, terutama ketika kegagalan ini terjadi pada

10

saat efikasi dirinya belum terbentuk. Suatu kesulitan menyediakan kesempatan untuk
belajar bagaimana kegagalan bisa berbuah kesuksesan dengan mengasah kemampuan
dari kegagalan tersebut. Setelah seseorang menjadi yakin bahwa mereka memiliki hal
yang diperlukan untuk sukses, maka mereka akan berani untuk melakukan sebuah
tindakan.
b. Pengalaman orang lain (vicarious experience).
Self-efficacy juga dipengaruhi oleh pengalaman orang lain dengan cara melihat
apa yang telah dicapai oleh orang lain. Pada konteks ini terjadi proses modeling yang
juga dapat menjadi hal efektif untuk meningkatkan efikasi seseorang. Seseorang bisa
jadi mempunyai keraguan ketika akan melakukan sesuatu meskipun ia mempunyai
kemampuan untuk melakukannya, namun ketika ia melihat orang lain mampu atau
berhasil dalam melakukan sesuatu dimana dia mempunyai kemampuan yang sama,
maka akan meningkatkan efikasinya. Selain itu orang lain dapat menjadi ukuran
seberapa baik dia dalam melakukan suatu tugas. Pada beberapa aktivitas mungkin
tidak ada ukuran apakah sesuatu dilakukan dengan baik atau tidak. Oleh karena itu
seseorang harus menilai kemampuannya dengan melihat hasil yang telah dicapai oleh
orang lain. Di sisi lain pengalaman dari orang lain juga dapat melemahkan keyakinan
individu dalam melakukan sesuatu ketika melihat seseorang yang mempunyai
kemampuan sama atau lebih tinggi dari dia gagal dalam melakukan sesuatu.
c. Persuasi verbal (verbal persuasion)
Merupakan penguatan yang didapatkan dari orang lain bahwa seseorang
mempunyai kemampuan untuk meraih apa yang ingin dilakukannya. Efikasi diri
seseorang akan meningkat ketika dia sedang menghadapi kesulitan, terdapat orang
yang meyakinkannya bahwa ia mampu menghadapi tuntutan tugas yang ada padanya.
Verbal persuasion mungkin tidak terlalu kuat dalam mempengaruhi self-efficacy,
namun ini dapat menjadi pendukung sejauh persuasi verbal tersebut diberikan dalam
konteks yang realistik. Orang yang mendapatkan persuasi verbal bahwa mereka
mempunyai kemampuan untuk melakukan sesuatu kemungkinan akan mengerahkan
usaha yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang mendapatkan perkataan
yang

meragukan

dirinya. Adanya persuasi (bujukan) yang meningkatkan self-

efficacy mengarahkan seseorang untuk berusaha lebih giat.


d. Keadaan fisiologis dan emosi (physiological and affective states).

11

Keadaan fisik yang tidak mendukung seperti stamina yang kurang, kelelahan,
dan sakit merupakan faktor yang tidak mendukung ketika seseorang akan melakukan
sesuatu. Karena kondisi ini akan berpengaruh pada kinerja seseorang dalam
menyelesaikan tugas tertentu.
seseorang terhadap

Kondisi

mood

juga

efikasi dirinya. Oleh karena itu

mempengaruhi

pendapat

self-efficacy

dapat

ditingkatkan dengan meningkatkan kesehatan dan kebugaran fisik dan mengurangi


tingkat stress dan kecendrungan emosi negative.

2.2.4 Proses Self Efficacy


Bandura (1997) menguraikan proses psikologis self-efficacy dalam mempengaruhi
fungsi manusia. Proses tersebut dapat dijelaskan melalui cara-cara dibawah ini :
a. Proses kognitif
Dalam melakukan tugas akademiknya, individu menetapkan tujuan dan
sasaran perilaku sehingga individu dapat merumuskan tindakan yang tepatuntuk
mencapai tujuan tersebut. Penetapan sasaran pribadi tersebut dipengaruhi oleh
penilaian individu akan kemampuan kognitifnya.
Fungsi kognitif memungkinkan individu untuk memprediksi kejadiankejadian
sehari-hari yang akan berakibat pada masa depan. Asumsi yang timbul pada aspek
kognitif ini adalah semakin efektif kemampuan individu dalam analisis dan dalam
berlatih mengungkapkan ide-ide atau gagasan-gagasan pribadi, maka akan
mendukung individu bertindak dengan tepat untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Individu akan meramalkan kejadian dan mengembangkan cara untuk mengontrol
kejadian yang mempengaruhi hidupnya. Keahlian ini membutuhkan proses kognitif
yang efektif dari berbagai macam informasi.
b. Proses motivasi
Motivasi individu timbul melalui pemikiran optimis dari dalam dirinya untuk
mewujudkan tujuan yang diharapkan. Individu berusaha memotivasi diri dengan
menetapkan keyakinan pada tindakan yang akan dilakukan, merencanakan tindakan
yang akan direalisasikan. Terdapat beberapa macam motivasi kognitif Universitas
Sumatera Utara yang dibangun dari beberapa teori yaitu atribusi penyebab yang
berasal dari teori atribusi dan pengharapan akan hasil yang terbentuk dari teori nilaipengharapan.

12

Self-efficacy mempengaruhi atribusi penyebab, dimana individu yang


memiliki self-efficacy akademik yang tinggi menilai kegagalannya dalam
mengerjakan tugas akademik disebabkan oleh kurangnya usaha, sedangkan individu
dengan self-efficacy yang rendah menilai kegagalannya disebabkan oleh kurangnya
kemampuan.
Teori nilai-pengharapan memandang bahwa motivasi diatur oleh pengharapan
akan hasil (outcome expectation) dan nilai hasil (outcome value) tersebut. Outcome
expectation merupakan suatu perkiraan bahwa perilaku atau tindakan tertentu akan
menyebabkan akibat yang khusus bagi individu. Hal tersebut mengandung keyakinan
tentang sejauhmana perilaku tertentu akan menimbulkan konsekuensi tertentu.
Outcome value adalah nilai yang mempunyai arti dari konsekuensi-konsekuensi yang
terjadi bila suatu perilaku dilakukan. Individu harus memiliki outcome value yang
tinggi untuk mendukung outcome expectation.
c. Proses afeksi
Afeksi terjadi secara alami dalam diri individu dan berperan dalam
menentukan intensitas pengalaman emosional. Afeksi ditujukan dengan mengontrol
kecemasan dan perasaan depresif yang menghalangi pola-pola pikir yang benar untuk
mencapai tujuan.
Proses afeksi berkaitan dengan kemampuan mengatasi emosi yang timbul
pada diri sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Kepercayaan individu
Universitas Sumatera Utara terhadap kemampuannya mempengaruhi tingkat stres dan
depresi yang dialami ketika menghadapi tugas yang sulit atau bersifat mengancam.
Individu yang yakin dirinya mampu mengontrol ancaman tidak akan membangkitkan
pola pikir yang mengganggu. Individu yang tidak percaya akan kemampuannya yang
dimiliki akan mengalami kecemasan karena tidak mampu mengelola ancaman
tersebut.
d. Proses seleksi
Proses seleksi berkaitan dengan kemampuan individu untuk menyeleksi
tingkah laku dan lingkungan yang tepat, sehingga dapat mencapai tujuan yang
diharapkan. Ketidakmampuan individu dalam melakukan seleksi tingkah laku
membuat individu tidak percaya diri, bingung, dan mudah menyerah ketika
menghadapi masalah atau situasi sulit. Self-efficacy dapat membentuk hidup individu
melalui pemilihan tipe aktivitas dan lingkungan. Individu akan mampu melaksanakan
aktivitas yang menantang dan memilih situasi yang diyakini mampu menangani.

13

Individu akan memelihara kompetensi, minat, hubungan sosial atas pilihan yang
ditentukan.

2.2.5 Indikator Self Efficacy


Menurut Brown dkk. (dalam Widiyanto), indikator dari self- efficacy mengacu pada
dimesi self-efficacy yaitu level, strength, dan generality (Bandura,1997). Dengan melihat
ketiga dimensi ini, maka terdapat beberapa indikator dari self-efficacy yaitu:
a. Yakin dapat menyelesaikan tugas tertentu
Individu yakin bahwa dirinya mampu menyelesaikan tugas tertentu yang mana
individu sendirilah yang menetapkan tugas (target) apa yang harus diselesaikan.
b. Yakin dapat memotivasi diri untuk melakukan tindakan yang diperlukan untuk
menyelesaikan tugas.
Individu mampu menumbuhkan memotivasi dirinya untuk melakukan serangkaian
tindakan yang diperlukan dalam dalam rangka menyelesaikan tugas
c. Yakin bahwa diri mampu berusaha dengan keras, gigih dan tekun
Individu mempunyai ketekunan dalam rangka menyelesaikan tugas dengan
menggunakan segala daya yang dimiliki.
d. Yakin bahwa diri mampu bertahan menghadapi hambatan dan kesulitan
Individu mampu bertahan saat menghadapi kesulitan dan hambatan yang muncul serta
mampu bangkit dari kegagalan.
e. Yakin dapat menyelesaikan permasalahan di berbagai situasi.
Individu mempunyai keyakinan menyelesaikan permasalahan tidak terbatas pada
kondisi atau situasi tertentu saja.
2.3 Mahasiswa
2.3.1 Pengertian Mahasiswa
Mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu ataupun
belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi
yang terdiri dari akademik, politeknik,sekolah tinggi, institut dan universitas (Hartaji, 2012).
Dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBI), mahasiswa didefinisikan sebagai orang yang
belajar di Perguruan Tinggi (Kamus Bahasa Indonesia Online, kbbi.web.id) Menurut Siswoyo
(2007: 121) mahasiswa dapat didefinisikan sebagai individu yang sedang menuntut ilmu
ditingkat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta atau lembaga lain yang setingkat

14

dengan perguruan tinggi. Mahasiswa dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi,
kecerdasan dalam berpikir dan kerencanaan dalam bertindak. Berpikir kritis dan bertindak
dengan cepat dan tepat merupakan sifat yang cenderung melekat pada diri setiap mahasiswa,
yang merupakan prinsip yang saling melengkapi.
Seorang mahasiswa dikategorikan pada tahap perkembangan yang usianya 18 sampai
25 tahun. Tahap ini dapat digolongkan pada masa remaja akhir sampai masa dewasa awal dan
dilihat dari segi perkembangan, tugas perkembangan pada usia mahasiswa ini ialah
pemantapan pendirian hidup (Yusuf, 2012: 27).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa mahasiswa ialah seorang peserta
didik berusia 18 sampai 25 tahun yang terdaftar dan menjalani pendidikannnya di perguruan
tinggi baik dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas.

2.3.2

Ciri-ciri Mahasiswa

Kartono (Surahman, 2011) menyatakan bahwa mahasiswa memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Mahasiswa merupakan kaum intelegensia sebab memiliki kemampuan dan
kesempatan untuk belajar di perguruan tinggi.
b. Mahasiswa mampu menjadi pemimpin yang terampil baik dalam masyarakat maupun
dunia kerja sebab memiliki pendidikan sebagai kaum intelegensia.
c. Mahasiswa diharapkan mampu memasuki dunia kerja sebagai tenaga kerja yang
profesional dan berkualitas.
d. Mahasiswa diharapkan mampu menjadi daya penggerak yang dinamis bagi proses
modernisasi.

2.4 Penelitian Terdahulu


Dasar atau acuan yang berupa teori-teori atau temuan-temuan melalui hasil berbagai
penelitian sebelumnya merupakan hal yang sangat perlu dan dapat dijadikan sebagai data
pendukung. Salah satu data pendukung yang menurut peneliti perlu dijadikan bagian
tersendiri adalah penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan yang sedang
dibahas dalam penelitian ini. Dalam hal ini, fokus penelitian terdahulu yang dijadikan acuan

15

adalah terkait dengan masalah Resiliency dan Self Efficacy. Oleh karena itu, peneliti
melakukan langkah kajian terhadap beberapa hasil penelitian melalui internet.
Pada skripsi yang berjudul Hubungan antara Resiliensi dan Coping pada pasien
kanker dewasa yang ditulis oleh Clarissa Risky Rosyani pada tahun 2012, tertulis bahwa
penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara resiliensi dan coping pada pasien
kanker. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya korelasi yang positif dan signifikan antara
coping dan resiliensi. Selain itu ditemukan bahwa resiliensi berhubungan lebih erat dengan
jenis emotion-focused coping.
Selanjutnya pada skripsi yang berjudul Hubungan Self Efficacy dengan Kecemasan
Pada Mahasiswa Psikologi yang Lama Mengerjakan Skripsi di Universitas Gunadarma yang
ditulis oleh Faniadhirny B pada tahun 2014, tertulis bahwa tujuan penelitian ini adalah untuk
melihat apakah ada hubungan antara self efficacy dengan kecemasan yang dirasakan pada
mahasiswa psikologi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif
dan uji hipotesis dengan teknik korelasi Bivariate Spearman one tailed. Subjek dalam
penelitian ini adalah mahasiswa psikologi yang mengerjakan skripsi lebih dari waktu yang
ditentukan. Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara self efficacy dengan kecemasan mahasiswa psikologi yang mengerjakan
skripsi melebihi waktu yang ditentukan.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian tersebut diatas adalah, pertama,
keduanya diatas focus untuk meneliti hubungan, sedangkan penelitian ini focus untuk
meneliti pengaruh. Kedua, pada penelitian ini menggabungkan variable tidak terikat pada dua
penelitian tersebut diatas.
2.5 Kerangka Berpikir
Resiliensi sebagaimana yang dinyatakan Riley dan Masten merupakan bentuk
adaptasi yang positif terhadap kondisi atau suasana yang menekan (adversity). Sedangkan
self-efficacy menurut Bandura,

merupakan

pendapat atau persepsi seseorang akan

kemampuanya dalam menghadapi permasalahan atau pencapaian sesuatu. Dari defenisi


diatas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi merupakan sebuah bentuk kemampuan, sedangkan
self-efficacy merupakan kepercayaan yang masih bersifat

kognitif dimana hal ini akan

berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Hal ini sebagaimana halnya teori belajar sosial
Bandura yang menyatakan bahwa kognitif dan perilaku saling mempengaruhi. Dari sini kita
bisa melihat bahwa self-efficacy

merupakan kepercayaan kognisi yang dapat mendukung

16

resiliensi sesorang dimana merupakan konstruk yang lebih kompleks dimana melibatkan
banyak faktor yang membuat seseorang mampu beradaptasi dengan suasana yang menekan.
Bandura mengungkapkan bahwa terdapat empat sumber utama yang memberikan kontribusi
penting pada pembangunan self-efficacy seseorang

yaitu enactive mastery experience

(Pengalaman kegagalan dan keberhasilan), vicarious experience (pengalaman orang lain atau
figur modeling), verbal persuation (pengakuan orang lain) dan physiological and affective
states (kadaan fisik dan emosional). Bandura mengingatkan bahwa sumber-sumber tersebut
tidak dapat secara otomatis membentuk self-efficacy, sumber-sumber self-efficacy tersebut
harus diproses terlebih dahulu melalui pemikiran kognitif yang melibatkan sistem diri.
Adapun fungsi dari sistem diri ini adalah untuk mengatur perilaku secara terus menerus yang
terlibat dalam pengamatan diri, proses menilai dan reaksi terhadap perilaku sendiri.
Keyakinan diri akan kemampuan yang dimiliki akan berpengaruh pada kemampuan
sesorang untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang sulit. Seorang individu yang
memiliki sumber self-efficacy yang positif dan dapat diterima oleh sistem diri dan sistem
kognitif, maka akan melahirkan self-efficacy yang tinggi sehingga akan melahirkan usaha
yang maksimal untuk menghadapi berbagai permasalahan sulit. Sedangkan subjek yang
memiliki sumber self-efficacy yang negatif, maka akan melahirkan self-efficacy yang rendah
sehingga akan melahirkan usaha yang minimal untuk menghadapi berbagai permasalahan
sulit.
Adapun kerangka berpikir dalam penelitian ini, dapat diilustrasikan dengan gambar
berikut ini:

Pengalaman
dan lingkungan
Sistem Diri
Struktur
SE
Tinggi
Kognitif
SE rendah

Resiliensi Tinggi/
maksimal
Resiliensi Rendah/
minimal

Dapat menangani
berbagai
permasalahan
Kesulitan
menangani

2.6 Hipotesis Penelitian

17

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh Self Efficacy terhadap
resiliensi pada mahasiswa Fakultas Psikologi Pendidikan Universitas Al Azhar Indonesia.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Desain Penelitian


Jenis penelitian pada penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Metode
penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan
postivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data
menggunakan instrument penelitian, analisis data bersifat statistic dengan tujuan untuk
menguji hipotesis yang telah ditetapkan

(Sugiyono, 2010). Penelitian ini menggunakan

penelitian kuantitatif karena hasil dari penelitian ini mewakili suatu populasi yang diteliti.
Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian expost facto. Sukardi (2012)
berpendapat bahwa penelitian expost facto adalah penelitian dimana ketika penulis

18

melakukan pengamatan terhadap variabel terikat, rangkaian variabel-variabel bebas telah


terjadi. Pada penelitian ini terdapat satu variabel independen (X) yakni self efficacy dan satu
variabel dependen (Y) yakni Resiliensi Mahasiswa FPP UAI. Desain penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut:

Keterangan:
X : Self efficacy
Y : Resiliensi

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan di lingkungan kampus Universitas Al Azhar, dengan waktu
penelitian selama 5 bulan.

3.3 Variabel Penelitian


Variabel pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian
ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2010). Pada penelitian ini variabel yang menjadi objek
penelitian yaitu:
a. Variabel Bebas (independent variable), yaitu variabel yang mempengaruhi atau
menyebabkan perubahan pada variabel lain (Anshori dan Iswati, 2009). Pada
penelitian ini variabel bebas yaitu self-efficacy.
b. Variabel Terikat (dependent variable), yaitu variabel yang dipengaruhi atau variable
yang disebabkan oleh variable lain (Anshori dan Iswati, 2009). Pada penelitian ini
variabel terikat yaitu resiliensi.

3.4 Definisi Operasional dan Definisi Konseptual

19

Definisi Operasional adalah suatu definisi yang didasarkan pada karakteristik yang dapat
diobservasi dari apa yang sedang didefinisikan atau mengubah konsep-konsep yang berupa
konstruk dengan kata-kata yang menggambarkan perilaku atau gejala yang dapat diamati dan
apa yang dapat diuji dan ditentukan kebenarannya oleh orang lain (Koentjaraningrat dalam
Siregar, 2014). Adapun definisi operasional dari variable yang menjadi objek penelitian ini
adalah:
a. Definisi Operasional Resiliensi pada penelitian ini adalah berdasarkan skor yang
didapat dari skala resiliensi yang diberikan, semakin tinggi skor yang didapat semakin
tinggi Resiliensi.
b. Definisi Operasional Self Efficacy pada penelitian ini juga berdasarkan skor yang
didapat dari skala self efficacy yang diberikan, semakin tinggi skor yang didapat
semakin tinggi Self Efficacy.
Sedangkan Menurut Singarimbun dan Efendi (2008), definisi konseptual adalah
pemaknaan

dari

konsep

yang

digunakan,

sehingga

memudahkan

peneliti

untuk

mengoperasikan konsep tersebut di lapangan. Berdasarkan pengertian tersebut maka definisi


konseptual yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Definisi Konseptual Resiliensi pada penelitian ini adalah Kapasitas manusia untuk
menghadapi,

mengatasi,

mempelajari

kesulitan

dalam

hidup

dan

bahkan

ditransformasi oleh kesulitan dalam kehidupan tersebut.


b. Definisi Konseptual Self Efficacy pada penelitian ini merupakan penilaian individu
terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai
suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu.

3.5 Populasi dan Sampel


a. Populasi
Sugiyono (2010) berpendapat populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas:
obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Adapun populasi
dalam penelitian ini adalah Mahasiswa Fakultas Psikologi Pendidikan Universitas Al
Azhar Indonesia angkatan 2013-2016 yang berjumlah 380 orang.
b. Sampel
Pengertian sampel menurut Sugiyono (2010), adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar dan peneliti

20

tidak mungkin mempelajari semua yang ada populasi, maka peneliti dapat
menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Oleh karena itu sampel pada
penelitian ini sebanyak 95orang.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Propotionate Stratified Random
Sampling. Teknik ini adalah cara pengambilan sampel secara acak dari suatu anggota
populasi dan bertingkat secara proposional yang dilakukan jika anggota populasinya
heterogen atau terdiri atas kelompok-kelompok yang bertingkat (Sarjono & Julianita,
2013). Dalam penelitian ini, tingkat yang dimaksud adalah tahun angkatan.

3.6 Metode Pengumpulan Data


Adapun metode pengumpulan data pada penelitian ini dengan menggunakan
kuesioner. Menurut Siregar (2014), Kuesioner merupakan suatu teknik pengumpulan
informasi yang memungkinkan analisis mempelajari sikap-sikap, keyakinan, perilaku dan
karakteristik. Jenis kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesiner tertutup,
dimana pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada responden sudah dalam bentuk pilihan
ganda.

3.7 Alat Pengumpulan Data


Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang hendak diungkap yaitu resiliensi dan
self-efficacy. Untuk mengukur variabel resiliensi peneliti menggunakan The ConnorDavidson Resilience Scale (CD-RISC) yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan
dimodifikasi agar bahasa aitem yang digunakan dapat dipahami subyek penelitian.
Sedangkan untuk mengukur

varibel

self-efficacy,

peneliti

mengembangkan

skala

sikap berdasarkan kajian teori self-efficacy Bandura.


a.

The Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC)


The Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC) merupakan skala yang
dikembangkan Connor dan Davidson untuk mengukur resiliensi seseorang. Skala ini
terdiri dari 25 aitem. Masing-masing aitem mempunyai rentang skala likert antara 0
hingga 4. Rentang skor dari skala ini antara 0-100. Semaikin tinggi skor, maka
semakin tinggi tingkat resiliensi. Aitem-aitem pada skala ini merepresentasikan

21

kualitas-kualitas personal yang berkontribusi pada resiliensi seseorang, yaitu:


kemampuan beradaptasi, daya tahan, self-efficacy, problem solving, berorientasi ujian,
menemukan kekuatan setelah mengalami kesulitan, dapat bertoleransi terhadap emosi
yang tidak menyenangkan, persepsi diri tentang kemampuan mengontrol hidup, selera
humor meskipun dalam situasi sulit, hubungan dekat yang supportive, makna atau
tujuan hidup, pengaruh spiritual, dan optimism (Axford, K., M. 2007).
Reliabilitas CD-RISC telah diuji. Pengujian dengan menggunakan sampel
komunitas menunjukan konsistensi internal dengan koofisien alfa 0.89. Reliabilitas
dengan test-retest telah diuji dengan hasil yang menunjukkan koofisien korelasi
sebesar 0.87 (Axford, K, M, 2007).
Pada skala CD-RISC terdapat aitem-aitem self-efficacy. Karena penelitian ini
mencoba untuk melihat pengaruh self-efficacy terhadap resiliensi, maka aitem-aitem
self-efficacy pada skala CD-RISC ditiadakan. Dikarenakan self-efficacy pada
penelitian ini diukur dengan skala tersendiri yang dikembangkan berdasarkan kajian
teori yang ada. Dari 25 aitem pada skala CD-RISC terdapat tiga aitem self-efficacy
yaitu aitem 12, 13, dan 20. Jadi dari 25 aitem pada skala CD-RISC digunakan 22
aitem untuk mengukur resiliensi.
b. Skala self-efficacy
Untuk mengukur variabel self-efficacy, peneliti mengembangkan skala
berdasarkan kajian teori yang ada. Adapun blueprint dari self- efficacy sebagai
berikut:
No

Indikator

1.

Yakin dapat menyelesaikan


tugas tertentu

Butir Aitem
Favorabel
Unfavorabel

Jumlah

1, 11, 21,
31, 38

6, 16, 26

Yakin dapat memotivasi diri


untuk melakukan tindakan
yang
diperlukan
untuk
menyelesaikan tugas

2, 12, 22,
32, 39

7, 17, 27

Yakin bahwa diri mampu


bertekun dalam menghadapi
tugas

3, 13, 23,
33

8, 18, 28, 36

4, 14, 24,
34,

9, 19, 29, 37

5, 15, 25,
35, 40

10, 20, 30

Yakin bahwa diri mampu


bertahan
menghadapi
hambatan dan kesulitan
Yakin dapat menyelesaikan
permasalahan di berbagai
situasi.

22

Total

23

17

40

Dari pernyataan berdasarkan blueprint tersebut, responden diminta untuk


memberikan respon dalam bentuk skala likert yaitu menggunakan rentang SS (sangat
setuju), S (setuju), N (netral), TS (tidak setuju) dan STS (sangat tidak setuju). Untuk
aitem-aitem favorabel respon subyek SS diberi skor 4, S diberi skor 3, N diberi skor 2,
TS diberi skor 1, dan STS siberi skor 0. Sebaliknya untuk aitem-aitem unfavorablel
SS diberi skor 0, S diberi skor 1, N diberi skor 2, TS diberi skor 3, dan STS diberi
skor 4.

3.8 Prosedur Pelaksanaan Penelitian


Menurut Arikunto (2010) pelaksanaan penelitian dibagi dalam 11 tahap, yang dijelaskan
dalam bagan dibawah ini:
Langkah 1
Memilih masalah
Langkah 2
Studi pendahuluan
Langkah 3
Merumuskan masalah
Langkah 4
Merumuskan anggapan dasar
Langkah 5

Langkah 4a
Hipotesis

Memilih pendekatan
Langkah 6a

Langkah 6b

Menentukan variabel

Menentukan sumber data


Langkah 7
Menentukan dan menyusun

23

Langkah 8
Mengumpulkan data
Langkah 9
Analisis data
Langkah 10
Menarik kesimpulan
Langkah 11
Menyusun laporan
3.9 Metode Analisis Data
Untuk mengetahui pengaruh self-efficacy pada resiliensi, peneliti menggunakan
analisis regresi (anareg) linier sederhana. Anareg linier sederhana digunakan untuk
menentukan dasar ramalan dari suatu distribusi data yang terdiri dari satu variabel kriterium
(Y) dan satu variabel prediktor (X) yang memiliki bentuk hubungan

yang linier

(Winarsunu,2006).

24

DAFTAR PUSTAKA

Anshori, M & Iswati, S. 2009. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Surabaya: Airlangga


University Press
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu pendekatan Praktik. Jakarta:Rineka Cipta
Axford, K., M. (2007). Attachment, Affect Regulation, and Resilience in Undergraduate
Students. Dissertation, Walden University
Azwar, S. 2007. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bandura, A. (1997). Self-Efficacy, The Exercise of Control. W.H. Freeman and Company,
New York.
Bandura, A. (1986). Social Foundation of Thought and action: A Social Cognitive Theory.
Eaglewood Cliffs, NJ:Prentice Hall
Benard,

B.

2004.

Resiliency:

What

We

Have

Learned.

www.wested.org/wp-

content/files_mf/1370637522resiliency.chap1.pdf
Baron, Robert A. & Donn Byrne (2000). Social Psychology (9th edition). USA: Allyn &
Bacon.
Desmita. 2007. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

25

Grotberg, EH. (1999). Inner strength : How to find the resilience to deal with anything.
California. New Harbinger Publications
Hartaji, Damar A. (2012). Motivasi Berprestasi Pada Mahasiswa yang Berkuliah Dengan
Jurusan Pilihan Orangtua. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. (tidak
diterbitkan)
Hildayani, R, dkk. 2007. Penanganan Anak Berkelainan (Anak dengan Kebutuhan Khusus)
(Edisi ke-1), Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka.
Jackson, S. 2002. Reducing Risk and Promoting Resilience in Vulnarable Children.
http://www.bemidjistate.edu/academics/publications/social_work_journal/issue04/arti
cles/jackson.html.
Masten & Gewirtz. 2006. Resilience in Development: The Importance of Early Childhood.
Encyclopedia on Early Childhood Development 1 2006 Centre of Excellence for
Early Childhood Development Masten AS, Gewirtz AH. University of Minnesota,
USA.
Reivich, K & Shatte, A. 2002. The Resilience Factor ; 7 Essential Skill For Overcoming
Lifes Inevitable Obstacle. New York, Broadway Books
Schulz, D., & Schultz, S.E. 1994. Theories of Personality 5th Edition. California: Brooks/Cole
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 2008. Metode Penelitian Survai. Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia
Siregar, S. 2014. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Penerbit Kencana
Siswoyo, Dwi dkk. (2007). Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Penerbit
Alfabeta
Sukardi. 2014. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Surahman, Evi.(2011). Pengaruh Kualitas Dzikir Terhadap Kebahagiaan Pada Mahasiswa
Tarbiyah di Universitas Negeri Makassar.Proposal.Fakultas Psikologi Universitas
Negeri Makassar

26

Widyanto, E. (2006). Hubungan antara Self-Efficacy dengan Efektivitas Komunikasi pada


Receptionist Hotel. Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.
Winarsunu, T. (2006). Statistik dalam Penelitian Psikologi dan Pendidikan. UMM Press,
Malang.
Yusuf, Syamsu. (2012). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

LAMPIRAN

1. Skala Resiliensi
No
1

Pernyataan
Saya mampu beradaptasi

SS

STS

terhadap setiap perubahan


yang terjadi.
2

Saya mempunyai teman


akrab.

Saya bangga terhadap apa


yang telah saya capai saat ini.

Dalam bekerja saya selalu


berorientasi pada tujuan.

Saya merasa bisa mengontrol


kehidupan saya.

Saya mempunyai tujuan


hidup yang jelas.

27

Saya masih mempunyai selera


humor meskipun dalam situasi
yang sulit.

Sesuatu terjadi pasti mempunyai


alasan.

Saya bertindak berdasarkan


firasat.

10

Ketika terdapat perasaan


tidak menyenangkan, saya
dapat mengatasinya dengan
mudah.

11

Saya mempercayai takdir dan


Tuhan mempunyai andil dalam

12

kehidupan ini.
Saya merasa kesulitan-kesulitan
yang terjadi membuat saya
menjadi lebih baik.

13

Saya menyukai tantangan.

14

Saya berani membuat


keputusan yang sulit dan tidak

15

popular.
Saya melihat diri saya sebagai
seorang yang tahan banting.

16

Saya tidak menyerah, meskipun


sesuatu terlihat tidak ada
harapan.

17

Saya selalu berusaha sebaik


mungkin, walau apapun yang
terjadi.

18

Saya tidak mudah berkecil


hati ketika menghadapi
kegagalan.

28

19

Saya cendrung cepat untuk


bangkit kembali setelah
mengalami kesulitan dan
ketidaknyamanan.

20

Saya mempunyai orang yang


dapat diminta bantuan ketika
saya mengalami kesulitan.

21

Saya tetap fokus dan berpikir


jernih, meskipun dibawah
tekanan.

22

Saya lebih suka untuk


mengambil hal yang pasti dalam
penyelesaian masalah.

2. Skala Self Efficacy


No. Pernyataan
1

SS

TS

STS

Ketika saya membuat rencana,


saya yakin bahwa saya dapat
menjalankannya.

Ketka saya malas saya tahu


bagaimana memotivasi diri.

Saya akan mengorbankan waktu


luang saya agar dapat
menyelesaikan pekerjaan dengan
baik.

Saya tetap berusaha, walaupun


menemui banyak kesulitan.

Saya tetap bisa melakukan


pekerjaan dengan teliti meskipun
waktu yang diberikan mendesak.

29

Saya kurang yakin dapat


melakukan sesuatu sebaik orang

lain.
Saya sering kali terjebak dalam
rasa malas untuk mengerjakan

tugas.
Saya

akan

menunda

untuk

mengerjakan tugas ketika teman


saya mengajak untuk bersenang9

senang.
Jika sesuatu terlihat rumit, saya
tidak akan bersusah-susah untuk
mencobanya.

10

Ketika masalah yang tidak


terduga terjadi, saya kesulitan
untuk menanganinya dengan
baik.

11

Ketika saya memutuskan


untuk melakukan sesuatu,
saya

akan

melakukannya

sampai selesai.
12

Saya yakin bahwa saya dapat


memunculkan motivasi untuk
melakukan suatu pekerjaan.

13

Saya yakin bahwa saya akan


melakukan apapun agar hasil kerja
saya memuaskan.

14

Saya yakin dapat menghadapi


pekerjaan sesulit apapun.

15

Saya tetap yakin mampu


menguasai materi pelajaran
meskipun dosennya tidak
mumpuni pada mata kuliah yang
diajarkan.

30

16

Ketika saya menetapkan suatu


tujuan, saya jarang dapat
mencapainya.

17

Salah satu masalah saya adalah


bahwa saya tidak dapat memulai
suatu pekerjaan.

18

Saya tidak akan mengorbankan


waktu istirahat saya untuk
mengerjakan tugas.

19

Ketika mencoba untuk belajar


sesuatu yang baru, saya akan cepat
menyerah

jika

tidak

berhasil

menguasainya.
20

Ketika persentasi, saya merasa


canggung jika terdapat orangorang yang lebih pandai dari
saya.

21

Saya yakin dapat menyelesaikan


studi tepat pada waktunya.

22

Menurut saya, kesuksesan hanya


dapat dicapai dengan kerja keras.

23

Saya dapat mengabaikan ajakan


teman untuk bersenang-senang,
ketika saya sedang mengerjakan
tugas.

24

Saya tetap berusaha untuk


memahami suatu materi
perkuliahan meskipun materi
tersebut terlihat sulit.

31

25

Saya tetap bisa berpikir dan


mengambil tindakan ketika terjadi
permasalahan yang tidak terduga.

26

Saya tidak yakin kalau saya


dapat menyelesaikan kuliah
tepat pada waktunya.

27

Saya sulit memotivasi diri saya


untuk dapat belajar dengan giat.

28

Saya menyerah pada suatu hal


sebelum dapat menyelesaikannya.

29

Saya akan meninggalkan suatu


pekerjaan atau tugas ketika
pekerjaan itu terlalu sulit bagi
saya.

30

Saya

merasa

ragu

pada

saat

melakukan sesuatu atau pekerjaan di


depan banyak orang.
31

Menyelesaikan tugas tepat pada


waktunya merupakan hal yang
mudah bagi saya.

32

Ketika semangat saya kendor, saya


tau apa yang harus dilakukan agar
semangat saya bangkit kembali.

33

Saya akan berusaha keras agar


dapat mencapai target yang telah
saya tetapkan.

34

Saya adalah orang yang


pantang menyerah.

32

35

Saya tetap bisa menyelesaikan


masalah, meskipun
permasalahan tersebut belum
pernah saya alami sebelumnya.

36

Saya merasa bahwa saya kurang


giat dalam belajar.

37

Saya cendrung menghindari


kesulitan.

38

Saya percaya bahwa saya


dapat menyelesaikan tugastugas yang diberikan dosen.

39

Saat orang lain bisa, saya yakin


bisa melakukannya juga.

40

Saya tetap berpikir untuk


menyelesaikan suatu pekerjaan
meskipun situasinya tidak
mendukung.

33

Anda mungkin juga menyukai