Anda di halaman 1dari 21

PENERAPAN KONSELING MULTIBUDAYA DI SMAN 8 KEDIRI

LAPORAN OBSERVASI

untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan pada


mata kuliah Sosioantropologi BK

OLEH:

LIDIA SEPTYANI BR SIRAIT


2014010053

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NUSANTARA PGRI KEDIRI
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah atas kehadirat TUHAN YME yang senantiasa melimpahkan


rahmat dan hidayah-NYA sehingga saya dapat menyelesaikan laporan observasi yang
berjudul “PELAKSANAAN KONSELING MULTIBUDAYA DI SMAN 8 KEDIRI”.

Laporan observasi ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan, baik
berupa inspirasi dan motivasi dari berbagai pihak. Terimakasih saya haturkan kepada yang
terhormat:

1. Bapak Dr. Zainal Afandi, M.Pd selaku Rektor Universitas Nusantara PGRI
Kediri.
2. Ibu Dr. Mumun Nurmilawati, M.Pd selaku Dekan FKIP Universitas Nusantara
PGRI Kediri.
3. Bapak Galang Surya Gumilang, M.Pd selaku Kaprodi BK Universitas Nusantara
PGRI Kediri sekaligus dosen Pembina mata kuliah Sosioantropologi BK.
4. Serta pihak lain yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.
Harapan saya, laporan observasi ini dapat digunakan sebagai syarat untuk kelulusan
mata kuliah Sosioantropologi BK.

Saya menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan pada laporan observasi ini.
Karena itu, Saya mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak untuk perbaikan dan
penyempurnaan laporan observasi ini.

Kediri, Desember 2022

Lidia Septyani BR Sirait


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Budaya memiliki dimensi yang luas dan kompleks (Yuliarmi, N. N. 2011; Rahim, M.,
Tahir, M., & Rumbia, W. A. 2014; Mohammad Adib, D., & Bambang Nugrohadi, D.
1992) yang berhubungan dengan segala hasil daya kreasi manusia. Oleh karena itu,
sukar untuk merumuskan pengertian budaya yang dapat melingkupi semua aspek
budaya. Kuncaraningrat (dalam Ismael, 2004) mengatakan bahwa kebudayaan berasal
dari bahasa Sanskerta, yaitu budhayah, yaitu bentuk jamak dari kata buddhi yang
berarti budi atau akal. Budaya juga dipandang sebagai seperangkat nilai, keyakinan,
harapan, dan karakteristik tingkah laku dari suatu kelompok yang menyediakan
anggota dengan norma, perencanaan, dan aturan untuk hidup sosial (Elliot, 1996;
Glading, dalam Erfort, 2004). Budaya dalam arti sempit atau khusus meliputi ras dan
etnik (Sperry, 2007), dan dalam arti luas meliputi ras atau etnik, gender, usia, status
ekonomi, nasionalitas, orientasi seksual, dan religion, dan spritualitas. Dalam bahasa
Indonesia kata budaya dan kultur memiliki arti yang sama, maka dalam makalah ini
kedua kata akan digunakan secara bergantian. Budaya yang berkembang dalam
masyarakat akan membentuk cara berpikir, berperilaku dalam menjalani kehidupan.
Budaya dapat dipahami sebagai cara hidup seseorang atau sekelompok orang
(McLoid, 2006). Kasadaran budaya harus dikembangkan di sekolah supaya anak
menunjukkan respek terhadap budaya mereka sendiri, dan respek terhadap budaya
orang lain. Dalam pengembangan kesadaran multibudaya sekolah harus memberi
kesempatan kepada anak-anak untuk belajar tentang pengalaman (Octaviani, L. 2013;
Purwanto, J. 2013), perjuangan, visi dari berbagai kelompok budaya dan etnis yang
berbeda-beda (Banks, 2004).
Kesadaran budaya merupakan dasar komunikasi (SUDIBYO, C. A. 2013;
Usnawi, F. 2011) dan melibatkan kemampuan untuk menyadari diri (Liliweri, A.
2005; Pramudibyanto, H. 2013), nilai, kayakinan dan persepsi kita sendiri (Suryani,
W. 2013). Kesadaran budaya menjadi sangat penting ketika kita berinteraksi dengan
orang lain yang berbeda budaya dengan kita. Individu yang miliki kesadaran
multibudaya menyakini bahwa suatu tingkah laku baik dalam suatu budaya belum
tentu baik atau sesuai menurut budaya lain. Kesadaran budaya akan mendorong
pemahaman, sensitif, dan respek terhadap kelompok etnik lain. Belajar tentang
perbedaan budaya berarti belajar tentang fleksibilitas, empati, dan toleransi terhadap
orang lain (Scierra, 2004). Konseling multibudaya merupakan suatu proses bantuan
terhadap individu yang berbeda budaya. Konseling multibudaya merupakan kegiatan
konseling yang menunjukkan kesensitifan terhadap berbagai fungsi budaya dan
interaksi, dan kepedulian tentang pengalaman budaya orang lain (Falicov, dalam
McLoid, 2006). Konseling multibudaya merupakan suatu proses membantu yang
menekankan keseimbangan antara teori dan praktik konseling dalam menerima dan
menghargai kultutal siswa atau klien (Lee and Richarson, dalam Erfort, 2004). Proses
konseling multibudaya meliputi seperangkat paradigma yang mengarahkan kepada
penerimaan dan respek siswa terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Erfort,
2004). Locke menekankan bahwa konseling multibudaya lebih berorientasi proses
bekerja dengan orang-orang dari kulit berwarna (Locke, dalam Sciarra, 2008). Di sisi
lain Pederson mendefinisikan secara luas konseling multikultural meliputi variabel
etnografik seperti keetnikan, nasionalitas, religion, dan bahasa; variabel demografi
seperti umur, gender, dan vaeriabel status seperti sosial, pendidikan, ekonomi, dan
afiliasi termasuk afiliasi formal terhdap keluarga atau organisasi dan afiliasi non-
formal terhadap ide dan gaya hidup (Sciarra, 2004). Proses konseling multibudaya
diawali dengan kesadaran konselor terhadap perbedaan dirinya dan klien (Mardiono-
nim, D. I. D. I. 2010); menyadari faktor budaya mempengaruhi cara pandang klien
terhadap dunia. Dalam melakukan praktik konseling multibudaya, konselor sekolah
prosfesional harus mempertimbangkan secara matang bahasa, nilai-nilai, keyakinan-
keyakinan, kelas sosial, tingkat alkuturasi, ras, dan keeknikan siswa dan
menggunakan pelayanan dan teknik konseling yang konsisten dengan nilai-nilai
budaya klien (Erford, 2004). Konseling multibudaya merupakan pendekatan
integrative yang menggunakan teori budaya dasar sebagai landasan untuk memilih ide
dan teknik konseling. Konselor profesional yang bekerja perlu menjamin siswa dari
berbagai latar belakang budaya memiliki akses dan kesempatan memperoleh layanan
yang mereka butuhkan (ASCA, 1999). Konselor dalam suatu wilayah multibudaya
perlu memiliki kompetensi multibudaya agar dapat melayani klien-klien multibudaya.
Kompetensi konseling multikultural meliputi sikap/keyakinan, pengetahuan dan
keterampilan konselor untuk bekerja dengan klien dalam berbagai kelompok budaya
yang luas (Arrenando, 1999; Sue, Arrenando, and McDavis, 1992). Konselor yang
kompeten secara multibudaya memiliki keterampilan yang berguna untuk bekerja
secara efektif dengan klien yang berasal dari berbagai latar belakang etnik/budaya
(Sue, Arredondo, & McDavs, 1992). Supaya konselor sukses melaksanakan konseling
dengan individu dari berbagai budaya, konselor perlu mengenal fungsi ras, kultur, dan
keeknikan dan setiap individu dan tidak hanya terbatas pada minoritas (Sue & Sue,
dalam Sue, Arrenando, and McDavis, 1992). Sue et al (1996) mengembangkan
kerangka kerja konseptual kompetensi konselor untuk konseling multibudaya, yaitu:
Pertama meliputi sikap, keyakinan konselor tentang ras, budaya, etnik, gender, dan
oritenasi seksual. Konselor yang memiliki kompetensi budaya menunjukkan kapasitas
untuk memonitor bias personal, memiliki pandangan positif terhadap keanekaragaman
budaya, dan mengerti bagaimana suatu bias dapat mempengaruhi pelayanan bantuan
konseling yang efektif. Kedua mengenal bahwa kompetensi budaya memerlukan
konselor memiliki padangan dirinya yang luas. Petangkat ketiga, meliputi kapasitas
untuk memanfaatkan keterampilan` asesmen secara efektif, teknik intervensi, dan
strategi yang berguna dalam membantu klien yang berasal dari berbagai budaya (Sue,
et. all, 1996).
Dalam rangka meningkatkan kompetensi multibudaya konselor sekolah perlu
melakukan usaha-usaha beriukut: (a) meningkatkan kesadaran terhadap budaya
sendiri dan budaya orang lain melalui membaca artikel, buku-buku, conversation,
aktivities, refleksi, dan pengalaman, (b) meningkatkan kesadaran dan bekerja
menghilangkan gangguan pribadi untuk melaksanakan konseling multibudaya yang
efektif di sekolah, (c) menghindari hambatan streotipe untuk konseling dengan siswa
dari kelompok budaya khusus, (d) menunjukkan penguasaan terhadap pendekatan
konseling invididual dan kelompok dan teknik evaluasi yang sesuai kebutuhan
individual siswa dari berbagai budaya atau etnis, (e) memberikan respek dan
sokongan terhadap semua siswa, (f) memahami gangguan stress yang dialami siswa
dari budaya, termasuk perkembangan identitas, harga diri, pandangan terhadap
kehidupan, nlai, isolasi sosial, praduga, perlawanan, kesempatan dan diskriminasi, (g)
mengerti cara-cara khusus ras, etnik, dan budaya dapat mempengaruhi akademik,
karir, dan perkebangan sosial`/pribadi sisiswa, (h) merumuskan berbagai bentuk
bantuan yang didasarkan pada kebutuhan siswa, (i) menyediakan sumber belajar
untuk siswa dari berbagai budaya atau etnik, (j) menghasilkan program sekolah yang
luas dan kesempatan pengembangan staf dan masyarakat sekolah dan refleksi dari
populasi yang beragam (Sciarra, 2008)
B. Tujuan Kegiatan
Konseling multibudaya merupakan konsep baru dalam pelayanan konseling untuk
membantu individu yang mengalami masalah belajar karena hambatan budaya.
Tujuan umum konseling multibudaya adalah membantu individu menerima budaya
sendiri, menyadari, dan respek terhadap budaya orang lain dan terhindar dari
permasalahan belajar karena hambatan budaya. Tujuan pelayanan konseling
multikultural juga untuk membantu anak-anak dari berbagai budaya atau kultur agar
mereka dapat menyelesaikan masalah yang mereka alami dalam belajar di sekolah
yang berkaitan dengan faktor budaya. Konselor sekolah multibudaya perlu menjamin
siswa yang memiliki latar belakang budaya dapat memperoleh akses dan bantuan
yang sesuai dan kesempatan memperomosikan perkembangan optimal sebagai
individu. Secara khusus konseling multibudaya di sekolah bertujuan membantu siswa-
siswa dari berbagai latar belakang budaya agar dapat: (a) berkembang dalam suasana
multibudaya, (b) menunjukkan identitas dan respek terhadap budaya mereka sendiri
dan respek terhadap budaya orang lain, (c) memiliki rasa sensitif, respek terhadap
budaya orang lain yang berbeda dari budaya mereka sendiri., (d) meningkatkan
kesensitifan dan kesadaran siswa terhadap perbedaan budaya, seseorang berbeda
secara budaya, dan meningkatkan iklim sekolah dan masyarakat, (e) diterima dan
direspek dan semua kebutuhan siswa ditemukan, dan(f) intervensi konseling yang
memaksimalkan potensi siswa (ASCA, 1999).

C. Manfaat Kegiatan
1. Meningkatkan toleransi berbudaya disekolah baik sebagai seorang konseli
maupun konselor.
2. Mengetahui bagaimana bersikap dan menghadapi sesautu permasalahan dengan
latar belakang budaya yang berbeda.
3. Memahami perbedaan budaya yang ada disekolah tersebut
BAB II
ANALISIS SITUASI

A. Paparan Kegiatan
1. PERSIAPAN
pada matakuliah sosioantropoli BK yaitu konseling multibudaya saya melakukan
observasi di SMAN 8 KEDIRI yang bertempat dijalan Pahlawan Kusuma Bangsa
No.77, Banjaran, Kec.Kota, Kota Kediri, Jawa Timur. Saya melakukan observasi
pada hari Rabu tanggal 14 Desember 2022 di ruang BK SMAN 8 KEDIRI. Terdapat 3
guru BK 2 perempuan dan laki laki. Empat hari sebelum saya melakukan observasi di
SMAN 8 KEDIRI terlebih dahulu saya mengirimkan surat izin melaksanakan
observasi ke SMAN 8 KEDIRI. Saya melakukan observasi Bersama salah satu guru
BK perempuan yang Bernama ibu SANTI IKA PRASETYA, S.Pd, beliau menjadi nara
sumber saya pada saat observasi. Sebelum melakukan observasi saya Menyusun dan
mempersiapkan beberapa pertanyaan yang akan diajukan kepada bu santi.

2. PELAKSANAAN

SMA Negeri 8 Kediri memiliki sejarah yang panjang, sekolah dengan akreditasi A.
Berdiri sejak tahun 1991 dengan NPSN 20534382. Berawal dari Sekolah Guru Olah
Raga (SGO) kemudian menjadi SMA. Mengemban tugas menjadi sekolah Zonasi di
bidang Olahraga, sekolah ini mempunyai segudang atlet yang berprestasi ditingkat
daerah, provinsi, nasional dan bahkan internasional. Siswa di sekolah ini banyak yang
menjadi atlet dan tergabung dalam Pembinaan Pusat Latihan Kota (Puslatkot) dan
Pusat Latihan Daerah (Puslatda) bahkan ada yang masuk di pelatihan nasional
(Pelatnas). SMA Negeri 8 Kediri berdiri berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 0519/0/1991 tanggal 15
September 1991. SMA Negeri 8 Kediri merupakan sekolah alih fungsi dari Sekolah
Guru Olah Raga (SGO) Negeri Kediri yang terjadi pada tahun pelajaran 1991/1992,
Sementara itu SGO juga merupakan sekolah alih fungsi dari Sekolah Menengah Olah
Raga Atas (SMOA) yang terjadi pada tahun 1976 tanggal 19 Oktober 1976. SMOA
merupakan sekolah alih fungsi SGPD yang terjadi pada tahun 1963, tanggal 7
September 1963. SGPD sebenarnya baru berdiri pada tanggal 7 Juli 1963.
Melihat sejarahnya yang begitu panjang, namun mempunyai ciri khas, sehingga tak
mengherankan jika sarana dan prasarana yang ada sebagian merupakan warisan dari
SMOA dan SGO yang kemudian diperbaiki, ditambah dan disesuaikan dengan
tuntutan dan perkembangan zaman.

Usaha dan kerja keras dengan hasil seperti terpampang diatas menampilkan hasil
akumulatif antara kegiatan intra kurikuler dengan kegiatan ekstra kurikuler, antara
lain :
Kegiatan – kegiatan Olah Raga
Kegiatan – kegiatan Kesenian
Lomba – lomba Ilmiah
Komputer
Kegiatan – kegiatan lain yang mendukung kegiatan persekolahan

SMA Negeri 8 Kediri merupakan salah satu diantara beberapa sekolah menengah di
Jawa Timur yang mendapat kepercayaan dari Kantor Wilayah Departemen
Pendidikan Nasional Propinsi Jawa Timur untuk membina para atlet khususnya atletik
di PPLP (Pusat Pendidikan dan Latihan Olah Raga Pelajar). Hasil pembinaan yang
dilakukan telah mampu menorehkan hasil yang sangat membanggakan, baik untuk
prestasi tingkat lokal, daerah maupun Nasional bahkan tidak sedikit yang bertaraf
Internasional.

DI SMAN 8 KEDIRI lah saya melakukan observasi. Ketika melakukan observasi saya
melaksanakannya di ruang BK. Ruang BK disana cukup memenuhi standart ruang BK
yang mana terdapat ruang sendiri dan didalam ruang BK juga terdapat ruangan lagi
untuk melakukan konseling individu.

B. Kajian Teori
Salah satu tugas konselor di sekolah multibudaya adalah mengembangkan kesadaran
multibudaya dan membantu anak-anak yang mengalami masalah dalam belajar karena
hambatan budaya. Konselor harus secara aktif dan sensitif mempelajari dan merespon
berbagai persoalan budaya yang menghambat proses pendidikan atau belajar anak-
anak. Konselor sekolah perlu mengidnetifikasi berbagai persoalan multibudaya yang
terjadi di sekolah, dan merancang berbagai program konseling untuk mengatasi
berbagai persoalan budaya dan program pengembangan kesadaran budaya anak-anak;
menunjukkan respek terhadap budaya mereka sendiri dan respek dan toleransi
terhadap keberagaman budaya di sekolah. Dalam merancang program konseling,
konselor sekolah harus mempertimbangkan hal berikut: (a) strategi untuk
meningkatkan kesensitifan dan kesadaran siswa terhadap perbedaan budaya, (b)
keterampilan konsultasi untuk mengidentifikasi faktor-fakor sikap dan kebijakan yang
menghambat proses belajar dari siswa yang berbeda budaya, (c) pendekatan yang
menjamin semua siswa diterima dan direspek dan terpenuhinya semua kebutuhan
siswa, dan (d) intervensi konseling yang mengoptimalkan potensi siswa (ASCA,
1999). Konselor sekolah multibudaya perlu mengembangkan kemampuan
berkomunikasi empati secara budaya dengan klien multibudaya. Ridley
mengidentifikasi tujuh pedoman untuk berkomunikasi secara empati kultual dengan
klien yang perlu dipedomani konselor yaitu: (a) mendeskripsikan pemahamannya
terhadap pengalaman diri klien, (b) mengkomunikasikan minat untuk belajar lebih
banyak tentang budaya klien, (c) mengekspresikan hambatan dari kesadaran yang
mengarah kepada pengalaman kultural klien, (d) menerima pengalaman budaya klien,
(e) mengklarifikasi bahasa dan model komunikasi budaya lainnya, (f)
mengkomunikasikan hasrat untuk membntu klien, (g) level lebih lanjut, membantu
klien belajar lebih banyak tentang diri konselor dan diri sendiri dan menjadi lebih
konkruen (Arrenando, & Glauner (1992). Di sisi lain Arrenando, & Glauner (1992)
mengemukakan enam dimensi utama yang singnifikan untuk berkontribusi empati
kultural yang efektif yaitu: (a) mengerti dan menerima klien dari latar belakang
budaya yang berbeda, (b) bila memungkinkan, melaksanakan praktik yang didasari
budaya klien, (c) mengetahui pengalaman historis dan sosiopolitik klien, (d)
mengetahui penyesuaian psikososial yang harus dilakukan klien, (e) menjadi sensitif
terhadap keterbukaan, diskiriminasi, dan rasismen, dan (f) memfasilitasi
berkembangnya kekuatan diri klien. Hays & Erford (2010:30) yang menyatakan
bahwa konselor yang peka adalah konselor yang mengerti dan paham terhadap
perbedaan dan keberagaman budaya pribadi konselor dan konseli yang dihadapi
dalam layanan konseling. Dalam pelaksanaan konseling multikultural, konselor harus
mempunyai karakteristik yang dipersyaratkan. Dari berbagai sumber dapat
digambarkan bahwa konselor multikultural harus memiliki karakteristik: (1)
kesadaran terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan asumsi asumsi terbaru
tentang perilaku manusia; (2) kesadaran memiliki nilai nilai sendiri yang harus
dijunjung tinggi; (3) menerima nilai-nilai yang berbeda dari klien dan
mempelajarinya; (4) kesadaran terhadap karakteristik konseling secara umum; (5)
kesadaran terhadap kaidah-kaidah dalam melaksanakan konseling; (6) mengetahui
pengaruh kesukuan dan perhatian terhadap lingkungannya; (7) tanggap terhadap
perbedaan yang berpotensi menghambat proses konseling; (8) tidak boleh mendorong
klien untuk dapat memahami budaya dan nilai-nilai yang dimiliki konselor. Dari
gambaran karakteristik tersebut dapat disimpulkan bahwa konselor multikultural sadar
terhadap nilai-nilai pribadi yang dimiliki dan asumsi-asumsi terbaru tentang prilaku
manusia. Konselor sadar bahwa dia memiliki nilai-nilai sendiri yang dijunjung tinggi
dan akan terus dipertahankan. Di sisi lain konselor juga menyadari bahwa klien
memiliki nilai-nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya dan sebagai suatu
konsekwensi dari tugasnya pula sebagai konselor maka konselor multikultural sadar
terhadap karateristik konseling secara umum. Dalam hal ini konselor memiliki
pemahaman yang cukup mengenai konseling secara umum sehingga akan
membantunya dalam melaksanakan konseling. Dalam dunia pendidikan, konselor
maupun guru yang melakukan konseling mempertimbangakan aspek budaya siswa
yang berbeda harus mengetahui pengaruh kesukuan dan mereka mempunyai perhatian
terhadap lingkungannya dan konselor dalam tugasnya harus tanggap terhadap
perbedaan yang berpotensi untuk menghambat proses konseling.terutama yang
berkaitan dengan nilai, norma dan keyakinan yang dimiliki oleh suku agama tertentu.
Dengan pemahaman pada klien konselor multikultural tidak boleh mendorong klien
untuk dapat memahami budaya dan nilai-nilai yang dimiliki konselor. Ada aturan
main yang harus ditaati oleh setiap konselor karena konselor mempunyai kode etik
konseling yang secara tegas menyatakan bahwa konselor tidak boleh memaksakan
kehendaknya kepada klien.
Locke (Nuzliah, 2016) mendefinisikan konseling multikultural sebagai bidang
praktik yang memiliki karakteristik berikut: (1) menekankan pentingnya dan keunikan
(kekhasan) individu, (2) mengakui bahwa konselor membawa nilai-nilai pribadi yang
berasal dari lingkungan kebudayaannya ke dalam situasi konseling, dan (3) mengakui
bahwa konseli dari kelompok ras dan suku minoritas membawa nilai-nilai dan sikap
yang mencerminkan latar belakang budaya mereka. Definisi tersebut menegaskan
adanya tiga hal pokok yang menyangkut pengertian konseling multicultural. Pertama,
individu itu penting dan has (unik), Kedua, waktu menjalankan konseling, konselor
membawa nilai-nilai yang berasal dari lingkungan budayanya. Ketiga, konseli dari
kelompok minoritas etnik dan ras datang menemui konselor membawa seperangkat
nilai dan sikap yang mencerminkan latar belakang budayanya. Secara singkat dapat
dikemukakan bahwa konseling multi kultural merupakan suatu proses interaksi
konseling antara konselor dan konseli dengan latar belakang budaya yang berbeda
sehingga diperlukan pemahaman terhadap konsep dan budaya lain terutama bagi
konselor agar dapat memberikan bantuan secara efektif sesuai perspektif budaya
konseling. Konsep dasar konseling Multikultural Kajian menyangkut keragaman
budaya dikenal beberapa istilah seperti cross cultur (lintas budaya), intercultur ( antar
budaya) dan multicultur ( multibudaya). Dalam konseling istilah multicultural atau
multibudaya lebih sering digunakan karena mencerminkan kesetaraan dari masing-
masing budaya dan menafikan keunggulan satu budaya pada budaya lain. Sebuah
proses konseling dianggap sebagai konseling multikultural jika memenuhi situasi-
situasi sebagai berikut (Supriatna, n.d.): (1)Apabila konselor dan konseli merupakan
individu yang berbeda latar budayanya, (2)Konselor dan konseli dapat berasal dari
satu ras yang sama, namun memiliki perbedaan dalam : jenis kelamin, usia, orientasi
seksual, reregius, social ekonomi dan lain-lain. Point kunci dalam pelaksanaan
konseling multikultural yaitu (Indrawaty & Ed, 2014):
1. Teknik konseling harus dimodifikasi jika terjadi proses yang melibatkan latar
belakang budaya yang berbeda.
2. Konselor harus mempersiapkan diri dalam memahami kesenjangan yang makin
meningkat antara budayanya dengan budaya konseli pada saat proses konseling
berlangsung.
3. Konsepsi menolong atau membantu harus berdasarkan pada perspektif budaya
konseli, dan konselor dituntut memiliki kemampuan mengkomunikasikan
bantuannya serta memahami distres dan kesusahan konseli.
4. Konselor dituntut memahami perbedaan gejala dan cara menyampaikan keluhan
masingmasing kelompok budaya yang berbeda.
5. Konselor harus memahami harapan dan norma yang mungkin berbeda antara
dirinya dengan konseli
Kelima aspek tersebut menunjukkan konselor sebagai aktor utama dalam
proses dituntut memiliki kemampuan dalam memodifikasi teknik konseling dan
memahami aspekaspek budaya dari konselinya serta memahami kesenjangan dan
perbedaan antara budayanya dengan budaya konseli.

Prinsip-prinsip Dasar Konseling multicultural


Dalam melaksanakan konseling multikultur, terdapat beberapa prinsip terkait
konselor, konseli, dan proses konseling. Sebagai inisiator dan pihak yang membantu,
konselor wajib memahami prinsip prinsip tersebut dan mengaplikasikannya dalam
proses konseling. Adapun prinsip-prinsip dasar yang dimaksud adalah sebagai
berikut (Suhartiwi, 2013):
1. Untuk konselor
a. Kesadaran terhadap pengalaman dan sejarah dalam kelompok budayanya
b. Kesadaran tentang pengalaman diri dalam lingkungan arus besar kulturnya.
c. Kepekaan perceptual terhadap kepercayaan diri dan nilai-nilai yang
dimilikinya.

2. Untuk pemahaman konseli

a. Kesadaran dan pengertian/pemahaman tentang sejarah dan pengalaman


budaya konseli yang dihadapi.
b. Kesadaran perceptual akan pemahaman dan pengalaman dalam lingkungan
kultur dari konseli yang dihadapi.
c. Kepekaan perceptual terhadap kepercayaan diri konseli dan nilai-nilainya.

3. Untuk proses konseling

a. Hati-hati dalam mendengarkan secara aktif, konselor harus dapat


menunjukkan baik secara verbal maupun nonverbal bahwa ia memahami
yang dibicarakan konseli, dan dapat mengkomunikasikan tanggapannya
dengan baik sehingga dapat dipahami oleh konseli.
b. Memperhatikan konseli dan situasinya seperti konselor memperhatikan
dirinya dalam situasi tersebut, serta memberikan dorongan optimisme dalam
menemukan solusi yang realistis.
c. Mempersiapkan mental dan kewaspadaan jika tidak memahami pembicaraan
konseli dan tidak ragu-ragu meminta penjelasan. Dengan tetap memelihara
sikap sabar dan optimis

Secara singkat dapat dikemukakan bahwa prinsip-prinsip tersebut menuntut


konselor untuk memahami secara baik tentang situasi budayanya dan budaya
konseli, serta memiliki kepekaan konseptual terhadap respon yang diberikan
konseli, sehingga dapat mendorong optimisme, dalam mendapatkan solusi yang
realistis. Konselorpun harus memiliki sikap sabar, optimis dan waspada jika tidak
dapat memahami pembicaraan konseli serta tidak ragu-ragu meminta penjelasan
agar proses konseling berjalan efektif.

Karakteristik konselor multicultural

Untuk dapat melaksanakan proses konseling multikultural secara efektif,


konselor multikultural dituntut memiliki beberapa kemampuan atau kompetensi
kemampuankemampuan yang harus dimiliki oleh konselor multikultural sebagai
berikut (Akhmadi, 2016):

a. Mengenali nilai dan asumsi tentang perilaku yang diinginkan dan tidak
diingikan

b. Memahami karakteristik umum tentang konseling.

c. Tanpa menghilangkan peranan utamanya sebagai konselor ia harus dapat


berbagi pandangan dengan konselinya.

d. Dapat melaksanakan proses konseling secara efektif.

Selain ke empat aspek tersebut, beberapa kompetensi yang harus dimiliki


konselor multicultural sebagai berikut :

a. Menyadari dan memiliki kepekaan terhadap budayanya.

b. Menyadari perbedaan budaya antara dirinya dengan konseli serta mengurangi


efek negative dari perbedaan atau kesenjangan tersebut dalam proses
konseling.

c. Merasa nyaman dengan perbedaan antara konselor dengan konseli baik


menyangkut ras maupun kepercayaan.

d. Memiliki informasi yang cukup tentang cirri-ciri khusus dari kelompok atau
budaya konseli yang akan ditangani.

e. Memiliki pemahamn dan keterampilan tentang konseling dan psikoterapi.

f. Mampu memberikan respon yang tepat baik secara verbal maupun non verbal.
g. Harus dapat menerima dan menyampaikan pesan secara teliti dan tepat baik
verbal maupun non verbal.

Sebelas kompetensi yang menjadi karakteristik konselor multikultural seperti


dikemukakaan Sue & Sue (2003) tersebut dapat disarikan dalam 3 aspek besar
yaitu : Pengetahuan, sikap dan keterampilan. Dengan demikian seorang
konselor multikultural harus memiliki pengetahuan tentang teknik konseling dan
sosial budaya , sikap terbuka dan toleran terhadap perbedaan, serta keterampilan
dalam memodifikasi teknik-teknik konseling secara efektif dalam latar budaya
yang berbeda-beda. Menyangkut konselor Indonesia perlu pula memahami cirri-
ciri khusus budaya dan sub budaya dari bangsa Indonesia yang beraneka ragam
serta mampu menjadikan keanekaragaman tersebut sebagai unsur pemersatu
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Selain memiliki keanegaragaman budaya dan kepercayaan dalam masyarakat


Indonesia terdapat beberapa kelompok khusus lainnya. Salah satu kelompok
yang dimaksud adalah kelompok penyandang cacat. Sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari bangsa Indonesia, kelompok ini memerlukan ruang dan
pemberian kesempatan untuk dapat hidup wajar Bersama masyarakat lainnya.
Namun demikian, keunikan perilaku yang mereka tunjukkan, kendala yang
mereka hadapi, dan diskriminasi yang mereka peroleh, menyebabkan kelompok
penyandang cacat dinilai sebagai kelompok marjinal dan beban masyarakat.

Untuk menanggulangi masalah tersebut, konseling dan multicultural dapat


menjadi salah satu solusi. Oleh karena itu konselor multicultural perlu memiliki
empati dan kompetensi dalam memberikan bantuan kelompok penyandang cacat
sehingga dapat mendorong mereka berkiprahsecara wajar ditengah
masyarakatnya.

C. Kerangka Pemecahan Masalah

Gumilang (2015:49) konselor sekolah dalam menghadapi beragam perbedaan


konseli, perlu mengubah persepsi mereka, belajar tentang konseling dan konsultasi,
mencukupkan diri dengan pengetahuan tentang budaya lain, bentuk rasisme dan
berperan sebagai agen perubahan sosial. Dalam memberikan layanan bimbingan dan
konseling, konselor perlu memperhatikan kesadaran budaya karena mampu membawa
konseli memahami karakteristik psikologis seperti kecerdasan (intelegensi, emosional,
dan spiritual), bakat, sikap, motivasi, dan lain-lain. Dalam pelayanan bimbingan dan
konseling di sekolah, guru bimbingan dan konseling/konselor sekolah diharuskan
memiliki kesadaran multikultural, memahami keberagaman konseli, menghargai
perbedaan dan keragaman nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, menyadari adanya bias-
bias dan kesadaran akan keterbatasan diri dalam hal budaya. Memahami pandangan
hidup dan latar belakang budaya diri dan konseli serta mengembangkan strategi
konseling yang sesuai budaya, mengingat keragaman tersebut saling berinteraksi
dalam komunitas sekolah sebagai akibat dari tren atau kecenderungan demografi.

Layanan konseling di sekolah harus dilihat dalam perspektif budaya, yakni


proses konseling merupakan proses interaksi dan komunikasi yang intensif antara
konselor dengan konseli yang didalamnya terjadi perjumpaan budaya antara
konselor dengan konseli. Oleh karena itu, konselor perlu memiliki kepekaan budaya
agar dapat memahami dan membantu konseli sesuai dengan konteks budayanya,
menyadari benar bahwa secara kultural, individu memiliki karakteristik yang unik
dan dalam proses konseling akan membawa karakteristik tersebut. Pemahaman
konseling multikultural atau konseling berwawasan multikultural ini efektif untuk
mengeleminir kemungkinan munculnya perilaku konselor yang menggunakan
budayanya sendiri (counselor encaptulation). akan lebih percaya diri apabila
berkonsultasi dengan konselor/guru sebagai petugas konseling yang paham dengan
dirinya dan latar belakangnya. Di sekolah konselor/guru sebagai pelaksana konseling
lintas budaya harus memiliki karakteristik. Pertama konselor lintas budaya harus
sadar terhadap nilai-nilai pribadiyang dimilikinya, kedua harus sadar terhadap
karakteristik konseling secara umum, ketiga harus mengetahui pengaruh kesukuan
dan mereka harus mempeunyai perhatian terhadap lingkungan, keempat tidak boleh
mendorong seseorang klien memahami budayanya. Diharapkan dengan pahamnya
konselor dan diterapkannya konseling multikultural maka siswa sebagai klien
menjadi lebih nyaman dalam pelayanan dan lebih efektif dalam memberikan solusi
dari masalah klien.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Konseling multikultural merupakan proses interaksi antara konselor dan konseli
dengan latar belakang budaya yang berbeda sehingga diperlukan pemahaman
terhadap konsep dan budaya lain terutama bagi konselor agar dapat memberikan
bantuan secara efektif sesuai perspektif budaya konseli. Untuk dapat memberikan
konseling multikultural secara efektif, konselor multicultural harus dapat memahami
karakter budaya konseli, serta merancang segala tindakan dalam perspektif budaya
konseli.
Konseling dibutuhkan sebagai suatu solusi dari permasalahan yang berbeda-beda dan
dari latar belakang siswa yang berbedabeda. Penerapan konseling multikultural di
sekolah sangat penting, hal ini akan memberikan rasa aman bagi klien. Klien akan
lebih percaya diri apabila berkonsultasi dengan konselor/guru sebagai petugas
konseling yang paham dengan dirinya dan latar belakangnya. Di sekolah
konselor/guru sebagai pelaksana konseling lintas budaya harus memiliki karakteristik.
Pertama konselor lintas budaya harus sadar terhadap nilai-nilai pribadiyang
dimilikinya, kedua harus sadar terhadap karakteristik konseling secara umum, ketiga
harus mengetahui pengaruh kesukuan dan mereka harus mempeunyai perhatian
terhadap lingkungan, keempat tidak boleh mendorong seseorang klien memahami
budayanya. Diharapkan dengan pahamnya konselor dan diterapkannya konseling
multikultural maka siswa sebagai klien menjadi lebih nyaman dalam pelayanan dan
lebih efektif dalam memberikan solusi dari masalah klien.

B. Saran
Guru BK diharapkan dapat lebih mempelajari dan mengulik lagi tentang konseling
multibudaya karena konseling multibudaya cukup jarang dilakukan dan diterapkan
yang dimana kenyataannya konseling multibudaya sangat penting dan dibutuhkan
untuk siswa siswi.
DAFTAR PUSTAKA
Gainau, M. B. (2009). Keterbukaan Diri ( Self Disclosure ) Siswa dalam Perspektif Budaya
dan Implikasinya Bagi Konseling. Jurnal Ilmiah Widyawarta. 33 ( 1 ) 1-17
Indrawaty, S. A., & Ed, D. (2014). Kompetensi pemahaman konselor terhadap pandangan
hidup konseli yang berbeda budaya, 123–127.
Octaviani, L. (2013). Pandatara Dan Jarlatsuh: Model Pendidikan Multikultural Di SMA
Taruna Nusantara Magelang. Komunitas: International Journal of Indonesian
Society and Culture, 5(1).
Nurhayati, A. (2011). Menggagas Pendidikan Multikultur di Indonesia. Al-Tahrir: Jurnal
Pemikiran Islam, 11(2), 327-347.
DOKUMENTASI
PEDOMAN OBSERVASI
MATA KULIAH SOSIOANTROPOLOGI BK
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
UNIVERSITAS NUSANTARA PGRI KEDIRI

Nama SANTI IKA PRASETYA, S.Pd.


Kelas
Umur 35 TAHUN
Alamat JL BANJARAN GANG 1 NO 365 KEDIRI
Jenis Kelamin PEREMPUAN
Hari/tanggal RABU, 14 DESEMBER 2022
Nama Pengamat LIDIA SEPTYANI BR SIRAIT

Petunjuk:
Observasi salah satu konselor di sekolah yang melakukan layanan konseling multibudaya
dengan konseli. Identifikasi beragam aspek sesuai rubrik penilaian berikut.

1. Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang konseling multibudaya?


Konseling multibudaya merupakan suatu proses bantuan terhadap individu yang berbeda
budaya. Konseling multibudaya merupakan kegiatan konseling yang menunjukkan
kesensitifan terhadap berbagai fungsi budaya dan interaksi, dan kepedulian tentang
pengalaman budaya orang lain

2. Bagaimanakah proses pelaksanaan konseling multibudaya di sekolah Bapak/Ibu?


Proses konseling multibudaya sama seperti proses konseling pada umumnya tergantung
layanan apa yang diberikan apakah layanan konseling individua tau konseling kelompok
hanya saja dengan latar belakang budaya yang berbeda yang menjadi focus pada saat
konseling

3. Layanan apa saja yang Bapak/Ibu berikan saat proses konseling multibudaya berlangsung?
Layanan yang sudah pernah saya lakukan dalan konseling multibudaya adalah layanan
individu dan layanan konseling kelompok

4. Bagaimanakah kondisi siswa sebelum pelaksanaan konseling multibudaya?


Beberapa Siswa cenderung tidak bisa menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya
karena memeiliki perbedaan budaya yang berpengaruh pada kehidupan sosialnya baik di
sekolah maupun di lingkungan masyarakat.

5. Dimana biasanya Bapak/Ibu memberikan layanan konseling multibudaya?


Di kelas dan diruang BK tergantung layanan yang diberikan dengan layanan bimbingan
kelompok atau dengan layanan konseling individu

6. Bagaimana jika konseli tidak cocok dengan latar belakang budaya dari Bapak/Ibu saat
proses konseling multibudaya?
Sebagai konselor kita harus dapat menyesuaikan dan mengerti sifat perilaku bahkan
budaya dari konseli yang kita hadapi. Kita juga dapat memaklumi karena setiap individu
memiliki latar belakang budaya yang berbeda beda, dan setiap guru bk harus mengerti
bawasannya latar belakang budaya dan kebiasan dari siswa itu berbeda beda. Maka dari itu
guru bk dituntut untuk mengerti dan memahami serta menguasai konseling multi budaya
agar dapat membantu konseli dalam proses konseling walaupun memiliki latar belakang
budaya yang berbeda.

7. Apakah Bapak/Ibu merasa canggung saat proses konseling multibudaya?


Bukan kearah canggung tetapi takut salah berbicara, bertutur kata dan bersikap kepada
konseli, karena budaya yang berbedan juga mempengaruhi pola pikir dll. Yang membuat
kita sebagai konselor sulit untuk memberikan layanan atau membantu konseli.

8. Bagaimana cara Bapak/Ibu mengatasi rasa canggung saat proses konseling multibudaya?
Caranya dengan mencaritahu latarbelakang konseli kita terlebih dahulu dari biodata
biodata yang ada.

9. Berapa jam biasanya Bapak/Ibu memberikan pelayanan konseling multibudaya?


45 menit.

10. Apa saja kesan dan pesan Bapak/Ibu saat melaksanakan konseling multibudaya?
Hal yang pertama saya rasakan saat melakukan konseling multibudaya ini adalah sedikit
bingung dan lama kelamaan terkesan asik karena dapat mengetahui lebih banyak budaya
budaya yang ada dan menambah pengetahuan serta pengalaman saya.
Pesan saya untuk siswa siswi di SMAN 8 KEDIRI jangan merasa takut atau minder jika
memiliki budaya yang berbeda dan menghalangi kamu untuk dating ke ruang BK dan
konseling, karena kami menerima kalian tanpa syarat apa pun.

Obeserver Guru BK

LIDIA SEPTYANI BR SIRAIT SANTI IKA PRASETYA, S.Pd,


NPM 2014010053 NIP, 198905302022212028

Anda mungkin juga menyukai