Anda di halaman 1dari 6

Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan dan beradaptasi dalam menghadapi,

mengatasi, mencegah, meminimalkan atau menghilangkan dampak-dampak yang merugikan


serta mampu untuk bangkit dan pulih kembali dari tekanan, keterpurukan, kesengsaraan atau
hal-hal yang tidak menyenangkan dalam hidup.

Resiliensi merupakan kemampuan untuk bangkit kembali dari pengalaman negatif yang
mencerminkan kualitas bawaan dari individu atau merupakan hasil dari pembelajaran dan
pengalaman. Kemampuan resiliensi seseorang dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara
lain dukungan eksternal, kekuatan personal yang berkembang pada diri seseorang dan
kemampuan sosial.

Resiliensi adalah kemampuan individu untuk segera kembali (to bounce back) dalam
menghadapi dan mengatasi situasi yang berisiko dan penuh tekanan melalui pertahanan
kompetensi yang dimiliki serta adaptasi yang positif dan fleksibel terhadap perubahan dari
pengalaman yang penuh tekanan. Resiliensi membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri
dalam berhadapan dengan kondisi–kondisi yang tidak menyenangkan dan tekanan hebat yang
inheren sekalipun.

Berikut definisi dan pengertian resiliensi dari beberapa sumber buku:

 Menurut Lestari dan Mariyati (2016), resiliensi sebuah kemampuan individu untuk
bangkit dari penderitaan, dengan keadaan tersebut mental akan menjadi lebih kuat dan
lebih memiliki sumber daya.
 Menurut Kalil (2003), resiliensi sebuah kesadaran akan hasil yang baik dalam
menghadapi keadaan sulit, kemampuan yang menyokong ketika berada di bawah
tekanan, atau penyembuhan dari trauma.
 Menurut Grotberg (1995), resiliesi adalah kemampuan seseorang untuk menilai,
mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau
kesengsaraan dalam hidup.
 Menurut Desmita (2012), resiliensi adalah kemampuan atau kapasitas insani yang
dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkan untuk
menghadapi, mencegah, meminimalkan, bahkan menghilangkan dampak–dampak
yang merugikan dari kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan.
 Menurut Reivich dan Shatte (2002), resiliensi adalah kemampuan untuk bertahan,
beradaptasi terhadap sesuatu yang menekan, mampu mengatasi dan melalui, serta
mampu untuk pulih kembali dari keterpurukan.

Fungsi Resiliensi
Menurut Reivich dan Shatte (2002), resiliensi pada seseorang memiliki beberapa fungsi, yaitu
sebagai berikut:

a. Mengatasi (Overcoming)

Dalam kehidupan terkadang manusia menemui kesengsaraan, masalah-masalah yang


menimbulkan stres yang tidak dapat untuk dihindari. Oleh karenanya manusia membutuhkan
resiliensi untuk menghindar dari kerugian-kerugian yang terjadi akibat dari hal-hal yang tidak
menguntungkan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menganalisis dan mengubah
cara pandang menjadi lebih positif dan meningkatkan kemampuan untuk mengontrol
kehidupan kita sendiri. Sehingga, kita tetap dapat termotivasi, produktif, terlibat, dan bahagia
meskipun dihadapkan pada berbagai tekanan di dalam kehidupan.

b. Mengendalikan (Steering through)

Setiap orang membutuhkan resiliensi untuk menghadapi setiap masalah, tekanan, dan setiap
konflik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang resilien akan menggunakan
sumber dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi setiap masalah yang ada, tanpa harus
merasa terbebani dan bersikap negatif terhadap kejadian tersebut. Orang yang resilien dapat
membantu serta mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang perjalanan
hidupnya. Penelitian menunjukkan bahwa unsur esensi dari steering through dalam stres yang
bersifat kronis adalah self-efficacy yaitu keyakinan terhadap diri sendiri bahwa kita dapat
menguasai lingkungan secara efektif dapat memecahkan berbagai masalah yang muncul.

c. Efek kembali (Bouncing back)

Beberapa kejadian merupakan hal yang bersifat traumatik dan menimbulkan tingkat stres
yang tinggi, sehingga diperlukan resiliensi yang lebih tinggi dalam menghadapi dan
mengendalikan diri sendiri. Kemunduran yang dirasakan biasanya begitu ekstrim, menguras
secara emosional, dan membutuhkan resiliensi dengan cara bertahap untuk menyembuhkan
diri. Orang yang resilien biasanya menghadapi trauma dengan tiga karakteristik untuk
menyembuhkan diri. Mereka menunjukkan task-oriented coping style dimana mereka
melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan tersebut, mereka
mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari kehidupan mereka,
dan orang yang mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat dari trauma mengetahui
bagaimana berhubungan dengan orang lain sebagai cara untuk mengatasi pengalaman yang
mereka rasakan.

d. Menjangkau (Reaching out)


Resiliensi, selain berguna untuk mengatasi pengalaman negatif, stres, atau menyembuhkan
diri dari trauma, juga berguna untuk mendapatkan pengalaman hidup yang lebih kaya dan
bermakna serta berkomitmen dalam mengejar pembelajaran dan pengalaman baru. Orang
yang berkarakteristik seperti ini melakukan tiga hal dengan baik, yaitu tepat dalam
memperkirakan risiko yang terjadi; mengetahui dengan baik diri mereka sendiri; dan
menemukan makna dan tujuan dalam kehidupan mereka.

Aspek–aspek Resiliensi
Menurut Connor dan Davidson (2003), resiliensi terdiri dari tiga aspek utama, yaitu sebagai
berikut:

1. Tenacity (Kegigihan). Menggambarkan ketenangan hati, ketetapan waktu,


ketekunan, dan kemampuan mengontrol diri individu dalam menghadapi situasi yang
sulit dan menantang.
2. Strength (Kekuatan). Menggambarkan kapasitas individu untuk memperoleh
kembali dan menjadi lebih kuat setelah mengalami kemunduran dan pengalaman di
masa lalu.
3. Optimism (Optimisme). Merefleksikan kecenderungan individu untuk melihat sisi
positif dari setiap permasalahan dan percaya terhadap diri sendiri dan lingkungan
sosial. Aspek ini menekankan pada kepercayaan diri individu dalam melawan situasi
yang sulit.

Sedangkan menurut Reivich dan Shatte (2002), aspek-aspek resiliensi yang harus dimiliki
seseorang adalah sebagai berikut:

1. Regulasi emosi. Kemampuan untuk mengelola sisi internal diri agar tetap efektif di
bawah tekanan individu yang resilien mengembangkan keterampilan dirinya untuk
membantunya mengendalikan emosi, perhatian, maupun perilakunya dengan baik.
2. Pengendalian dorongan. Kemampuan untuk mengelola bentuk perilaku dari impuls
emosional pikiran, termasuk kemapuan untuk menunda mendapatkan hal yang dapat
memuaskan bagi individu. Kemampuan mengendalikan dorongan juga terkait dengan
regulasi emosi.
3. Analisis kausal. Kemampuan untuk mengidentifikasi penyebab dari masalah secara
akurat. Individu yang resilien memiliki gaya berpikir yang terbiasa untuk
mengidentifikasi penyebab yang memungkinkan dan mendapatkan sesuatu yang
berpotensi menjadi solusi.
4. Efikasi diri. Efikasi diri merupakan keyakinan individu dapat memecahkan masalah
dan berhasil individu tersebut yakin bahwa dirinya telah efektif dalam hidupnya.
Individu yang resilien yakin dan percaya diri sehingga dapat membangun kepercayaan
dengan orang lain, juga menempatkan dirinya untuk berada di tempat yang lebih baik
dan lebih banyak memiliki kesempatan.
5. Realistis dan optimis. Kemampuan yang dimiliki individu untuk tetap positif tentang
masa depan yang belum menjadi terealisasi dalam perencanaan. Hal tersebut terkait
dengan self esteem, tetapi juga memiliki hubungan kausalitas dengan efikasi diri juga
melibatkan akurasi dan realisme.
6. Empati. Kemampuan untuk membaca isyarat perilaku orang lain untuk memahami
keadaan psikologis dan emosional mereka, sehingga dapat membangun hubungan
yang lebih baik. Individu yang resilien mampu membaca isyarat-isyarat non verbal
orang lain untuk membangun hubungan yang lebih dalam dan cenderung untuk
menyesuaikan keadaan emosi mereka.
7. Keterjangkauan. Kemampuan untuk meningkatkan aspek positif dari kehidupan dan
mengambil suatu kesempatan yang baru sebagai tantangan. Menjangkau sesuatu yang
terhambat oleh rasa malu, perfeksionis, dan self handicapping.

BACA JUGA

 Psikoterapi Islam - Pengertian, Fungsi, Metode dan Tahapan


 Kesejahteraan Psikologis - Pengertian, Aspek dan Faktor yang
Mempengaruhi
 Insecure - Pengertian, Jenis, Bentuk dan Faktor Penyebab
 Rendah Diri (Inferiority) - Pengertian, Ciri, Komponen dan Penyebab

Sumber-sumber Resiliensi
Menurut Desmita (2009), terdapat beberapa sumber yang dapat mempengaruhi terbentuknya
sebuah resiliensi pada seseorang, yaitu sebagai berikut:

a. I Have (aku punya)

Faktor I Have merupakan dukungan eksternal dan sumber untuk meningkatkan resiliensi. I
have merupakan sumber resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan remaja terhadap
besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya. Sebelum individu
menyadari akan siapa dirinya (I Am) atau apa yang bisa dilakukan (I Can), individu
membutuhkan dukungan eksternal dan sumber daya untuk mengembangkan perasaan
keselamatan dan keamanan yang meletakkan fondasi, yaitu untuk mengembangkan resiliensi.
Beberapa sumber yang menjadi landasan terbentuknya faktor I Have yaitu:

1. Hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh.


2. Struktur dan peraturan di rumah.
3. Model-model peran.
4. Dorongan untuk mandiri (otonomi).
5. Akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan kesejahteraan.

b. I Am (ini Aku)

I am merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan pribadi. Faktor I Am


merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri individu. Hal ini meliputi perasaan, sikap,
dan keyakinan di dalam diri individu. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi terbentuknya
faktor I am yaitu:

1. Disayang dan disukai oleh banyak orang.


2. Mencinta, empati dan kepedulian pada orang lain.
3. Bangga dengan dirinya sendiri.
4. Bertanggung jawab terhadap perilaku sendiri dan menerima konsekuensinya.
5. Percaya diri, optimistic dan penuh harap.

c. I Can (aku dapat)


I can adalah sumber resiliensi yang berkaitan dengan apa saja yang dapat dilakukan oleh
remaja sehubungan dengan keterampilan-keterampilan sosial dan inter personal. I can adalah
kemampuan yang dimiliki individu untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam
berkomunikasi dengan orang lain, memecahkan masalah dalam berbagai seting kehidupan
(akademis, pekerjaan, pribadi dan sosial) dan mengatur tingkah laku, serta mendapatkan
bantuan saat membutuhkannya. Beberapa hal yang perlu dikembangkan untuk menumbuhkan
faktor I Can yaitu:

1. Berkomunikasi.
2. Memecahkan masalah.
3. Mengelola perasaan dan impuls-impuls.
4. Mengukur tempramen sendiri dan orang lain.
5. Menjalin hubungan-hubungan yang saling mempercayai.

Tahapan Resiliensi
Menurut Coulson (2006), terdapat empat tahapan yang terjadi ketika seseorang mengalami
situasi dari kondisi yang menekan (significant adversity) sebelum akhirnya terjadi resiliensi,
yaitu sebagai berikut:

a. Mengalah

Mengalah adalah kondisi yang menurun dimana individu mengalah atau menyerah setelah
menghadapi suatu ancaman atau keadaan yang menekan. Level ini merupakan kondisi ketika
individu menemukan atau mengalami kemalangan yang terlalu berat bagi mereka. Outcome
dari individu yang berada pada level ini berpotensi mengalami depresi, narkoba dan pada
tataran ekstrem bisa sampai bunuh diri.

b. Bertahan (survival)

Pada tahapan ini individu tidak dapat meraih atau mengembalikan fungsi psikologis dan
emosi positif setelah dari kondisi yang menekan. Efek dari pengalaman yang menekan
membuat individu gagal untuk kembali berfungsi secara wajar.

c. Pemulihan (Recovery)

Recovery adalah kondisi ketika individu mampu pulih kembali pada fungsi psikologis dan
emosi secara wajar dan mampu beradaptasi dalam kondisi yang menekan, walaupun masih
menyisihkan efek dari perasaan negatif yang dialaminya. Dengan begitu, individu dapat
kembali beraktivitas untuk menjalani kehidupan sehari-harinya, mereka juga mampu
menunjukkan diri mereka sebagai individu yang resilien.

d. Berkembang Pesat (Thriving)

Pada tahapan ini, individu tidak hanya mampu kembali pada tahapan fungsi sebelumnya,
namun mereka mampu melampaui level ini pada beberapa respek. Pengalaman yang dialami
individu menjadikan mereka mampu menghadapi dan mengatasi kondisi yang menekan,
bahkan menantang hidup untuk membuat individu menjadi lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai