Perkembangan positif yang dihasilkan oleh anak yang hidup dalam konteks
“beresiko tinggi” (high-risk), seperti anak yang hidup dalam kemiskinan kronis atau
perlakuan kasar orang tua.
Kompetensi yang dimungkinkan muncul dibawah tekanan yang berkepanjangan,
seperti peristiwa-peristiwa disekitar perceraian orang tua mereka; dan
Kesembuhan dari trauma, seperti ketakutan dari peristiwa perang saudara dan kamp
konsentrasi.
Menurut Wolin dan Wolin (1999), terdapat tujuh karakteristik utama yang dimiliki oleh
individu resilien. Karakteristik inilah yang membuat individu mampu beradaptasi dengan
baik saat menghadapi masalah, mengatasi berbagai hambatan, serta mengembangkan
potensi yang dimilikinya secara maksimal, yaitu :
Insight
Insight adalah kemampuan mental untuk bertanya pada diri sendiri dan menjawab dengan
jujur. Hal ini untuk membantu individu untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain,
serta dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi.
Kemandirian
Hubungan
Seorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan
berkualitas bagi kehidupan, atau memiliki role model yang sehat.
Inisiatif
Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab atas kehidupan sendiri
atau masalah yang dihadapi. Individu yang resilien bersikap proaktif bukan reaktif
bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun
situasi yang dapat diubah serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang
tidak dapat diubah.
Kreativitas
Humor
Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari kehidupan, menertawakan diri
sendiri dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Individu yang resilien
menggnakan rasa humornya untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang baru
dan lebih ringan.
Moralitas
Regulasi Emosi
Pengendalian impuls
Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan,
dorongan, kesukaan serta tekanan yang muncul dalam diri seseorang. Individu yang
memiliki kemampuan pengendalian diri yang rendah, cepat mengalami
perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perlaku mereka.
Optimisme
Analisis Penyebab Masalah
Gaya berfikir “saya” adalah individu yang cenderung menyalahkan diri sendiri atas
masalah yang menimpanya. Sedangkan gaya berfikir “bukan saya” adalah menitik
beratkan pihak lain yang menjadi penyebab atas kesalahan yang terjadi.
Seseorang yang berfikir “selalu” beasumsi bahwa ketika terjadi kegagalan maka
akan timbul kegagalan berikutnya yang menyertainya. Individu tersebut akan selalu
merasa pesimis. Sedangkan individu yang optimis, cenderung memandang
kegagalan dari sisi positif dan berusaha melakukan yang lebih baik dalam setiap
kesempatan.
Gaya befikir “semua” memandang kegagalan pada sisi kehidupan akan menjadi
penyebab kegagalan pada sisi kehidupan yang lain. Sedangkan gaya befikir “tidak
semua” mampu menjelasakan penyebab dari suatu masalah yang ia hadapi.
Menurut Revich, K., & Shatte, A. (2002) Individu yang resilien tidak akan menyalahkan
orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat demi menjaga self-esteem mereka atau
membebaskan mereka dari rasa bersalah. Mereka tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor
yang berada di luar kendalli mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang
kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan
yang ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan.
Empati
Efikasi Diri
Efikasi diri (Revich, K., & Shatte, A. 2002) adalah sebuah keyakinan bahwa individu mampu
memecahkan dan menghadapi masalah yang dialami secara efektif. Efikasi diri juga berarti
meyakini diri sendiri mampu, berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri yang tinggi
memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak menyerah ketika
menemukan bahwa strategi yang sedang digunakannya itu tidak berhasil. Efikasi diri adalah
hasil pemecahan masalah yang berhasil sehingga seiring dengan individu membangun
keberhasilan sedikit demi sedikit dalam mengahdapi masalah, maka efikasi diri tersebut
akan terus meningkat. Sehingga hal tersebut menjadi sangat penting untuk
mencapai resiliensi.
Reaching out
Tahapan Resiliensi
O’Leary dan Ickovics menyebutkan empat tahapan yang terjadi ketika seseorang
mengalami situasi dari kondisi yang menekan (significant adversity) antara lain yaitu :
Mengalah
Yaitu kondisi yang menurun dimana individu mengalah atau menyerah setelah menghadapi
suatu ancaman atau keadaan yang menekan. Level ini merupakan kondisi ketika individu
menemukan atau mengalami kemalangan yang terlalu berat bagi mereka. Outcome dari
individu yang berada pada level ini berpotensi mengalami depresi, narkoba dan pada
tataran ekstrim bisa sampai bunuh diri.
Bertahan (survival)
Pada tahapan ini individu tidak dapat meraih atau mengembalikan fungsi psikologis
dan emosi positif setelah dari kondisi yang menekan. Efek dari pengalaman yang menekan
membuat individu gagal untuk kembali berfungsi secara wajar.
Pemulihan (Recovery)
Yaitu kondisi ketika individu mampu pulih kembali pada fungsi psikologis dan emosi secara
wajar dan mampu beradaptasi dalam kondisi yang menekan, walaupun masih menyisihkan
efek dari perasaan negatif yang dialaminya. Dengan begitu, individu dapat kembali
beraktifitas untuk menjalani kehidupan sehari-harinya, mereka juga mampu menunjukkan
diri mereka sebagai individu yang resilien.
Pada tahapan ini, individu tidak hanya mampu kembali pada tahapan fungsi sebelumnya,
namun mereka mampu melampaui level ini pada beberapa respek. Pengalaman yang
dialami individu menjadikan mereka mampu mengahdapi dan mengatasi kondisi yang
menekan, bahakan menantang hidup untuk membuat individu menjadi lebih baik.
1 YEAR LATER
fahmarosmansyah
1
Oct '19
Luthar, Chiccetti dan Becker mengutarakan bahwa resiliensi mengacu pada proses
dinamis yang meliputi adaptasi positif dalam konteks kesulitan yang signifikan (McCubin,
2001).
1 YEAR LATER
5 MONTHS LATER
Fatimahyasmin
Mar '20
Resiliensi secara umum didefinisikan sebagai kemampuan beradaptasi terhadap situasi-
situasi yang sulit dalam kehidupan. Individu dianggap sebagai seseorang yang
memiliki resiliensi jika mereka mampu untuk secara cepat kembali kepada kondisi
sebelum trauma dan terlihat kebal dari berbagai peristiwa kehidupan yang negatif (Reivich
& Shatte, 2002 dalam Pulungan, Tarmidi, 2012).
Resiliensi harus dipandang sebagai suatu proses dan bukan sebagai atribut tetap seorang
individu. Tentu saja, tidak tertutup kemungkinan bahwa beberapa individu akan
menunjukkan resiliensi di berbagai situasi, tapi itu tidak bisa diasumsikan bahwa fitur yang
sama akan dapat melindungi dalam kaitannya dengan semua risiko (Rutter, 2012).
Resiliensi psikologis sebagaimana yang didefinisikan oleh Maddi, Kobasa dan Kahn (dalam
Sholichatun, 2008) merefleksikan sebuah keyakinan bahwa individu dapat melakukan
sebuah respon di bawah kondisi stress secara efektif. Kondisi ini mencakup
tiga konstruk yang saling terkait.
Resiliensi tidak dilihat sebagai atribut yang pasti atau keluaran yang spesifik namun
sebaliknya sebagai sebuah proses dinamis yang berkembang sepanjang waktu. Hal ini
senada dengan Masten, 2001 (dalam LaFramboise, et al., 2006 dalam Widiowati, 2012)
yang mengungkapkan bahwa resiliensi merupakan sebuah proses dan bukan atribut
bawaan yang tetahal. Resiliensi lebih akurat jika dilihat sebagai bagian dari
perkembangan kesehatan mental dalam diri seseorang yang dapat dipertinggi dalam siklus
kehidupan seseorang.
Konsep lain dalam bidang resiliensi psikologis yang membahas relevansi karakteristik
internal dalam membantu seseorang untuk mengatasi dan menangani pengalaman hidup
negatif, adalah hardiness (Bissonnette, 1998). Konsep hardiness pertama kali diidentifikasi
oleh Kobasa (1982). Temuan awal menunjukkan bahwa individu, yang mengalami
tingkat stres yang tinggi, namun tetap sehat memiliki struktur kepribadian yang berbeda dari
individu yang mengalami tingkat stres yang tinggi dan menjadi sakit.
Menurut Vernold (2008) Guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang berencana untuk kembali
ke posisi mereka pada tahun berikutnya memiliki tingkat kepuasan yang tinggi terhadap
kemampuan resiliensi mereka, sedangkan guru- guru yang berencana meninggalkan posisi
mereka memiliki tingkat kepuasan yang rendah. Selain itu Vernold (2008) juga menjelaskan
bahwa dukungan lingkungan, peluang untuk partisipasi yang bermakna dan harapan yang
tinggi dalam pekerjaan merupakan faktor-faktor penting untuk membangun resiliensi pada
guru pendidikan khusus.
Individu yang resilien memiliki faktor pelindung yang memungkinkan mereka untuk secara
efektif mengarahkan situasi stres. Mengingat sifat dari profesi guru, pendidik dihadapkan
dengan berbagai kondisi yang stres setiap hari. Guru yang memiliki internal dan eksternal
pelindung tenaga lebih cenderung memiliki kepuasan kerja yang lebih besar dan keinginan
yang meningkat untuk tetap dalam profesi mereka. (Vernold, 2008).
Dalam situasi di mana seorang guru merasa didukung dan dihormati, maka mereka
cenderung menjadi lebih resilien. Sebaliknya dalam situasi di mana mereka merasa
terisolasi, tidak siap, dan tidak didukung, mereka cenderung kurang resilien. (Belknap,
2012).
Resiliensi ditandai dengan semacam tindakan dengan tujuan tertentu dalam pikiran dan
semacam strategi bagaimana untuk mencapai tujuan yang dipilih yang melibatkan
beberapa unsur terkait. Pertama, rasa harga diri dan kepercayaan diri; kedua, self-
efficacy serta kemampuan untuk menghadapi perubahan serta adaptasi; dan ketiga,
sekumpulan pendekatan dalam pemecahan masalah sosial (Rutter, 1985).
Hal serupa dinyatakan oleh O’Leary dan Ickoviks (dalam Coulson, 2006 dalam Sholichatun,
2008) yang menyatakan meskipun seorang individu mungkin memperoleh keuntungan dan
perubahan positif dari sebuah tantangan hidup, namun tidak ada jaminan bahwa hasil yang
sama akan nampak ketika menghadapi tantangan-tantangan lain yang hampir bersamaan
terjadi.
Referensi
3 MONTHS LATER
riskiyananda
1
May '20
Resiliensi digunakan untuk menggambarkan bagian positif dari perbedaan individual dalam
respons seseorang terhadap stres dan keadaan yang merugikan lainnya menurut Smet
(dalam Desmita 2009).
Indikator-indikator Resiliensi
Fungsi-fungsi Resiliensi
2 MONTHS LATER
mitalarasati
1
Aug '20
Resiliensi adalah kemampuan untuk pulih secara efektif dari gangguan yang signifikan yang
mengancam fungsi adaptif dan pengembangan (Osofsky et al., 2018). Resiliensi sebagai
karakteristik pribadi mengarah pada adaptasi positif dan meminimalkan efek negatif dari
stresor, memungkinkan orang untuk merehabilitasi dan menjaga kesehatan mereka
terlepas dari masalah yang ada (Mohammadinia et al., 2017).
Cara Meningkatkan Resiliensi
1. Regulasi emosi ( emotion regulation )
4. Efikasi diri ( self-efficacy )
Sumber Resiliensi
“ I can ” adalah sesuatu yang dapat dilakukan oleh seseorang seperti, kemampuan
interpersonal dan memecahkan masalah. Kemampuan ini didapatkan melalui interaksi dan
sosialisasi dengan semua orang yang berada di sekitar mereka. Individu tersebut juga
memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik.
Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan baik.
“ I have ” adalah sesuatu yang dimiliki seseorang yaitu berupa dukungan yang ia miliki
untuk meningkatkan resiliensi.Dukungan ini berupa hubungan yang baik dengan keluarga,
atau hubungan lain yang baik diluar keluarga. Melalui “I have” seseorang merasa memiliki
hubungan yang penuh kepercayaan. Hubungan seperti ini dapat diperoleh dari orang tua,
aggota keluarga lain, dan teman-teman yang mencintai serta menerima individu tersebut.
Menurut Southwick and Charney, (2012), terdapat tiga faktor yang dapat
mempengaruhi resiliensi antara lain:
1. Sosial Support
2. Cognitive
3. Psychological resource