Anda di halaman 1dari 20

MATERI KELOMPOK 5

“PENGEMBANGAN KAPASITAS KETAHANAN DIRI (RESILIENCE)”

Diajukan Sebagai Tugas Praktik Profesional Kebidanan


Dosen Pengajar : Indah Fitri Andini, SST, M. Keb

Di Susun Oleh :

Peti Mely
P0 1740322 127

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
PRODI D IV ALIH JENJANG KEBIDANAN
TAHUN AJARAN 2022/2023
MATERI V
TENTANG PENGEMBANGAN KAPASITAS KETAHANAN DIRI (RISILENCE)
DALAM PRAKTIK PROFESIONALISME KEBIDANAN

1. Resilience
a. Pengertian Resilience

Pengembangan Kapasitas ketahanan diri (Resilience)


1. Pengertian Ketahanan diri (Resilience)
Pengertian Ketahanan diri adalah :
a. Sebuah pola adaptasi yang bersifat positif dalam menghadapi kesulitan
(Riley dan Masten, 2005).
b. Kemampuan untuk mempertahankan stabilitas psikologis dalam
menghadapi stres (Keye & Pidgeon, 2013).
c. Kemampuan untuk bangkit kembali dari kesulitan, frustrasi, dan
kemalangan (Ledesma, 2014).
d. Hasil dari adaptasi yang sukses meskipun terdapat situasi yang
menantang atau mengancam (Wright & Masten, 2015).
e. Sebuah proses dari hasil adaptasi dengan pengalaman hidup yang sulit
atau menantang, terutama melalui mental, emosional dan perilaku yang
fleksibilitas, baik penyesuaian eksternal dan internal (APA Dictionary
of Psychology, VandenBos, 2015: hal. 910)
2. Ciri Individu Yang Punya Resilience
Menurut Baumgadner (2010) individu yang resiliensinya tinggi akan
menampilkan kemampuan dalam dirinya yang meliputi:
a. Intelektual yang baik dan kemampuan memecahkan masalah
b. Mempunyai temperamen yang easy-going dan kepribadian yang dapat
beradaptasi terhadap perubahan
c. Mempunyai self image yang positif dan menjadi pribadi yang efektif
d. Optimis
e. Mempunyai nilai pribadi dan nilai budaya yang baik
f. Mempunyai selera humor

2. Sejarah tentang Studi Resilience dalam Psikologi

Gagasan tentang resiliensi (ketangguhan) individu dalam menghadapi situasi yang


tidak menguntungkan telah ada sejak waktu yang lalu. Hal ini dapat ditemui dalam mitos-
mitos, cerita dongeng, seni dan literatur-literatur di sepanjang abad yang menggambarkan
cerita para pahlawan (Campbell dalam Masten & Reed, 2002). Budaya – budaya tertentu
juga telah menggambarkan konsep resiliensi ini. Misalnya pada masyarakat Jepang
dikenal suatu kalimat “A willow that bends in the storm but does not break”. Willow
adalah sejenis pohon dengan cabang yang mudah lentur. Kalimat tersebut dapat diartikan
bahwa suatu pohon yang melengkung karena badai tetapi tidak patah. Konsep Han dari
Korea juga menggambarkan resiliensi, yaitu “Suffering that is deep but not without hope”.
Kalimat tersebut dapat diartikan sebagai penderitaan itu dalam tetapi tidak tanpa harapan.
Ada juga istilah yang dipelesetkan oleh masyarakat Amerika tentang resiliensi, yaitu “just
bounce back!” (pantulkan kembali saja).
Ketika ilmu psikologi mulai berkembang sebagai suatu ilmu yang sistematis pada
abad ke-19 dan awal abad ke-20, maka muncullah minat pada adaptasi individual terhadap
lingkungan. Hal ini dapat dilihat pada munculnya teori-teori yang diawali dengan konsep
seleksi alam sampai pada teori-teori terkait ego dalam psikologi. Sebagai contoh, Freud
(Masten & Reed, 2002) menyebutkan bahwa kemampuan manusia untuk memenangkan
situasi yang tidak menguntungkan bahkan situasi sangat darurat sekalipun di tiang
gantungan humuman mati merupakan pernyataan kemenangan ego atas kedigdayaannya
(the ego’s victorious assertion of its own invulnerability). Selain ego, konsep-konsep
psikologi awal tentang motivasi menang, kompetensi, dan efikasi diri pada abad ke-20
berfokus pada aspek positif adaptasi dalam perkembangan (Masten & Coatsworth, dalam
Masten & Reed, 2002).
3. Kemampuan – Kemampuan Dasar Resilience

1) Regulasi Emosi Kemampuan untuk tetap tenang ketika berada di bawah tekanan.
Individu yang resilient menggunakan kemampuan pengaturan emosi agar bisa
mengontrol emosi, perhatian, dan perilaku mereka
2) Impulse Control Kemampuan untuk mengendalikan dorongan-dorongan primitif
yang ada dalam diri individu dan lebih mengutamakan pikiran-pikiran yang
rasional.
3) Optimisme Suatu keyakinan bahwa setiap masalah atau keadaan bisa diatasi.
Individu yang resilient adalah individu yang optimis. Mereka percaya bahwa
segala sesuatu bisa berubah menjadi lebih baik. Dibandingkan dengan individu
yang pesimis, orangorang yang optimis secara fisik lebih sehat, tidak mudah
mengalami depresi, dan lebih produktif di tempat kerja.
4) Causal Analysis Kemampuan seseorang untuk mengenali penyebab dari masalah
yang dialami. Jika individu tidak dapat menilai penyebab dari setiap masalah yang
mereka alami dengan baik, maka ia akan terperosok untuk membuat kesalahan
5) Empati Kemampuan untuk membaca keadaan emosi dan psikologis seseorang.
Beberapa individu mampu membaca melalui isyarat non verbal seperti ekspresi
wajah, intonasi suara, bahasa tubuh
6) Self-efficacy Kemampuan yang menunjukan keyakinan seseorang bahwa ia bisa
memecahkan masalah yang dialami dengan efektif demi mencapai kesuksesan
7) Reaching Out Kemampuan untuk bertemu dengan orang-orang baru, mencoba hal-
hal baru, berani melakukan kegiatan yang membutuhkan keberanian dan kekuatan
dari dalam diri
4. Tahapan Resilience
1) Overcome Kemampuan resilience dibutuhkan mengatasi rintangan selama masa
kanak-kanak agar individu dapat mengatasi kerusakan yang terjadi di masa muda
agar bisa mewujudkan masa dewasa yang diinginkan.

2) Steer Through Self efficacy dapat mengurangi stress yang kronis. Orang yang
memiliki self efficacy tinggi dapat memecahkan masalah dalam hidup dan tidak
mudah menyerah saat tidak menemukan jalan keluar dari permasalahan yang
dihadapi
3) Bouncing Back Kemampuan resilience dibutuhkan agar individu mampu bangkit
kembali dari kesulitan yang dialami seperti pereraian, kemiskinan, bencana alam,
ataupun kehilangan anggota keluarga
4) Reach Out Beberapa manfaat dapat diperoleh adalah individu dapat menilai resiko
yang dihadapi, dapat mengekspresikan pemikiran dan perasaannya serta dapat
menemukan arti dan tujuan dari hidup mereka

5. Aspek-Aspek Pendukung Resilience

Berdasarkan Grotberg (Uyun, 2012) ada tiga kemampuan atau aspek yang
membentuk resiliensi pada individu. Tiga faktor resiliensi untuk dukungan eksternal dan
sumber-sumbernya, digunakan istilah ‘I Have’; untuk kekuatan individu dalam diri pribadi
digunakan istilah ‘I Am’, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah’I
Can’.
a. I Have
Faktor I Have merupakan dukungan eksternal dan sumber dalam meningkatkan
daya lentur. Sebelum individu menyadari akan siapa dirinya (I Am) atau apa yang bisa
dia lakukan (I Can), individu membutuhkan dukungan eksternal dan sumber daya
untuk mengembangkan perasaan keselamatan dan keamanan yang meletakkan
fondasi, yaitu inti untuk mengembangkan resilience. Aspek ini merupakan bantuan
dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi. Sumber-sumbernya adalah adalah
sebagai berikut :
1. Trusting Relationships (Mempercayai Hubungan)
Orang tua, anggota keluarga lainnya, guru, dan teman-teman yang mengasihi
dan menerima individu tersebut. Individu-individu dari segala usia membutuhkan
kasih saying tanpa syarat dari orang tua mereka dan pemberi perhatian primer
(primary care givers), tetapi mereka membutuhkan kasih sayang dan dukungan
emosional dari orang dewasa lainnya juga.
2. Struktur dan Aturan di Rumah
Orang tua yang memberikan rutinitas dan aturan yang jelas, mengharapkan
individu mengikuti perilaku mereka, dan dapat mengandalkan individu untuk
melakukan hal tersebut. Aturan dan rutinitas itu meliputi tugas-tugas yang
diharapkan dikerjakan oleh individu. Batas dan akibat dari perilaku tersebut
dipahami dan dinyatakan dengan jelas. Jika aturan itu dilanggar, individu dibantu
untuk memahami bahwa apa yang dia lakukan tersebut salah, kemudian didorong
untuk memberitahu dia apa yang terjadi, jika perlu dihukum, kemudian dimaafkan
dan didamaikan layaknya orang dewasa. Orang tua tidak mencelakakan individu
dengan hukuman, dan tidak ada membiarkan orang lain mencelakakan individu
tersebut.
3. Role Models
Orang tua, orang dewasa lain, saudara, dan teman sebaya bertindak dengan
cara yang menunjukkan perilaku individu yang diinginkan dan dapat diterima, baik
dalam keluarga dan orang lain. Mereka menunjukkan bagaimana cara melakukan
sesuatu, seperti berpakaian atau menanyakan informasi dan hal ini akan mendorong
individu untuk meniru mereka.
4. Dorongan agar Menjadi Otonom
Orang disekitar melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain dan berusaha
mencari bantuan yang mereka perlukan untuk membantu individu menjadi otonom.
Mereka memuji individu tersebut ketika dia menunjukkan sikap inisiatif dan
otonomi. Orang dewasa sadar akan temperamen individu, sebagaimana
temperamen mereka sendiri, jadi mereka dapat menyesuaikan kecepatan dan
tingkat tempramen untuk mendorong individu untuk dapat otonom.
5. Akses pada Kesehatan, Pendidikan, Kesejahteraan, dan Layanan Keamanan.
Individu-individu secara individu maupun keluarga, dapat mengandalkan
layanan yang konsisten untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh
keluarganya yaitu rumah sakit dan dokter, sekolah dan guru, layanan sosial, serta
polisi dan perlindungan kebakaran atau layanan sejenisnya.
b. I Am
Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri. Faktor ini
meliputi perasaan, sikap, dan keyakinan di dalam diri individu. Ada beberapa bagian-
bagian dari faktor I Am yaitu :
1. Perasaan Dicintai dan Perilaku yang Menarik
Individu tersebut sadar bahwa orang menyukai dan mengasihi dia. Individu
akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan mencintainya.
Seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon
yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain.
2. Mencintai, Empati, dan Altruistik
Individu mengasihi orang lain dan menyatakan kasih sayang tersebut dengan
banyak cara. Dia peduli akan apa yang terjadi pada orang lain dan menyatakan
kepedulian itu melalui tindakan dan kata-kata. Individu merasa tidak nyaman dan
menderita karena orang lain dan ingin melakukan sesuatu untuk berhenti atau
berbagi penderitaan atau kesenangan.
3. Bangga pada Diri Sendiri
Individu mengetahui dia adalah seseorang yang penting dan merasa bangga
pada siapa dirinya dan apa yang bisa dilakukan untuk mengejar keinginannya.
Individu tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkannya.
Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem
membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut.
4. Otonomi dan Tanggung Jawab
Individu dapat melakukan sesuatu dengan caranya sendiri dan menerima
konsekuensi dari perilakunya tersebut. Individu merasa bahwa ia bisa mandiri dan
bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka
terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab.
5. Harapan, Keyakinan, dan Kepercayaan
Individu percaya bahwa ada harapan baginya dan bahwa ada orang-orang dan
institusi yang dapat dipercaya. Individu merasakan suatu perasaan benar dan salah,
percaya yang benar akan menang, dan mereka ingin berperan untuk hal ini.
Individu mempunyai rasa percaya diri dan keyakinan dalam moralitas dan
kebaikan, serta dapat menyatakan hal ini sebagai kepercayaan pada Tuhan atau
makhluk rohani yang lebih tinggi.
c. I Can
“I Can” adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mengungkapkan perasaan
dan pikiran dalam berkomunikasi dengan orang lain, memecahkan masalah dalam
berbagai seting kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi dan sosial) dan mengatur
tingkah laku, serta mendapatkan bantuan saat membutuhkannya. Ada beberapa aspek
yang mempengaruhi faktor I can yaitu :
1. Berkomunikasi
Individu mampu mengekspresikan pemikiran dan perasaan kepada orang lain
dan dapat mendengarkan apa yang dikatakan orang lain serta merasakan perasaan
orang lain.
2. Pemecahan Masalah
Individu dapat menilai suatu permasalahan, penyebab munculnya masalah dan
mengetahui bagaimana cara mecahkannya. Individu dapat mendiskusikan solusi
dengan orang lain untuk menemukan solusi yang diharapkan dengan teliti. Dia
mempunyai ketekunan untuk bertahan dengan suatu masalah hingga masalah
tersebut dapat terpecahkan.
3. Mengelola berbagai Perasaan dan Rangsangan
Individu dapat mengenali perasaannya, memberikan sebutan emosi, dan
menyatakannya dengan kata-kata dan perilaku yang tidak melanggar perasaan dan
hak orang lain atau dirinya sendiri. Individu juga dapat mengelola rangsangan
untuk memukul, melarikan diri, merusak barang, berbagai tindakan yang tidak
menyenangkan.
4. Mengukur Temperamen Diri Sendiri dan Orang Lain.
Individu memahami temperamen mereka sendiri (bagaimana bertingkah,
merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan juga
terhadap temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk mengetahui
berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, membantu individu
untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu
sukses dalam berbagai situasi.
5. Mencari Hubungan yang Dapat Dipercaya
Individu dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman
sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, guna mencari
cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan
interpersonal.
Selain itu, Wagnild dan Young (1993) menyebutkan ada lima karakteristik yang
menandai resiliensi, yaitu:

a. Self-Reliance, yaitu keyakinan pada diri sendiri dan pada kapabilitas diri. Self
reliance merujuk pada kemampuan untuk bergantung pada diri sendiri serta
mengenali kekuatan dan batasan atau kelemahan yang dimiliki diri sendiri.
Karakteristik ini didapat dari berbagai pengalaman hidup yang dialami sehari-hari
dan dapat meningkatkan keyakinan individu akan kemampuan dirinya sendiri serta
mampu mengembangkan berbagai pemecahan masalah yang dihadapinya.
b. Existential aloneness, yaitu kesadaran bahwa setiap jalan kehidupan individu unik,
beberapa pengalaman dapat dihadapi bersama namun ada juga yang harus dihadapi
sendiri. Karakter ini memberikan perasaan merdeka dan rasa keunikan.
c. Meaningfulness, merupakan kesadaran individu bahwa hidup memiliki tujuan dan
diperlukan usaha untuk mencapai tujuan tersebut. Karakter ini membawa pada
perasaan memiliki sesuatu yang perlu diperjuangkan untuk hidup. Karakteristik ini
merupakan karakteristik resiliensi yang paling penting dan menjadi dasar dari
keempat karakteristik yang lain, karena menurutnya hidup tanpa tujuan sama
dengan sia-sia karena tidak memiliki arah atau tujuan yang jelas. Tujuan
mendorong individu untuk melakukan sesuatu dalam hidup tak terkecuali ketika
dirinya mengalami kesulitan. Tujuannya itu yang membuat individu terus berjuang
menghadapi kesulitan tersebut.
d. Equaminity, yaitu suatu perspektif seimbang yang dimiliki oleh individu mengenai
hidup dan pengalaman-pengalaman yang dialaminya; karakter ini menyiratkan
kemampuan untuk mempertimbangkan sudut pandang yang lain terhadap
pengalamannya yang buruk, sehingga dia dapat melihat hal-hal yang lebih positif
daripada hal-hal negatif dari situasi sulit yang sedang dialami sehingga dia dapat
memberikan respon yang tepat.
e. Perseverance, yaitu sikap individu yang tetap bertahan dalam menghadapi situasi
sulit atau tidak mendukung. Perseverance menyiratkan adanya kehendak seseorang
untuk terus berjuang membangun kembali hidupnya dan mempertahankan
kondisinya serta tetap mempraktikkan disiplin diri.
6. Upaya Meningkatkan Resilience
Dengan memahami pengertian dan aspek-aspek yang mendukung resiliensi maka
seseorang dapat mengidentifikasi dan menyusun serta melakukan suatu upaya untuk
meningkatkan resiliensinya. Berikut ini adalah sepuluh upaya membangun resiliensi
berdasarkan American Psychology Association (2015). Upay-upaya ini tentunya sangat
perlu untuk disesuaikan dengan konteks lingkunan hidup masing-masing.

a. Membuat koneksi
Hubungan yang baik dengan anggota keluarga dekat, teman atau orang lain adalah
penting. Menerima bantuan dan dukungan dari orang-orang yang peduli tentang Anda
akan memperkuat resiliensi. Beberapa orang menemukan bahwa menjadi aktif dalam
kelompok-kelompok sipil, organisasi berbasis agama, atau kelompok lokal lainnya
memberikan dukungan sosial dan dapat membantu menumbuhkan harapan. Membantu
orang lain di saat mereka membutuhkan juga bisa mendapatkan keuntungan bagi yang
menolong.
b. Menghindari melihat krisis sebagai masalah yang tidak dapat diatasi.
Anda tidak dapat mengubah fakta bahwa peristiwa yang sangat menegangkan
terjadi, tapi Anda dapat mengubah cara Anda menafsirkan dan menanggapi peristiwa
ini. Cobalah melihat bagaimana keadaan masa depan mungkin sedikit lebih baik.
Perhatikan setiap cara yang di mana Anda mungkin sudah merasa agak lebih baik
ketika Anda menangani situasi sulit.
c. Menerima bahwa perubahan itu adalah bagian dari hidup.
Tujuan tertentu mungkin tidak lagi dicapai sebagai hasil dari situasi yang merugikan.
Menerima keadaan yang tidak bisa diubah akan membantu Anda fokus pada keadaan
yang bisa diubah.
d. Bergerak menuju tujuan.
Mengembangkan beberapa tujuan yang realistis. Melakukan sesuatu secara teratur,
bahkan jika tampaknya seperti prestasi kecil, dapat memungkinkan Anda untuk
bergerak ke arah tujuan Anda. Alih-alih berfokus pada tugas-tugas yang tampaknya
tidak bisa diraih, tanyakan pada diri sendiri, "Apa satu hal yang saya tahu yang mana
saya bisa mencapainya hari ini dan membantu saya bergerak ke arah yang saya ingin
pergi.”
e. Mengambil tindakan tegas.
Bertindak pada situasi yang merugikan sebanyak yang Anda bisa. Mengambil
tindakan tegas, bukan memisahkan sepenuhnya dari masalah dan tekanan dan berharap
masalah akan pergi.
f. Mencari peluang untuk self discovery.
Orang sering belajar sesuatu tentang diri mereka sendiri dan mungkin menemukan
bahwa mereka telah tumbuh dalam beberapa hal sebagai hasil dari perjuangan mereka
terhadap kehilangan. Banyak orang yang mengalami tragedi dan kesulitan telah
melaporkan hubungan yang lebih baik, rasa yang lebih besar dari kekuatan bahkan
ketika merasa rentan, meningkatkan rasa harga diri, spiritualitas yang lebih maju dan
apresiasi yang tinggi bagi kehidupan.
g. Memelihara pandangan positif dari diri Anda sendiri.
Mengembangkan rasa percaya diri dalam kemampuan Anda untuk memecahkan
masalah dan mempercayai naluri Anda akan membantu membangun resiliensi.
h. Menjaga hal-hal dalam perspektif.
Bahkan ketika menghadapi peristiwa yang sangat menyakitkan, berupaya untuk
mempertimbangkan situasi stres dalam konteks yang lebih luas dan menjaga perspektif
jangka panjang.
i. Mempertahankan pandangan penuh harapan.
Sebuah pandangan optimis memungkinkan Anda untuk berharap bahwa hal-hal baik
akan terjadi dalam hidup Anda. Anda dapat memvisualisasikan apa yang Anda
inginkan, dari pada mengkhawatirkan tentang apa yang Anda takutkan.
j. Menjaga diri.
Memperhatikan kebutuhan dan perasaan Anda sendiri. Melakukan kegiatan yang
Anda nikmati dan merasa santai. Berlatih secara teratur. Merawat diri sendiri
membantu untuk menjaga pikiran dan tubuh Anda agar prima untuk menghadapi situasi
yang memerlukan resiliensi.
Terdapat beberapa cara tambahan untuk memperkuat ketahanan. Sebagai contoh, beberapa
orang menulis tentang pikiran dan perasaan yang terkait dengan trauma atau peristiwa
stres lainnya dalam kehidupan mereka. Meditasi dan praktik spiritual membantu beberapa
orang membangun koneksi dan mengembalikan harapan. Kuncinya adalah untuk
mengidentifikasi cara-cara yang mungkin dapat bekerja dengan baik untuk Anda sebagai
bagian dari strategi pribadi Anda sendiri untuk mendorong resiliensi
7. Faktor –faktor yang mempengaruhi resiliensi
Menurut Everall, Allrows dan Paulson (2006) faktor-faktor yang
mempengaruhi resiliensi tersiri dari empat faktor, yakni faktor individu, keluarga,
komunitas dan faktor resiko.
a. Faktor Individu

Yang dimaksud faktor individu adalah faktor-faktor yang berasal dari


dalam diri yang mampu membuat sesorang menjadi resilien. Hal-hal yang
termasuk dalam faktor individu ini antar lain :
1) Fungsi kognitif atau intelegensi
Individu dengan intelegensi yang baik memiliki kemampuan resiliensi
yang lebih baik. Levin (2002) menyetakan kecerdasan yang dimaksud tidak selalu
IQ yang baik, namun bagaimana seseorang dapat mengaplikasikan kecerdasannya
untuk dapat memahami orang lain maupun diri sendiri dalam banyak situasi.
2) Strategi coping
Penelitian mengindikasikan bahwa remaja yang resilien memiliki
kemampuan pemecahan masalah yang lebih baik dan menggunakan problem
focused coping atau fokus terhadap permasalahn sebagai strategi mengatasi
masalahnya.
3) Locus of Control
Locus of control yang membuat individu menjadi resilien adalah yang
cenderung ke dalam diri yaitu internal locus of control, dimana dengan begitu
individu memiliki keyakinan dan rasa percaya, cenderung memiliki tujuan,
harapan, rencana pada masa depan dan ambisi bahwa dirinya memiliki
kemampuan.
4) Konsep Diri
Beberapa penelitian juga menemukan bahwa konsep diri yang positif dan
harga diri yang baik membuat individu menjadi resilien.
b. Faktor Keluarga

Beberapa penelitian serupa menjelaskan bahwa individu yang menerima


secara langsung arahan dan dukungan dari orang tua dalam keadaan yang buruk
akan lebih merasa termotivasi, optimis dan yakin bahwa individu tersebut mampu
untuk menjadi sukses
c. Faktor Komunitas atau Eksternal
Pada situasi yang buruk, individu yang resilien lebih sering mencari dan
menerima dukungan juga kepedulian dari orang dewasa selain orang tua, seperti
guru, pelatih, konselor sekolah, kepala sekolah dan tetangga. Begitupula dengan
memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, juga lingkungan yang baik
d. Faktor Resiko

Herman, dkk (2011) menyebutkan beberapa faktor yang ada dalam faktor
resiko sebagai stressor atau tekanan. Faktor tersebut berupa keadaan kekurangan,
kehilangan, peristiwa negatif dalam hidup, perperangan, bencana alam dan
sebagainya. Penelitian yang sama juga menyebutkan faktor-faktor yang
mempengaruhi resilensi selain faktor yang telah disebut diatas, yaitu regulasi
emosi, emosi positif, spiritualitas, harapan, optimisme, kemampuan beradaptasi,
faktor demografis (usia, gender, jenis kelamin, ras dan etnik) ataupun faktor lain
yang mampu meningkatkan resiliensi seperti tahapan kehidupam yang telah
dilalui sebagai fase perkembangan hidup. Dengan demikian, secara garis besar
terdapat tiga faktor yang mempengaruhi resiliensi yaitu faktor individu, keluarga
dan eksternal (kominutas). Penelitian ini memiliki variabel bebas yaitu
kebersyukuran yang temasuk dalam faktor individual atau faktor yang berasal dari
dalam diri individu yang disampaikan oleh Herman, dkk (2011).
Dari teori teori diatas maka dapat disimpulkan bahwa resiliensi dapat
ditimbulkan melaui tiga faktor yaitu faktor individu, keluarga dan komunitas.
Salah satu faktor utama yang berasal dari dalam individu adalah rasa
kebersyukuran.

8. Pengembangan Kapasitas diri dalam praktik kebidanan

Pengembangan Kapasitas diri dalam praktik kebidanan Pengertiannya adalah


Peningkatan ketrampilan,kemampuan,bakat,dan potensi oleh individu,kelompok
individu,organisasi,yang berguna untuk memperkuat diri dalam mempertahankan
profesinya ditengah perubahan yang terjadi
9. Tujuan Pengembangan Kapasitas dalam kebidanan

a. Secara umum tujuan pengembangan kapasitas tentu agar individu,


organisasi maupun juga sistem yang ada dapat dipergunakan secara
efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dari individu maupun
organisasi tersebut.
b. Dalam Kebidanan: IBI dapat menjalankan peran serta fungsi sesuai
prosedur yang sudah ditetapkan,dan untuk anggotanya dapat
meningkatkan kemampuan praktek bidan untuk pelayanan
berkualitas
10. Tingkatan Pengembangan Kapasitas diri dalam praktik kebidanan

Upaya dalam pengembangan kapasitas ketahanan diri dapat


dilakukan dalam 3 tingkatan yaitu :
a. Tingkatan sistem, seperti kerangka kerja yang berhubungan dengan
pengaturan, kebijakan-kebijakan dan kondisi dasar yang mendukung pencapaian
obyektivitas kebijakan tertentu;
b. Tingkatan institusional/Organisasi contoh struktur organisasi-
organisasi, proses pengambilan keputusan di dalam organisasi-
organisasi, prosedur dan mekanisme-mekanisme pekerjaan, pengaturan sarana
dan prasarana, hubungan-hubungan dan jaringan- jaringan organisasi
c. Tingkatan individual, contohnya ketarampilan-ketrampilan individu
dan persyaratan-persyaratan, pengetahuan, tingkah laku, pengelompokan
pekerjaan dan motivasi-motivasi dari pekerjaan orang-orang di dalam
organisasi-organisasi
11. Karakteristik Pengembangan Kapasitas
a. Merupakan sebuah proses yang berkelanjutan
b. Memiliki sebagai sebuah proses internal dibangun dari potensi yang
telah ada
c. Memiliki nilai intrinsik tersendiri
d. Mengurus masalah Perubahan
e. Menggunakan pendekatan terintegrasi dan holistic
12. Upaya Pengembangan Kapasitas diri dalam praktik kebidanan
Upaya pengembangan kapasitas dilakukan dengan berbagai cara
dan juga mencakup berbagai macam aspek, bilamana merujuk pada
tingkatan tersebut diatas, maka upaya pengembangan kapasitas dapat
dilakukan melalui:
a. Pada Tingkatan individual : Secara umum dilakukan dengan pendidikan,
pengajaran dan pembelajaran secara luas kepada individu itu sendiri
dengan berbagai macam metode baik metode pendidikan dengan
pendekatan pedagogi maupun dengan pendekatan andragogi. Tidak
hanya dilakukan melalui pendidikan formal tapi juga melalui nonformal
seerti kursus-kursus, pelatihan, magang, sosialisasi
b. Pada Tingkatan Organisasi:Secara umum dilakukan dengan
pengembangan aturan main organisasi, sistem kepemimpinan, sistem
manajemen, pengembangan sumberdaya manusia, serta pengembangan
jaringan organisasi
c. Pada tingkatan sistem dilakukan baik melalui pengembangan kebijakan,
peraturan (Regulasi dan deregulasi) agar sistem yang ada dapat berjalan
secara efektif dan efisien untuk menjamin tercapainya tujuan individu
maupun organisasi tersebut
13. Hubungan Ketahanan diri dengan kebidanan

a. Ketahanan diri seorang bidan dapat terbangun dari kepribadian


dirinya
b. Menjadi seorang bidan harus mampu memahami kebutuhan klie dalam
memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas,dimana
bidan juga harus mampu mengenali dirinya terlebih dahulu
c. Ketahanan diri pribadi dapat dimulai dari optimisme aktif,optimis
dalam bertindak untuk masa depan,percaya dan yakin akan
kemampuannnya untuk bertindak dengan rasa peduli untuk
membuat perubahan
d. Berani gagal,berani mulai, berani mencoba.Berani dengan segala hal
yang tidak mungkin. Keberanian dan optimisme akan berpengaruh
terhadap kesehatan psikologis dan biologis
DAFTAR PUSTAKA

American Psychological Association. (2015). 10 Ways to Build Resilience [Web log


message]. Retrieved on October 22, 2015, from: http://www.apa.org/helpcenter/road-
resilience.aspx.
Baumgardner, S.R, & Crothers, M. K. (2010) Positive Psychology. United states
of America: Pearson Prantice Hall.
Campbell, N.A., Reece, J.B., & Mitchell, L.G. (2002). Biologi. Jilid 1. Edisi
Kelima. Alih Bahasa: Wasmen. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Everall, R. D., Altrows, K. J., & Paulson, B. L. (2006). Creating a future: A study of
resilience in suicidal female adolescents. Journal of Counseling & Development, 84(4),
461-470.
Fletcher, D & Sarkar, M. (2013). Psychological Resilience A Review and Critique of
Definitions, Concepts, and Theory. European Psychologist, 18 (1), 12-23.
Herrman, H. (2011). What is Resilience? The Canadian Journal of Psychiatry,
258 - 265.
Masten, Ann S. & Reed, Marie-Gabrielle J. (2002). Resilience in Development. In Snyder,
C.R. & Lopez, S.J., Handbook of Positive Psychology (pp. 74 – 88). United States:
Oxford University Press.
Keye, M. D., & Pidgeon, A. M. (2013). Investigation of the relationship between
resilience, mindfulness, and academic self-efficacy. Open Journal of Social
Sciences, 1(06), 1-4
Ledesma, J. 2014. Conceptual frameworks and research models on resilience in
leadership. SAGE Open, 4(3). https://doi.org/10.1177/2158244014545464
Mowbray, D. (2011). Resilience and strengthening resilience in individuals. Management
Advisory Service. Retrieved June 20, 2013, from:
Rolf, J.E. & Glantz, M.D. (2002). Resilience. An Interview with Norman Garmezy. In
Glantz, M.D. & Johnson, J.L., Resilience and Development, Positive Life Adaptations
(pp. 5 – 14). United States: Kluwer Academic Publishers.
Riley, J.R. & Masten, A.S. (2005). Resilience In Context. In Resilience In
Children, Families, And Communities: Linking Context To Practice And
Policy. R.D. Peters, B. Leadbeater & R. Mcmahon, Eds.: 13–25. Kluwer
Academic/Plenum. New York.
.
Seligman, M.E.P. (2002). Positive Psychology, Positive Prevention, and Positive Therapy. In
Snyder, C.R. & Lopez, S.J., Handbook of Positive Psychology (pp. 3 – 9). United
States: Oxford University Press
Susanty, E. & Taufiq, R. (2014). Psychological Resilience Profile of The Flood Victims in
Dayeuh Kolot Village, Bandung Regency, West Java. Proceeding of 5th AAICP
Conference, Hal 122-134
Uyun, R. (2012). Resiliensi Dalam Pendidikan Karakter. Prosiding Seminar Nasional
Psikologi Islami, Hal 200-208.
Wright, M. O., Masten A, S., & Narayan, A. J. (2015). Resilience processes in
development: Four waves of research on positive adaptation in the context of
adversity. In Goldstein, S., Brooks, R. B (eds). Handbook of resilience in
children. New York: Springer Science.
SOAL

1. Tahapan Resilience yaitu… kecuali


a. Overcome
b. Steer Through Self efficacy
c. Bouncing Back
d. Reach Out
e. Over on
2. Aspek-Aspek Pendukung Resilience…
a. I Have
b. Is
c. the
d. There
e. Forgive
3. Upaya Meningkatkan Resilience…
a. Membantu sesama
b. Membuat koneksi
c. Bergerak
d. Menjaga hal hal negative
e. Memelihara
4. Faktor –faktor yang mempengaruhi resiliensi..
a. Faktor individu
b. Faktor lingkungan
c. Faktor iklim
d. faktor tropis
e. Faktor dukungan

5. Resilience artinya
a. Ketahanan
b. Kemandirian
c. Bersatu
d. Berdamai
e. Merdeka

Anda mungkin juga menyukai