Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN TUGAS

“PATOFISIOLOGI KASUS KEBIDANAN”

PATOFISIOLOGI PENYAKIT
CEREBROVASKULAR DAN EPILEPSI

Disusun Oleh

Kelompok 4:
1. Levimah P01740322020
2. Mardalena P01740322021
3. Marlinda P01740322022
4. Mella Afri Santi P01740322023
5. Netta Pamela Dewi P01740322024
6. Nia Eni Kusrini P01740322025
7. Nurtrisna Novriyanti P01740322026

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN BENGKULU
PRODI D4 KEBIDANAN CURUP
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dari
mata kuliah patofisiologi kasus kebidanan yang berjudul “patofisiologi penyakit
cerebrovaskular dan epilepsi” pada waktu yang tepat, tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan kepada kami dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini, oleh karena itu kami membutuhkan kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun demi terciptanya kesempurnaan makalah ini. Akhir
kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi dunia pendidikan.

Curup, Juli 2022

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I......................................................................................................................iv
PENDAHULUAN.................................................................................................iv
A Latar Belakang.............................................................................................iv
B Rumusan Masalah........................................................................................iv
C Tujuan..........................................................................................................iv
BAB 2......................................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................2
A. Konsep Cerebrovaskuler...............................................................................2
B. Langkah Penapisan/Screening Awal Pada Kasus.........................................8
C. Stabilisasi Pada Kasus Dan Tata Laksana Terhadap Komplikasi Yang
Timbul........................................................................................................9
D. Upaya Tindakan Kolaborasi Dan Memberikan Asuahan Lanjut (Follow Up
Care) Pada Kasus Tersebut Dengan Pendekatan Holistic Dan Terintegrasi
.................................................................................................................10
E. Kajian Penyakit Epilepsi.............................................................................11
F. Langkah Penapisan/Screening Awal...........................................................22
G. Stabilisasi Pada Kasus Dan Tata Laksana Terdapat Komplikasi Yang
Timbul......................................................................................................25
H. Upaya Tindakan Kolaborasi Dan Memberikan Asuhan Lanjut (Follow Up
Care) Pada Kasus Tersebut Dengan Pendekatan Holistic Dan
Terintegrasi..............................................................................................29
BAB III..................................................................................................................28
PENUTUP.............................................................................................................28
A. KESIMPULAN...........................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................29

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A Latar Belakang

Patologi adalah salah satu dasar ilmu kedokteran, dan memiliki peranan yang
sangat fundamental. Sering kali diagnosis pasti suatu penyakit ditegakkan dengan
patologi (histopatologi). Sedakanangkan pengertian Patologi dalam arti yang luas
adalah bagian dari ilmu kedokteranng yang mengamati sebab dan akibat dari
terjadinya penyakit atau kelainan pada tubuh. Namun pengertian patofisiologi
sendiri adalah reaksi fungsi tubuh terhadap suatu penyakit yang masuk ke dalam
tubuh.
Patofisiologi stroke penyakit serebrovaskuler (cerebrovascular disease / CVD)
atau stroke adalah setiap kelainan otak akibat proses patologi pada sistem
pembuluh darah otak. Proses patologi pada sistem pembuluh darah otak ini dapat
berupa penyumbatan lumen pembuluh darah oleh trombosis atau emboli,
pecahnya dinding pembuluh darah, perubahan permeabilitas dinding pembuluh
darah dan perubahan viskositas maupun kualitas darah sendiri. Perubahan dinding
pembuluh darah serta komponen lainnya dapat bersifat primer karena kelainan
kongenital maupun degeneratif, atau sekunder akibat proses lain, seperti
peradangan arteriosklerosis, hipertensi dan diabetes mellitus.
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai
etiologi, dengan gejala tunggal yang khas yaitu kejang berulang akibat lepasnya
muatan listrik neuron otak secara berlebih dan paroksimal.

B Rumusan Masalah
1 Bagaimana patofisiologi penyakit cerebrovaskular?
2 Bagaimana patofisiologi penyakit epilepsi?

C Tujuan
1 Untuk mengetahui patofisiologi penyakit cerebrovaskular
2 Untuk mengetahui patofisiologi penyakit epilepsi

1
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Cerebrovaskuler

1. Definisi Cerebrovaskuler

Stroke atau CerebroVaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang


diakibatkan oleh terhentinya suplai darah ke bagian otak. Sindrom klinis
yang awal timbulnya mendadak, progresif , cepat berupa deficit neurologis
vokal atau global yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan bisa
berlangsung menimbulkan kematian. Kondisi ini semata-mata disebabkan
oleh peredaran darah ke otak non traumatik. (Wijaya & Putri, 2013).
Masalah-masalah yang ditimbulkan oleh stroke bagi kehidupan manusia
sangatlah kompleks.Adanya gangguan-gangguan seperti halnya fungsi
vital otak seperti gangguan koordinasi, gangguan keseimbangan, gangguan
kontrol postur, gangguan sensasi, dan gangguan gerak yang dapat
menghambat aktivitas sehari-hari pada penderita stroke. (Irfan, 2010).
2. Etiologi
Penyebab terjadinya penyakit stroke yang banyak terjadi adalah
pecahnya pembuluh darah otak yang sebagian besar diakibatkan oleh
rendahnya kualitas pembuluh darah otak. Sehingga dengan adanya
tekanan darah yang tinggi pembuluh darah menjadi rentan pecah. (Padila,
2012). Stroke dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
a. Trombosis serebri
Aterosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah
penyebab yang paling umum terjadi pada penyakit stroke. Trombosis
lebih sering ditemukan sebanyak 40% dari banyaknya kasus stroke, hal
ini telah dibuktikan oleh para ahli patologi. Pada kasus trombosis
serebri biasanya ada kaitannya dengan kerusakan lokal pada dinding
pembuluh darah akibat aterosklerosis.
b. Emboli Serebri

2
3

. Emboli serebri termasuk dalam urutan ke dua dari berbagai


penyebab utama stroke. Pada penderita stroke dengan embolisme
serebri .penderita biasanya berusia lebih muda dibandingkan penderita
stroke trombosis.

c. Hemoragi (pendarahan)
Hemoragi atau pendarahan saat pecahnya salah satu srteri
sehingga aliran darah pada sebagian otak berkurang atau terputus yang
mengakibatkan pasokan oksigen ke otak menjadi berkurang sehingga
fungsi otak dapat terganggu.Hemoragi dapat terjadi di luar durameter
(hemoragi ekstra dural atau epidural) dibawah durameter (hermoragi
subdural), di ruang subarachnoid (hemoragi subarachnoid atau dalam
substansial intra serebral). (Wijaya & Putri, 2013).
d. Penyumbatan pada Arteri Serebri Media
Arteri Serebri Media inilah yang paling sering mengalami
gangguan.Penyumbatan dan pendarahan pada oksipital kapsul internal.
Gangguan pada arteri serebri media dapat menyebabkan hemiparesis
sisi kontralateral yang lebih sering mengenai lengan, karena pusat
motorik tungkai masih mendapat pasokan darah dari asteriserebri
anterior. Pada gangguan aliran darah di sisi yang dominan akan timbul
gejala afasia. (Irfan, 2010). Faktor penyebab cva dengan hambatan
mobilitaa fisik adalah kondisi hilangnya fungsi neurologis secara cepat
karena terganggunya perfusi darah ke otak akibat dari penyumbatan
pembuluh darah maupun pendarahan yang terjadi di otak. Sehingga
vaskularisasi otak ini memunculkan berbagai kondisi seperti kesulitan
berbicara, kesulitan berjalan, kelemahan otot, dan hilangnya kontrol
terhadap gerakan motorik yang secara umum dapat di manifestasikan
dengan disfungsi motorik seperti, hemiplagia (paralisis pada salah satu
sisi tubuh) dan hemiparese (kelemahan pada salah satu sisi tubuh).
(Sari, Agianto, & Wahid, 2015).
3. Patofisiologi
4

Otak sangatlah tergantung pada oksigen dan otak sendiri tidak


memiliki cadangan oksigen. Jika aliran darah ke setiap bagian otak
terhambat karena adanya trombus dan embolus, maka sangatlah mungkin
jaringan otak akan mengalami kekurangan oksigen. Kekurangan dalam
satu menit saja dapat mengarah pada gejala seperti kehilangan kesadaran.
Selanjutnya jika otak mengalami kekurangan oksigen dalam
waktu yang lama dapat menyebabkan nekrosis mikroskopik neuron-
neuron, yang menyebabkan terjadinya stroke infark. Kekurangan oksigen
pada awalnya akibat dari iskemia mum ( henti jantung atau hipotensi)
dan hipoksia akibat dari proses anemia dan kesukaran untuk bernafas.
Stroke embolus sendiri merupakan akibat dari bekuan darah, plaque, dan
ateroma fragmen lemak.Jika etiologi stroke adalah hemoragi maka faktor
pencetus utama adalah hipertensi.Abnormalitas vaskuler, aneurisma
serabut mengakibatkan rupture dan menyebakanhemoragi. Pada stroke
trombosis atau metabolik maka otak mengalami iskema dan infark sulit
ditentukan.
Ada peluang dominan stroke akan meluas setelah serangan
pertama sehingga terjadi edema serebal dan peningkatan TIK (Tekanan
Intra Kranial) dan kematian otak pada area yang lebih luas. Prognosisnya
tergantung pada daerah otak yang terkena iskemia. Gangguan pasokan
aliran darah dapat terjadi dimana saja didalam arteri-arteri yang
membentuk sirkulasi willisi: arteria karotisinterna dan sistem
vertebrobrasilar dan semua cabang- cabangnya, secara umum apabila
aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15 menit maka akan terjadi
infark atau kematian jaringan. Oklusi di suatu arteri tidak selalu
menyebabkan infark di daerah otak yang terjadi perdarahan yang
disebabkan oleh arteri tersebut. (Wijaya & Putri, 2013).
Proses patologi yang mendasari salah satu dari berbagai proses
yang terjadi didalam pembuluh darah yang memperdarahi otak.
Patologinya sebagai berikut:
a. Keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri seperti
5

beberapa penyakit yang dapat menjangkit pembuluh darah seperti


arterosklerosis, trombosis, dan peradangan pada dinding
pembuluh darah.
b. Berkurangnya perfusi akibat gangguan aliran darah, misalnya
syok atau hiperviskositas darah.
c. Gangguan aliran darah akibat dari bekuan atau embolus infeksi
yang berasal dari jantung atau pembuluh ekstrakranium.
d. Rupture vascular didalam ruang subarachnoid.

4. Klasifikasi
Ada 2 tipe menurut gejala klinik sebagai berikut :
a. Stroke Hemoregik
Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan
subarachnoid yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak
pada daerah tertentu. Biasanya kerjadiannya saat melakukan aktivitas,
atau bisa juga terjadi pada saat beristirahat. Pada stroke hemoregik
umumnya kesadaran pasien akan menurun. Hal ini disebabkan oleh
pecahnya pembuluh arteri, vena dan kapiler. (Wijaya & Putri, 2013).
Perdarahan otak dibagi menjadi dua yaitu:
1) Perdarahan Intraserebral
Pecahnya pembuluh darah terutama karena hipertensi
mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, kemudian
membentuk massa yang menekan jaringan otak dan menimbulkan
edema pada otak. Peningkatan TIK (Tekanan Intra Kranial) yang
terjadi sangat cepat dapat mengakibatkan kematian mendadak
karena herniasi otak. Perdarahan intraserebral yang disebabkan
oleh hipertensi yang sering dijumpai didaerah putamen,
talamus,pons dan serebelum.
2) Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan ini disebabkan oleh pecahnya aneurisma berry
atau AVM.Aneurisma yang pecah ini berasal dari pembuluh darah
6

sirkulasi willisi dan cabang-cabangnya yang terdapat di luar


parenkim otak. Pecahnya arteri dan keluarmya ke dalam ruang
subarachnoid menyebabkan TIK (Tekanan Intra Kranial)
meningkat secara mendadak merangsang struktur peka nyeri dan
vasospasme pembeluh darah serebral yang berakibat pada
disfungsi otak secara global yang mengakibatkan terjadinya nyeri
kepala, penurunan kesadaran. Pada disfungsi otak secara fokal hal
ini dapat mengakibatkan hemiparese, gangguan hemi sensorik, dan
afasia.

b. Stroke non hemoregik (Stroke iskemik)


Stroke non hemoregik biasanya berupa iskemia atau emboli dan
trombosis serebral, yang terjadi pada saat beristirahat, baru bangun
tidur atau di pagi hari. Tidak terjadi perdarahan pada stroke non
hemoregik atau stroke iskemik, namun terjadi iskemia yang
menimbulkan hipoksia dan mengakibatkan edema sekunder.Pada
umunya penderita stroke non hemoregik ini memiliki kesadaran yang
baik pada saat terjadinya stroke iskemik.
Menurut perjalanan penyakit atau stadium pada stroke iskemik:

1) TIA (Trans iskemik Attack)


Gangguan neurologis yang terjadi selama beberapa menit sampai
beberapa jam dengan gejala yang timbul akan hilang dengan
spontan dalam waktu kurang dari 24 jam .
2) Stroke Involusi
Stroke yang dapat terus berkembang dimana gangguan neurologis
terlihat semakin berat dan bertambah buruk. Proses involusi ini
dapat berjalan selama 24 jam atau beberapa hari.

5. Manisfestasi Klinis
Pada cva atau stroke non hemoragik gejala utama yang sering
muncul adalah timbulnya deficit neurologis secara mendadak atau
7

subakut, yang didahului dengan timbulnya gejala prodromal yang terjadi


pada waktu istirahat atau bangun pagi,yang timbul tanpa di sertai
dengan penurunan kesadaran. Kecuali apabila embolus sangat besar.
(Wijaya & Putri, 2013). Menurut WHO (World Health Organitation),
stroke dapat dibagi atas :
a. Perdarahan Intraserebral (PIS)
Stroke akibat dari perdarahan intraserebral mempunyai gejala
yang tidak jelas, kecuali penderita stroke merasakan nyeri kepala
karena akibat dari hipertensi.Gejala ini seringkali timbul setiap hari
pada saat aktivitas dan pada saat emosi atau marah, sifat nyei yang
ditimbulkan oleh perdarahan intraserebral sangat hebat. Mual dan dan
muntah seringkali terjadi pada saat awal serangan.Kesadaran
mengalami penurunan sangat cepat dan mengarah pada kondisi koma.
65% terjadi kurang dari setengah jam, 23% antara ½ sampai dengan
2 jam dan 12% terjadi setelah 2 jam,sampai 19 hari.
b. Perdarahan subarachnoid (PSA)
Pada pasien dengan perdarahan subarachnoid didapatkan gejala
yang timbul berupa nyeri kepala hebat dan akut.Kesadaran sering
terganggu dan gejala yang timbul sangat bervariasi.Ada gejala atau
tanda rangsangan meningeal dan edema papil dapat terjadi apabila ada
perdarahan subharachnoid karena pecahnya aneurisma pada arteri
komunikans anterior atau arteri karotisinterna. Gejala neurologis yang
timbul tergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan
lokasinya.
Manifestasi stroke atau cva dapat berupa:
1) Kelumpuhan anngota badan atau anggota gerak yang terjadi secara
mendadak
2) Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih pada anggota badan.
3) Terjadi perubahan secara mendadak pada status mental.
4) Afasia ( bicara tidak lancar, kurangnya ucapan dan kesulitan
memahami ucapan).
8

5) Ataksia anggota badan yang mengakibatkan kesulitan untuk


berjalan, berbicara, terganggunya fungsi penglihatan, dan
gangguan menelan.
6) Vertigo, mual, muntah, dan nyeri kepala.
7) Gejala khusus yang timbul pada penderita stroke:
a) Kehilangan motorik Stroke adalah penyakit motor neuron atas
yang mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap
gerakan motorik,
b) Hemiplagia (paralisis pada salah satu sisi tubuh)
c) Hemiparesis (kelemahan pada salah satu sisi tubuh)
d) Menurunnya tonus otot abnormal
8) Kehilangan komunikasi
Fungsi otak yang dipengaruhi oleh penyakit stroke adalah;

a) Disartria yaitu kesulitan berbicara yang ditunjukkan dengan


bicara yang sulit untuk dimengerti yang disebabkan oleh
paralisis otot yang bertanggung jawab untuk mengontrol
proses bicara.

b) Disfasia atau afasia adalah kehilangan bicara yang terutama


ekspresif atau represif. Apraksia yaitu ketidakmampuan
untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya.
9) Gangguan persepsi
a) Homonimushemianopsia yaitu kehilangan setengah lapang
pandang dimana sisi visual yang terkena berkaitan dengan sisi
tubuh yang paralisis.
b) Amorfosintesis yaitu keadaan dimana cenderung berpaling dari
sisi tubuh yang sakit dan mengabaikan sisi atau ruang yang
sakit tersebut.
c) Gangguan hubungan visual spasia, yaitu gangguan dalam
mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area
spasial.
9

d) Kehilangan sensori antara lain tidak mampu merasakan posisi


dan gerakan bagian tubuh ( kehilangan proprioseptik ) sulit
menginterpretasikan stimulasi visual, taktil, auditorius. (Wijaya
& Putri, 2013).

B. Langkah Penapisan/Screening Awal Pada Kasus

1. Agriografi serebral Membantu menentukan penyebab dari stroke secara


spesifik seperti CVA perdarahan arteriovena atau adanya ruptur. Biasanya
pada CVA perdarahan akan ditemukan adanya aneurisma
2. Elektro encefalography Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat
masalah yang timbul dan dampak dari jaringan yang infark sehingga
menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak.
3. Sinar X tengkorak Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal
daerah yang berlawanan dari masa yang luas, klasifikasi
karotisinternaterdapat pada trombus serebral.Klafisikasi parsial dinding,
aneurisma pada pendarahan subarachnoid.
4. Ultrasonography Doppler Menentukan posisi serta besar/luas terjadinya
perdarahan otak. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan area yang
mengalami lesi dan infark akibat dari hemoragik.
5. CT Scan Memperhatikan secara spesifik letak edema, posisi
hematoma,adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, serta posisinya
secara pasti. Hasil pemerksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal,
kadang masuk ke ventrikel atau menyebar ke permukaan otak
6. MRI Menentukan posisi serta besar/luas terjadinya perdarahan otak.
Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan area yang mengalami lesi dan
infark akibat dari hemoragik
7. Foto thorax Dengan dilakukannya foto thorax dapat memperlihatkan
keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri yang
merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada penderita stroke.
(Wijaya & Putri, 2013).
10

C. Stabilisasi Pada Kasus Dan Tata Laksana Terhadap Komplikasi Yang


Timbul

1. Penatalaksanaan Umum CVA Fase Akut


a. Posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi lateral bila di
sertai dengan muntah.
b. Bebaskan jalan napas dan usahakan ventilasi adekuat bila perlu
berikan oksigen 1-2 liter/menit.
c. Memasang kateter untuk jalan buang air kecil.
d. Kontrol tekanan darah pertahankan dalam kondisi stabil dan
normal

2. Penatalaksanaan setalah Fase Akut


a. Berikan nutrisi per oral setelah tes fungsi menelan baik. Bila terdapat
gangguan menelan atau pasien mengalami penurunan kasadaran
menurun, anjurkan pasang NGT.
b. Mobilisasi dan rehabilitasi dini jika tidak ada kontraindikasi.
Boleh dimulai latihan mobilisasi bila kondisi hemodinamik stabil
atau pada fase rehabilitasi.

D. Upaya Tindakan Kolaborasi dan Memberikan Asuahan Lanjut (Follow


Up Care) Pada Kasus Tersebut Dengan Pendekatan Holistic dan
Terintegrasi

Holistic Health Care (HHC) merupakan salah satu upaya untuk pemulihan
pasien melalui aspek biologis, psikologis, social dan spiritual yang dilakukan
secara terintegrasi serta menyeluruh dalam sisitem managemen layanan
pasien(Tim Kelompok Kerja Pokja Spiritual Care, 2015).

Dalam melakukan penatalaksanaan secara holistik pada pasien ini


dilakukan tiga kali kunjungan untuk perkenalan dengan pasien dan keluarga,
meminta izin dan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan wawancara
11

mendalam dengan pasien dan keluarga, serta melakukan pembinaan terhadap


pasien dan keluarga tersebut terkait penyakit yang dialami pasien dan
evaluasi.

E. KAJIAN PENYAKIT EPILEPSI

1. Defini Epilepsi
Epilepsi atau yang lebih sering disebut ayan atau sawan adalah
gangguan sistem saraf pusat yang terjadi karena letusan pelepasan
muatan listrik sel saraf secara berulang, dengan gejala penurunan
kesadaran, gangguan motorik, sensorik dan mental, dengan atau tanpa
kejang-kejang (Ahmad Ramali, 2005 :114).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-
gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang
disebabkan muatan listrik yang abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat
reversibel dengan berbagai etiologi (Arif Mansjoer ,2000 :27).
Epilepsi adalah serangan kehilangan atau gangguan kesadaran rekuren
dan paroksimal, biasanya dengan spasme otot tonik-klonik bergantian
atau tingkah laku abnormal lainnya (Helson, 2000 : 339-345).
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang
dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang
bersifat spontan dan berkala (Harsono, 2007).
Epilepsi adalah gangguan kejang kronis dengan kejang berulang yang
terjadi dengan sendirinya, yang membutuhkan pengobatan jangka
panjang (Judit M Wilkinson, 2002 : 576).
12

2. ETIOLOGI EPILEPSI
Menurut Pincus Catzel halaman 216-226, penyebab epilepsi yaitu:
a. Pra Lahir-genetika
Kesalahan metabolisme herediter seperti penyakit penimbunan
glikogen dan fenilketonuria. Anomali otak kongenital seperti
porensefali, infeksi dalam rahim seperti rubella, penyakit cytomegalo
virus, meningoensefalolitis dan toksoplasmosis.
b. Perinatal
Trauma kelahiran, infeksi, hiperbilirubinemia, hipoglikemia dan
hipokalsemia.
c. Pasca Lahir
Termasuk meningitis, trauma, ensefalitis, ensefalopati (misalnya
keracunan timah an elektrolit berat, neoplasma dan kelainan
degeneratif SSP.
Menurut Arif Mansjoer halaman 27, penyebab epilepsi yaitu :
a. Idiopatik
Sebagian epilepsi pada anak adalah epilepsi idiopatik.
b. Faktor Herediter
Ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai
bangkitan kejang seperti sklerosis tuberosa, neurofibromatosis,
fenilketonuria, hipoparatiroidisme, hipoglikemi
c. Faktor Genetik
Pada kejang demam dan breath holding spell. Kelainan Kongenital
Otak Atrofi, porensefali
d. Gangguan Metabolik
Penurunan konsentrasi glukosa darah (Hipoglikemia), hipokalsemia,
hiponatremia, hipernatremia.
1) Glukosa digunakan dalam metabolisme dari otak. Kekurangan
glukosa sama merusak seperti kekurangan oksigen.
13

2) Air dan elektrolit sepanjang membrane sel bertanggungjawab


bagi keadaan terangsang (eksitabilitas) neuron dan karena
setiap gangguan elektrolit dapat mencetuskan konvulsi.

e. Infeksi
Radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan
selaputnya, toksoplamosis.
f. Trauma
Cedera kepala, kontusio cerebri, hematoma subaraknoid, hematoma
subdural.
g. Neoplasma dan selaputnya
Tumor otak yang jinak (benigna) lebih sering mengakibatkan
epilepsy dibanding tumor ganas. Hal ini didapatkan pada sekitar 25-
40 % penderita tumor otak.
h. Keracunan
Timbal (Pb), kamper (kapur barus), air.
Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi ialah faktor yang mempermudah terjadinya
serangan, yaitu :
1) Faktor sensori
Cahaya, bunyi-bunyi yang mengejutkan, air panas.
2) Faktor sistenis
Demam, penyakit infeksi, obat-obatan tertentu (misal
fenotiazin), hipoglikemia dan kelelahan fisik.
3) Faktor mental
Stress, gangguan emosi.
4) Haid
Penelitian menduga bahwa perubahan keseimbangan hormon
semasa haid ikut berperan dalam mencetuskan serangan.
14

Tabel 01. Penyebab-penyebab kejang pada epilepsy


Bayi (0- 2 Hipoksia dan iskemia prenatal
th) Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguanmetabolik
(hipoglikemia,hipokalsemia,hipomagnesmia,defisiensi,piridoksin)
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
Anak (2- 12 Idiopatik
th) Infeksi akut
Trauma
Kejang demam
Remaja (12- Idiopatik
18 th) Trauma
Gejala putus obat dan alkohol
Malformasi anteriovena
Dewasa Trauma
Muda (18- Alkoholisme
35 th) Tumor otak
Dewasa Tumor otak
lanjut (> 35 Penyakit serebrovaskular
th) Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )
Alkoholisme

3. Patologi Epilepsi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan
sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah
rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah
menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu
dengan yang lain melalui sinaps.
15

Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter.


Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan
zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif
terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps. Bangkitan
epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang
dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan
menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neuron-neuron di sekitarnya dan
demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat
mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian
akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan
menyebar ke bagian tubuh/ anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa
disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami
depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan
inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke
belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi
kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel
saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi
karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang
seharusnya banyak di luar membran sel itu masuk ke dalam membran sel
sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah
keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis
kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan
keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter
aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan
dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat
suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada
lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan
korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan
lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
16

Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa


fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
a. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
b. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan
muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan
menurun secara berlebihan.
c. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan
asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
d. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa
atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron
sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan
keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik
.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera
setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan
energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik
secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat
meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat,
demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di
cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat
mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah
dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh
kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang. Secara
umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat
neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara
konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan
asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat
17

peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus


tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.

4. Klasifikasi Epilepsi
a. Berdasarkan penyebabnya
1) Epilepsi idiopatik : bila tidak di ketahui penyebabnya.
2) Epilepsi simtomatik : bila ada penyebabnya.
b. Berdasarkan letak fokus epilepsi atau tipe bangkitan
1) Epilepsi partial (lokal, fokal)
a) Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan
kesadaran tetap normal.
Dengan gejala motorik :
(1) Fokal motorik tidak menjalar : epilepsi terbatas pada satu
bagian tubuh saja.
(2) Fokal motorik menjalar : epilepsi dimulai dari satu bagian
tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga
epilepsi Jackson.
(3) Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata,
tubuh.
(4) Postural : epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku
dalam sikap tertentu.
(5) Disertai gangguan fonasi : epilepsi disertai arus bicara yang
terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi
disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca
indera dan bangkitan yang disertai vertigo).
(1)Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti
ditusuk-tusuk jarum.
(2) Visual : terlihat cahaya.
(3) Auditoris : terdengar sesuatu.
(4) Olfaktoris : terhidu sesuatu.
18

(5) Gustatoris : terkecap sesuatu.


(6) Disertai vertigo
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi
epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi
pupil). dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
(1) Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu
suku kata, kata atau bagian kalimat.
(2) Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa
seperti sudah mengalami, mendengar, melihat, atau
sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu
peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
(3) Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri
berubah.
(4) Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
(5) Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak
lebih kecil atau lebih besar.
(6) Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang
bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.

b) Epilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan


kesadaran.
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran,
kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun. Dengan
gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada
golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang
timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah,
menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan,
menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan,
mengembara tak menentu, dll.
19

c) Epilepsi parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum


(tonik-klonik, tonik, klonik).
(1) Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi
bangkitan umum.
(2) Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi
bangkitan umum.
(3) Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial
kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan

2) Epilepsi umum
a) Petit mal/ Lena (absence)
(1)Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan
terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat
memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara.
Biasanya epilepsi ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan
biasanya dijumpai pada anak.
(a) Hanya penurunan kesadaran.
(b) Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis
ringan, biasanya dijumpai pada kelopak mata atas,
sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
(c) Dengan komponen atonik. Pada epilepsi ini dijumpai
otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh mendadak
melemas sehingga tampak mengulai.
(d) Dengan komponen klonik. Pada epilepsi ini, dijumpai
otot-otot ekstremitas, leher atau punggung mendadak
mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke
belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
(e) Dengan automatisme.
(f) Dengan komponen autonom.
20

(2)Lena tak khas (atipical absence)


Dapat disertai:
(a) Gangguan tonus yang lebih jelas.
(b) Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak
mendadak.

b) Grand Mal
(1) Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak,
sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua
otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat
dijumpai pada semua umur.
(2) Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak,
repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan,
tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
(3) Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot
hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian
atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga
terjadi pada anak.
(4) Tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita
yang terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat
diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang
mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak jatuh
pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku
berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang
kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya
berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa
saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang
21

meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan


napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat
serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa
lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang
masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan
keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
(5) Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak
melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap
baik atau menurun sebentar. Epilepsi ini terutama sekali
dijumpai pada anak

3) Epilepsi tak tergolongkan


Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan
bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang,
menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sederhana.

5. Manisfestasi Klinis
Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat
dicirikan sebagai gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan, dan
cenderung untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis
tersebut sangat bervariasi dapat berupa gangguan tingkat penurunan
kesadaran, gangguan sensorik (subjektif), gangguan motorik atau kejang
(objektif), gangguan otonom (vegetatif), dan perubahan tingkah laku
(psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak fokus epileptogenesis
atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenal bermacam
jenis epilepsi. Diagnosa pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara
langsung terjadinya serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa
disaksikan langsung oleh dokter, sehingga diagnosa epilepsi hampir
selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis. Namun alloanamnesis yang
terbaik dan akurat sulit didapatkan, karena gejala yang diceritakan oleh
22

orang sekitar penderita yang menyaksikan sering kali tidak khas,


sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali bahwa ia baru saja
mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang membantu
diagnosa penderita epilepsi adalah rekaman electroencephalogram
(EEG).
Perekaman EEG dilakukan secara terus menerus selama jangka waktu
beberapa hari dan akibatnya sebagian besar data kemudian harus
dianalisis secara visual oleh para ahli agar dapat mengidentifikasi
penyakit epilepsi. Namun proses ini membutuhkan banyak waktu dan
menghabiskan biaya yang besar. Oleh karena itu diperlukan pembuatan
sistem klasifikasi pembuat keputusan yang cepat dan akurat. Sebelumnya
telah dilakukan beberapa penelitian untuk melakukan klasifikasi penyakit
epilepsi dengan menggunakan dataset EEG. Metode yang digunakan
untuk melakukan klasifikasi sebelumnya di antaranya adalah Support
Vector Machine (SVM), Naïve Bayes, dan Bayesian Logistic Regression.
Penggunaan metode metode SVM memberikan akurasi sebesar 86,1%
[2]. Pada artikel ini, akan dibangun perangkat lunak implementasi entropi
permutasi, K-means clustering, dan jaringan saraf tiruan multilayer
percpetron untuk deteksi electroencephalogram epilepsi yang bertujuan
untuk menentukan pola dari kelas terkait (positif menderita epilepsi atau
tidak) berdasarkan dataset EEG.

F. LANGKAH PENAPISAN/SCREENING AWAL

1. Anamnesis
Merupakan langkah awal dengan melakukan wawancara baik dengan
pasien, orang tua ataupun orang terdekat untuk memastikan bahwa
serangan termasuk kejang epilepsi atau bukan (Ahmed and Spencer,
2004 ; Marjono, 2003). Pertanyaan dalam anamnesis antara lain meliputi
awal kejang, frekuensi kejang, ada atau tidaknya peringatan kejang/aura,
faktor pencetus, adakah luka pada yang ditimbulkan saat kejang, kapan
23

kejang berlangsung selama 24 jam, penyakit yang diderita saat ini,


riwayat penyakit, riwayat alergi, riwayat pengobatan, riwayat keluarga,
riwayat sosial, riwayat pemeriksaan penunjang lain (Sunaryo, 2007).
2. Pemeriksaan Laboratorium
Meliputi pemeriksaan darah lengkap, kimia darah, hematologi, gas
darah, elektrolit, ureum, kalsium, glukosa dan ginjal, harus diperiksa
pada semua pasien kejang sehingga dapat memantau efek samping yang
dihasilkan obat-obat yang digunakan (Sunaryo, 2007; Sjahrir et al.,
2006). Hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik
ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan
serum elektrolit bersama dengan glukosa, kalsium, magnesium, BUN,
kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang
sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya
dilakukan bila dicurigai adanya penyalahgunaan obat (Sunaryo, 2007).
Selain itu untuk menentukan penyebab kejang yang dapat diobati
(hipogikemia, perubahan konsentrasi elektrolit, infeksi) yang bukan
merupakan serangan epilepsi (Gidal & Garnet, 2005). Jika
memungkinkan dilakukan pemeriksaan kadar obat dalam plasma
(Ikawati, 2011).
3. Pemeriksaan Penunjang
Electroencephalography (EEG) merupakan alat yang dapat
menggambarkan aktivitas otak sebagai gelombang dimana frekuensi
gelombang tersebut diukur perdetik (Hz).EEG dapat mendeteksi berbagai
jenis abnormalitas baik yang bersifat fokal maupun difus, juga bisa untuk
menentukan jenis dan lokasi seizure.
Namun dengan hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat digunakan
untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi. Sehingga bisa
dilakukan lagi pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau
Computerized Tomographic Scan (CT Scan) untuk melengkapi hasil
pemeriksaan EEG dan mengenali adanya kelainan structural otak yang
mungkin menjadi penyebab timbulnya seizure. Secara keseluruhan, MRI
24

lebih sensitif dari pada CT Scan dalam mengenali lesi serebral yang
berkaitan dengan epilepsi (Hantoro, 2013).

4. Penatalaksanaan Epilepsi
Sebelum memberikan obat antiepilepsi yang tepat, maka terlebih
dahulu dilakukan identifikasi jenis serangan dan frekuensinya agar
mendapatkan diagnosa yang tepat sehingga dapat diberikan obat
antiepilepsi yang sesuai.Tujuan terapi farmakologi pada pasien epilepsi
adalah menghilangkan atau menurunkan frekuensi serangan,
meminimalkan efek samping yang ditimbulkan, serta meningkatkan
kualitas hidup pasien (Harsono, 2011). Terapi utama pada epilepsi adalah
penggunaan obat antiepilepsi(OAE). Beberapa kasus memerlukan terapi
selain OAE, seperti Sindrom West yang memerlukan tambahan terapi
Adrenocorticotropic Hormone(ACTH) (Vera et al., 2014). Pemilihan
terapi epliepsi dipilih sesuai dengan jenis epilepsi, efek samping yang
spesifik dari obat antiepilepsi serta kondisi pasien.Penggunaan
monoterapi lebih dianjurkan untuk mengurangi potensial efek samping
yang dapat muncul, meningkatkan kepatuhan pasien. Terdapat variasi
individual pasien terhadap respon obat antiepilepsi sehingga diperlukan
pementauan ketat dan penyesuaian dosis (Ikawati, 2011).Sekitar 50
sampai 70% pasien dapat diobati dengn monoterapi, tetapi tidak untuk
semua kejang. Lebih dari 60% pasien tidak patuh dalam menggunakan
obat dan hal tersebut merupakan penyebab utama atas gagalnya
pengobatan.Jika pasien hanya mengalami satu kali kejang dan tidak
mengganggu kelangsungan hidupnya, maka pemberian obat antiepilepsi
tidak dianjurkan (Sukandar et al, 2008). Dosis awal monoterapi adalah
dosis yang diperkirakan menghasilkan konsentrasi minimal obat dalam
plasma untuk menghasilkan efek terapi.
Terlebih dahulu diberikan dengan dosis rendah kemudian
ditingkatkan dengan interval yang tepat, hal tersebut bertujuan untuk
meminimalkan efek merugikan.Jika serangan tidak dapat dikontrol maka
25

dapat diberikan dosis maksimum. Jika dengan pemberian dosis


maksimum dan pasien sudah patuh tetapi masih terjadi serangan, maka
harus diganti dengan obat lain yang memiliki mekanisme kerja yang
berbeda, bila obat kedua telah memberikan efek terapi maka obat
pertama diturunkan secara bertahap (McNamara, 2003).Apabila dengan
monoterapi obat kedua juga tidak mengatasi, maka dapat diberikan dua
obat secara bersamaan dengan dosis minimal.Namun jika masih tidak
terkontrol maka dapat diberikan dosis maksimum kedua obat.Pemberian
obat antiepilepsi ketiga hanya dapat dilakukan ketika bangkitan tidak
dapat diatasi dengan penggunaan dua obat pertama dengan dosis
maksimum (Utomo, 2011). Penghentian obat antiepilepsi dapat
dipertimbangkan jika pasien telah dalam keadaan bebas kejang selama 2
sampai 5 tahun, apabila pemeriksaan neurologis normal, hanya terjadi
kejang parsial jenis tunggal atau jenis tunggal dari kejang tonik-klonik
umum, gambaran EEG juga menjadi normal setelah pemberian terapi.
Penghentian terapi obat anti epilepsi harus dilakukan secara bertahap,
karena penghentian obat secara mendadak dapat menimbulkan serangan
ulang. Penurunan dosis dianjurkan 20% dari dosis total harian (Sukandar
et al., 2008).

G. STABILISASI PADA KASUS DAN TATA LAKSANA TERDAPAT


KOMPLIKASI YANG TIMBUL

1. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu : a.
Tatalaksana fase akut (saat kejang) Tujuan pengelolaan pada fase akut
adalah mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat, mengakhiri
kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan mencari faktor
penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan berhenti
sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan
diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg
26

atau 10 mg bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum
berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan
obat yang sama. Jika setelah dua kali pemberian diazepam per rektal
masih belum berhenti, maka penderita dianjurkan untuk dibawa ke rumah
sakit.
2. Pengobatan epilepsi Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat
penderita epilepsi terbebas dari serangan epilepsinya. Serangan kejang
yang berlangsung mengakibatkan kerusakan sampai kematian sejumlah
sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus 23 menerus maka kerusakan sel-
sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya
kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya terbaik untuk
mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin.
Pengobatan epilepsi dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh
apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obatobatan
sampai pasien tersebut 2 tahun bebas kejang. Secara umum ada tiga
terapi epilepsi, yaitu :
a. Terapi medikamentosa Merupakan terapi lini pertama yang dipilih
dalam menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis
obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di Indonesia
adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam
valproat. Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur agar dapat
mencegah serangan epilepsi secara efektif. Walaupun serangan
epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan
kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yang berat maupun
tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat dimulai dengan
obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat mengatasi
kejang.
b. Terapi bedah Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan
memotong bagian yang menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak 24
yang menjadi sumber serangan. Diindikasikan terutama untuk
penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini
27

merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi :


1) Lobektomi temporal
2) Eksisi korteks ekstratemporal
3) Hemisferektomi
4) Callostomi.
Terapi nutrisi Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada
anak dengan kejang berat yang kurang dapat dikendalikan dengan
obat antikonvulsan dan dinilai dapat mengurangi toksisitas dari
obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak
penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik
dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti,
tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan
mengontrol terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak
prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan yang lebih
ketat dari orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan
derajat kepatuhan. Kebutuhan makanan yang diberikan adalah
makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak terhadap
kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1. Kebutuhan kalori
harian diperkirakan sebesar 75 – 80 kkal/kg. Untuk pengendalian
25 kejang yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat
antiepilepsi. Pertolongan Pertama Tahap – tahap dalam
pertolongan pertama saat kejang, antara lain : Jauhkan penderita
dari benda - benda berbahaya (gunting, pulpen, kompor api, dan
lain – lain).
1) Lobektomi temporal
2) Eksisi korteks ekstratemporal
3) Hemisferektomi
4) Callostomi.
Terapi nutrisi Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada
anak dengan kejang berat yang kurang dapat dikendalikan dengan
obat antikonvulsan dan dinilai dapat mengurangi toksisitas dari
28

obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak


penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik
dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti,
tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan
mengontrol terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak
prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan yang lebih
ketat dari orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan
derajat kepatuhan. Kebutuhan makanan yang diberikan adalah
makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak terhadap
kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1. Kebutuhan kalori
harian diperkirakan sebesar 75 – 80 kkal/kg. Untuk pengendalian
25 kejang yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat
antiepilepsi. Pertolongan Pertama Tahap – tahap dalam
pertolongan pertama saat kejang, antara lain : Jauhkan penderita
dari benda - benda berbahaya (gunting, pulpen, kompor api, dan
lain – lain).
c. Jangan pernah meninggalkan penderita.
1) Berikan alas lembut di bawah kepala agar hentakan saat kejang
tidak menimbulkan cedera kepala dan kendorkan pakaian ketat
atau kerah baju di lehernya agar pernapasan penderita lancar (jika
ada).
2) Miringkan tubuh penderita ke salah satu sisi supaya cairan dari
mulut dapat mengalir keluar dengan lancar dan menjaga aliran
udara atau pernapasan.
3) Pada saat penderita mengalami kejang, jangan menahan gerakan
penderita. Biarkan gerakan penderita sampai kejang selesai.
4) Jangan masukkan benda apapun ke dalam mulut penderita, seperti
memberi minum, penahan lidah.
5) Setelah kejang selesai, tetaplah menemani penderita. Jangan
meninggalkan penderita sebelum kesadarannya pulih total,
kemudian biarkan penderita beristirahat atau tidur.
29
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan beberapa hal yang
menjadi pokok dalamm pembahasan :

a) Stroke atau CerebroVaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang


diakibatkan oleh terhentinya suplai darah ke bagian otak. Stroke dapat
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: Trombosis serebi, emboli serebi,
hemoragi (pendarahan), penyumbatan pada ateri serebi media
b) Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-
gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang
disebabkan muatan listrik yang abnormal sel-sel saraf otak, yang
bersifat reversibel dengan berbagai etiologi. Adapun penyebab epilepsi
yaitu : Faktor genetik, perinatal, pasca lahi, gangguan metabolik,
infeksi, trauma, dan keracunan
B. SARAN
Dengan adanya makalah ini mahasiswi diharapkan dapat lebih banyak
pengetahuannya mengenai patofisiologi penyakit cerebrovaskular dan epilepsi.
Kelompok menyadari bahwa apa saja yang disajikan masih jauh dari
kesempurnaan, dan oleh karenanya kelompok sangat mengharapkan masukan dari
rekan-rekan mahasiswa.

28
DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Jakarta: Badan


Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2013.
Venketasubramian N, Yoon BW, Pandian J, dan Navarro JC. Stroke epidemiology
in south, east, and south-east asia: a review. J Stroke. 2017;19(3):286-294.
WHO. Global Health Estimates. Geneva: World Health Organization; 2012.

Feigin VL, Forouzanfar MH, Krishnamurthi R, Mensah GA, Connor M, Bennet


DA, et al. Global Burden of Diseases, Injuries, and Risk Factors Study 2010
(GBD 2010) and the GBD stroke experts group. Global and regional burden of
stroke during 1990-2010: findings from the Global Burden of Disease Study 2010.
Lancet. 2014;18;383(9913):245-54.
Natasha Naomi Harli Putri, Diana Mayasari. 2020. Penatalaksanaan Holistik pada
Lansia dengan Stroke Disertai Ulkus Dekubitus dan Hiperkolesterolemia Melalui
Pendekatan Kedokteran Keluarga. Diakses 25 Juli 2022. Vol 9 No 4.

Anda mungkin juga menyukai