Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

SYOK DAN MBO


Di ajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan kritis
Dosen Mata Kuliah: Ibu Erna Safariah, M.Kep

Di Susun Oleh : Kelompok III

1. Nadia Nurdinilah Nim : 2232325023


2. Neng Intan Nim : 2232325004
3. Ryan Rachmandani Nim : 2232325021

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUKABUMI
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena Nya kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “ SYOK DAN MBO tepat pada waktunya.

Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan,


baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki.
untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan
demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada
pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini terutama kepada dosen mata
ajaran keperawatan keperawatan kritis.Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun penulis harapkan demi
mencapai kesempurnaan makalah berikutnya.

Sukabumi, November 2023

Pen
ulis

2
DAFTAR ISI

JUDUL ……………………………………………………………………………..1

KATA PENGANTAAR........................................................................................... 2

DAFTAR ISI............................................................................................................ 3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang...............................................................................................4

1.2 Tujuan Penulisan............................................................................................5

1.3 Rumusan Masalah .........................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Definisi syok, jenis syok, ….........................................................................6

2.2 Patofisiologi Syok….....................................................................................8

2.3 Manifestasi Klinik ........................................................................................9

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan…...............................................................................................

3.2 Saran …........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................

3
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Syok adalah suatu sindroma klinis dimana terdapat kegagalan dalam hal mengatur
peredaran darah dengan akibat terjadinya kegagalan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
tubuh. Kegagalan sirkulasi biasanya disebabkan oleh kehilangan cairan (hipovolemik),
Karena kegagalan pompa atau karena perubahan resistensi vaskuler perifer.
Syok bukanlah merupakan suatu diagnosis. Syok merupakan sindrom klinis yang
kompleks yang mencakup sekelompok keadaan dengan manifestasi hemodinamik yang
bervariasi tetapi petunjuk yang umum adalah tidak memadainya perfusi jaringan.
Setiap keadaan yang mengakibatkan tidak tercukupinya kebutuhan oksigen jaringan,
baik karena suplainya berkurang atau kebutuhannya yang meningkat, menimbulkan tanda-
tanda syok. Diagnosa adanya syok harus didasarkan pada data-data baik klinis maupun
laboratorium yang jelas yang merupakan akibat dari berkurangnya perfusi jaringan. Syok
mempengaruhi kerja organ-organ vital dan penanganannya memerlukan pemahaman tentang
patofisiologi syok.
Syok bersifat progresif dan terus memburuk. Lingkaran setan dari kemunduran yang
progresif akan mengakibatkan syok jika tidak ditangani sesegera mungkin.
Dalam menanggulangi syok hal yang harus diketahui yaitu kemungkinan penyebab
syok tersebut. Pada pasien trauma, pengenalan syok berhubungan langsung dengan
mekanisme terjadinya trauma. Semua jenis syok dapat terjadi pada pasien trauma dan yang
tersering adalah syok hipovolemik karena perdarahan. Syok kardiogenik juga bisa terjadi
pada pasien-pasien yang mengalami trauma di atas diafragma dan syok neurogenik dapat
disebabkan oleh trauma pada sistem saraf pusat serta medula spinalis. Syok septik juga harus
dipertimbangkan pada pasien-pasien trauma yang datang terlambat untuk mendapatkan
pertolongan.
Syok juga dapat di akibatkan karena hilangnya cairan dalam jumlah yang banyak.
Kehilangan cairan yang cepat dan banyak menurunkan preload ventrikel sehingga terjadi
penurunan isi sekuncup dan curah jantung sehingga terjadi penurunan hantaran oksigen
kejaringan tubuh. Pada renjatan karena perdarahan, selain terjadi penurunan cardiac output
juga terjadi pengurangan haemoglobin, sehingga transport dari oksigen ke jaringan makin
berkurang.
Kematian batang otak didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi otak, termasuk fungsi
batang otak, secara ireversibel. Tiga tanda utama manifestasi kematian batang otak adalah

4
koma dalam, hilangnya seluruh refleks batang otak, dan apnea.
Seorang pasien yang telah ditetapkan mengalami kematian batang otak berarti secara
klinis dan legal-formal telah meninggal dunia. Hal ini seperti dituangkan dalam pernyataan
IDI tentang mati, yaitu dalam Surat Keputusan PB IDI No.336/PB IDI/a.4 tertanggal 15
Maret 1988 yang disusulkan dengan Surat Keputusan PB IDI No.231/PB.A.4/07/90. Dalam
fatwa tersebut dinyatakan bahwa seorang dikatakan mati,bila fungsi pernafasan dan jantung
telah berhenti secara pasti atau irreversible, atau terbukti telah terjadi kematian batang otak.
Dengan adanya kriteria kematian otak, seseorang dapat ditetapkan meninggal secara
sah atau legal, bahkan jika jantung masih terus berdenyut oleh bantuan alat pendukung
kehidupan.adapun negara pertama di dunia yang mengadopsi istilah mati otak sebagai
defenisi mati yang sah adalah finlandia pada tahun 1971. Di amerika serikat, kansas
kemudian membuat hukum yang serupa.
Permasalahan mendiagnosis kematian otak menjadi semakin penting akhir-akhir ini
karena semakin sulitnya menentukan pada pasien dengan kerusakan otak apakah kerusakan
tersebut memungkinkan untuk dapat bertahan hidup secara layak dengan bantuan alat
pernapasan dan dengan peralatan pendukung lainnya, dan yang kedua karena sulitnya
menjawab pertanyaan untuk menentukan kapan dapat disimpulkan bahwa lesi serebral
tersebut ireversibel sehingga kematian dapat dipastikan segera dan berbagai persiapan dapat
dilakukan untuk memindahkan organ-organ yang masih bermanfaat, khususnya ginjal untuk
transplantasi pada pasien yang lain.

5
1.2 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu :
1. Mahasiswa dapat memahami tentang pengertian gangguan kardiovaskuler syok
2. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami jenis syok
3. Mahasiswa dapat mengetahui dan mampu memahami tentang patofisologi, manifestasi
klinik serta terapi dari syok
4 Mahasiswa diharapkan mampu:
a. Menjelaskan tentang definisi mati batang otak
b. Menjelaskan tentang etiologi mati batang otak
c. Menjelaskan tentang patofisiologi mati batang otak
d. Menjelaskan tentang kriteria mati batang otak
e. Menjelaskan tentang pemeriksaan diagnostik mati batang otak
f. Menjelaskan tentang penatalaksanaan mati batang otak
g. Menjelaskan tentang prognosis mati batang otak
h. Menjelaskan tentang asuhan keperawatan mati batang otak

1.3 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, masalah yang akan dibahas pada makalah ini yaitu:
1. Apakah pengertian dari salah satu gangguan kardiovaskular “syok” ?
2. Bagaimanakah cara membedakan jenis syok ?
3. Bagaimanakah patofisiologi serta terapi dari syok ?

4. Apa definisi mati batang otak?


5. Bagaimana etiologi mati batang otak?
6. Bagaimana patofisiologi mati batang otak?
7. Bagaimana kriteria mati batang otak?
8. Bagaimana pemeriksaan diagnostik mati batang otak?
9. Bagaimana penatalaksanaan mati batang otak?
10. Bagaimana prognosis mati batang otak?
11. Bagaimana asuhan keperawatan tentang mati batang otak?

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Syok


Syok merupakan kondisi manifestasi perubahan hemodinamik (contoh hipotensi,
takikardia, rendahnya curah jantung [cardiac output, CO] dan oliguria) disebabkan oleh
defisit volume intravaskular, gagal pompa miokardial (syok kardiogenik), atau vasodilatasi
periferal (septik, anafilaktik, atau syok neurogenik). Berdasarkan masalah pada situasi ini
perfusi jaringan tidak cukup sebagai hasil dari kegagalan sirkulatori.
2.2 Jenis Syok
a) Syok Hipovolemik
Hipovolemik berarti berkurangnya volume intravaskuler. Sehingga syok hipovolemik
berarti syok yang di sebabkan oleh berkurangnya volume intravaskuler. Di Indonesia
shock pada anak paling sering disebabkan oleh gastroenteritis dan dehidrasi, dan shock
perdarahan paling jarang, begitupun shock karena kehilangan plasma pada luka bakar dan
shock karena translokasi cairan. Adapun penyebabnya adalah :
1. Perdarahan
2. Kehilangan plasma (misal pada luka bakar)
3. Dehidrasi, misal karena puasa lama, diare, muntah, obstruksi usus dan lain-lain

b) Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang
mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama sekali untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme. Syok kardiogenik ditandai oleh gangguan fungsi
ventrikel, yang mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran
oksigen ke jaringan. Ventrikel kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu
menyediakan curah jantung yang memadai untuk mempertahankan perfusi jaringan. Syok
kardiogenik dapat didiagnosa dengan mengetahui adanya tanda-tanda syok dan dijumpai
adanya penyakit jantung, seperti infark miokard yang luas, gangguan irama jantung, rasa
nyeri daerah torak, atau adanya emboli paru, tamponade jantung, kelainan katub atau
sekat jantung. Adapun penyebabnya adalah :
1. Aritmia
2. Bradikardi / takikardi
3. Gangguan fungsi miokard

7
4. Infark miokard akut, terutama infark ventrikel kanan
5. Penyakit jantung arteriosklerotik

c) Syok Septik
Merupakan syok yang disertai adanya infeksi (sumber infeksi). Syok ini terjadi karena
penyebaran atau invasi kuman dan toksinnya di dalam tubuh yang berakibat vasodilatasi.
Pada syok septik hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan perfusi
jaringan melainkan karena ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen karena
toksin kuman. Pasien-pasien sepsis dengan volume intravaskuler normal atau hampir
normal, mempunyai gejala takikaridia, kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan
tekanan nadi yang melebar.
Syok septik dapat disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif 70% (Pseudomonas
auriginosa, Klebsiella, Enterobakter, E. choli, Proteus). Infeksi bakteri gram positif 20-40%
(Stafilokokus aureus, Stretokokus, Pneumokokus), infeksi jamur dan virus 2-3%
(Dengue Hemorrhagic Fever, Herpes viruses), protozoa (Malaria falciparum).

d) Syok Neurogenik
Syok neurogenik adalah syok yang terjadi karena hilangnya tonus pembuluh darah
secara mendadak di seluruh tubuh. Syok neurogenik juga dikenal sebagai syok spinal.
Bentuk dari syok distributif, hasil dari perubahan resistensi pembuluh darah sistemik yang
diakibatkan oleh cidera pada sistem saraf seperti trauma kepala, cidera spinal, atau
anastesi umum yang dalam. Pada syok neurogenik terjadi gangguan perfusi jaringan yang
disebabkan karena disfungsi sistem saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi, misalnya
trauma pada tulang belakang, spinal syok. Adapun penyebabnya antara lain :
 Trauma medula spinalis dengan quadriplegia atau paraplegia (syok spinal).
 Rangsangan hebat yang kurang menyenangkan seperti rasa nyeri hebat pada
fraktur tulang.
 Rangsangan pada medula spinalis seperti penggunaan obat anestesi
spinal/lumbal.
 Trauma kepala (terdapat gangguan pada pusat otonom).
 Suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut.

8
e) Syok Anafilaksis
Adalah suatu reaksi anafilaksis berat yang disertai dengan insufisiensi sirkulasi.
Anafilaksis merupakan kondisi alergi di mana curah jantung dan tekanan arteri
seringkali menurun dengan hebat. Adapun penyebabnya adalah :
o Makanan : kacang, telur, susu, ikan laut, buah.
o Allergen immunotherapy
o Gigitan atau sengatan serangga
o Obat-obat : penicillin, sulpha, immunoglobin (IVIG), serum, NSAID
o Latex
o Vaksin
o Exercise induce
Anafilaksis idiopatik : anafilaksis yang terjadi berulang tapa diketahui
penyebabnya meskipun sudah dilakukan evaluasi/observasi dan challenge test, diduga
karena kelainan pada sel mast yang menyebabkan pengeluaran histamine.

2.3 Patofisiologi Syok


- Syok merupakan hasil dari kegagalan sistem sirkulatori untuk mengantarkan oksigen
(O2) yang cukup ke jaringan tubuh secara normal atau berkurangnya konsumsi O 2.
Mekanisme umum patofisiologi dari jenis syok yang berbeda-beda hampir sama
kecuali kejadian awalnya.
- Syok hipovalemik dikarakteristik oleh defisiensi volume intravaskular karena
kekurangan eksternal atau redistribusi internal dari air ekstraselular. Syok tipe ini
dapat diperburuk oleh hemorrhage, luka bakar, trauma, operasi, obstruksi intestinal,
dan dehidrasi dari hilangnya cairan, pemberian yang berlebihan dari diuretik loop,
dan diare serta mual yang parah. Hipovalemia relatif terhadap syok hipovalemik dan
terjadi selama vasodilatasinya signifikan. Yang disertai dengan anafilaksis, sepsis,
dan syok neurogenik.
- Penurunan tekanan darah (blood pressure BP) dikompensasikan oleh meningkatnya
aliran keluar simpatetik, aktivasi renin-angiotensin, dan faktor humoral lainnya yang
menstimulasi vasokontriksi periferal. Akibatnya, vasokontriksi mendistribusikan
kembali darah ke kulit, otot skelet, ginjal, dan jalur gastrointestinal (GI) menuju
organ vital (contoh nya jantung, otak) dalam halnya menjaga oksigenasi, nutrisi, dan
fungsi organ.

9
2.4 Manifestasi Klinik Syok
- Manifestasi klinik syok memiliki gejala dan tanda yang berbeda-beda. Penderita
dengan syok hipovalemik dapat menyebabkan kehausan, gelisah, kelelahan, sakit
kepala karena lampu, dan pusing. Penderita juga melaporkan urin keluar sedikit dan
berwarna kuning tua.
- Hipotensi, takikardia,takipnea, kebingungan, dan oliguria merupakan gejala umum.
Biasanya juga disertai dengan iskemiamiokardial dan cerebrum, edema pulmonari
(syok kardiogenik), dan gagal organ multisistem.
- Hipotensi yang signifikan (tekanan darah sistolik kurang dari 90mmHg) dengan
refleks sinus takikardia (lebih besar dari 120 denyut/menit) dan meningkatnya laju
respiratori (lebih dari 30 tarikan napas/menit) seringkali terdapat pada penderita
hipovalemik. Secara klinik, manifestasinya adalah sentuhan yang ekstrim dan
dingin. Jika terjadi hipoksia koronari, aritmia jantung dapat timbul dan pada
akhirnya akan menyebabkan gagal pompa miokardial yang ireversibel, edema
pulmonari, dan kolapse kardiovaskular.
- Penderita dengan kerusakan miokardial luas, auskultasi dada dapat menyebabkan
bunyi jantung yang konsisten disertai penyakit jantung valvular atau disfungsi
ventrikular yang signifikan (S3). Roentgenogram dada dapat mendeteksi bagian dari
aneurysm aorta ascending atau kardiomegali.
- Perubahan status mental disertai dengan pengosongan volume dapat berkisar dari
fluktuasi subtle pada mood – agitasi – ketidaksadaran.
- Respiratori sekunder alkali pada hiperventilasi biasanya diobservasi sekunder pada
stimulasi sistem saraf pusat dari pusat ventilatori sebagai akibat dari trauma, sepsis,
atau syok. Auskultasi paru-paru dapat membuat bunyi tajam yang pendek (edema
pulmonari) atau tidak adanya bunyi bernapas (pneumotoraks, hemotoraks).
Roentgenogram dada dapat memastikan lebih awal abnormalitas yang tidak
terdeteksi misalnya pneumonia (infiltrasi pulmonar). Pemaksaan yang diteruskan
pada paru-paru dapat menyebabkan sindrom distres respiratori pada orang dewasa
(adult respiratory distress syndrome, ARDS).
- Ginjal sangat sensitif pada perubahan tekanan perfusi. Perubahan menengah dapat
membuat perubahan laju filtrasi glomerolus (GFR) yang signifikan. Oliguria,
perkembangan anuria, terjadi karena vasokontriksi dari arteriol aferen.

10
- Kulit biasanya dingin, pucat, atau sianotik (kebiruan) karena hipoksemia.
Berkeringat menyebabkan perasaan lembab dan basah. Jari-jari mengalami
penurunan suplai darah kapiler.
- Redistribusi dari aliran darah keluar dari jalur gastrointestinal dapat mengakibatkan
gastritis, iskemia gut, dan pada beberapa kasus infark, akibatnya adalah pendarahan
gastrointestinal.
- Pengurangan aliran darah hepatik terutama pada berbagai bentuk vasodilatori syok
dapat merubah metabolisme komponen endogen dan obat. Kerusakan progresif hati
(syok liver) manifestasi sebagai peningkatan transaminase hepatik serum dan
bilirubin tidak terkonjugasi. Kekuranag sintesa faktor pembekuan dapat
meningkatkan waktu protrombin (protrombin time, PT), rasio normalisasi
internasional (INR), dan waktu tromboplastin teraktivasi sebagian (aPTT, activated
partial thromboplastin time).

2.5 Mekanisme Terjadinya Syok


Ada 3 tahap dalam mekanisme terjadinya syok, yaitu:
1. Tahap nonprogresif
Mekanisme neurohormonal membantu mempertahankan curah jantung dan tekanan
darah. Meliputi refleks baroreseptor, pelepasan katekolamin, aktivasi poros rennin-
angiotensin, pelepasan hormonan antidiuretik dan perangsangan simpatis umum. Efek
akhirnya adalah takikardi, vasokontriksi perifer dan pemeliharaan cairan ginjal.
Pembuluh darah jantung dan otak kurang sensitive terhadap respon simpatis tersebut
sehingga akan mempertahankan diameter pembuluh darah, aliran darah dan
pengiriman oksigen yang relative normal ke setiap organ vitalnya.
2. Tahap progresif
Jika penyebab syok yang mendasar tidak diperbaiki, syok secara tidak terduga akan
berlanjut ke tahap progresif. Pada keadaan kekurangan oksigen yang menetap,
respirasi aerobic intrasel digantikan oleh glikolisis anaerobik disertai dengan produksi
asam laktat yang berlebihan. Asidosis laktat metabolic yang diakibatkannnya
menurunkan pH jaringan dan menumpulkan respon vasomotor, arteriol berdilatasi dan
darah mulai mengumpul dalam mikrosirulasi. Pegumpulan perifer tersebut tidak
hanya akan memperburuk curah jantung, tetapi sel endotel juga berisiko mengalami
cedera anoksia yang selanjutnya disertai DIC. Dengan hipoksia jaringan yang
meluas, organ vital akan terserang dan mulai mengalami kegagalan. Secara klinis

11
penderita mengalami kebingungan dan pengeluaran urine menurun.

12
3. Tahap irreversible
Jika tidak dilakukan intervensi, proses tersebut akhirnya memasuki tahap irreversible.
Jejas sel yang meluas tercermin oleh adanya kebocoran enzim lisososm, yang
semakin memperberat keadaan syok. Fungsi kontraksi miokard akan memburuk yang
sebagiannya disebabkan oleh sintesis nitrit oksida. Pada tahap ini, klien mempunyai
ginjal yang sama sekali tidak berfungsi akibat nekrosis tubular akut dan meskipun
dilakukan upaya yang hebat, kemunduran klinis yang terus terjadi hamper secara pasti
menimbulkan kematian.

2.6 Diagnosis Syok


- Informasi yang berasal dari pengawasan infasif dan non-infasif (tabel 1) dan evaluasi
riwayat rekam medis, manifestasi klinik, dan penelitian laboratorium merupakan
komponen kunci pada diagnosis sebagai mekanisme umum yang bertanggung jawab
terhadap syok. Pada etiologi, penelitian yang konsisten ditemukan diantaranya adalah
hipotensi (SBP kurang dari 90 mmHg), indeks jantung menurun (CI kurang dari 2,2
mL/menit/m2), takikardia (denyut jantung, [heart rate, HR] lebih besar dari 100
denyut/menit), dan urin yang dikeluarkan sedikit (kurang dari 20 mL/jam).
- Evaluasi BP dengan menggunakan sphygmomanometer dan stetoskop menjadi tidak
akurat pada saat syok.
- Karakterisasi arteri pulmonari dengan menggunakan kateter Swan-Ganz sering dipakai
untuk pengawasan infasif untuk parameter muti kardiovaskular. Kateter Swan-Ganz ini
juga dapat digunakan untuk mendeterminasi tekanan vena pusat (central venous
prsessure, CVP); tekanan arteri pulmonari; curah jantung; dan tekananoklusif arteri
pulmonari (pulmonary artery occlusive pressure, PAOP), memperkirakan tekanan akhir
diastolik ventrikel kiri dan determinasi utama preload ventrikel kiri.
- Curah jantung (2,5 sampai 3 L/menit) dan Svo 2 (70% hingga 75%) dapat menjadi
sangat rendah pada penderita kerusakan miokardial yang cukup parah.
- Respirasi alkalosis disertai dengan tekanan darah O 2 (PaO2) (25 hingga 35 mmHg) dan
pH alkali tetapi bikarbonatnya normal. Dua nilai yang diukur pertama adalah gas darah
arteri yang menghasilkan tekanan dari karbon dioksida (PaCO 2) dan SaO2. SaO2 yang
bersirkulasi juga dapat diukur dengan menggunakan oximeter, metode noinfasif yang
cukup akurat dan berguna di sisi tempat tidur penderita.

13
- Fungsi ginjal dapat diestimasi secara keseluruhan dengan pengukuran keluarnya urin
per jam tetapi estimasi bersihan kreatinin serum yang terisolasi secara analitik penderita
yang sakitakan memberikan hasil eror. Penurunan perfusi renal dan pelepasan
aldosteron sebagai akibat dari retensi natrium dan kemudian rendahnya natrium urin
(UNa kurang dari 30 mEq/L).

Tabel 14.1. Parameter Pengawasan Hemodinamik dan Transport Oksigen


Parameter Nilai Normal
Tekanan darah sistol/diastol (Blood Pressure, BP) 100-130/70-85 mmHg
Rata-rata tekanan arteri (Mean Arterial Pressure, 80-100 mmHg
MAP)
Tekanan arteri pulmonal (Pulmonary Artery 25/20 mmHg
Pressure, PAP)
Rata-rata tekanan arteri pulmonal (Mean 12-15 mmHg
Pulmonary Artery Pressure, MPAP)
Tekanan vena sentral (Central Venous Pressure, 2-6 mmHg
CVP)
Tekanan oklusi arteri pulmonal (Pulmonary 8-12 mmHg (normal), 15-18 mmHg
Artery Occlusion Pressure, PAOP) (ICU)
Detak jantung (Heart Rate, HR) 60-80 detak/menit
Curah jantung (Cardiac Output, CO) 4-7 L/menit)
Indeks Jantung (cardiac Input, CI) 2,8-3,6 L/menit/m2
Indeks Stroke Volume (Stroke Volume Index, 30-50-mL/m2
SVI)
Indeks resistensi vaskular sistemik (Systemic 1300-2100 dyne.detik/ m2cm5
Vascular Resistance Index, SVRI)
Indeks resistensi vaskular pulmonal (Pulmonary 45-225 dyne.detik/ m2cm5
Vascular Resistance Index, PVRI)
Saturasi oksigen arteri (Arterial Oxygen 97 % (95%-100%)
Saturation, SaO2)
Saturasi oksigen vena campuran (Mixed Venous 75% (60%-80%)
Oxygen Saturation, SvO2)
Kandungan oksigen arteri (Arterial Oxygen 20,1% vol. (19-21)
Content, CaO2)
Kandungan oksigen vena (Venous Oxygen 15,5% vol (11,5-16,5)
Content, CvO2)
Perbedaan kandungan oksigen (Oxygen Content 5% vol. (4-6)
Difference, C(a-v)O2)
Indeks penggunaan oksigen (Oxygen 131 mL/menit/m2 (100-180)
Consumption Index, VO2)
Indeks penyakuran oksigen (oxygen Consumption 578 mL/menit/m2 (370-730)
Index,DO2)
Rasio ekstraksi oksigen (Oxygen Extraction Ratio, 25% (22%-30%)
O2ER)
pH intermukosa (intramucosal pH, pHi) 7,40 (7,35-7,45)
Indeks Parameter yang diindeks dari luas
permukaan tubuh

14
- Pada individu normal, konsumsi oksigen (V o2) bergantung pada penghantaran oksigen
(DO2) hingga pada tahap kritis tertentu (ketergantungan aliran (V O2). Pada bagian ini
penerimaan oksigen di jaringan terpisah dengan baik dan lebih jauhnya peningkatan DO2
tidak akan merubah VO2 (ketidaktergantungan aliran). Bagaimanapun, uji pada penderita
yang sakit akan menunjukkan kelanjutan, patologi ketergantungan hubungan DO2 dan VO2.
Indeks parameter ini dikalkulasikan sebagai berikut: DO2 =
- CI x CaO2 dan VO2 = CI x (CaO2 – CVO2), dimana CI adalah indeks jantung, C aO2 adalah
kandungan oksigen, dan CVO2 gabungan oksigen di vena. Saat ini data yang ada tidak
mendukung konsep bahwa bertahannya penderita dirubah oleh penanganan yang langsung
mendapatkan level supranormal dari DO2 dan VO2.
- Rasio VO2 terhadap DO2 (rasio ekstraksi oksigen, O2ER) dapat digunakan untuk
mengestimasi kebutuhan perfusi dan respon metabolik. Penderita yang dapat
meningkatkan VO2 saat DO2 diturunkan dapat dikatakan penderita tersebut mampu
bertahan. Tetapi, rendahnya nilai VO2 dan O2ER menyatakan rendahnya penggunaan
oksigen dan mengarah ke mortalitas.
- Laktat serum dapat digunakan sebagai pengukuran lain untuk oksigenasi jaringan dan
dapat menunjukkan korelasi yang baik daripada parameter oksigen transport pada
beberapa penderita.
- Tonometry gastrik mengukur PCO2 usus luminal pada kesetimbangan dengan mengatur
suatu balon permeabel yang berisi gas saline pada lumen gastrik. Peningkatan P CO2 di
mukosal dan penurunan pH intramukosal (pHi) disertai dengan hipoperfusi mukosal dan
mungkin dapat meningkatkan mortalitas. Tetapi manifestasi gangguan respiratori asam-
basa, pemberian bikarbonat secara sistemik, pengukuran eror pada gas di daerah arteri,
masuknya cairan konsumsi, dan darah atau feces di usus dapat membingungkan
determinasi pHi. Kebanyakan para ahli percaya bahwa P CO2 mukosal gastrik lebih akurat
dibandingkan pHi.

2.7 Definisi Mati Batang Otak


Kematian batang otak didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi otak,
termasuk fungsi batang otak, secara ireversibel. Tiga tanda utama manifestasi kematian
batang otak adalah koma dalam, hilangnya seluruh refleks batang otak, dan apnea.
Pada panduan Australian and New Zealand Intensive Care Society (ANZICS)
yang dipublikasikan pada tahun 1993, kematian otak didefinisikan sebagai berikut:

15
Istilah kematian otak harus digunakan untuk merujuk pada berhentinya semua fungsi
otak secara ireversibel. Kematian otak saat terjadi hilangnya kesadaran yang ireversibel,
dan hilangnya respon refleks batang otak dan fungsi pernapasan pusat secara ireversibel,
atau berhentinya aliran darah intrakranial secara ireversibel”. (Hing-yu, 1994).
Menurut kriteria Komite Ad Hoc Harvard tahun 1968, kematian otak
didefinisikan oleh beberapa hal. Yang pertama, adanya otak yang tidak berfungsi lagi
secara permanen, yang ditentukan dengan tidak adanya resepsi dan respon terhadap
rangsang, tidak adanya pergerakan napas, dan tidak adanya refleks-refleks, yakni respon
pupil terhadap cahaya terang, pergerakan okuler pada uji penggelengan kepala dan uji
kalori, refleks berkedip, aktivitas postural (misalnya deserebrasi), refleks menelan,
menguap, dan bersuara, refleks kornea, refleks faring, refleks tendon dalam, dan respon
terhadap rangsang plantar. Yang kedua adalah data konfirmasi yakni eeg yang
iselektris.kedua tes tersebut dilakukan ulang 24 jam setelah tes pertama, tanpa adanya
hipotermia (suhu kurang dari 32,2o c) atau depresan sistem saraf pusat seperti
barbiturat.penentuan tersebut harus dilakukan oleh seorang dokter. (Mernoff, 2009).
Menurut Uniform Determination of Death Act, yang dikembangkan oleh
National Conference of Commissionerson Uniform State Laws, President’s Commission
For The Study of Ethical Problems In Medicineand Biomedicaland Behavioral Research,
seseorang dinyatakan mati otak apabila mengalami (1) terhentinya fungsi sirkulasi dan
respirasi secara ireversibel, dan (2), terhentinya semua fungsi otak secara keseluruhan,
termasuk batang otak, secara ireversibel. (Mernoff, 2009).
Terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi dinilai dari tidak adanya denyut jantung
dan usaha napas, serta pemeriksaan ekg dan uji apnea.terhentinya fungsi otak dinilai dari
adanya keadaan koma serta hilangnya fungsi batang otak berupa absennya refleks-
refleks. Menurut panduan yang digunakan di amerika, kematian otak didefinisikan
sebagai hilangnya semua fungsi otak secara ireversibel, termasuk batang otak.tiga
temuan penting dalam kematian otak adalah koma, hilangnya refleks batang otak, dan
apnea (New York State Department of Health, 2005)
A. Etiologi
Kematian otak ditandai dengan koma, apneu dan hilangnya semua refleks batang
otak. Penyebab umum kematian otak termasuk trauma, perdarahan intrakranial, hipoksia,
infeksi, ensefalopati metabolic, hipoksemia, iskemia, overdosis obat, tenggelam, tumor
otak primer, meningitis, pembunuhan dan bunuh diri. Dalam kepustakaan lain,
hipoglikemia jangka panjang disebut sebagai penyebab kematian otak.

16
Faktor yang mempengaruhi
Kondisi berikut dapat mempengaruhi diagnosis klinis kematian batang otak,
sedemikian rupa sehingga hasil diagnosis tidak dapat dibuat dengan pasti hanya
berdasarkan pada alasan klinis sendiri. Pada keadaan ini pemeriksaan konfirmatif
direkomendasikan :
1) Trauma spinal servikal berat atau trauma fasial berat
2) Kelainan pupil sebelumnya
3) Level toksis beberapa obat sedatif, aminoglikosida, antidepresan trisiklik,
antikolinergik, obat antiepilepsi, agen kemoterapi,atau agen blokade
neuromuskular
4) Sleep apneu atau penyakit paru berat yang mengakibatkan retensi kronis CO2.

Penentuan kematian otak sangat tergantung dari gejala klinis dan hasil
laboratorium. Secara klinis, seseorang dinyatakan mati otak jika semua keadaan berikut
ditemukan:
1. Tidak ada respirasi spontan (tidak dapat menghirup napas sendiri).
2. Pupil dilatasi dan terfiksir (mata midriasis, tidak ada reaksi terhadap cahaya).
3. Tidak ada respon terhadap stimulus noksius (rangsang nyeri tidak disertai kedipan
mata, tanpa mimik meringis, tanpa gerakan anggota tubuh manapun).
4. Semua anggota tungkai flaksid (tidak ada pergerakan, tanpa tonus otot dan
hilangnya aktivitas refleks pada tangan ataupun kaki).
5. Tidak ada tanda-tanda aktivitas batang otak:
a. Bola mata terfiksasi dalam orbita.
b. Tidak ada refleks kornea.
c. Tidak ada respon terhadap tes-tes kalori.
d. Tidak ada refleks muntah atau batuk.

B. Patofisiologi
Patofisiologi penting terjadinya kematian otak adalah peningkatan hebat tekanan
intrakranial (TIK) yang disebabkan perdarahan atau edema otak. Jika TIK meningkat
mendekati tekanan darah arterial, kemudian tekanan perfusi serebral (TPS) mendekati
nol, maka perfusi serebral akan terhenti dan kematian otak terjadi (Lazar, 2001).
Aliran darah normal yang melalui jaringan otak pada orang dewasa rata-rata sekitar
50 sampai 60 mililiter per 100 gram otak per menit. Untuk seluruh otak, yang kira-kira

17
beratnya 1200 – 1400 gram terdapat 700 sampai 840 ml/menit. Penghentian aliran darah
ke otak secara total akan menyebabkan hilangnya kesadaran dalam waktu 5 sampai 10
detik. Hal ini dapat terjadi karena tidak ada pengiriman oksigen ke sel-sel otak yang
kemudian langsung menghentikan sebagian metabolismenya. Aliran darah ke otak yang
terhenti untuk tiga menit dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang bersifat
irreversibel (Guyton 1996).
Sedikitnya terdapat tiga faktor metabolik yang memberi pengaruh kuat terhadap
pengaturan aliran darah serebral. Ketiga faktor tersebut adalah konsentrasi karbon
dioksida, konsentrasi ion hidrogen dan konsentrasi oksigen. Peningkatan konsentrasi
karbon dioksida maupun ion hidrogen akan meningkatkan aliran darah serebral,
sedangkan penurunan konsentrasi oksigen akan meningkatkan aliran (wilson, 1994).
Faktor-faktor iskemia dan nekrotik pada otak oleh karena kurangnya aliran oksigen
ke otak menyebabkan terganggunya fungsi dan struktur otak, baik itu secara reversible
dan ireversibel. Percobaan pada binatang menunjukkan aliran darah otak dikatakan kritis
apabila aliran darah otak 23/ml/100mg/menit (Normal 55 ml/100mg/menit). Jika dalam
waktu singkat aliran darah otak ditambahkan di atas 23 ml, maka kerusakan fungsi otak
dapat diperbaiki. Pengurangan aliran darah otak di bawah 8-9 ml/100 mg/menit akan
menyebabkan infark, tergantung lamanya. Dikatakan hipoperfusi jika aliran darah otak di
antara 8 dan 23 ml/100 mg/menit.
Jika jumlah darah yang mengalir ke dalam otak regional tersumbat secara parsial,
maka daerah yang bersangkutan langsung menderita karena kekurangan oksigen. Daerah
tersebut dinamakan daerah iskemik. Di wilayah itu didapati: 1) tekanan perfusi yang
rendah, 2) PO2 turun, 3) CO2 dan asam laktat tertimbun. Autoregulasi dan kelola
vasomotor dalam daerah tersebut bekerja sama untuk menanggulangi keadaan iskemik
itu dengan mengadakan vasodilatasi maksimal (Gunther et al., 2011).
Pada umumnya, hanya pada perbatasan daerah iskemik saja bisa dihasilkan
vasodilatasi kolateral, sehingga daerah perbatasan tersebut dapat diselamatkan dari
kematian. Tetapi pusat dari daerah iskemik tersebut tidak dapat teratasi oleh mekanisme
autoregulasi dan kelola vasomotor. Di situ akan berkembang proses degenerasi yang
ireversibel. Semua pembuluh darah dibagian pusat daerah iskemik itu kehilangan tonus,
sehinga berada dalam keadaan vasoparalisis. Keadaan ini masih bisa diperbaiki, oleh
karena sel-sel otot polos pembuluh darah bisa bertahan dalam keadaan anoksik yang
cukup lama. Tetapi sel-sel saraf daerah iskemik itu tidak bisa tahan lama. Pembengkakan
sel dengan pembengkakan serabut saraf dan selubung mielinnya (udem serebri)

18
merupakan reaksi degeneratif dini. Kemudian disusul dengan diapedesis eritosit dan
leukosit. Akhirnya sel-sel saraf akan musnah. Yang pertama adalah gambaran yang
sesuai dengan keadaan iskemik dan yang terakhir adalah gambaran infark (Guyton
1996).
Adapun pada hipoglikemia, mekanisme yang terjadi sifatnya umum. Hipoglikemia
jangka panjang menyebabkan kegagalan fungsi otak. Berbagai mekanisme dikatakan
terlibat dalam patogenesisnya, termasuk pelepasan glutamat dan aktivasi reseptor
glutamat neuron, produksi spesies oksigen reaktif, pelepasan Zinc neuron, aktivasi poli
(ADP-ribose) polymerase dan transisi permeabilitas mitokondria (Cryer, 2007).

19
WOC KOMA & MATI BATANG OTAK

Edema serebral, Tumor Abses serebral, Pendarahan Hipoksia, Iskemia,


otak, Abses otak, batang otak atau serebelum, Hipoglikemia, kejang, infeksi
Pendarahan serebral, Infark batang otak atau (Ensefalitis, Meningitis), ggn
Infark serebral, Hematoma serebelum, Tumor otak atau elektrolit & asam basa,
serebelum
epidural, Hematoma Intoksikasi obat
subdural

Adanya peningkatan massa


pada kranium Ggn. Metabolik & lesi difus
Lesi Supratentorial

Mendesak Hemisferium ke Peningkatan TIK


arah foramen magnum

Penurunan Blood Flow ke Otak (ADO)


Terjadi penekanan pada
batang otak bagian depan

MK: Gangguan Perfusi


Hipoksia Jaringan Otak Serebral
Saraf- saraf otak
mengalami distorsi
MATI BATANG OTAK

KOMA
Kelumpuhan saraf otak
1. Hilangnya kesadaran
Ireversibel
Sistem Pernafasan Sistem Pencernaan 2. Hilangnya refleks
batang otak
3. Hilangnya fungsi
Penurunan fungsi Terjadi akumulasi Penurunan fungsi pernafasan pusat secara
otot-otot pernafasan sekret pada saluran pencernaan Ireversibel
pernafasan 4. Berhentinya aliran darah
intracranial scr
Ekspansi paru tidak Kebutuhan nutrisi Ireversibel
optimal MK: Kebersihan tidak adekuat
Jalan Nafas Tidak
Efektif
Kegagalan fungsi
MK: Pola Nafas
Tidak Efektif organ vital
MK: Ketidakseimbangan nutrisi:
kurang darikebutuhan tubuh

MK:
Ketidakmampuan
MK: Defisit Pengetahuan 20 keluarga
koping
Keluarga

MK: Duka
Cita
C. Kriteria Mati Batang Otak
1. Prakondisi
a. Keadaan klinis saat ini tidak disebabkan oleh obat-obat depresan sistem saraf
pusat.
b. Pasien dengan ventilator atas indikasi respirasi spontan yang tidak adekuat: efek
obat-obat penghambat neuromuskular harus disingkirkan.
c. Hipotermia dan gangguan metabolik berat bukanlah merupakan penyebab utama
kondisi pasien saat ini.
2. Tes
a. Tidak ada respon pupil terhadap cahaya.
b. Tidak ada refleks kornea.
c. Tidak ada refleks vestibulo-okular.
d. Tidak ada reflek muntah atau respons terhadap pengisapan trakea.
e. Tidak ada respons motorik pada daerah nervus kranial terhadap rangsang nyeri,
misalnya tekanan supraorbita.
f. Tidak ada gerakan pernafasan ketika ventilator dilepaskan.

Tes harus dilaksanakan oleh dua orang dokter, yang keduanya memiliki
keahlian yang tepat dan satu atau keduanya adalah dokter konsultan. Tes harus
dilakukan dengan interval, kematian dipastikan pada waktu tes kedua dilakukan,
dengan asumsi tidak adanya bukti fungsi batak otak yang terdeteksi.
Penetapan waktu kematian pasien adalah pada saat dinyatakan mati batang otak,
bukan saat ventilator dilepas dari mayat atau jantung berhenti berdenyut.
Terapi bantuan hidup yang dapat dihentikan atau ditunda hanya tindakan yang
bersifat terapeutik dan/atau perawatan yang bersifat luar biasa (extra-ordinary),
meliputi:
1) Rawat di intensive care unit
2) Resusitasi jantung paru
3) Pengendalian disritmia
4) Intubasi trakeal
5) Ventilasi mekanis
6) Obat vasoaktif
7) Nutrisi parenteral
8) Organ artifisial

21
9) Transplantasi
10) Transfusi darah
11) Monitoring invasif
12) Antibiotika
13) Tindakan lain yang ditetapkan dalam standar pelayanan kedokteran.
Terapi bantuan hidup yang tidak dapat dihentikan atau ditunda meliputi oksigen, nutrisi
enteral dan cairan kristaloid.
D. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak diperlukan
pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis termasuk pemeriksaan refleks batang otak
dan tes apnea dapat dilaksanakan secara adekuat. Beberapa pasien dengan kondisi
tertentu seperti cedera servikal atau kranium, instabilitas kardiovaskular, atau faktor lain
yang menyulitkan dilakukannya pemeriksaan klinis untuk menegakkan diagnosis
kematian batang otak, perlu dilakukan tes konfirmatif. Pemilihan tes konfirmatif yang
akan dilakukan sangat tergantung pada pertimbangan praktis, mencakup ketersediaan,
kemanfaatan, dan kerugian yang mungkin terjadi. Beberapa tes konfirmatif yang biasa
dilakukan antara lain:
1. Angiography (conventional, computerized tomographic, magnetic resonance, dan
radionuclide) : kematian batang otak ditegakkan apabila tidak terdapat pengisian
intraserebral (intracerebral filling) setinggi bifurkasio karotis atau sirkulus
Willisi.
2. Elektroensefalografi (EEG) : kematian batang otak ditegakkan apabila tidak
terdapat aktivitas elektrik setidaknya selama 30 menit.
3. Nuclear brain scanning : kematian batang otak ditegakkan apabila tidak terdapat
ambilan (uptake) isotop pada parenkim otak dan atau vasculature, bergantung
teknik isotop (hollow skull phenomenon).
4. Somatosensory evoked potentials : kematian batang otak ditegakkan apabila tidak
terdapat respon N20-P22 bilateral pada stimulasi nervus medianus.
Transcranial doppler ultrasonography : kematian batang otak ditegakkan oleh adanya
puncak sistolik kecil (small systolic peaks) pada awal sistolik tanpa aliran
diastolik (diastolic flow) atau reverberating flow, mengindikasikan adanya
resistensi yang sangat tinggi (very high vascular resistance) terkait adanya
peningkatan tekanan intrakranial yang besar.

22
E. Penatalaksanaan
Tidak ada lagi yang dapat dilakukan pada pasien dengan mati otak (Jacobalis,
1997). Pasien dengan mati otak adalah manusia yang sudah mati, Brain death is death.
Mati adalah kematian batang otak, sekalipun elektrokardiografi masih menunjukkan
ritme normal (Indries, 1997).
Jika semua kriteria mati otak sudah terpenuhi, maka ventilator dan alat pendukung
hidup lainnya dapat dilepas. Dengan begitu, dokter dan rumah sakit tidak dituntut
melakukan pembunuhan. Untuk negara dengan tindakan transpalntasi yang telah
berkembang pesat, diagnosis mati otak diusahakan secepat mungkin agar organ yang ada
pada pasien tersebut dapat digunakan untuk keperluan transplantasi calon resepien
(Jacobalis, 1997).
F. Prognosis
Dengan memperhatikan penyebab koma, dan kecepatan onset nya, pengujian
untuk tujuan mendiagnosa kematian pada batang otak alasan kematian mungkin tertunda
melampaui tahap di mana refleks batang otak mungkin tidak ada hanya sementara -
karena aliran darah otak tidak memadai untuk mendukung fungsi sinaptik meskipun
masih ada aliran darah yang cukup untuk menjaga sel-sel otak hidup dan mampu
pemulihan. Ada baru-baru ini diperbarui minat kemungkinan perlindungan neuronal
selama fase ini dengan menggunakan hipotermia moderat dan oleh koreksi kelainan
neuroendokrin sering terlihat di tahap awal ini.
Penelitian yang diterbitkan pasien yang memenuhi kriteria untuk kematian batang
otak atau kematian seluruh otak (standar Amerika yang meliputi kematian batang otak
didiagnosis dengan cara yang sama) catatan bahwa bahkan jika ventilasi dilanjutkan
setelah diagnosis, jantung berhenti berdenyut hanya dalam beberapa jam atau hari.
Namun, ada beberapa yang selamat dalam jangka panjang dan perlu dicatat bahwa
manajemen ahli dapat menjaga fungsi tubuh otak wanita mati hamil cukup lama untuk
membawa mereka ke suatu waktu.
Pengelolaan pasien dinyatakan meninggal pada pemenuhan kriteria kematian
batang otak tergantung pada alasan untuk mendiagnosis kematian atas dasar itu. Jika
tujuannya adalah untuk mengambil organ dari tubuh untuk transplantasi, ventilator
dihubungkan kembali dan langkah-langkah pendukung kehidupan yang terus, mungkin
intensif, dengan penambahan prosedur yang dirancang untuk melindungi organ-organ
yang diinginkan sampai mereka dapat dihapus. Jika tidak, ventilator yang tersisa

23
terputus pada konfirmasi kurangnya respon pusat pernapasan.

24
BAB III

PEMBAHASAN
3.1 Terapi Syok

Tujuan utamanya adalah membantu penghantaran oksigen melalui sistem sirkulasi


dengan memastikan volum plasma intravaskular efektif, kapasitas pembawa oksigen yang
optimal, BP yang sesuai saat keputusan diagnostik dan strategi terapi dideterminasi.

3.2 Pendekatan Umum

 Gambar 1 menunjukkan prosedur pendekatan langsung pada penderita orang dewasa


dengan hipovolemia.
 Suplementasi oksigen sebaiknya diutamakan pada gejala awal syok mulai dari 4
sampai 6 L/menit melalui kanula hidung atau 6 sampai 10 L/menit melalui masker
wajah.
 Cairan yang cukup untuk pemulihan diberiakan untuk menjaga sirkulasi volum darah
sangat penting untuk menangangi segala bentuk syok. Pilihan terapetik yang berbeda
didiskusikan di bawah ini.
 Jika pemberian cairan tidak mendapatkan hasil akhir yang baik maka dukungan
farmakologi dengan inotropik dan obat vasoaktif sangat aktif.

25
A
Apakah diperkirakan perfusi
pada jaringan tidak memadai?
Ya Tidak

20 ml/kg LR (atau infus Pemantauan secara


secepat mungkin jika kontinyu dan periodik
tekanan tidak terukur

Perfusi pada jaringan


tidak memadai
Ya Tidak

Kemungkinan GJ Pemantauan secara


dekompensasi kontinyu dan periodik
Ya Tidak

Tekanan darah Pasien > 70 th atau


sistolik < 90 mengalami
Ya Tidak akumulasi cairan
Ya Tidak
Dopamin 5 µg/kg/min + Dobutamin 2 µg/kg/min
pertimbangan untuk + pertimbangan untuk
kateter arteri pulmonal kateter arteri pulmonal 20 ml/kg LR (atau infus
Berat < 60 kg
cepat secara kontinyu
Ya Tidak sampai perfusi memadai)

Dipertimbangkan 250 ml Dipertimbangkan 500 ml


albumin 5% + kateter albumin 5% + kateter Perfusi jaringan tidak
arteri pulmonal arteri pulmonal memadai dengan
komplikasinya
Ya Tidak

Dopamin 5 µg/kg/min Pemantauan kontinyu &


+ pertimbangan untuk periodic + infus jika
kateter arteri pulmonal dibutuhkan untuk
memelihara perfusi yang
memadai

26
B
Perfusi jaringan secara kontinyu tidak
memadai tetapi toleransi dalam
pemberian caian (contoh: tidak ada
bukti udem paru-paru
Ya Tidak

20 ml/LR (atau infus yang cepat dan Pasien menerima dobutamin


kontinyu) + pertimbangkan
penambahan obat jika tidak ada respon Ya Tidak
dalam pemberian cairan. Norepinefrin
0,1 mcg/kg/menit jika TDS < 70;
Naikkan dosis 5 mcg/kg/menit
dopamin 2 mcg/kg/menit (jika sudah Dobutamin 2
pada interval 10 menit sampai
dalam pengobatan dobutamin, naikkan mcg/kg/menit (jika dalam
20 mcg/kg/menit, toksisitas
dosis 5 mcg/kg/menit) jika TDS > 90 penanganan dopamin,
atau efikasi
coba turunkan dosis jadi 3
mcg/kg/menit)

Perfusi tidak memadai


Jika TDS < 70 +
norepinefrin (atau
Ya Tidak
naikkan dopamin)

Jika TDS < 70, tambah atau Lanjutkan Perfusi tidak memadai
naikkan dosis norepinefrin atau assesmen periodik
jika TDS ≥ 70, naikkan dosis
Ya Tidak
dopamin atau dobutamin
dengan interval 10 menit
sampai 20 mcg/kg/menit,
toksisitas atau efikasi

Naikkan dobutamin 3-5 Lanjutkan


mcg/kg/menit dengan assesmen periodik
interval 10 menit sampai 20
mcg/kg/menit, toksisitas
atau efikasi

Gambar 14.1 Protokol Hipovolemia Pada Dewasa

Protokol ini tidak ditujukan untuk mengganti terapi seperti intervensi bedah atau
produk darah untuk meningkatkan kapasitas pengikat oksigen atau hemostatis. Jika
memungkinkan, beberapa pengukuran dapat digunakan sebagai tambahan algoritma tersebut,
seperti mean tekanan arteri atau pencatat arteri pulmonal. Selanjutnya boleh digunakan untuk
menilai pemilihan obat (contohnya obat dengan efek presor primer cocok untuk pasien
dengan kardiak output suboptimal). Dosis maksimal yang rendah dari obat dalam lagoritma
ini seharusnya dipertimbangkan juga jika katerisasi arteri pulmonal tidak dapat dilakukan.

27
HF, gagal jantung; LR, larutan Ringer Laktat. Koloid dapat diganti untuk albumin adalah
hetastrach 6% dan dekstran 40.

3.3 Resusitasi Cairan Untuk Syok Hipovolemik

 Cairan pemulih utama mengandung kristaloid isotonic (0,9% natrium klorida atau
cairan Ringer laktat), koloid (5% plasmanat atau albumin, 6% hetastarch), atau
darah keseluruhan. Pilihan larutan ini berdasarkan pada kapasitas pembawa oksigen
(contoh, hemoglobin, hematokrit), penyebab syok hipovolemik, penyakit suplemen,
tingkatan kehilangan cairan tubuh, dan mendapatkan penghantaran cairan dengan cepat.
Kebanyakan para ahli setuju bahwa kristaloid lebih baik dari koloid sebagai terapi
utama untuk penderita luka bakar karena kurangnya kemungkinan yang menyebabkan
akumulasi cairan interstsial. Jika volum resusitasi suboptimal disertai dengan beberapa
liter kristaloid, penggunaan koloid juga dipertimbangkan. Beberapa Penderita dapat
menerima produk darah untuk menjaga kapasitas penghantaran oksigen sebagai faktor
pembekuan darah dan platelet untuk hemostasis darah.

3.4 Kristaloid

 Kristaloid mengandung elektrolit (contoh Na +, Cl, dan K +) dalam larutan air tanpa
atau dengan dekstrosa. larutan ringer laktat mungkin lebih disukai karena tidak
menyebabkan metabolik asidosis hiperkloremik melalui infus atau saline normal
dalam jumlah besar.
 Kristaloid diberikan dengan laju 500-2000 mL / jam, pemberian ini tergantung pada
tingkat keparahan defisit, tingkat kehilangan cairan yang sedang berlangsung, dan
toleransi terhadap volume infus. Biasanya 2 sampai 4 L kristaloid menormalkan
volume intravaskular.
 Keuntungan dari kristaloid mencakup kecepatan dan kemudahan pemberian,
kompatibilitas dengan sebagian besar obat, tidak adanya kenyerian serum, dan cukup
murah.
 Kerugian utama adalah besarnya volume yang diperlukan untuk mengganti atau
menambah volume intravaskular. Sekitar 4 L saline normal harus diinfuskan untuk
mengganti kehilangan 1 L darah. Selain itu, cairan tekanan onkotik koloid
menyebabkan edema paru lebih mungkin untuk mengikuti kristaloid dibandingkan
resusitasi koloid.

28
3.5 Koloid

 Koloid adalah larutan dengan bobot molekul yang cukup besar (> 30000 dalton) telah
direkomendasikan untuk digunakan bersama dengan atau sebagai pengganti larutan
kristaloid. Albumin adalah koloid monodisperse karena semua molekulnya memiliki
bobot molekul yang sama, sedangkan hetastrach dan dekstran merupakan larutan
hidroksietil majemuk polidispersi dengan bobot molekul yang bervariasi. Koloid
sangat berguna karena dapat meningkatkan bobot molekul serta waktu retensi
intravaskular (tidak adanya peningkatan permeabilitas kapilari). Meskipun dengan
semua permeabilitas kapilari, molekul koloid pada akhirnya akan melalui membran
kapilari.
 Konsentrasi Albumin 5% dan 25% tersedia. Hal ini membutuhkan sekitar tiga sampai
empat kali lebih banyak larutan ringer laktat atau larutan saline nomal untuk
pembesaran volume seperti larutan albumin 5%. Sedangkan albumin jauh lebih
mahal daripada larutan kristaloid. Larutan albumin 5% relatif iso-onkotik, sedangkan
albumin 25% hiperonkotik dan cenderung untuk menarik cairan ke dalam
kompartemen yang mengandung molekul albumin. Pada umumnya, albumin 5%
digunakan untuk tahap hipovolemik. Larutan 25% sebaiknya tidak digunakan untuk
pasien insufisiensi sirkulasi akut kecuali diencerkan dengan cairan lain atau
setidaknya yang digunakan pada pasien dengan kelebihan cairan tubuh total tetapi
depresi intravaskular, sebagai sarana menarik cairan ke dalam ruang intravaskular.
 Hetastarch 6% memiliki ekspansi plasma sebanding dengan larutan albumin 5%
tetapi biasanya lebih murah, dihitung berdasarkan banyak penggunaannya. Hetastarch
sebaiknya dihindarkan pada situasi di mana pemulihan dalam waktu jangka pendek
dan hemostasis bisa memiliki konsekuensi yang mengerikan (misalnya, operasi by
pass kardiopulmonari dan perdarahan intrakranial), karena dapat memperburuk
perdarahan. Hetastarch dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi amilase serum
tetapi tidak menyebabkan pankreatitis.
 Dekstran 40, dekstran 70, dan dekstran 75 tersedia untuk peningkat plasma (angka
menunjukkan bobot molekul rata-rata dikali 1.000). Larutan ini tidak digunakan
sesering albumin atau hetastarch untuk peningkat plasma. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh kekhawatiran terjadinya perdarahan (yaitu, aksi antikoagulan yang
berhubungan dengan menghambat stasis sirkulasi mikro) dan anafilaksis, yang terjadi
mirip dengan larutan dengan bobot molekul tinggi.

29
 Keuntungan secara teori dari koloid adalah dapat memperpanjang waktu retensi
intravaskular dibandingkan larutan kristaloid. Sedangkan kristaloid isotonic yang
memiliki distribusi substansi inerttisial selama beberapa menit dari pemberian
intravena, koloid ada diruang intravaskular selama beberapa jam atau hari tergantung
dari berbagai factor salah satunya adalah permeabilitas kapilari.
 Koloid (terutama albumin) merupakan larutan yang mahal dan ada uji yang
melibatkan 7.000 pasien sakit kritis tidak menunjukan perbedaan yang signifikan pada
mortalitas selama 28 hari antara pasien diresusitasi dengan larutan saline normal atau
albumin 4%. Karena alasan inilah kristaloid harus dipertimbangkan sebagai terapi lini
pertama pada pasien dengan syok hipovolemik.
 Efek samping dari koloid secara umum menambahkan aktivitas farmakologis
(misalnya, kelebihan cairan dan koagulopati dilusi). Albumin dan dekstran dapat
disertai dengan reaksi anafilaktoid atau anafilaksis. Perdarahan dapat terjadi pada
pasien tertentu yang menerima hetastarch dan dekstran.

3.6 Produk Darah

 Keseluruhan darah dapat digunakan untuk kehilangan darah dalam volume besar,
tetapi harus diketahui komponen terapinya dengan kristaloid atau koloid digunakan
untuk meningkatkan plasma.
 Kemasan sel darah merah mengandung hemoglobin yang dapat meningkatkan
kapasitas penghantaran oksigen dari darah lalu meningkatkan penghantaran oksigen
ke jaringan. Fungsi ini tidak diberikan oleh kristaloid atau koloid. Sel darah merah ini
biasanya diindikasikan pada pasien dengan kerusakan lanjutan setelah penggantian
volume atau exsanguination jelas. Produk harus dihangatkan sebelum diberikan,
terutama bila digunakan pada anak-anak.
 Plasma segar beku menggantikan tempat faktor pembekuan darah. Meskipun sering
digunakan produk ini diindikasikan jika ada perdarahan yang sedang berlangsung
pada pasien dengan waktu protrombin (PT) atau waktu tromboplastin parsial
teraktivasi (aPTT) > 1,5 kali waktu normal, beberapa penyakit hati, atau gangguan
perdarahan lainnya.
 Platelet digunakan untuk perdarahan akibat plateletopenia parah (jumlah platelet <
10.000 / mm3) atau pada pasien dengan jumlah platelet cepat turun seperti yang
terlihat pada perdarahan masive (banyak).

30
 Kriopresipitat dan faktor VIII umumnya tidak diindikasikan dalam perdarahan akut
tetapi dapat digunakan sesekali untuk defisiensi spesifik yang telah terbukti.
 Risiko yang disertai dengan infus produk darah termasuk reaksi yang berhubungan
degan transfusi, penularan virus (jarang), hipokalsemia akibat penambahan sitrat,
peningkatan kalium dan fosfor konsentrasi serum dari penggunaan darah yang
disimpan yang telah hemolyzed, peningkatan kekentalan darah dari ketinggian
hematokrit atas normal, dan hipotermia dari kegagalan untuk tepat larutan hangat
sebelum pemberian.Meningkatkan kekentalan darah dari peningkatan hematokrit
supranormal, dan hipotermia dari gagalnya pemanasan larutan sebelum pemberian.

3.7 Terapi Farmakologi

Obat inotropik dan vasopresor biasanya tidak diindikasikan sebagai terapi utama syok
hipovolemik (perkiraan terapi cairan cukup), respon tubuh yang normal akan meningkatkan
curah jantung dan memperkecil saluran pembuluh darah untuk menjaga BP. Meskipun,
sesekali harus insufisiensi sirkulasi telah dihentikan atau ditangani dan cairan telah
dioptimasi, medikasi tetap diperlukan pada penderita dengan tanda dan gejala dari perfusi
jaringan tidak mencukupi. Obat peningkat tekanan darah seperti norepinefrin dan dosis
tinggi dopamin sebaiknya dihindari karena dapat meningkatkan BP pada iskemia jaringan.
Penderita dengan BP yang tidak stabil serta penempatan cairan kembali dan meningkatnya
akumulasi cairan interstitial, obat inotropik seperti dobutamin lebih dipilih jika Bpnya cukup
(SBP ≥ 90 mmHg) karena obat ini tidak menyebabkan vasokonstriksi. Karena tekanan tidak
dapat ditangani oleh inotropik atau inotropik dengan vasodilator tidak dapat digunakan
(terfokus pada tidak sesuainya BP) maka pressor dibutuhkan sebagai pilihan terapi.

 Pilihan vasopresor atau obat inotropik pada syok septik sebaiknya dibuat berdasarkan
kebutuhan penderitanya. Prosedur penggunaan obat ini dalam septik syok ditunjukkan
Gambar 2. Pendekatan secara tradisional dimulai dengan dopamin, kemudian
norepinefrin; penambahan dobutamin untuk curah jantung yang lemah, dan
epinefrin, serta fenilefrin digunakan jika dibutuhkan. Meskipun observasi saat ini
memberikan hasil yang lebih baik dengan norepinefrin dan penurunan perfusi secara
regional dengan dopamin masih dipertanyakan kembali dopamin sebagai obat tahap
pertama.
 Selektivitas reseptor dari vasopresor dan inotrop diberikan pada Tabel 2. Secara
umum obat ini bereaksi cepat dengan durasi yang pendek dan diberikan sebagai infus

31
yang berkelanjutan. Vasokonstriksi yang poten seperti norepinefrin dan fenilefrin
sebaiknya diberikan melalui vena utama karena kemungkinan ekstravasasi dan
kerusakan jaringan melalui pemberian perifer. Pengawasan seksama dan kalkulasi laju
infus disarankan karena perubahan dosis sering terjadi dan variasi konsentrasi
digunakan pada penderita dengan volum yang terbatas.

Septik syok dengan hipotensi

Pemberian cairan

Hipotensi

Kardiak output tidak Kardiak output


memadai memadai

Dopamin Norepinefrin atau fenilefrin


*Pertimbangkan epinefrin jika pasien *Jika disritmia muncul dengan
tidak memiliki sejarah gangguan dopamin atau norepinefrin, fenilefrin
jantung dan/atau masih muda mungkin pilihan yang lebih baik

Jika kardiak output masih


tidak memadai

Dobutamin
(boleh dinaikan sampai dosis vasopresor
jika TD turun ketika dobutamin
ditambahkan)

Jika hipotensi refraktori pada


vasopresor dan inotropik

Pertimbangkan dosis rendah kortikosteroid jika


terdapat absolut atau relatif insufisiensi adrenal
(hidrokortison 300 mg IV/24 jam infus)

Jika hipotensi refraktori pada vasopresor


katekolamin +/- kortikosteroid, pertimbangkan
infus IV vasopresi 0,01 – 0,04
32
Gambar 14.2. Pendekatan prosedur terhadap penggunaan vasopresor dan inotropik pada
septik syok. Pendekatan direncanakan untuk digunakan kombinasi disertai keputusan klinis,
pengawasan parameter hemodinamik, dan terapi akhir.

 Dopamin sering digunakan sebagai vasopresor utama pada septik syok karena obat
ini meningkatkan BP melalui peningkatan kontraktilitas miokardial dan
vasokonstriksi. Walaupun dopamin telah dilaporkan memiliki hubungan antara dosis
dengan aktivitas reseptor dopamin (Da r), β1, dan reseptor α1, hubungan respon dosis
tidak dapat dipastikan pada penderita sakit kritis. Penderita septik syok terjadi
tumpang tindih efek hemodinamik dengan dosis rendah 3 mcg/kg/menit. Dosis 5
sampai 10 mcg/kg/menit diutamakan untuk memperbaiki tekanan arteri rata-rata
(MAP). Pada septik syok, dosis ini meningkatkan Cl dengan cara memperbaiki
kontraktilitas ventrikular, denyut jantung, tekanan arteri, dan resistensi vaskular
sistemik. Penggunaan klinis dari dopamin pada septik syok dibatasi karena dosis besar
diperlukan untuk menjaga CO dan BP. Pada dosis diatas 20 mcg/kg/menit pada
kinerja jantung yang terbatas dan hemodinamik regional. Penggunaan dopamin juga
umum digunakan untuk takikardia dan takidisritmia. Efek samping lain yang
diwaspadai adalah pada penggunaan septik syok termasuk diantaranya yaitu,
peningkatan PAOP, penekanan pulmonari, dan penurunan Pao2. Dopamin sebaiknya
digunakan dengan perhatian pada penderita yang preloadnya tinggi, hal ini akan
memperburuk edema pulmonar. Dosis rendah dopamin (1 sampai 3 mcg/kg/menit)
kadang kala digunakan bagi penderita dengan septik syok yang mendapatkan
vasopresor dengan atau tanpa oliguria. Tujuan terapi ini adalah untuk mencegah atau
vasokonstriksi ginjal kembali yang disebabkan oleh presor lainnya, mencegah gagal
ginjal oliguria, atau untuk merubah menjadi gagal ginjal non-oliguria. Dopamin sering
ditambahkan dalam dosis rendah pada vasopresor lain atau inotrop (contoh,
norepinefrin). Pada umumnya dosis dopamin tidak efektif atau tidak menoleransi
sehingga perlu penambahan obat lain. Pada bagian ini dopamin ditambahkan pada
dosis kecilnya. Ada indikasi yang mendukung penggunaan dosis kecil dopamin dalam
menjaga fungsi ginjal pada oliguria, dengan atau tanpa septik syok, atau dalam
terjadinya vasokonstriksi kembali yang diinduksi vasopresor pada septik syok.
 Dobutamin merupakan selektif β1 agonis dengan β2 menengah dan aktivitas vaskular
α1, hasilnya aktivitas kuat inotropik positif tanpa ada hubungannya dengan
33
vasokonstriksi. Dobutamin menyebabkan peningkatan yang besar dalam CO dan
kurang disritmogenik dibandingkan dopamin. Secara klinis, meningkatnya
kontraktilitas miokardial dan diikuti oleh reduksi refleks tonus simpatetik mengarah
kepada menurunnya resistensi vaskular (SVR). Meskipun dobutamin optimal
digunakan untuk menurunkan CO dengan tekanan pengisian yang tinggi atau syok
kardiogenik, vasopresor diperlukan untuk melawan vasodilatasi arteri. Penambahan
dobutamin (dengan laju konstan 5 mcg/kg/menit) ke regimen epinefrin dapat
meningkatkan perfusi mukosal yang terukur oleh pHi dan konsentrasi laktat arteri.
Dobutamin sebaiknya dimulai dengan rentang dosis 2,5 sampai 5 mcg/kg/menit.
Dosis diatas 5 mcg/kg/menit memberikan keuntungan efek yang terbatas dalam nilai
transport oksigen dan hemodinamik serta dapat meningkatkan efek samping jantung.
Laju infus diberikan dengan acuan poin akhir klinis. Penurunan Pao 2 dan peningkatan
Pvo2 sebagai efek samping miokardial seperti takikardi, perubahan iskemia di ECG,
takidisritmia, dan hipotensi juga terlihat.

Tabel 14.2. Farmakologi Reseptor dari Inotropik yang terpilih dan Obat vasopresor yang
Digunakan untuk Septik syok.

Agen α1 α2 β1 β2 DA
Dobutamin (500 mg/250 ml D5W atau NS)
2-10 mcg/kg/menit + 0 ++++ ++ 0
>10-20 mcg/kg/menit ++ 0 ++++ +++ 0
Dopamin (800 mg/250 ml D5W atau NS)
1-3 mcg/kg/menit 0 0 ++++
3-10 mcg/kg/menit 0/+ 0 ++++ ++ ++++
>10-20 mcg/kg/menit +++ 0 ++++ 0
Epinefrin (2 mg/250 ml D5W atau NS)
0,01-0,05 mcg/kg/menit ++ ++ ++++ +++ 0
>0,05 mcg/kg/menit ++++ ++++ +++ 0
Norepinefrin (4 mg/250 ml D5W atau NS)
0,02-3 mcg/kg/menit (2-20 mcg/menit) +++ +++ +++ +/+ + 0
Fenilefrin (50 mg/250 ml D5W atau NS
0,5-9 mcg/kg/menit +++ + ? 0 0
Ket : Aktivitas diukur dari tidak ada aktivitas (0) sampai aktivitas maksimal ( + + + + ) atau ?
jika aktivitas tidak diketahui, DA : dopaminergik.

34
 Norepinefrin dikombinasikan dengan agonis α dan β tapi menyebabkan
vasokontraksi primer kemudian meningkatkan SVR. Umumnya hal ini tidak
menunjukan perubahan atau menunjukan perubahan atau sedikit menurunkan CO.
norepinefrin diinisiasi setelah dosis vasopressor dari dopamine (4 sampai
20/mcg/kg/menit), tunggal atau dikombinasikan dengan dobutamin (2 sampai 40
mcg/kg/menit), gagal mendapatkan tujuan yang diharapkan. Dosis dopamine dan
dobutamin dijaga agar tetap konstan atau dihentikan semuanya, misalnya dobutamin
dijaga dalam dosis kecilnya untuk kepentingan proteksi ginjal. Noreponefrin 0,01
sampai 2 mcg/kg/menit, dengan kosisten dan dipastikan meningkatkan parameter
hemodinamin dari normal atau supranormal pada penderita septic syok. Beberapa
data menyarankan norepinefrin sebaiknya digunakan sebagai pilihan vasopressor
untuk septic syok.
 Fenilefrin merupakan obat yang agonis α1 asli dan dapat meningkatkan BP melalui
vasokonstriksi. Obat ini juga meningkatkan kontraktilitas dan CO. fenilefrin
menguntungkan dalam penggunaan untuk septic syok karena sifat selektif agonis α 1 ,
efek vascular, onset cepat, dan durasi yang pendek. Fenilefrin sebaiknya diberikan
saat vasokonstriksi asli diharapkan pada penderita yang tidak dapat mendapatkan atau
menolerir efek β dari dopamine atau norepinefrin dengan atau tanpa dobutamin.
Obat ini dimulai pada dosis 0,5 mcg/kg/menit dan ditambahkan dengan cepat untuk
memperoleh hasil yang diharapkan. Efek samping takikardia jarang terjadi pada
penggunaan tunggal atau dosis tinggi.
 Epinefrin dikombinasikan dengan efek agonis α dan β dan secara tradisional
digunakan sebagai vasopressor dari pilihan terakhir karena adanya laporan
vasokonstriksi perifer khususnya pada bagian splanchnic, dan pembuluh darah renal.
Pada laju infus yang tinggi saat digunakan untuk septic syok, efek α adrenergic sangat
dominan, dan SVR dan MAP meningkat. Hal ini dapat diterima sabagai obat tunggal
untuk septic syok karena dikombinasi untuk vasokonstriktor dan efek intropik.
Epinefrin sangat berguna saat digunakan sejak awal untuk septic syok pada penderita
yang masih muda dan tidak adanya keabnormalan jantung. Laju infus 0,04 sampai 1
mcg/kg/menit dapat meningkatkan hemodinamik dan variable transport oksigen
menjadi tingkat supranormal dengan efeksamping pada penderita yang tidak
mengalami jantung coroner. Dosis besar (0,05 sampai 1 mcg/kg/menit) dapat diterima
saat epinefrin ditambah dengan obat lain. Dosis yang lebih kecil (0,1 sampai 0,5

35
mcg/kg/menit) efektif jika infus dobutamin dopamine konstan. Walaupun Do 2
meningkat sebagai fungsi dari peningkatan yang konsisten dari CI (variable lain yang
dapat meningkatkan SVR), Vo2tidak meningkat dan O2ER turun. Konsentrasi laktat
meningkat selama beberapa jam pertama dari terapi epinefrin tetapi terjadi
normalisasi sebagai bentuk pertahanan setelah 24 jam. Perhatian diobat harus diikuti
sebelumpertimbangan pemakaian epinefrin untuk menjaga hipoperfusi pada penderita
hipodinamik disertai penyakit arteri coroner. Hal tersebut dilakukan untuk
menghindari iskemia, nyeri dada, dan infrak miokardial.

3.8 Evaluasi Hasil Terapi

1. Pengawasan utama bagi penderita yang tidak terbukti mengalami depresi volum
sebaiknya terdiri dari tanda penting, keluaran urin, status mental, dan tes fisik.
2. Penetapan tahap CVP memberikan estimasi yang berguna (walaupun secara tidak
langsung dan tidak sensitive) dalam hubungan antara tekanan atrium kanan dan curah
jantung.
3. Indikasi untuk kateterisasi arteri pulmonary masih kontroversial. Hal ini karena adanya
kekurangan dari data yang dihasilkan yang berhubungan dengan prosedur kateter ini.
Digunakan untuk menjelaskan kasus rumit dari syok tidak berhubungan dengan cairan
konvensional dan terapi medikasi. Komplikasi yang terkait dengan insersi, penanganan,
dan perubahan kateter adalah kerusakan pembuluh dan organ selama insersi, aritmia,
infeksi, dan kerusaskan tromboembolik.
4. Uji laboratorium mengindikasikan pengawasan berkelanjutan syok termasuk
diantaranya yaitu elektrolit dan uji fungsi ginjal (BUN, serum, keratinin); perhitungan
darah lengkap untuk melihat kemungkinan infeksi, kapasitas darah dalam
menghantarkan oksigen, dan pendarahan yang terus menerus; PT dan aPTT untuk
melihat kemampuan pembekuan; dan konsentrasi laktat serta deficit basa untuk
mendeteksi perfusi jaringan yang tidak mencukupi.
5. Parameter kardiovaskular dan respiratori sebaiknya diawasi terus-menerus (lihat tabel
1). Saat ini, sebelum CVP spesifik atau angka PAOP sebaiknya diawasi karena diantara
penderita memberikan responj yang berbeda.
6. Resusitasi yang berhasil meningkatkan SBP (diatas 90 mmHg), CI (diatas 2,2
L/menit/m3), dan keluaran urin (0,5 sampai 1) sedangkan SVR menurun ke kisaran
normal (900 sampai 1200 dyne/detik/cm5). MAP lebih besar dari 60 mmHg harus
dapat dicapai untukmendapatkan cerebral yang sesuai dan tekanan perfusi coroner.
36
7. Volum intravaskuer yang berlebihan dikarakterisasi melalui tekanan pengisian yang
tinggi (CVP lebih dari 12 sampai 15 mmHg, PAOP diatas 20 sampai 24mmHg) dan
penurunan CO (kurang dari 3,5 L/menit) jika terjadi kelebihan volum, furosemide 20
sampai 40 mg sebaiknya diberikan melalui iv lambat untuk menghasilkan diuresis yang
cepat dari volum intravascular dan unload jantung melalui dilatasi vena.
8. Masalah koagulasi berhubungan dengan rendahnya kadar factor pembekuan yang
terdapat didalam darah sebagai dilusi factor pembekuan endogen dan platelet diikuti
dengan pemberian darah akibat panel koagulasi (PT, INR, aPTT) sebaiknya diperiksa
pada penderita yang mengalami pergantian 50 sampai 100% volum darah selama 12
sampai 24 jam.

37
BAB IV
KESIMPULAN

1. Syok bukanlah merupakan suatu diagnosis. Syok merupakan


sindrom klinis yang kompleks yang mencakup sekelompok
keadaan dengan manifestasi hemodinamik yang bervariasi tetapi
petunjuk yang umum adalah tidak memadainya perfusi jaringan.
2. Ada 5 jenis syok :
 Syok kardiogenik (berhubungan dengan kelainan jantung)
 Syok hipovolemik (akibat kehilangan cairan/darah)
 Syok anafilaktik (akibat reaksi alergi)
 Syok septik (berhubungan dengan infeksi)
 Syok neurogenik (akibat kerusakan pada sistem saraf).
3. Terapi Syok dapat dilakukan yaitu :
 Dengan Resusitasi Cairan
misalnya dengan kristaloid isotonic (0,9% natrium
klorida atau cairan Ringer laktat), koloid (5% plasmanat atau
albumin, 6% hetastarch)
 Dengan Pemberian Obat Inotropik atau Vasopresor Aktif
misalnya dopamin, dobutamin, epinefrin, norepinefrin, dan
fenilefrin

4. Kematian batang otak didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi otak,


termasuk fungsi batang otak, secara ireversibel. Tiga tanda utama manifestasi
kematian batang otak adalah koma dalam, hilangnya seluruh refleks batang otak,
dan apnea.
Menurut kriteria Komite Ad Hoc Harvard tahun 1968, kematian otak didefinisikan
oleh beberapa hal. Yang pertama, adanya otak yang tidak berfungsi lagi secara
permanen, yang ditentukan dengan tidak adanya resepsi dan respon terhadap rangsang,
tidak adanya pergerakan napas, dan tidak adanya refleks-refleks, yakni respon pupil
terhadap cahaya terang, pergerakan okuler pada uji penggelengan kepala dan uji kalori,
refleks berkedip, aktivitas postural (misalnya deserebrasi), refleks menelan, menguap,
dan bersuara, refleks kornea, refleks faring, refleks tendon dalam, dan respon terhadap

38
rangsang plantar. Yang kedua adalah data konfirmasi yakni eeg yang iselektris.kedua tes
tersebut dilakukan ulang 24 jam setelah tes pertama, tanpa adanya hipotermia (suhu
kurang dari 32,2o c) atau depresan sistem saraf pusat seperti barbiturat.penentuan
tersebut harus dilakukan oleh seorang dokter. (Mernoff, 2009)

A. Saran
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan diatas maka kita sebagai praktisi klinis
diharapkan dapat memahami keadaan mati batang otak dan dapat menegakkan diagnosis
mati batang otak secara tepat sehingga diharapkan nantinya bila kita menemukan kasus
ini kita dapat memberikan penanganan yang tepat kepada penderita.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Hayes, Peter C., Mackay, Thomas W., alih bahasa, Devy H. Ronardy, 1997, “Buku
Saku Diagnosis dan Terapi”, Jakarta : EGC
2. Franklin C M, Darovic G O, Dan B B. Monitoring the Patient in Shock. Dalam buku:
Darovic G O, ed, Hemodynamic Monitoring: Invasive and Noninvasive Clinical Application. USA :
EB. Saunders Co. 1995 ; 441 –499.
3. Robbins, dkk. (2007).”Buku ajar patologi” Vol.1, 7th edition. Hal.111
4. Black, Joyce M.,et al. 2014. Keperawatan Medikal Bedah Manajemen Klinis Untuk Hasil
Yang Diharapkan Edisi Bahasa Indonesia Edisi 8 Buku 2. St. Louis : Elsevier
5. Kathryn L. McCance, et al. 2010. Pathophysiology: Biologic Basis for Disease in Adults and
Children. Missouri: Mosby Elsevier.
6. Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. Neurologi klinis dasar. Jakarta Dian Rakyat.2011. Hal.280
7. Wilson LM. Sistem saraf dalam Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit, Edisi 2.
Jakarta. EGC.2009. Hal.902.

40

Anda mungkin juga menyukai