Anda di halaman 1dari 6

TUGAS BUKU AJAR ”PSIKOLOGI DALAM PRAKTIK KEBIDANAN’’

DOSEN PEMBIMBING : TAUFIANIE ROSSITA,SST.,M.K.M


NAMA : JULIANIKE IRMANDA
PRODI : S1 KEBIDANAN
JUDUL : HAL-HAL YANG BERESIKO MEMPENGARUHI
KESEHATAN MENTAL KEKERASAN TERHADAP
PEREMPUAN ,PENGAWASAN TERHADAP PEREMPUAN PENYALAGUNAAN
OBAT,DAN KELEMAHAN-KELEMAHAN KABAR DUKA.

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS DEHASEN BENGKULU TAHUN AJARAN 2022 / 2023
PEMBAHASAN

,Penyalahgunaan obat adalah suatu penggunaan obat yang dapat menimbulkan keadaan yang tak


terkuasai oleh individu dan dilakukan di luar pengawasan medis, atau yang dapat menimbulkan
keadaan yang membahayakan/ mengancam masyarakat, penyalahgunaan obat, dan dapat
menimbulkan keadaan yang membahayakan/mengancam masyarakat. Penelitian potong lintang ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat dan faktor risiko penyalahgunaan obat di kalangan siswa Sekolah
Menengah Umum (SMU). Responden meliputi 210 siswa dari 7 SMU yang ada di kota Pekanbaru.
Drug Abuse Screening Test (DAST-10) digunakan Untuk mengukur tingkat penyalahgunaan obat dan
faktor-faktor risiko diperoleh melalui kuesioner yang diisi sendiri oleh responden. Penelitian
menunjukkan bahwa 67.2 %r responden tidak bermasalah dalam penyalahgunaan obat. Terdapat
hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, tempat tinggal dengan orang tua, prestasi akademik,
mempunyai teman yang merokok dan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler dengan tingkat
penyalahgunaan obat. Dari analisis regresi logistik didapatkan bahwa faktor tempat tinggal (OR =
3.969, p = 0.002), mengikuti kegiatan ekstrakuriler (OR = 0.316, p = 0.001) dan kebiasaan merokok
(OR= 0.227, p = 0.001) merupakan faktor risiko terhadap penyalahgunaan obat. Dari penelitan ini
DAST-10 dapat digunakan sebagai alat penyaring sebagai salah satu upaya preventif untuk
mendeteksi secara dini penyalahgunaan obat, Penyalahgunaan obat adalah suatu penggunaan
obat yang dapat menimbulkan keadaan yang tak terkuasai oleh individu dan dilakukan di luar
pengawasan medis, atau yang dapat menimbulkan keadaan yang membahayakan/
mengancam masyarakat.1 Masalah penyalahgunaan obat (terutama narkotika, psikotropika
dan zat adiktif lainnya) merupakan masalah yang sangat kompleks dan memerlukan upaya
penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerjasama multidisipliner,
multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara
berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.2 Di Amerika Serikat, masalah penyalahgunaan
obat menduduki peringkat pertama yang menyebabkan terjadinya penyakit yang dapat
dicegah (preventable illness) dan kematian. Setiap tahunnya, lebih dari 500.000 kematian
atau 1 dari 4 kematian berhubungan dengan penyalahgunaan obat dalam jangka waktu 15
tahun terakhir (1992-2007).3 Remaja merupakan kelompok risiko tinggi terhadap
penyalahgunaan obat. Berdasarkan data Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) di
Jakarta, dalam kurun waktu 4 tahun (1997-2000) kunjungan pasien rawat jalan maupun rawat
inap korban napza cenderung meningkat. Baik pasien rawat jalan maupun rawat inap,
sebagian besar berpendidikan SLTA (38% untuk rawat jalan dan 42,5% untuk rawat inap).
Secara keseluruhan, pasien yang berobat sebagian besar (78,1%) berusia 15 - 24 tahun.4
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat dan faktor risiko penyalahgunaan obat di
kalangan siswa Sekolah Menengah Umum (SMU), Efek tersebut dapat berupa tanda kekerasan
yang dapat terlihat secara fisik, atau efek kekerasan bersifat emosional yang tidak terlihat.Kebanyakan
korban kekerasan harus bergulat dengan efek kesehatan emosional dan mental efek kekerasan pada
perempuan yang berdampak pada kesehatan mentaI.

Kekerasan fisik merupakan kekerasan yang efeknya dapat terlihat,Ini dapat berupa kekerasan untuk
mempermalukan, mengendalikan, atau memaksa korban untuk bertindak dengan cara tertentu.,Bentuk
dari kekerasan fisik yakni tercekik, menampar, bersanding, dan melempar benda.Efeknya yakni tubuh
akan mengalami berbagai luka.Parahnya, kejahatan terhadap perempuan secara fisik dapat
menyebabkan masalah kesehatan kronis seperti sakit punggung dan sakit kepala, hingga masalah
kesehatan mental post-traumatic stress disorder (PTSD), stres, dan gangguan, kekerasan terhadap
perempuan semakin meningkat. Meskipun legislasi yang berkaitan dengan hal ini sudah diluncurkan
bertahun-tahun yang lalu akan tetapi sampai saat ini keberadaannya belum mampu menekan tingginya
angka kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan termasuk dalam kerangka
kekerasan berbasis gender dan kekerasan domestik. Kekerasan ini sering mengakibatkan kerugian
secara fisik, seksual, dan psikologis terhadap perempuan yang mengalaminya dan  kekerasan ini
termasuk tindakan, paksaan atau pengekangan sewenang-wenang terhadap kebebasan perempuan
yang dapat terjadi di ranah publik maupun privat. Kekerasan yang dilakukan pun tidak hanya sebatas
kekerasan fisik tetapi juga meliputi kekerasan seksual, finansial,  dan emosional.
Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007 perempuan lebih rentan menderita gangguan
jiwa ringan dibandingkan laki-laki. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti siklus hormonal,
persalinan, menopause, dan kondisi sosial yang kerap menempatkan perempuan pada posisi yang
merugikannya. Kekerasan terhadap perempuan baik yang dilakukan oleh orang yang dikenalnya
(seperti suami ataupun pacar) maupun orang  asing akan semakin meningkatkan risiko perempuan
untuk terkena gangguan jiwa seperti stress,depresi, kecemasan yang berlebihan, dan juga fobia.
Bahkan pada kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hal ini akan menimbulkan trauma
kejiwaan berkepanjangan atau yang lebih dikenal sebagai gangguan stress paska trauma.
Dampaknya pun acap kali tidak hanya berhenti pada perempuan tersebut saja, tetapi juga berdampak
pula pada orang-orang di sekelilingnya termasuk anak-anaknya. Menurut sebuah penelitian, seorang
ibu yang mengalami KDRT akan cenderung untuk melakukan kekerasan pada anak-anaknya di rumah
dan cenderung untuk menelantarkan anak-anaknya. Dalam hal ini, anak-anak dijadikan sebagai
pelampiasan beban psikologis ibu mereka.
Namun hal yang patut disayangkan pula adalah seringkali perempuan enggan melaporkan kekerasan
yang  dialaminya dan hal ini berdampak pada lambatnya upaya konseling dan pertolongan psikiatri
terhadap gangguan kejiwaan yang akan timbul. Mereka pun cenderung membiarkan kekerasan
berulang kali terjadi dalam kehidupannya. Semua ini terjadi karena beberapa faktor seperti merasa
takut dan malu pada pandangan negatif dari orang-orang disekitarnya, adanya ketergantungan secara
ekonomi dengan pasangan hidupnya, merasa pesimis dengan proses hukum yang berbelit,takut akan
adanya balas dendam dari orang yang melakukan kekerasan,dan sering tidak ada saksi yang
menyaksikan kekerasan tersebut sehingga perempuan akan sangat mudah dituduh untuk memberikan
pengakuan palsu. Semua ini mendorong perempuan untuk tetap diam dan cenderung memilih untuk
tidak menuntut orang yang melakukan kekerasan secara hukum.
Jika hal ini terus dibiarkan, maka kemungkinan besar akan timbul dampak buruk seperti bunuh diri
oleh perempuan yang merasa bersalah karena terus dilecehkan maupun pembunuhan oleh pelaku
kekerasan terhadap perempuan. Seringkali kita mendengar dan membaca berita bahwa ada banyak
perempuan yang dibunuh oleh suami atau pacarnya sendiri bahkan jika  ketika mereka sudah berpisah
dan hal ini dibenarkan oleh sebuah studi yang mengatakan bahwa kasus pembunuhan terhadap
perempuan lebih sering dilakukan oleh orang-orang terdekatnya dibandingkan dengan orang asing.
Oleh karena itu, alangkah baiknya jika perempuan yang mengalami kekerasan segera melapor kepada
pihak yang berwajib dan segera mencari pertolongan medis serta kejiwaan agar trauma yang terjadi
segera terobati. Sudah bukan saatnya lagi menganggap kekerasan terhadap perempuan  berada pada
ranah privat yang kebal terhadap hukum, negara harus bertanggung jawab dalam melindungi hak-hak
perempuan, Pasal 28 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada prinsipnya mengatakan bahwa merupakan
hak setiap warga negara untuk mendapatkan perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda, hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia. Setelah 20 tahun lebih reformasi bergulir,
gerakan perempuan untuk mengintegrasikan hak-hak perempuan di ranah privat maupun publik terus
dikobarkan dalam rangka peningkatan mutu dan kualitas perempuan, maupun peningkatan harkat dan
martabat manusia pada umumnya, karena perjuangan terhadap hak-hak perempuan haruslah dimaknai
sebagai gerakan perjuangan hak masyarakat pada umumnya.
Menyikapi perjuangan hak perempuan, bukan hanya dorongan agar perempuan aktif memperjuangkan
haknya, tetapi terdapat kewajiban yang harus diberikan negara agar hak-hak perempuan tersebut dapat
diperoleh. Bentuk akomodasi dan kewajiban negara melindungi dan memberikan hak perempuan
merupakan bagian dari Pelayanan publik yang harus dilakukan instansi Penyelenggara Negara.
Permasalahan perempuan tidak pernah habisnya menjadi perhatian publik, karena kaum perempuan sangat
rentan terhadap tindakan kekerasan, pelecehan dan juga kurangnya penghargaaan kepada kaum
perempuan, terbukti data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA)
yang menunjukkan, bahwa perempuan Indonesia masih menghadapi permasalahan klasik seperti
pendidikan rendah, kekerasan rumah tangga dan kurangnya akses pemberdayaan ekonomi.
Pelayanan publik secara umum diamanatkan oleh UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
yang mengamanatkan organisasi penyelenggara termasuk yang berkewajiban menyelenggarakan pelayanan
publik untuk perempuan agar dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum. Selanjutnya
dijelaskan pula dalam Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan
Pelayanan Publik yang mengamanatkan bahwa masyarakat berhak menyampaikan pengaduan kepada
penyelenggara Negara layanan secara cepat, tepat, tertib, tuntas, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Permasalahan perempuan setidaknya dipengaruhi beberapa faktor seperti kemiskinan, kesenjangan,
persepsi yang salah tentang perempuan termasuk kekerasan, dan juga akses untuk memperoleh ekonomi
yang memadai. Perempuan juga sering dirugikan, terutama dalam masalah keperdataan yang menyebabkan
tidak memperoleh hak yang sama dengan laki-laki, bahkan dirampas hak keperdataannya, seperti kasus
perebutan harta, tuntutan ganti rugi dan kasus-kasus kepegawaian dan ketenagakerjaan yang belum
seimbang dengan laki-laki, sehingga pelayanan publik untuk perempuan bukan hanya dorongan kepada
kaum perempuan tetapi juga pemahaman yang baik oleh laki-laki untuk memberikan akses, akomodasi dan
penghargaan secara berimbang.
Sampai saat ini, permasalahan perempuan di Indonesia terus ada dan dengan jenis tindakan yang juga
beragam, terlihat dari catatan Tahunan Komnas Perempuan, yang menyatakan terdapat 406.178 kasus
kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2018, yang berarti naik dari
tahun 2017 sebanyak 348.466 kasus. Kategori kekerasan di ranah publik mencapai angka 3.915 kasus,
dimana kekerasan seksual menempati peringkat pertama yaitu sebanyak 2.521 kasus, diikuti kekerasan
fisik 883 kasus, kekerasan psikis 212 kasus dan kategori khusus yakni trafficking 158 kasus, sementara
kasus kekerasan seksual pada pekerja migrant 141 kasus. Penyelesaian permasalahan ini memerlukan
perjuangan dan juga pengawasan dari Pemerintah, sehingga permasalahan tersebut dapat terurai dan
menemukan solusi yang memadai. Untuk itu, pengawasan terhadap tindakan kementerian terkait dan
instansi yang berwenang lainnya perlu pengawasan agar berjalan sesuai dengan harapan masyarakat.
Pengawasan Ombudsman
Ombudsman RI sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan
pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang
diselenggarakan oleh BUMN, BUMD, dan BHMN serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas
menyelenggarakan pelayanan publik tertentu juga memiliki tugas pengawasan terhadap penyelenggaraan
pelayanan publik bagi perempuan yang diselenggarakan oleh instansi negara/Pemerintah, seperti
pengawasan kepada KPPPA, Kementerian Sosial, Pemerintah Daerah dan lembaga negara lainnya yang
bertugas memberikan pelayanan publik bagi perempuan.
Adapun bentuk-bentuk pengawasan pelayanan publik yang dapat dilakukan Ombudsman RI untuk
perempuan , dapat dibagi dalam dua pokok:
1.     Penanganan Laporan masyarakat
Ombudsman RI sebagai lembaga negara eksternal pengawas pelayanan publik berwenang menerima dan
menindaklanjuti laporan masyarakat terkait substansi pelayanan publik bagi perempuan. Laporan kepada
Ombudsman akan ditindaklanjuti sesuai ketentuan UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI dan
UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, termasuk Peraturan Ombudsman serta ketentuan
perundang-undangan lainnya sesuai substansi yang dikeluhkan. Oleh karena itu, masyarakat dapat
menyampaikan laporan kepada Ombudsman RI untuk memperoleh pelayanan publik yang lebih baik,
termasuk melaporkan permasalahan yang terkait dengan pemenuhan hak bagi perempuan.
2.     Kajian kegiatan inisiatif
Sesuai ketentuan UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI dan UU Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik, Ombudsman RI juga berwenang melakukan berbagai kajian pelayanan publik di
bidang perempuan, sebagai gambaran kegiatan inisiatif dalam tiga tahun terakhir terkait permasalahan
perempuan, antara lain:
a.       Ombudsman melakukan diskusi dalam "Ombudsman Mendengar" tahun 2016 untuk mengetahui
adanya permasalahan mengenai banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang
cukup banyak, namun tidak dilaporkan secara langsung kepada Ombudsman, sehingga "Ombudsman
mendengar" merupakan inisiatif Ombudsman RI untuk memberikan saran terbuka kepada Kepolisian,
KPPPA, Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan RI, sebagai bentuk pelaksanaan tugas
pengawasan pelayanan publik khususnya Perempuan dan anak, pada intinya meminta agar efektivitas
penanganan permasalahan perempuan dapat dilakukan dan bersinergi antar instansi yang bertugas,
sehingga hasilnya lebih optimal.
b.      Kajian mengenai Potret efektivitas standar Pelayanan minimal (SPM) dalam Penanganan Kasus
Perempuan.
Kajian dilakukan Ombudsman RI guna mengetahui secara mendalam implementasi SPM penanganan
kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, khususnya KDRT di Indonesia, dengan memotret
pelaksanaannya lembaga P2TP2A pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan  PPA Kepolisian serta
melihat gambaran perkara perceraian pada Pengadilan Agama untuk megetahui akibat dari terjadinya
KDRT yang berujung perceraian. Pengamatan dan wawancara dengan petugas dilakukan pada beberapa
tempat, dengan kesimpulan bahwa pada beberapa kota tersebut cukup banyak laporan mengenai
permasalahan kekerasan perempuan kepada P2TP2A dan PPA Kepolisian, termasuk masalah KDRT,
namun proses penanganan yang dilakukan belum memenuhi standar Pelayanan Minimal, antara lain pada
P2TP2A dengan temuan tidak efektifnya standar dan prosedur layanan, banyak petugas yang berfungsi
ganda sebagai PNS dan petugas P2TP2A salah satu penyebab karena P2TP2A tidak ada gaji tetap,
koordinasi antara P2TP2A dengan Unit PPA Kepolisian tidak efektif. Temuan tersebut telah
dikoordinasikan dengan stakeholder pada tahun 2016, yang mana juga dilakukan monitoring tahun 2017
dan saat ini telah dilakukan perbaikan dengan kebijakan KPPPA, khususnya dalam pemenuhan standar
pelayanan publik di Pemerintah Daerah.
Aspek Pengawasan dilakukan dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku, secara internasional dapat
mencermati hak perempuan berdasarkan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (CEDAW), yang ditandatangani pada 1979 dalam konferensi yang diadakan Komisi
Kedudukan Perempuan PBB, beberapa hak dasar perempuan yang harus dipenuhi oleh suatu negara
adalah: 1).Hak dalam Ketenagakerjaan, bahwa Setiap perempuan berhak untuk memiliki kesempatan kerja
yang sama dengan laki-laki. 2). Hak dalam bidang Kesehatan, bahwa Perempuan berhak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai dari kebutuhan khusus, seperti melahirkan, dll. 3). Hak
yang sama dalam Pendidikan, bahwa setiap perempuan berhak untuk mendapatkan kesempatan mengikuti
pendidikan yang tinggi. 4). Hak dalam perkawinan dan keluarga, bahwa Perempuan punya hak untuk
memilih perkawinan (tidak boleh dipaksa). 5). Hak dalam politik, bahwa Setiap perempuan berhak untuk
memilih dan dipilih dalam politik.
Kasus Baiq Nuril yang banyak dibicarakan publik saat ini merupakan contoh betapa perempuan sulit
memperjuangkan haknya, bahkan ketika mengalami pelecehan seksual, dan memiliki hak untuk mengadu
dengan adanya bukti perekaman, tetapi terjerat dengan ketentuan pidana UU ITE.
Diharapkan kedepannya terdapat peningkatan yang terus menerus untuk perbaikan penanganan
permasalahan Perempuan, agar perempuan dapat memperoleh pelayanan publik dalam segala aspek
kehidupan bernegara dan berbangsa, terutama yang terkait hak perempuan, yang merupakan bagian dari
hak asasi manusia dan menjadi hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal
dan langgeng, oleh karena itu harus dipenuhi dan dilindungi oleh negara. Semoga ke depan pemberian
pelayanan publik bagi perempuan terus membaik,

DAFTAR PUSTAKA

http://www.perempuan

http://dediafandi.staff.unri.ac.id
ww;www.rifka-annisa.org

Anda mungkin juga menyukai