Anda di halaman 1dari 13

OLEH:

Nama : Triana Sukawati

NIM : 201000415201091

Kelas : Jambi 2 IKESPNB

Prodi : S.1 Kebidanan

Mata Kuliah : Komunikasi Efektif

Dosen : Mira Susanti

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN FAKULTAS KEBIDANAN

INSTITUT KESEHATAN PRIMA NUSANTARA BUKIT TINGGI

TAHUN 2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Komunikasi adalah proses berbagi makna melalui perilaku verbal dan nonverbal.
Segalaperilaku dapat disebut komunikasi jika melibatkan dua orang atau lebih.frase dua atau lebih
perlu ditekankan ,karena sebagian literatur menyebut istilah komunikasi intrapersonal,yakni
komunikasi diri sendiri. Komunikasi terjadi jika setidaknya suatu sumber membangkitkan respons
padapenerima melalui penyampaian suatu pesan dalam bentuk tanda atau symbol,baik bentuk
verbalatau bentuk non verbal,tanpa harus memastikan terlebih dulu bahwa kedua pihak
yangberkomunikasi punya suatu sistemsimbol yang sama.Komunikasi efektif terjadi apabila
sesuatu(pesan) yang diberitahukan komunikator dapat diterima dengan baik atau sama
olehkomunikan,sehingga tidak terjadi salah persepsi.
Menurut Jalaluddin dalam bukunya Psikologi Komunikasi menyebutkan, komunikasi yang
ditandai dengan adanya pengertian, dapat menimbulkan kesenangan, mempengaruhi sikap,
meningkatkan hubungan sosial yang baik, dan pada akhirnya menimbulkan suatu tidakan.

Komunikasi terapeutik adalah kemampuan atau keterampilan bidan untuk membantu klien
beradaptasi terhadap stres, mengatasi gangguan psikologis dan belajar bagaimana berhubungan
dengan orang lain. Komunikasi dalam profesi kebidanan sangatlah penting sebab tanpa komunikasi
pelayanan kebidanan sulit untuk diaplikasikan (Priyanto, 2009).

Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang direncanakan secara sadar, tujuan dan
kegiatannya difokuskan untuk kesembuhan klien (Ina dan Wahyu, 2010). Komunikasi terapeutik
bertujuan untuk mengembangkan segala yang ada dalam fikiran dan diri pasien ke arah yang lebih
positif yang nantinya akan dapat mengurangi beban perasaan pasien dalam menghadapi maupun
mengambil tindakan tentang kesehatannya. Tujuan lain dari komunikasi terapeutik menurut Suryani
(2015) adalah: 1) Realisasi diri, penerimaan diri dan peningkatan penghormatan terhadap diri; 2)
Kemampuan membina hubungan interpersonal yang tidak superfisial dan saling bergantung dengan
orang lain; 3) Meningkatkan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan pasien serta
mencapai tujuan yang realistik; 4) Menjaga harga diri; 5) Hubungan saling percaya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara menghormati dalam berkomunikasi?
2. Bagaimana cara menghargai dalam berkomunikasi?
3. Bagaimana cara berempati dalam berkomunikasi?
4. Bagaimana tantangan dalam berkomunikasi?
5. Apa saja hambatan dalam berkomunikasi?
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Psikologi Komunikasi


2.1.1 Definisi
Pengertian Psikologi Komunikasi Psikologi berasal dari perkataan Yunani
“psyche” yang artinya jiwa, dan “logos” yang artinya ilmu pengetahuan.
Komunikasi adalah suatu proses memberikan signal menurut aturan tertentu,
sehingga dengan cara ini suatu sistem dapat didirikan, dipelihara, dan diubah.
Pada definisi ini komunikasi juga dipandang sebagai proses. Kata signal
maksudnya adalah signal yang berupa verbal dan nonverbal yang mempunyai
aturan tertentu.

2.1.2 Menghargai dalam Berkomunikasi


Cara berkomunikasi yang baik merupakan gabungan dari mendengarkan
dan menanggapi, tetapi pada kenyataannya masing-masing pihak seringkali
kurang melatih kemampuan untuk mendengarkan, bahkan terkadang melamun
saat seseorang sedang berbicara. Mendengarkan lawan bicara berarti benar-benar
fokus pada apa yang dibicarakan dan tidak memikirkan hal-hal lainnya. Saat
lawan bicara sedang mengutarakan pemikirannya, kita harus membiasakan untuk
tidak memotongnya tetapi diam dan dengarkan kalimat yang diucapkan. Hal ini
bukan hanya membuat kita bisa berkonsentrasi mendengarkan apa yang
dikatakan oleh lawan bicara, tetapi juga membuatnya merasa dihargai.
Komunikasi interpersonal : Penyampaian pesan dari seseorang kepada
orang lain, bersifat dua arah, secara verbal maupun non verbal. Misalnya :
komunikasi antara bidan dengan klien. Komunikasi intrapersonal yang baik
memberikan dasar bagi komunikasi interpersonal yang baik. Salah satu output
dari komunikasi intrapersonal adalah kepercayaan diri dan keberanian untuk
berkomunikasi. Bersamaan dengan itu, diperlukan kemampuan mendengar yang
baik, sehingga tercipta komunikasi dua arah yang baik pula.
Klien sangat merasa dihargai oleh bidan yang mendengar mereka dengan
positif dan penuh empati. Mendengar adalah keterampilan komunikasi yang
paling banyak dibanding dengan keterampilan komunikasi yang lain. Penelitian
Barker (1980) menunjukkan bahwa: 53 % komponen komunikasi adalah
mendengar, 17 % membaca, 16 % berbicara, 14 % menulis.

2.1.3 Menghormati dalam berkomunikasi


Rapport Building atau membangun kedekatan adalah hal mendasar dalam
hubungan bidan dengan klien. Hubungan yang baik dibangun dari kesan pertama.
Kesan pertama turut menentukan tingkat kepercayaan klien terhadap bidan yang
menanganinya. Salah satu hal yang dilihat klien dari diri tenaga kesehatan yang
menanganinya adalah penampilan. Penampilan merupakan salah satu bentuk
komunikasi non verbal yang memiliki pengaruh besar terhadap persepsi
seseorang terhadap lawan bicara. Hal ini juga mendasari adanya sikap saling
menghormati dalam komunikasi bidan dan klien.

2.1.4 Empati dalam berkomunikasi


Mendengar aktif adalah sebuah bentuk dari sikap empati. Komunikasi
antara bidan dan klien dapat berjalan efektif jika bidan dapat memberikan
sikap/respon empati kepada klien yang dihadapi. Empati adalah kemampuan
bidan untuk menempatkan diri pada situasi atau kondisi yang dialami klien
sehingga bidan tanpa harus larut dalam suasana hati klien. Empati merupakan
tingkatan tertinggi dari proses rapport (jalinan hubungan) antara seorang bidan
dengan kliennya. Respon empati dapat dilakukan melalui mendengar empati dan
berbicara empati kepada klien. Mirip dengan mendengar, empati juga memiliki
beberapa tahapan yang akan dijelaskan dalam kuliah. Byloun and Makoul (2002)
dimana terdapat 6 level empati yaitu :
1. Level 0 : Bidan menolak sudut pandang pasien
2. Level 1 : Bidan mengenali sudut pandang pasien secara sambil lalu
3. Level 2 : Bidan mengenali sudut pandang pasien secara implisit
4. Level 3 : Bidan menghargai pendapat pasien
5. Level 4 : Bidan mengkonfirmasi kepada pasien
6. Level 5 : Bidan berbagi perasaan dan pengalaman

Fieldman dan Christensen (2008) memberikan 5 keterampilan empatik


yang mudah dipahami dan dipraktekkan :

a. Reflection : “Ibu tampak sedih”


b. Validation : “Saya mengerti bapak marah dengan kondisi ini”
c. Support :”Bapak telah melakukan hal yang baik dalam mengatasi
kesedihan bapak”
d. Partnership : “Kita dapat bekerjasama untuk membuat ibu merasa lebih
baik”
e. Respect :”Anda telah melakukan perbuatan yang penuh kebaikan
kepada pesaing anda.

2.1.5 Tantangan Komunikasi dalam Keadaan Spesifik


1. Tantangan Komunikasi dalam Keadaan Berduka dan Kehilangan
Kehilangan adalah suatu situasi aktual maupun potensial yang dapat
dialami individu ketika terjadi perubahan dalam hidup atau berpisah dengan
sesuatu yang sebelumnya ada, baik sebagian atau keseluruhan. Dukacita
adalah proses dimana seseorang mengalami respon psikologis, sosial dan
fisik terhadap kehilangan yang dipersepsikan. Proses dukacita memiliki sifat
yang mendalam, internal, menyedihkan dan berkepanjangan. Dukacita dapat
ditunjukkan melalui pikiran, perasaan maupun perilaku yang bertujuan untuk
mencapai fungsi yang lebih efektif dengan mengintegrasikan kehilangan ke
dalam pengalaman hidup. Pada saat seseorang yang berduka ingin mencapai
fungsi yang lebih efektif, maka ia harus melewati beberapa tahapan berduka,
dimana untuk mewujudkannya membutuhkan waktu yang cukup lama dan
upaya yang cukup keras.
Kehilangan akibat kematian orang yang dicintai merupakan krisis utama
yang memiliki dampak sangat besar pada hidup individu. Keadaan
disekuilibrium yang terjadi akibat krisis atau kehilangan menyebabkan
kecemasan yang besar dan ketidaknyamanan yang ekstrem. Kematian anak
secara umum menimbulkan rasa duka yang kronis dan juga rasa bersalah
yang irasional pada orang tua, sehingga anak yang sudah meninggal tidak
pernah dapat terlupakan. Perasaan-perasaan yang seringkali timbul pada
masa kedukaan antara lain rasa marah dan depresi karena merasa
ditinggalkan oleh anak tersebut, dan disisi lain juga terdapat perasaan tidak
berdaya dimana sebagai orang tua mereka hanya bisa bersedih menghadapi
kematian anaknya. Sadar maupun tidak, orang tua cenderung merasa
bertanggung jawab atas kematian anak mereka dan perasaan ini bercampur
dengan rasa bersalah, tidak berdaya, dan frustasi. Meskipun demikian, orang
tua tetap harus mengatasi perasaan berdukannya dan mencapai tahap
resolusi. Oleh karena itu koping perlu dilakukan untuk rasa berduka yang
dialami akibat kematian orang yang dikasihi. Koping merupakan upaya
kognitif dan perilaku yang berubah secara konstan untuk mengelola tuntutan
eksternal dan/atau internal tertentu yang dinilai berat dan melebihi sumber
daya (kekuatan) seseorang. Koping bertujuan mengembalikan individu ke
kondisi normal sebagaimana sebelum situasi tersebut terjadi, dengan melihat
sumber yang tersedia untuk mengatasi tekanan tersebut.
Pada kondisi ini peran bidan menjadi sangat penting untuk membantu
klien dalam melewati masa berduka dan mengembalikan fungsi diri mereka
seperti semula. Bidan harus menjadi pembimbing yang dapat dipercaya bagi
klien. Bidan harus mengkaji sikapnya sendiri, mempertahankan kehadirannya
yang penuh perhatian, dan menyediakan lingkungan yang aman secara
psikologis sehingga klien dapat mengungkapkan perasaannya.
Upaya Bidan dalam mempertahankan kehadiran yang penuh perhatian
dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa tubuh terbuka seperti berdiri
atau duduk dengan lengan ke bawah dan berhadapan dengan klien serta
mempertahankan kontak mata yang cukup, terutama ketika klien berbicara.
Upaya selanjutnya adalah menciptakan lingkungan yang aman secara
psikologis yaitu dengan menjamin kerahasiaan klien, berhenti memberikan
nasihat tertentu, dan memberi klien kebebasan untuk mengungkapkan pikiran
serta perasaannya tanpa merasa takut dihakimi.

2. Tantangan Komunikasi dalam Keadaan Abuse


Subtstance Abuse adalah pola psikoaktif dari penggunaan zat atau bahan
yang beresiko secara fisik bagi kesehatan ibu hamil dan janinnya, dapat
memberikan pengaruh juga secara psikologis. Pengaruh psikologis
tersebutdalam bentuk ketergantungan, kecanduan dan penyalahgunaan.
Gejala- gejala gangguan psikologis akibat substance abuse antara lain :
ganggguan dalamsosialisasi, gelisah, sifat lekas marah, halusinasi, euphoria
atau ketagihan danover dosis, paranoid, stres. Partner abuse merupakan
kekerasan atau penyiksaan yang dilakukanoleh pasangan ibu hamil dan
sangat berpengaruh terhadap proses kehamilan.
Diagnosis keperawatan pada ibu hamil korban kekerasan sangat
bervariasi tergantung dari hasil pengkajian. Diagnosa yang paling sering
muncul antara lain “ketakutan sehubungan dengan resiko injuri pada diri dan
bayi yang di kandungnya. Diagnosa lain yang sering muncul antara lain :
cemas, gangguan body image, penderitaan yang kronis, konflik pengambilan
keputusan, gangguan proses keluarga, kehilangan, gangguan interaksi sosial,
isolasi sosial, coping yang tidak efektif, ketidakberdayaan, resiko gangguan
tumbuh kembang janin, resiko gangguan parenting, resiko gangguan
pemeliharaan kesehatan, resiko injuri, resiko terjadinya distres spiritual, dan
harga diri rendah (Murray &McKinney, 2014).
Wanita korban kekerasan sering kesulitan membangun rencana
perawatan dalam jangka waktu lama., tanpa bantuan orang yang profesional.
Wanita korban kekerasan juga sering kesulitan menghindar dari situasi yang
penuh kekerasan dirumahnya. Perawat harus fokus untuk membantu ibu
membuat perencanaan untuk melindungi ibu dari trauma-traumalagi dimasa
mendatang.
Tujuan dan harapan untuk perawatan wanita korban kekerasan antara
lain :
1. wanita korban kekerasan mengakui serangan fisik yang dialaminya.
2. Membuat rencana spesifik untuk menghindari siklus kekerasan lagi.
3. Mengidentifikasi sumber-sumber di lingkungan yang dapat
membantu melindungi ibu dan bayinya.
Intervensi bidan yang dapat dilakukan dalam membantu ibu hamil
korban kekerasan meliputi :
1) mendengarkan, dengan menggunakan komunikasi terapeutik,
2) membangun perencanaan untuk keamanan,
3) yakinkan bahwa ibu tidak bersalah,
4) memberikan pendidikan kesehatan, dan
5) memberikan tindakan rujukan.
3. Tantangan Dalam Keadaan Klinis Akut
Konseling kebidanan adalah suatu proses pembelajaran, pembinaan
hubungan baik, pemberian bantuan, dan bentuk kerjasama yang dilakukan
secara profesional oleh bidan kepada klien untuk memecahkan masalah,
mengatasi hambatan perkembangan, dan memenuhi kebutuhan klien
(Yulifah,2009).
Ada beberapa hambatan dan tantangan bidan dalam berkomunikasi
dengan pasien yang memiliki keadaan klinis akut, diantaranya:
a. Bagaimana cara yang tepat untuk bisa jujur pada pasien tanpa
mengurangi harapan mereka?
b. Bagaimana cara menghadapi dan menangani emosi pasien saat mereka
mendengar berita keadaan mengenai dirinya. Apakah saya sanggup ?
c. Kapankah waktu yang tepat untuk menyampaikan keadaan tersebut pada
pasien ?
d. Bagaimana memilih metode komunikasi yang tepat bagi pasien sesuai
dengan latar belakang dan kepribadiannya?
Sebelum berkomunikasi dengan pasien, sangat penting bagi seorang
Bidan untuk mengenali pasiennya, atau paling tidak mengetahui latar
belakang pasien dan keluarganya sebab dalam hal penerimaan keadaan klinis
pasien, kita tidak bisa mengharapkan reaksi yang sama dari setiap pasien.
Banyak faktor yang sangat mempengaruhi reaksi pasien.
Informasi tentang pasien, terutama usia, jenis kelamin, sosial ekonomi
dan budaya dapat diketahui dengan mempelajari rekam medis, sedangkan
jenis kepribadian dapat dinilai melalui interaksi yang dilakukan dengan
pasien. Kehadiran anggota keluarga pasien juga merupakan hal yang harus
diperhatikan.
Apabila menghadapi suatu keadaan kritis, maka langkah-langkah berikut
ini dapat ditempuh.
a. Bersikap direktif
b. Langsung melakukan tindakan penyelamatan
c. Komunikasikan dengan tegas dan sopan mengenai kedaan kritis tersebut
kepada keluarga.
d. Berikan penjelasan singkat, jelaskan langkah-langkah yang harus
dilakukan bersama untuk mengatasi keadaan.
e. Lakukan teknik mendengar efektif.
f. Tenangkan klien, misalnya “Saya akan berusaha semampu saya”.
g. Bersikap tenang
4. Tantangan Komunikasi dalam Keadaan Kelompok Minoritas
Komunikasi kesehatan mengalami perkembangan yang
signifikan sebagai sebuah kajian keilmuan. Hal ini tidak terlepas dari
besarnya perhatian, baik dunia akademis bidang komunikasi dan bidang
kesehatan dengan para praktisi kesehatan yang menyadari akan besarnya
peran komunikasi kesehatan dalam meningkatkan kesehatan manusia.
Bidang komunikasi kesehatan merupakan salah satu kajian yang
kompleks, memiliki area riset dan praktik yang signifikan dalam
masyarakat kontemporer. Bahkan riset komunikasi kesehatan bersifat
multidisiplin, interdisiplin dan transdisiplin. Risetnya dapat dilakukan
berdasarkan paradigma objektif, konstruktif atau kritis. Gaya hidup
masyarakat dapat membuat pola hidup individu menjadi sehat atau malah
sebaliknya. Kebiasaan untuk melakukan aktivitas tertentu menjadi media
komunikasi interpersonal dalam masyarakat. Komunikasi kesehatan
mempunyai fokus kajian terhadap proses komunikasi dan isi pesan
terhadap wacana kesehatan. Richard K. Thomas dalam bukunya Health
Communication mengatakan,” Health Communication encompasses the
study and use of communication strategies to inform and influence
individual community knowledge, attitudes and practices (KAP) with
regard to health and healthcare”. Individu dan komunitas membutuhkan
informasi dan promosi tentang pengetahuan, tingkah laku, dan praktek
sehat sekaligus menjaga kesehatan melalui penggunaan strategi
komunikasi yang efektif. Komunikasi memegang peranan penting dalam
kegiatan promosi masalah kesehatan, karena memiliki peran dalam hal :
 Membangun dialog dengan komunitas, termasuk didalamnya
kelompok minoritas, atau kelompok yang memiliki keterbatasan.
 Mempengaruhi pemerintah dan jajarannya untuk membuat kebijakan
dan/atau undang-undang mengenai promosi kesehatan
 Meningkatkan kepedulian pemerintah dan jajarannya mengenai
masalah kemiskinan, hak asasi manusia, pemerataan, dan isu
lingkungan
 Mendorong dukungan masyarakat/public terhadap kebijakan yang
telah dikeluarkan oleh pemerintah serta jajarannya;
 Menginformasikan kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah
kepada masyarakat luas Meningkatkan kepedulian masyarakat
mengenai isu kesehatan, agar turut berpartisipasi secara aktif; dan
mendorong perilaku masyarakat mengenai isu kesehatan (Firdaus
dan Achmad, 2013:53-54).

2.1.6 Hambatan Komunikasi


1. Hambatan fisik
Beberapa gangguan fisik dapat mempengaruhi efektivitas komunikasi.
Jenis hambatan fisik misalnya tuna rungu, tuna wicara, tuna netra. Dalam
hal ini baik komunikator maupun komunikan harus saling berkomunikasi
secara maksimal. Bantuan panca indera juga berperan penting al
komunikasi ini.
2. Hambatan sematik Sematik adalah pengetahuan tentang pengertian atau
makna kata (denotatif). Jadi hambatan sematik adalah hambatan
mengenai bahasa, baik bahasa yang digunakan oleh komunikator
maupun komunikan. Hambatan sematik dibagi menjadi tiga:
a. Salah pengucapan kata atau istilah karena terlalu cepat berbicara
b. Adanya pengertian konotatif
c. Adanya perbedaan kamna dan pengertian pada kata-kata yang
pengucapannya sama.
3. Hambatan psikologis
a. Perbedaan kepentingan atau interest
b. Prasangka
c. Stereotip
d. Motivasi
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Komunikasi kebidanan merupakan gambaran terjadinya interaksi antara bidan dengan klien
dalam upaya pemenuhan kebutuhan klien; sebagai faktor pendukung pelayanan profesional oleh
bidan. Dalam menjalankan perannya, bidan dituntut mampu untuk berfikir, bersikap dan bertindak
profesional. Bidan dituntut untuk selalu mengembangan profesionalismenya melalui berbagai cara
pembelajaran; termasuk dengan memutakhirkan ilmu, skill, serta keterbukaan dalam berkolaborasi
dengan profesi lain. Untuk itu kemampuan paripurna dalam berkomunikasi secara aktif maupun
pasif, lisan maupun tertulis, merupakan tuntutan profesionalisme bidan saat ini.
Seorang bidan kadang harus menjelaskan apabila tidak ada gunanya dirawat di rumah sakit
atau operasi harus di tunda dengan alasan kondisi klien yang tidak memungkinkan. Situasi dimana
merasa tidak ada harapan lagi, merupakan ancaman bagi kesehatan fisik maupun mental seseorang,
resiko ketidak stabilan pola hidup, berita tersebut berdampak berkurangnya suatu pilihan dalam
hidupnya. Itu akan menjadi pertimbangan bahwa berita tersebut baik atau buruk bagi seseorang.

3.2 SARAN
Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat memberikan informasi kepada bidan, klien dan
masyarakat umum lainnya guna untuk menjaga komunikasi yang baik dan terbuka antara bidan dan
klien supaya tidak terjadi kesalahpahaman. Dan dapat tercapai tujuan komunikasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

1) Dalami .2012. Komunikasi dan Konseling Dalam Praktik Kebidanan. Jakarta: Trans Info Media.

2) Lestari, A. 2010. Buku Saku Kominikasi Dan Konseling Dalam Praktik Kebidanan. Jakarta:

Trans Info Media.

3) Lloyd, Margaret., Borr, Robert B, 2004. Communication Skills for Medicine, second edition,

Elsevier .

4) Tyastuti, S., Kusmiyati, Y., & Handayani, S. 2010. Komunikasi dan Konseling dalam Pelayanan

Kebidanan. Yogyakarta: Fitramaya.

5) Uripni, Christina Lia dkk. 2003. Komunikasi Kebidanan. EGC. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai