Anda di halaman 1dari 32

MINI PROJECT

GAMBARAN KEJADIAN TB PUTUS OBAT


DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PEKIK NYARING
TAHUN 2020

Disusun oleh :
dr. ELFIRSTMAN TAFATI BERKAT WD. GULO

Pembimbing :
dr. LIA NOVITA

PUSKEMAS PEKIK NYARING


KECAMATAN PONDOK KELAPA
BENGKULU TENGAH
2021
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN MINI PROJECT DOKTER INTERNSIP

GAMBARAN KEJADIAN TB PUTUS OBAT

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PEKIK NYARING TAHUN 2020

Disusun Oleh :

dr. Elfirstman Tafati Berkat WD. Gulo

telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Program
Internsip Dokter Indonesia di Puskesmas Pekik Nyaring, Kabupaten Bengkulu
Tengah Periode November 2020

Pekik Nyaring, Januari 2021

Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Lia Novita

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan berkat dan kasihNya sehingga penulis dapat menyelesaikan mini
project di Puskesmas Pekik Nyaring yang berjudul “Gambaran Kejadian TB Putus
Obat di Wilayah Kerja Puskesmas Pekik Nyaring Tahun 2020”.
Mini project ini terwujud atas bimbingan serta pengarahan dari berbagai
pihak, maka dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang
tidak ternilai kepada :
1. dr. Lia Novita selaku dokter pendamping Internsip stase Puskesmas.
2. dr. Ramot Pasaribu selaku Kepala Puskesmas Pekik Nyaring.
3. dr. Sulastri, seluruh staf, dan karyawan Puskesmas Pekik Nyaring.
4. Rekan-rekan Dokter Internsip dan seluruh pihak terkait atas bantuan dan
kerjasamanya.
Dalam penyusunan mini project, penulis menyadari masih terdapat banyak
kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran membangun demi
kesempurnaan penyusunan mini project ini. Penulis berharap mini project ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
.

Pekik Nyaring, Januari 2021


Penulis,

dr. Elfirstman Tafati

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. i


KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TB Paru .................................................................................................... 4
2.1.1 Definisi ...................................................................................................... 4
2.1.2 Epidemiologi .............................................................................................. 4
2.1.3 Etiologi ...................................................................................................... 5
2.1.4 Patogenesis ................................................................................................ 5
2.1.5 Klasifikasi .................................................................................................. 7
2.1.6 Faktor Resiko ............................................................................................. 9
2.1.7 Gambaran Klinis ........................................................................................ 9
2.1.8 Diagnosis ................................................................................................... 10
2.1.9 Penatalaksanaan ......................................................................................... 12
2.1.10 Pencegahan dan Pengendalian ................................................................. 15
2.2 TB Putus Obat ......................................................................................... 15
2.2.1 Definisi ...................................................................................................... 15
2.2.2 Epidemiologi.............................................................................................. 15
2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Makan Obat..................... 15
2.2.4 Penatalaksanaan ......................................................................................... 18

iii
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian .......................................................................................... 19
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................... 19
3.3 Populasi Penelitian..................................................................................... 19
3.4 Subjek Penelitian ....................................................................................... 19
3.5 Teknik Pengambilan Sampel ..................................................................... 19
3.6 Pengolahan Data dan Analisis Data ........................................................... 19
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian .......................................................................................... 22
4.2 Pembahasan ............................................................................................... 23
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 25
5.2 Saran .......................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 26
LAMPIRAN ....................................................................................................... 27

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah
sangat lama dikenal pada manusia Pada tahun 1882 Robert Koch menemukan
kuman penyebabnya semacam bakteri berbentuk batang dan dari sinilah
diagnosis secara mikrobiologis dimulai dan penatalaksanaannya lebih terarah.
Apalagi pada tahun 1896 Rontgen menemukan sinar X sebagai alat bantu
menegakkan diagnosis yang lebih tepat.
Tuberkulosis merupakan suatu penyakit menular disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium,
antara lain : M.tuberculosis, M.africanum, M.Leprae, dll. Tuberkulosis ini
masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan
global.
Berdasarkan Global Tuberculosis Report 2018, tuberkulosis merupakan
salah satu dari sepuluh penyebab kematian tertinggi di dunia dan penyebab
utama dari penyakit infeksi (diatas HIV/AIDS). Secara global, sebanyak ± 10
juta orang menderita penyakit TB pada tahun 2017, yang terdiri atas 5,8 juta
berjenis kelamin laki-laki, 3,2 juta berjenis kelamin perempuan, dan 1,0 juta
pada anak-anak.
Asia tenggara termasuk dalam kawasan dengan angka kejadian TB yang
tertinggi. Sebesar 4,4 juta dari 10 juta kasus baru TB pada tahun 2017 terjadi
di wilayah Asia Tenggara. Dengan angka kematian sebesar 666.000 dari 1,6
juta kematian terjadi di Asia Tenggara.
Indonesia merupakan salah satu dari 5 negara yang mempunyai beban
tuberkulosis yang terbesar, yaitu India, Indonesia, China, Philippina, dan
Pakistan. Angka insidensi tuberkulosis Indonesia sebanyak 391 per 100.000
penduduk dan angka kematian 42 per 100.000 penduduk. Sedangkan
berdasarkan data hasil survei prevalensi tuberkulosis pada tahun 2017 sebesar
619 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2016 sebesar 628 per 100.000

1
penduduk. Pada tahun 2017 ditemukan jumlah kasus tuberkulosis sebanyak
425.089 kasus, meningkat bila dibandingkan kasus tuberkulosis tahun 2016
sebesar 360.565 kasus.
Sementara itu, laporan Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu pada tahun
2018 menyebutkan bahwa di Provinsi Bengkulu tercatat sebanyak 3.635 kasus
tuberkulosis dan dari perkiraan insiden tuberkulosis dalam absolute berdasrkan
modeling tahun 2018 sebesar 8.720 maka CDR tuberkulosis di Provinsi
Bengkulu sebesar 41,7%.
Banyak faktor yang menyebabkan penderita TB paru putus obat, salah
satunya adalah pengetahuan yang tidak cukup mengenai penyakit TB paru,
cara pengobatan. Kondisi ini menyebabkan pasien harus mengulang kembali
pengobatan. Kejadian ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan di
Indonesia, hal ini dikarenakan masih tingginya angka putus obat (drop out),
dikategorikan sebagai pasein default adalah pasien TB paru yang putus obat
selama 2 bulan atau lebih, kemudian dinyatakan masih sakit TB paru dengan
hasil BTA positif, salah satu penyebabnya adalah masalah perilaku penderita.
Berdasarkan data yang diterima dari bagian penanggulangan penyakit
menular (P2M) Puskesmas Pekik Nyaring menyebutkan bahwa jumlah
penderita TB paru yang putus obat selama tahun 2020 adalah 1 orang.
Dari data tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti “gambaran kejadian TB
Putus Obat di wilayah kerja Puskesmas Pekik Nyaring”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah dalam
penelitian ini adalah “gambaran kejadian TB Putus Obat di wilayah kerja
Puskesmas Pekik Nyaring”.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan, maka tujuan dari
penelitian adalah untuk mengetahui gambaran kejadian TB Putus Obat di
wilayah kerja Puskesmas Pekik Nyaring.

2
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi kepada Puskesmas
Pekik Nyaring mengenai gambaran TB putus obat serta faktor-faktor
penyebabnya.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan dan menjadi salah satu acuan bagi penelitian selanjutnya.
3. Bagi Peneliti
Merupakan suatu pengalaman berharga dalam memperluas wawasan dan
pengetahuan tentang materi TB putus obat.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TB Paru
2.1.1 Definisi
TB paru merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh basil
Mycobacterium tuberculosis kompleks yang secara khas ditandai oleh
pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan.
Mycobacterium tuberculosis adalah kuman aerob yang dapat hidup terutama
di paru atau di berbagai organ tubuh lainnya yang mempunyai kandungan
lemak yang tinggi pada membran selnya sehingga menyebabkan bakteri ini
menjadi tahan terhadap asam dan pertumbuhan dari kumannya berlangsung
dengan lambat. Bakteri ini tidak tahan terhadap ultraviolet, karena itu
penularannya terutama terjadi pada malam hari.
2.1.2 Epidemiologi
Menurut jenis kelamin tahun 2016, kasus BTA+ pada laki-laki lebih
tinggi dibandingkan dengan kasus BTA+ perempuan. Jenis kelamin cukup
berperan dalam menentukan apakah seseorang lebih rentan terkena TB atau
tidak. Jumlah penderita pria yang lebih banyak diduga disebabkan mobilitas
dan aktivitasnya yang lebih tinggi daripada perempuan. Terlebih lagi
kebiasaan merokok sangat berpengaruh secara signifikan dalam peningkatan
resiko terkena TB. Dengan faktor tersebut, pria diyakini lebih mudah terpapar
bakteri penyebab penyakit TB, sementara wanita dan anak yang juga
menyumbang terhadap tingginya jumlah tersebut selain termasuk dalam gaya
hidup rentan juga merupakan yang berhubungan dekat dengan penderita
tuberkulosis.
Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun
2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin jumlah kasus baru
TB tahun 2017 pada laki-laki 1,4x lebih besar dibandingkan pada perempuan.
Bahkan berdasarkan survey prevalensi tuberkulosis prevalensi pada laki-laki
tiga kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Hal ini terjadi
4
kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada faktor resiko TB, misalnya
merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat.
2.1.3 Etiologi
Penyebab TB adalah Mycobacterium Tuberculosis, sejenis kuman
berbentuk batang dengan panjang 1-4 mikron, lebar kuman 0,3-0,6 mikron.
Kuman akan tumbuh optimal 6,4-7. Sebagian besar kuman terdiri atas asam
lemak. Lipid inilah yang menyebabkan kuman lebih tahan dan lebih kuat
terhadap gangguan kimia dan fisik.Kuman dapat hidup pada udara kering dan
dingin. Hal ini terjadi karena kuman dapat berada dalam keadaan dorman
(‘tidur’) yang dapat bangkit kembali dan menjadi tuberkulosis aktif pada
keadaan tertentu. Di dalam jaringan kuman hidup dalam sitoplasma makrofag
sebagai parasit intraselular.Makrofag yang semula memfagositosis kuman
menjadi disukai karena mengandung banyak lipid. Sifat lain kuman ini adalah
aerob yang menunjukkan bahwa kuman lebih menyukai jaringan yang tinggi
kadar oksigennya.
2.1.4 Patogenesis
Bila terinplantasi Mycobacterium tuberculosis melalui saluran nafas,
maka mikroorganisme akan membelah diri dan terus berlangsung walaupun
cukup pelan. Nekrosis jaringan dan klasifikasi pada daerah yang terinfeksi
dan nodus limfe regional dapat terjadi, menghasilkan radiodens area menjadi
kompleks Ghon. Makrofag yang terinaktivasi dalam jumlah besar akan
mengelilingi daerah yang terdapat Mycobacterium tuberculosis sebagai
bagian dari imunitas yang dimediasi oleh sel. Hipersensitivitas tipe tertunda,
juga berkembang melalui aktivasi dan perbanyakan limfosit T. Makrofag
membentuk granuloma yang mengandung organisme.
Setelah kuman masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan,
bakteri TB paru tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya,
melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfa, saluran nafas, atau
penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.

5
Patofisiologi TB paru dibagi menjadi dua proses antara lain :
1. Infeksi TB Paru Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Droplet nuclei yang terhirup
sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan
muskuler bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan
menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman Tuberkulosis berhasil
berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang
mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan
membawa kuman Tuberkulosis ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru,
dan ini disebut sebagai komplek primer yang memakan waktu sekitar
4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya
perubahan reaksi tuberculin dari negatif menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya
kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas
seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat
menghentikan perkembangan kuman TB Paru. Meskipun demikian ada
beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant
(tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan
perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang
bersangkutan akan menjadi penderita TB paru. Masa inkubasi yaitu
waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit,
diperkirakan sekitar 6 bulan.
2. Infeksi TB Paru Post Primer
TB paru Post Primer biasanya muncul beberapa bulan ataupun
beberapa tahun setelah infeksi TB paru primer. TB paru inilah yang
yang menjadi masalah utama kesehatan masyarakat karena dapat
menjadi sumber penularan penyakit TB paru. Infeksi akan muncul
apabila terdapat banyak kuman TB paru di dalam tubuh baik yang aktif
ataupun yang dormant (tidur). Saat tubuh memiliki daya tahan yang
menurun terkadang tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan
6
Mycobacterium tuberculosis sehingga terjadilah infeksi kembali oleh
bakteri TB paru tersebut. Infeksi tersebut akan menyebabkan kerusakan
paru yang luas karena terjadi kavitas atau efusi pleura.
2.1.5 Klasifikasi
Klasifikasi TB ditentukan dengan tujuan agar penetapan Obat
Antituberkulosis (OAT) sesuai dan sebelum pengobatan dilakukan, penderita
TB paru diklasifikasikan menurut Depkes RI, 2014:
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
a. TB Paru BTA (+)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil
BTA positif. Hasil satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan kelainan radiologis menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
Hasil satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif.
b. TB Paru BTA (-)
Hasil pemeriksaan dahak 3x menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinis dan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif. Hasil
pemeriksaan dahak 3x menunjukkan BTA negatif, dan biakan
MycobacteriumTuberculosis positif
2. Berdasarkan tipe pasien, ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya.
a. Kasus Baru
Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT
kurang dari 1 bulan.
b. Kasus Kambuh (relaps)
Pasien yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan OAT dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif
atau biakan positif.

7
c. Kasus Putus Obat atau Loss follow up
Pasien yang telah menjalani pengobatan lebih atau sama dengan 1
bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih,
sebelum masa pengobatannya selesai.
d. Kasus Gagal
Pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau akhir pengobatan.
e. Kasus Kronis
Pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang dengan pengobatan kategori dua dengan
pengawasan yang baik.
f. Kasus Bekas TB
Gejala klinis tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru
yang ditinggalkan.Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga
negative bila ada). Gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB
tidak aktif atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap.
Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.
3. Hasil Uji Kepekaan Obat
a. Mono resistan (TB MR)
Resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja
b. Poli resistan (TB PR)
Resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
c. Multi drug resistan (TB MDR)
Resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara
bersamaan
d. Extensive drug resistan (TB XDR)
TB MDR yang sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT
golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini
kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)
8
e. Resistan Rifampisin (TB RR)
Resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi
terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode
genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).
4. Tuberkulosis Ekstraparu
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru
misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal dan
lain-lain. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau PA
dari tempat lesi bila memungkinkan.
2.1.6 Faktor Resiko
Individu yang rentan atau memiliki faktor risiko tinggi untuk menderita
TB paru adalah :
a. Berasal dari negara berkembang
b. Anak-anak dibawah umur 5 tahun
c. Terinfeksi HIV
d. Diabetes mellitus
e. Penghuni rumah beramai-ramai
f. Imunosupresi
g. Hubungan intim dengan pasien yang mempunyai sputum positif
h. Kemiskinan dan malniturisi.
2.1.7 Gambaran Klinis
a. Demam
Biasanya timbul pada sore hari disertai dengan keringat mirip demam
influenza yang segera mereda.Demam seperti ini dapat hilang timbul
dan makin lama makin panjang masa serangannya, sedangkan masa
bebas serangan makin pendek.Demam dapat mencapai suhu tinggi 40
derajat celcius.
b. Gejala Sistemik
Gejala siskemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksi dan berat
badan menurun.

9
c. Gejala Ekstraparu
Gejala ekstraparu tergantung dari organ yang terlihat, misalnya pada
pleuritis. TB terdapat gejala sesak dan nyeri dada pada sisi yang terlibat,
pada limfadentis. TB terdapat pembesaran kelenjar getah bening yang
lambat dan tidak nyeri.
d. Gejala Respiratorik
Gejala respiratorik yang dapat terjadi antara lain batuk lebih dari 2
minggu, batuk darah, sesak nafas, dan nyeri dada.
2.1.8 Diagnosis
a. Anamnesa
Anamnesa suspek TB dengan keluhan umum ( malaise, anorexia, berat
badan turun, cepat lelah ), keluhan karena infeksi kronik ( keringat pada
malam hari), 14keluhan karena ada proses patologis di paru ( batuk
lebih dari 2 minggu, batuk bercampur darah, sesak nafas, demam dan
nyeri dada).
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan memeriksa fungsi pernafasan
antara lain frekuensi pernafasan, jumlah dan warna dahak, frekuensi
batuk serta pengkajian nyeri dada. Pengkajian paru –paru terhadap
konslidasi dengan mengevaluasi bunyi nafas, fremitus serta hasil
pemeriksaan perkusi.
c. Tes Tuberkulin
Tes ini bertujuan untuk memeriksa kemampuan reaksi hipersensivitas
tipe lambat yang mencerminkan potensi sistem imun seseorang
khususnya terhadap M. tuberculosis. Pada seseorang belum
terinfeksiM. tuberculosis, sistem imunitas seluler tentunya belum
terangsang untuk melawan M. tuberculosismaka tes tuberkulin hasilnya
negatif. Sebaliknya bila seseorang pernah terinfeksi M.
tuberculosisdalam keadaan normal sistem imun ini sudah terangsang
secara efektif 3 –8 minggu setelah infeksi primer dan tes tuberkulin
menjadi positif.
10
d. Foto Rontgen Paru
Foto rontgen paru memegang peranan penting karena berdasar letak,
bentuk, luas dan konsistensi kelainan dapat diduga adanya lesi TB. Foto
rontgen paru dapat menggambarkan secara objektif kelainan anatomic
paru dan kelainan –kelainan bervariasi mulai dari bintik kapur, garis
fibrotic, bercak infiltrate, penarikan trakea, kavitas. Kelainan ini dapat
berdiri sendiri atau ditemukan bersama –sama.
e. Pemeriksaan Serologi
Berbeda dengan tes tuberkulin, tes serologi menilai Sistem Imunitas
Humoral ( SIH ) khususnya kemampuan produksi antibodi dari kelas
IgG terhadap sebuah antigen dalam M. tuberculosis. Bila seseorang
belum pernah terinfeksi M. tuberculosis, SIH-nya belum diaktifkan
maka tes serologi negatif. Sebaliknya bila seseorang sudah pernah
terinfeksi M. tuberculosis, SIH-nya sudah membentuk IgG tertentu
sehingga hasil tes akan positif.
f. Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi meliputi pemeriksaan dahak, sekret bronkus
dan bahan aspirasi cairan pleura. Pemeriksaan dahak antara lain
pemeriksaan mikroskopis, kultur dan tes resistensi. Tentunya nilai
tertinggi pemeriksaan dahak adalah hasil kultur yang positif, yakni yang
tumbuh adalah M. tuberculosis yang sesungguhnya.
Pemeriksaan dahak bertujuan untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan untuk menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang
dikumpulkan 2 hari kunjungan yaitu dahak sewaktu,dahak pagi dan
dahak sewaktu ( SPS).
1) Dahak sewaktu (S) adalah dahak yang dikeluarkan oleh
penderitasuspek TB saat pertama berkunjung ke fasyankes. Pada
saat pulang, penderitamembawa pot pagi untuk mengeluarkan
dahak pagi (P) setelah bangun tidur

11
2) Dahak pagi (P) adalah dahak yang dikeluarkan di rumah setelah
bangun tidur kemudian pot dibawa dan diserahkan kepada petugas
laboratorium fasyankes
3) Dahak sewaktu (S) adalah dahak yang dikeluarkan setelah
penderitamenyerahkan dahak pagi kepada petugas laboratorium.
2.1.9 Penatalaksanaan
a. Tujuan
1) Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta
kualitas hidupnya.
2) Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk
selanjutnya.
3) Mencegah terjadinya kekambuhan TB.
4) Menurunkan penularan TB.
b. Prinsip
1) Pengobatan diberikan dalam bentuk Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) yang tepat mengandung minimal 4 macam obat untuk
mencegah terjadinya resistensi.
2) Diberikan dalam dosis yang tepat
3) Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO
(Pengawas Makan Obat) sampai selesai pengobatan
4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi
dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah
kekambuhan.
c. Tahap
1) Tahap Awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap
ini adalah dimaksud untuk secara efektif menurunkan jumlah
kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh
dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak awal
sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal
pada semua pasien baru harus diberikan selama 2 bulan. Pada
12
umumnya dengan pengobatan teratur dan tanpa adanya penyulit,
daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama
2 minggu.
2) Tahap Lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap paling penting untuk
membunuh sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya
kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah
terjadinya kekambuhan.
d. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Tabel. 2.1.1 Obat Anti Tuberkulosis
Dosis
Harian 3x/minggu
OAT Kisaran Kisaran
Maksimum Maksimum
Dosis Dosis
(mg) (mg)
(mg/kgBB) (mg/kgBB)
Isoniazid (H) 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Rifampisin (R) 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
Pirazinamid (Z) 25 (20-30) - 35 (30-40) -
Streptomisin (S) 15 (15-20) - 30 (25-35) -
Etambutol (E) 15 (12-18) - 15 (12-18) 1000

Tabel 2.1.2 Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis

OAT Efek Samping

Neuropati perifer, psikosis toksik, gangguan fungsi


Isoniazid (H)
hati, kejang
Flu syndrome, gangguan gastrointestinal, urine
Rifampisin (R) berwarna merah, gangguan fungsi hati, trombositopeni,
demam, skin rash, sesak nafas, anemia hemolitik
Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati, gout
Pirazinamid (Z)
arthritis
Nyeri ditempat suntikan, gangguan keseimbangan dan
Streptomisin (S) pendengaran, renjatan anafilaktik, anemia,
agranulositosis, trombositopeni
Etambutol (E) Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis perifer

13
Paduan OAT KDT Lini 1 dan peruntukannya.
Kategori-1 : 2(RHZE)/4(RH)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
1) Pasien TB Paru terkonfirmasi bakteriologis
2) Pasien TB Paru terdiagnosis klinis
3) Pasien TB Ekstra Paru
Tabel 2.1.3 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1
Tahap lanjutan
Tahap Intensif tiap hari
3 kali seminggu selama 16
Berat Badan salama 56 hari
minggu
RHZE (150/75/400/2750
RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 4 KDT
38-54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 4 KDT
55-70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 4 KDT
> 71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 4 KDT

Tabel 2.1.4 OAT yang digunakan dalam pengobatan TB MDR


Jenis Efek Samping
Golongan 1:
OAT lini pertama oral
Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati,
Pirazinamid (Z)
gout arthritis.
Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis
Etambutol (E)
perifer.
Golongan 2 :
OAT Suntikan
Nyeri ditempat suntikan, gangguan
Kanamycin (Km)
keseimbangan dan pendengaran, renjatan
Amikacin (Am)
anafilaktik, anemia, agranulositosis,
Capreomycin (Cm)
trombositopeni
Golongan 3 :
Flurokuinolon
Levofloksasin (Lfx) Mual, muntah, sakit kepala, sulit tidur rupture
Moksilfloksasin (Mfx) tendon (jarang)
Golongan 4 :
OAT lini kedua oral
Para-aminosalicylic
Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati
acid (PAS)
dan pembekuan darah (jarang), hipotiroidisme,
Cyclocerine (CS)
neuropati perifer, SJS.
Ethionamide (Etio)

14
2.1.10Pencegahan dan Pengendalian
1. Membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat
2. Membudayakan perilaku etika batuk
3. Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan dan
lingkungannya sesuai dengan standart rumah sakit
4. Peningkatan daya tahan tubuh
5. Penanganan penyakit penyerta TB
6. Menerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB di fasilitas
pelayanan kesehatan, dan diluar fasilitas pelayanan kesehatan
2.2 TB Putus Obat
2.2.1 Definisi
Putus berobat adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut
atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. Akibat putus berobat adalah
pasien bisa kebal terhadap obat.
2.2.2 Epidemiologi
Putus pengobatan Obat Anti Tuberkulosi (OAT) pada pasien
Tuberkulosis (TB) paru masih menjadi masalah dalam penatalaksanaan TB
di seluruh dunia. Berdasarkan laporan Global Tuberculosis Report 2017,
prevalensi kejadian putus pengobatan secara global sebesar 22% pada tahun
2015. Dari seluruh pembagian wilayah World Health Organization (WHO),
wilayah Asia Tenggara menjadi penyumbang kejadian putus pengobatan
OAT terbesar, kemudian disusul daerah Afrika diurutan kedua. Penelitian
yang dilakukan oleh Wohlleben di wilayah Tajikistan, didapatkan 50,7%
pasien TB Paru putus pengobatan.
2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Makan Obat
a. Perilaku
Perilaku dipandang dari biologis adalah suatu kegiatan atau
aktivitas individu yang bersangkutan. Faktor perilaku, menyangkut
pengetahuan, sikap, kepercayaan dan kebisaan serta tindakan seseorang
terhadap suatu objek. Orang yang memiliki perilaku yang positif
terhadap kesehatan, maka besar kemungkinan orang tersebut akan lebih
15
sehat pula. Begitupun sebaliknya, orang yang negatif terhadap
kesehatan, besar kemungkinan baginya untuk tertular penyakit,
termasuk penyakit tuberkulosis paru.
Keberhasilan pengobatan TB paru sangat dipengaruhi akan
kepatuhan dalam berobat. Ketaatan dan kepatuhan merupakan perilaku
yang disampaikan secara berkesinambungan oleh seseorang dalam
kesehariannya. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu
aktifitas dari manusia itu sendiri, baik yang dapat diamati secara
langsung maupun tidak langsung. Keteraturan berobat seseorang pada
dasarnya adalah respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan
dengan sakit dan penyakitnya karena menghasilakan sesuatu yang
bermanfaat.
Reaksi manusia dapat bersifat pasif (pengetahuan, sikap dan
persepsi) atau juga aktif (tindakan nyata/praktis). Sedangkan
rangsangan/stimulus disini meliputi unsur-unsur sakit dan penyakit,
sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan. Dengan demikian perilaku
keteraturan berobat dapat mencakup perilaku seseorang terhadap sakit
dan penyakitnya yaitu bagaimana seseorang berespon baik secara pasif
(mengetahui, bersikap dan mempunyai persepsi) tentang penyakit dan
rasa sakit yang ada pada dirinya serta diluar dirinya maupun secara aktif
(tindakan) yang dilakukan seseorang terhadap sakit dan penyakitnya
sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut.
b. Pendidikan
Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti
dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau
perubahan kearah yang lebih dewasa dan lebih baik serta lebih matang
pada diri individu tersebut.
Tingkat pendidikan merupakan dasar pengembangan daya nalar
seseorang dan memudahkan menerima motivasi. Penderita yang
berpendidikan tinggi lebih mudah menerima ide-ide baru dan motivasi.
Dibanding penderita yang memiliki pendidikan yang rendah, seperti
16
hasil penelitian Burhanuddin di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru
(BP4) Makassar tahun 2005, jumlah penderita penyakit TB paru pada
tingkat pendidikan tinggi sebanyak 35,55%, sekolah dasar sebanyak
23,70% dan tidak sekolah sebanyak 3,70% ini membuktikan bahwa
persentase dalam tahap proses penyembuhan untuk pendidikan lebih
tinggi cenderung lebih baik karena keteraturan berobat dibandingkan
dengan penderita dengan pendidikan sangat rendah.
c. Pengetahuan
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior). Pengalaman
penelitian menyatakan ternyata perilaku didasari oleh pengetahuan.
Pengetahuan yang perlu diketahui seorang penderita tuberculosis,
yaitu bagaimana reaksi obat dan kepatuhan minum obat karena faktor
angka putus obat di Indonesia masih tinggi. Banyak pasien
menghentikan pengobatannya karena sudah merasa baikan pada
pengobatan dua bulan pertama. Juga karena pengobatan yang
berlangsung lama, dan harus kontrol secara rutin, membuat banyak
penderita tuberculosis yang merasa bosan dan akhirnya menghentikan.
Oleh karena mikobakterium tuberculosis resestensi terhadap obat, maka
akan lebih mempersulit proses penyembuhannya. Di sisi lain, akan
terjadi perkembangbiakan mikobakterium tuberculosis yang dapat
berakibat fatal bagi kehidupan, seperti kecacatan dan kematian. Juga
bagi anggota keluarga yang lain dan orang yang berada di sekitar
penderita tersebut memiliki risiko tinggi untuk tertular kuman
mikobakterium tuberculosis.
Rendahnya pengetahuan seseorang sangat berpengaruh besar
dalam tahap penyembuhan penyakit. Hal ini dibuktikan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Rachmat pada tahun 2005 menyebutkan
bahwa tingkat pengetahuan erat kaitannya dengan tingkat kepatuhan
berobat. Dari 200 responden yang diteliti didapatkan (83,8%) memiliki

17
pengetahuan baik/cukup patuh dalam berobat sedangkan (17,2%)
berpengetahuan kurang tergolong kurang patuh.
d. Motivasi
Motivasi dapat berupa dukungan dari keluarga. Keluarga
merupakan orang-orang yang terdekat dan dianggap paling banyak tahu
serta mempengaruh kondisi pasien. Oleh karena itu, keluarga
memegang peranan penting dalam pencegahan dan pembertasan
penyakit tuberculosis. Keluarga yang tidak mengerti dan memiliki
pemahaman yang salah tentang tuberculosis dapat mengakibatkan
anggota kelurganya mudah terserang mikobakterium tuberculosis.
Dukungan keluarga faktor lain bisa membuat seseorang
termotivasi untuk melakukan suatu tindakan untuk mencapai tujuan
yaitu faktor pelayanan kesehatan, termasuk ke dalam faktor ini adalah
penyedian dan atau perbaikan fasilitas pelayanan kesehatan, perbaikan
sistem dan manajemen pelayanan kesehatan, dan lain sebagainya. Hal
ini jelas bahwa daerah yang fasilitas kesehatannya tidak memadai, baik
dari segi kuantitas maupun kualitas: tenaga kesehatan kurang, peralatan
kesehatan yang tidak memadai untuk mendiagnosa penyakit
tuberculosis, dan obat-obat tuberkulosis yang distribusinya tidak
lancar, dapat menyebabkan risiko masyarakat yang tinggal di daerah
tersebut untuk terinfeksi mikobakterium menjadi meningkat.
2.2.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan TB Putus Obat adalah dengan menerapkan
pengobatan TB Kategori 2.
Kategori -2 : 2(RHZE)S/ (RHZE)/ 5(RH)3E3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang) :
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1
sebelumnya
c. Pasien yang diobati kembali setelah putus obat (lost follow-up)
18
Tabel 2.2.1 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2
Tahap Lanjutan
Tahap Intensif
3 kali seminggu
Berat Tiap Hari
RH (150/150) +
Badan RHZE (150/75/400/275) + S
E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
2 tab KDT + 2 tab 2KDT +
30-37 kg 2 tab 4KDT
500 mg Streptomisin Inj 2 tab Etambutol
3 tab KDT + 3 tab 2KDT +
38-54 kg 3 tab 4KDT
500 mg Streptomisin Inj 3 tab Etambutol
4 tab KDT + 4 tab 2KDT +
55-70 kg 4 tab 4KDT
500 mg Streptomisin Inj 4 tab Etambutol
5 tab KDT + 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT +
>71 kg
500 mg Streptomisin Inj (> do maks) 5 tab Etambutol

Pada pasien dengan pengobatan ulang (mendapat paduan pengobatan


dengan paduan OAT Kategori 2) :
a. Lakukan penilaian apakah pengobatan teratur. Dan apabila tidak
teratur, diskusikanlah dengan pasien tentang pentingnya berobat
teratur.
b. Pasien dinyatakan sebagai terduga TB MDR
c. Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau rujuk pasien ke RS Pusat
Rujukan TB MDR
d. Apabila tidak bias dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau
dirujuk di RS Pusat Rujukan TB MDR, maka segera diberikan dosis
OAT tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan) dan diperiksa ulang
dahak kembali pada akhir bulan ke 5 (menyelesaikan dosis OAT bulan
ke 5).

19
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian bersifat deskriptif dengan tujuan
ingin mengetahui gambaran penderita TB Putus Obat di wilayah kerja
Puskesmas Pekik Nyaring tahun 2020.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Puskesmas Pekik Nyaring, Jl. Merdeka
No.16, Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Tengah.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari tahun 2021.
3.3 Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah seluruh penderita TB paru di wilayah kerja
Puskesmas Pekik Nyaring tahun 2020.
3.4 Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini diambil dari masyarakat penderita TB Paru yang
berobat di Puskesmas Pekik Nyaring pada tahun 2020.
3.5 Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel penelitian ini dilakukan melalui pengumpulan data
sekunder atau data rekam medis penderita TB Paru yang datang berobat dari
bulan Januari sampai Desember tahun 2020 di Puskesmas Pekik Nyaring.
3.6 Pengolahan Data dan Analisis Data
3.6.1 Pengolahan Data
Semua data yang telah dikumpul, dicatat, dikelompokkan, kemudian
diolah secara manual dengan menghitung jumlah penderita TB Paru
berdasarkan jenis kelamin, usia, dan jenis kasus TB tersebut.

20
3.6.2 Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisa Univariat. Bertujuan untuk
menjelaskan atau mendeskripsikan setiap variabel penelitian dalam bentuk
distribusi dan frekuensi dengan narasi yang relevan.

21
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


4.1.1 Karakteristik Penderita
Jumlah penderita TB Paru yang datang berobat pada tahun 2020 di
Puskesmas Pekik Nyaring sebanyak 17 orang dengan karakteristik sebagai
berikut :
Tabel 4.1 Distribusi Penderita Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Frekuensi (Orang) Persentase (%)
Laki – Laki 11 65
Perempuan 6 35
Jumlah 17 100
Berdasarkan table 4.1 dapat diketahui bahwa penderita TB Paru lebih
banyak pada laki-laki (65%) daripada perempuan (35%).

Tabel 4.2 Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Usia


Usia (Tahun) Frekuensi (Orang) Persentase (%)
< 45 12 70
≥ 45 5 30
Jumlah 17 100
Berdasarkan table 4.2 dapat diketahui bahwa jumlah penderita TB Paru
terbanyak yaitu berusia <45 tahun yaitu 12 orang (70%), sedangkan paling
sedikit adalah penderita yang berusia ≥ 45 tahun yaitu 5 orang (30%).

Tabel 4.3. Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Jenis Kasus


Jenis Kasus Frekuensi (Orang) Persentase (%)
Baru 16 95
Putus Obat 1 5
Jumlah 17 100

22
Berdasarkan table 4.3 dapat diketahui bahwa jumlah penderita TB Paru
kasus baru sebanyak 16 orang (95%), sedangkan kasus putus obat sebanyak
1 orang (5%).
4.2 Pembahasan
a. Jenis Kelamin
Dari hasil penelitian olah data, diketahui bahwa penderita TB Paru
yang datang berobat pada tahun 2020 di Puskesmas Pekik Nyaring
adalah laki-laki sebanyak 11 orang (65%) dan perempuan sebanyak 6
orang (35%).
Menurut jenis kelamin tahun 2016, kasus BTA+ pada laki-laki lebih
tinggi dibandingkan dengan kasus BTA+ pada perempuan. Jumlah
penderita pria yang lebih banyak diduga disebabkan mobilitas dan
aktivitasnya yang lebih tinggi daripada perempuan. Terlebih lagi
kebiasaan merokok sangat berpengaruh secara signifikan dalam
peningkatan resiko terkena TB. Dengan faktor tersebut, pria diyakini
lebih mudah terpapar bakteri penyebab penyakit TB, sementara wanita
dan anak yang juga menyumbang terhadap tingginya jumlah tersebut
selain termasuk dalam gaya hidup rentan juga merupakan yang
berhubungan dekat dengan penderita tuberkulosis.
b. Usia
Dari hasil penelitian olah data, diketahui bahwa penderita TB Paru
yang berusia <45 tahun lebih banyak yaitu 12 orang (70%), sedangkan
paling sedikit adalah penderita yang berusia ≥ 45 tahun yaitu 5 orang
(30%).
Berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin bertambah usia,
prevalensinya semakin tinggi. Kemungkinan terjadi reaktivasi TB dan
durasi paparan TB lebih lama dibandingkan kelompok umur
dibawahnya. Prevalensis TB menurut karakteristik umur lebih tinggi
pada usia 45 tahun keatas.

23
c. Jenis Kasus
Dari hasil penelitian olah data, diketahui bahwa penderita TB Paru
kasus baru sebanyak 16 orang (95%), sedangkan kasus putus obat
sebanyak 1 orang (5%).
Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat akan
pentingnya mengkonsumsi OAT masih kurang sehingga perlu evaluasi
kedepannya bagaimana mempersuasi penderita TB untuk taat
mengkonsumsi OAT.

24
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dari data sekunder penderita TB yang
dating berobat ke Puskesmas Pekik Nyaring Tahun 2020, dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Sebagian besar penderita TB Paru berjenis kelamin laki-laki, yaitu
sebanyak 11 orang (65%).
2. Sebagian besar penderita TB Paru berusia <45 tahun, yaitu sebanyak 12
orang (70%).
3. Sebagian besar pasien TB Paru merupakan penderita kasus baru, yaitu
sebanyak 16 orang (95%).
4. Masih terdapat penderita loss follow up dan menjadi pasien putus obat,
yaitu sebanyak 1 orang (5%).
5.2 Saran
Dari seluruh proses penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, dapat
diungkapkan beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang terkait dalam proses penelitian dan bagi masyarakat yang
membaca penelitian ini. Adapun saran-saran tersebut adalah :
1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar untuk
meningkatkan pengetahuan tentang tuberkulosis paru sehingga bisa
diadakannya penyuluhan oleh instansi terkait.
2. Perlunya motivasi yang kuat dari penderita Tb paru untuk
meningkatkan pengetahuannya tentang kepatuhan makan OAT,
sehingga kedepannya diharapkan tidak ada lagi pasien-pasien yang
menjadi kasus putus obat.
3. Adanya perhatian dan follow up berkesinambungan dari petugas
kesehatan untuk tetap memotivasi penderita TB agar selalu patuh dalam
menjalani pengobatan.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Amin, Z & Bahar, A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi VI.
Jakarta : Interna Publishing, 2014.
2. Irianti, R.N,dkk. Mengenal Anti Tuberkulosis, Yogyakarta, 2016.
3. Kementerian Kesehatan RI, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016, Jakarta,
2017.
4. Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu, Profil Kesehatan Provinsi Bengkulu
Tahun 2018. Kota Bengkulu, 2018.
5. Kementerian Kesehatan RI, Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Jakarta, 2014.
6. Soekidjo Notoatmodjo, Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta,
Rineka Cipta, 2012.
7. Jikanang, DG. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Penyebab Putus
Obat Pasien Tuberkuculosis di Wilayah Kerja Puskesmas Jongaya Makassar.
Makassar, 2010.
8. Kementrian Kesehatan RI. INFODATIN Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI Tuberkulosis. 2018.
9. Price, Sylvia Anderson, Patofisiologi. Volume 2. Edisi 6. EGC, Jakarta, 2006.
10. Tabrani, Rab. Ilmu Penyakit Paru, Trans Info Media, Jakarta, 2010.
11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Tuberkulosis : Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan TBC di Indonesia, Indah Offset Citra Grafika,
Jakarta, 2006.
12. Soekidjo Notoatmodjo, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta, Rineka
Cipta, 2018.
13. Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, Jakarta, Rineka Cipta, 2010.
14. Kementerian Kesehatan RI, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017, Jakarta,
2017.
15. World health Organization (WHO). Global Tuberculosis Report 2018.
Switzerland. 2018.

26
LAMPIRAN 1
MASTER DATA
Pasien TB Paru Januari – Desember 2020 di Puskesmas Pekik Nyaring

No. Nama Jenis Kelamin Usia Keterangan

1 SK Laki-laki 42 tahun Kasus Baru


2 SG Laki-laki 50 tahun Kasus Baru
3 MD Perempuan 53 tahun Kasus Baru
4 RS Perempuan 38 tahun Kasus Baru
5 BG Laki-laki 29 tahun Kasus Baru
6 HT Perempuan 30 tahun Kasus Baru
7 HJ Laki-laki 63 tahun Kasus Baru
8 TR Laki-laki 18 tahun Kasus Baru
9 AK Laki-laki 22 tahun Kasus Baru
10 ID Laki-laki 42 tahun Kasus Baru
11 RF Laki-laki 35 tahun Kasus Baru
12 BD Laki-laki 45 tahun Kasus Baru
13 AA Perempuan 23 tahun Kasus Baru
14 MU Perempuan 19 tahun Kasus Baru
15 SA Laki-laki 50 tahun Putus Obat
16 YT Laki-laki 24 tahun Kasus Baru
17 MA Perempuan 24 tahun Kasus Baru

27

Anda mungkin juga menyukai