Anda di halaman 1dari 40

MINI PROJECT

PENGARUH TINGKAT KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN GANGGUAN JIWA BERAT


(SKIZOFRENIA) TERHADAP KESTABILAN EMOSIONAL PASIEN
DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS PEKIK NYARING

Disusun oleh :
dr. DEVIANA YUNITASARI

Pembimbing :
dr. LIA NOVITA

PUSKEMAS PEKIK NYARING


KECAMATAN PONDOK KELAPA
BENGKULU TENGAH
2021
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN MINI PROJECT DOKTER INTERNSIP

PENGARUH TINGKAT KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN GANGGUAN JIWA BERAT


(SKIZOFRENIA) TERHADAP KESTABILAN EMOSIONAL PASIEN
DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS PEKIK NYARING

Disusun Oleh :

dr. Deviana Yunitasari

telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Program
Internsip Dokter Indonesia di Puskesmas Pekik Nyaring, Kabupaten Bengkulu
Tengah Periode November 2020

Pekik Nyaring, Mei 2021

Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Lia Novita

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
berkat dan kasihNya sehingga penulis dapat menyelesaikan mini project di Puskesmas Pekik
Nyaring yang berjudul “Pengaruh Tingkat Kepatuhan Minum Obat Pasien Gangguan Jiwa
Berat (Skizofrenia) Terhadap Kestabilan Emosional Pasien Diwilayah Kerja Puskesmas Pekik
Nyaring”.
Mini project ini terwujud atas bimbingan serta pengarahan dari berbagai
pihak, maka dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang
tidak ternilai kepada :
1. dr. Lia Novita selaku dokter pendamping Internsip stase Puskesmas.
2. dr. Ramot Pasaribu selaku Kepala Puskesmas Pekik Nyaring.
3. dr. Sulastri, seluruh staf, dan karyawan Puskesmas Pekik Nyaring.
4. Rekan-rekan Dokter Internsip dan seluruh pihak terkait atas bantuan dan
kerjasamanya.
Dalam penyusunan mini project, penulis menyadari masih terdapat banyak
kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran membangun demi
kesempurnaan penyusunan mini project ini. Penulis berharap mini project ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Pekik Nyaring, Mei 2021


Penulis,

dr. Deviana Yunitasari

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ...............................................................................i


KATA PENGANTAR ........................................................................................ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................4
1.4 Manfaat penelitian.......................................................................................5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepatuhan Minum Obat ..........................................................................6
2.1.1 Definisi .......................................................................................................6
2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan .........................................7
2.2 Stabilitas Emosi.........................................................................................9
2.2.1 Definisi .......................................................................................................9
2.2.2 Karakteristik Individu yang memiliki kestabilan emosi ............................9
2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan emosi ................................10
2.2.4 Aspek-aspek stabilitas emosi ....................................................................10
2.3 Skizofrenia .................................................................................................12
2.3.1 Definisi .......................................................................................................12
2.3.2 Epidemiologi...............................................................................................12
2.3.3 Etiologi .......................................................................................................13
2.3.4 Gejala ..........................................................................................................14
2.3.5 Penegakan Diagnosis ..................................................................................15

iii
2.3.6 Klasifikasi ...................................................................................................15
2.3.7 Penatalaksanaan ..........................................................................................17
2.3.8 Prognosis ....................................................................................................21
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian ...........................................................................................23
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................................23
3.3 Instrumen Penelitian ...................................................................................23
3.4 Populasi Penelitian......................................................................................23
3.5 Teknik Pengambilan Sampel ......................................................................24
3.6 Variabel Penelitian......................................................................................24
3.7 Definisi Operasional Variabel ....................................................................24
3.8 Pengumpulan Data ......................................................................................25
3.9 Tata Urutan Kerja .......................................................................................25
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian ...........................................................................................27
4.2 Pembahasan ................................................................................................28
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan .................................................................................................32
5.2 Saran ...........................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................34
LAMPIRAN ........................................................................................................35

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik,
mental, spiritual, dan sosial, sehingga individu menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi
tekanan, dapat bekerja secara produktif, serta mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran,
perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam sekumpulan gejala dan atau perubahan perilaku
yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi
luhur sebagai manusia dalam keseharian (seperti pekerjaan dan sosial).
Gangguan jiwa merupakan diagnosis, berbeda dengan masalah kesehatan jiwa. Pada
masalah kesehatan jiwa mungkin saja terdapat gejala, tetapi bukan kumpulan gejala lengkap, tidak
berlangsung lama, dan belum menimbulkan gangguan fungsi sehari-hari. Sehingga, Orang Dengan
Masalah Kejiwaan (ODMK) merupakan orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial,
pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami
gangguan jiwa (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
Data World Health Organization (2016) menunjukkan terdapat sekitar 35 juta orang
menderita depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta
mengalami demensia. Selain itu, menurut WHO (2017) gangguan yang banyak terjadi juga selain
depresi adalah gangguan cemas. Diperkirakan 4,4% dari populasi global menderita gangguan
depresi dan 3,6% dari gangguan kecemasan. Jumlah penderita depresi meningkat lebih dari 18%
antara tahun 2005 hingga 2015. Depresi menjadi penyebab terbesar kecacatan. Lebih dari 80%
penyakit ini dialami orang-orang yang tinggal di negara berkembang. Indonesia menunjukkan
penambahan jumlah kasus gangguan jiwa yang dipengaruhi oleh faktor biologis, psikologis, dan
sosial dengan keanekaragaman penduduknya. Hal tersebut dapat berdampak pada penambahan
beban negara dan penurunan produktivitas sumber daya manusia jangka panjang (WHO, 2016;
2017).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang dilakukan oleh Kementerian Republik
Indonesia menyimpulkan bahwa prevalensi ganggunan mental emosional seperti depresi dan
kecemasan (anxietas) pada usia ≥ 15 tahun mencapai sekitar 14 juta jiwa atau 6% dari jumlah
penduduk Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat (psikosis), seperti skizofrenia
mencapai sekitar 400.000 jiwa atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk. Jumlah gangguan jiwa
1
berat tahun 2013 tersebar di berbagai provinsi dengan jumlah terbanyak di Daerah Istimewa
Yogyakarta (0,27%) dan Aceh ( 0,27%), kemudian Sulawesi Selatan (0,26%), disusul oleh Bali
(0,23%) dan Jawa Tengah (0,23%). Masalah kesehatan jiwa tersebut di atas jika tidak segera
ditangani dapat menurunkan status kesehatan fisik dan menimbulkan dampak psikososial antara
lain tindak kekerasan, penyalahgunaan napza, pemasungan, maupun tindakan percobaan bunuh
diri (Riset Kesehatan Dasar, 2013).
Estimasi WHO tentang ODGJ yang belum mendapatkan layanan kesehatan jiwa di negara-
negara berkembang seperti Indonesia adalah >85%. Gangguan jiwa yang tidak tertangani dengan
baik dan tidak teratur berobat/ minum obat dapat mengakibatkan gejala semakin sulit untuk
diatasi, menahun, dengan penurunan fungsi perawatan diri dan sosial yang semakin berat.
Pemasungan pada ODGJ merupakan dampak ekstrem dan tidak adanya akses terhadap layanan
kesehatan jiwa. Pemasungan adalah bentuk pengekangan kebebasan yang dilakukan pada ODGJ
di komunitas yang mengakibatkan perampasan kebebasan untuk mengakses layanan yang dapat
membantu pemulihan fungsi ODGJ tersebut. Berdasarkan Riskesdas (2013), sebanyak 14,3% dari
penduduk yang mengalami gangguan jiwa berat tersebut mengatakan pernah dipasung
Pemasungan ODGJ tidak dibenarkan dan melanggar hak asasi manusia. Tindak pemasungan
sebagian besar dilakukan oleh keluarga inti sebagai upaya perlindungan akibat perilaku kekerasan
yang berpotensi dilakukan ODGJ akibat gejala yang dialami dan tidak dapat diatasi akibat
kurangnya pengetahuan, kesulitan akses dan keterjangkauan ke layanan kesehatan jiwa
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
Gangguan jiwa sangat beragam jenisnya, mulai dari yang ringan hingga berat. Informasi
yang akurat dari pihak keluarga akan sangat membantu para tenaga pemberi layanan kesehatan
jiwa untuk melakukan diagnosa dan menentukan perawatan yang tepat bagi ODGJ. Pada
akhirnya, diharapkan ODGJ dapat berangsur-angsur mengembalikan kualitas hidup mereka dan
kembali menjadi manusia yang produktif dan mandiri.
Skizofrenia menjadi gangguan jiwa paling dominan dibanding gangguan jiwa lainnya dan
termasuk dalam gangguan jiwa berat. Penderita gangguan jiwa sepertiganya tinggal di negara
berkembang, dan 8 dari 10 orang yang menderita skizofrenia tidak mendapatkan penanganan
medis. Gejala skizofrenia muncul pada usia 15-25 tahun lebih banyak ditemukan pada laki-laki
dibandingkan pada perempuan (Ashturkar& Dixit, 2013).
Skizofrenia adalah salah satu jenis psikotik yang menunjukan gelaja orientasi yang buruk,
halusinasi, waham, serta kehilangan fungsi luhurnya sebagai manusia seperti merawat diri. Gejala
2
halusinasi dan waham yang terjadi pada pasien skizofrenia berupa gangguan alam perasaan
yang tidak menentu, isi kebesaran atau kejaran, sering bertengkar atau berdebat, dan perilaku
cemas yang tidak menentu, bahkan kemarahan/ mengamuk. Hal tersebut dapat disebabkan
kegagalan mekanisme coping stress terhadap beban yang dialami atau karena cemas yang
berkepanjangan (Videback, 2008; Townsend, 2011; Hawari, 2014).
Pelayanan gangguan jiwa adalah pelayanan pada pasien yang mengalami gangguan
kejiwaan. Data yang masuk untuk pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan tingkat pertama
berasal dari Rumah Sakit Jiwa dan Rumah Sakit Umum yang mempunyai klinik jiwa.
Permasalahan yang ada saat ini adalah tidak semua Rumah Sakit Umum mempunyai pelayanan
klinik jiwa karena belum tersedia tenaga medis jiwa dan tidak banyak kasus jiwa di masyarakat
yang berobat di sarana pelayanan kesehatan. Dari permasalahan tersebut, upaya yang perlu
dilakukan adalah peningkatan pembinaan program kesehatan jiwa di sarana kesehatan pemerintah
dan swasta, pelatihan/ refreshing bagi dokter dan paramedis puskesmas terutama upaya promotif
dan preventif, serta meningkatkan pelaksanaan sistem monitoring evaluasi pencatatan dan
pelaporan program kesehatan jiwa (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
Selain itu, pemerintah juga memasukkan kesehatan jiwa ke dalam indikator keluarga sehat
pada Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS - PK). Pedoman
Penyelenggaraan PIS - PK diatur dalam Permenkes RI No. 39 Tahun 2016. PIS - PK mempunyai
tujuan meningkatkan akses keluarga dan anggotanya terhadap pelayananan kesehatan yang
komprehensif (promotif-preventif, kuratif dan rehabilitatif), mendukung pencapaian spm di
kab/kota melalui peningkatan akses screening kesehatan, mendukung pelaksanaan JKN,
mendukung tercapainya Program Indonesia Sehat dalam Renstra Kemenkes 2015-2019.

Gambar 1.1 Indikator Keluarga Sehat PIS - PK


3
Provinsi Bengkulu menyatakan, sepanjang 2017 telah merujuk 34 penderita gangguan
kejiwaan ke RSJKO Bengkulu. Sebanyak 75% diantaranya merupakan pasien kambuhan,
sedangkan 25% lainnya adalah pasien baru.
Berdasarkan data yang diterima dari bagian penanggung jawab kesehatan jiwa Puskesmas
Pekik Nyaring menyebutkan bahwa jumlah orang dengan gangguan jiwa di wilayah kerja
puskesmas pekik nyaring sebanyak 37 orang.
Dari data tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti “Pengaruh Tingkat Kepatuhan Minum
Obat pada Penderita Gangguan Jiwa Berat (Skizofrenia) terhadap ke Stabilan Emosional Pasien di
wilayah kerja Puskesmas Pekik Nyaring”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah
“Pengaruh Tingkat Kepatuhan Minum Obat pada Penderita Gangguan Jiwa Berat (Skizofrenia)
terhadap ke Stabilan Emosional Pasien di wilayah kerja Puskesmas Pekik Nyaring”.

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan, maka tujuan dari penelitian adalah
untuk mengetahui adanya Pengaruh Tingkat Kepatuhan Minum Obat pada Penderita Gangguan
Jiwa Berat terhadap ke Stabilan Emosional Pasien di wilayah kerja Puskesmas Pekik Nyaring.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi
kepada Puskesmas Pekik Nyaring mengenai Pengaruh Tingkat Kepatuhan Minum Obat
pada Penderita Gangguan Jiwa Berat (Skizofrenia) terhadap ke Stabilan Emosional Pasien.
2. Bagi Institusi Pendidikan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan dan menjadi salah satu acuan bagi penelitian selanjutnya.
3. Bagi Peneliti Merupakan suatu pengalaman berharga dalam memperluas wawasan dan
pengetahuan tentang materi Gangguan Jiwa Berat (Skizofrenia

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kepatuhan Minum Obat


2.1.1 Definisi
Terapi obat didefenisikan sebagai suatu cara untuk memodifikasi atau mengoreksi
perilaku, pikiran atau alam perasaan yang patologis menggunakan zat kimia. Obat harus
digunakan dalam dosis efektif untuk periode waktu yang cukup.Respon terapi dan
timbulnya efek samping harus diberikan sesegera mungkin. Obat yang digunakan untuk
mengobati psikosis memiliki banyak sebutan yaitu obat anti psikotik, neoroleptik, dan
mayor trangquiles.Anti psikotik digunakan untuk mengatasi psikosis, termasuk
skzofrenia.Efek terapi dari obat obatan ini terlihat sewaktu dipakai pada psikosis
akut.Efeknya mengurangi gejala positif, antara lain halusinasi, tidak mau makan, tidak
kooperatif dan gangguan pikiran. (Ibrahim,2011)

Kepatuhan minum obat dari pasien gangguan jiwa tidak lepas dari peranan penting
dari keluarga, sehingga pasien yang patuh pada pengobatan prevalensi kekambuhannya
berkurang, maka pasien tidak akan dirawat lagi dirumah sakit dan hanya perlu perawatan
jalan di puskesmas. Walaupun gangguan jiwa adalah suatu penyakit yang tidak dapat
disembuhkan tettapi dapat disembuhkan dengan terapi kepatuhan obat. Hal ini berarti
dengan pengobatan yang teratur dan dukungan dari keluarga, masyarakat dan orang sekitar
pasien besar kemungkinan pasien dapat bersosialisai dan memiliki aktivitas seperti orang
normal, dengan demikian maka prevalansi kekambuhan pasien dapat berkurang ataupun
pasien tidak akan kambuh karena proses pengobatan pasien dilakukan sesuai denga anjuran
dan petunjuk dokter, sehingga kepatuhan pasien minum obat baik, dan prevalensi
kekambuhan pasien berkurang bahkan tidak pernah kambuh dalam kurun waktu 1-2 tahun.

Menurut WHO obat pada pasien jiwa dibagi menjadi 5 golongan yaitu:
neuroleptika, antidepresan, antianxietas, psikotimulansia, dan psikodisleptik. Langkah awal
dalam pemilihan obat adalah diagnosis dan identifiasi gejala sasaran. Penggunaan obat
tersebut harus diperhatikan penggunaannya pada anak- anak dimulai pada dosis minimal,
pada pasien lanjut usia diawali dengan dosis rendah karena metabolisme tubuh lebih
lambat.
5
Selain itu (Ibrahim 2011) juga mengatakan kepatuhan obat juga dilihat pada
diagnosis dan identifikasi gejala sasaran, idealnya harus dilakukan pada saat pasien bebas
obat selama 1-2 munggu.Keadaan bebas obat disini mecakup pedoman dengan tidak
diberikannya medikasi yang berkhasiat tidur, karena kualitas tidur merupakan pedoman
diagnostic penting dan merupakan suatu gejala sasaran. Diantara obat yang sesuai dengan
diagnosis tertentu harus dipilih berdasarkan riwayat respon obat oleh pasien
(kepatuhan,respon terapeutik dan efek merugikan), riwayat respon obat dalam keluarga
pasien, serta efek merugikan dari obat tersebut.

2.1.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan


Menurut Niven (2002) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah :

1. Faktor Penderita Atau Individu

➢ Sikap atau motivasi individu ingin sembuh


Motivasi atau sikap yang paling kuat adalah dari individu sendiri.Motivasi individu
ingin tetap mempertahankan kesehatannya sangat berpengaruh terhadap faktor-faktor
yang berhubungan dengan perilaku penderita dalam kontrol penyakitnya.

➢ Keyakinan

Keyakinan merupakan dimensi spiritual yang dapat menjalani


kehidupan. Penderita yang berpegangan teguh terhadap keyakinannya
akan memiliki jiwa yang tabah dan tidak mudah putus asa serta dapat
menerima keadaannya, demikian juga cara perilaku akan lebih baik.
Kemampuan untuk melakukan kontrol penyakitnya dapat dipengaruhi
oleh keyakinan penderita, dimana penderita memiliki keyakinan yang
kuat akan lebih tabah terhadap anjuran dan larangan jika mengetahui
akibatnya (Niven, 2002).
2. Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga merupakan bagian dari penderita yang paling


dekat dan tidak dapat dipisahkan. Penderita akan merasa senang dan
tentram apabila mendapat perhatian dan dukungan dari keluarganya,

6
karena dengan dukungan tersebut akan menimbulkan kepercayaan
dirinyauntuk menghadapi atau mengelola penyakitnya dengan lebih baik,
serta penderita mau menuruti saran-saran yang diberikan oleh keluarga
untuk menunjang pengelolaan penyakitnya (Niven, 2002).
3. Dukungan Sosial

Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota


keluarga lain merupakan faktor-faktor yang penting dalam kepatuhan
terhadap program-program medis. Keluarga dapat mengurangi ansietas
yang disebabkan oleh penyakit tertentu dan dapat mengurangi godaan
terhadap ketidaktaatan (Niven, 2002).
4. Dukungan Petugas Kesehatan

Dukungan petugas kesehatan merupakan faktor lain yang


dapatmempengaruhi perilaku kepatuhan. Dukungan mereka terutama
berguna saat pasien menghadapi bahwa perilaku sehat yang baru tersebut
merupakan hal penting, begitu juga mereka dapat mempengaruhi perilaku
pasien dengan cara menyampaikan antusias mereka terhadap tindakan
tertentu dari pasien, dan secara terus menerus memberikan penghargaan
yang positif bagi pasien yang telah mampu beradaptasi dengan program
pengobatannya (Niven, 2002).

7
2.2. Stabilitas Emosi
2.2.1 Definisi

Stabilitas emosi merupakan keadaan emosi seseorang yang bila mendapat

rangsangan-rangsang emosional dari luar tidak menunjukkan gangguan

emosional, seperti depresi dan kecemasan. Dengan kata lain, individu tersebut

tetap dapat mengendalikan dirinya dengan baik.

Menurut Sharma (2006) menjelaskan bahwa, kestabilan emosi berarti


kondisi yang benar-benar kokoh, tidak mudah berbalik atau terganggu, memiliki
keseimbangan yang baik dan mampu untuk menghadapi segala sesuatu dengan
kondisi emosi yang tetap atau sama. Menurut Smitson (dalam Aleem, 2005),
menyatakan bahwa kestabilan emosi merupakan proses dimana kepribadian
secara berkesinambungan berusaha mencapai kondisi emosi yang sehat dan
selaras dalam jiwa dan raga.

Di dalam kamus psikologi (Arthur dan Emily, 2010) istilah stabilitas emosi
yaitu mencirikan keadaan seseorang yang dewasa/matang secara emosi, yang
reaksi-reaksi emosinya tepat bagi situasi dan konsisten dari suatu kondisi dengan
kondisi yang lain.
Kesimpulan yang dapat diambil bahwa stabilias emosi adalah keadaan
seseorang yang memiliki emosi yang matang dan ketika mendapatkan
rangsangan dari luar tidak memunculkan gangguan emosional, yaitu memiliki
keseimbangan yang baik dan mampu untuk menghadapi segala sesuatu dengan
kondisi emosi yang tetap atau sama.
2.2.2 Karakteristik Individu yang Memiliki Kestabilan Emosi

Menurut Aleem (dalam Ekawati, 2001) karakteristik kestabilan emosi


meliputi mampu merespon perubahan situasi dengan baik, mampu menunda
respon, terutama respon negatif, bebas dari rasa takut yang tidak beralasan dan
mau mengakui kesalahan tanpa merasa malu.
Morgan dan King (dalam Ekawati, 2001) mengemukakan adanya
perbedaan karakteristik psikologi antara individu yang mempunyai emosi stabil

8
dengan individu yang memiliki emosi tidak stabil. Individu yang mempunyai
emosi stabil adalah individu yang mempunyai ciri-ciri: kreatifitas; produktif;
tidak mudah cemas, tegang serta frustasi, mandiri, semangat tinggi, dan efisien.
Sebaliknya, individu yang menunjukkan sifat- sifat antara lain: tidak produktif,
mudah cemas, tegang, frustasi serta kurang hati-hati, tergantung, kurang
semangat dan tidak efisien.

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kestabilan Emosi

Morgan dan King (dalam Ekawati, 2001), mengemukakan beberapa faktor


kestabilan emosi seseorang yaitu : a) kondisi fisik, b) pembawaan, dan
c) steaming atau suasana hati. Selain itu, menurut Young (dalam Ekawati, 2001),
faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan emosi yaitu faktor lingkungan,
pengalaman, dan faktor individu.

2.2.4 Aspek –aspek stabilitas emosi

Schneider (dalam Dewi, 2010) mengemukakan bahwa stabilitas emosi


didukung oleh kesehatan emosi serta penyesuaian emosi yang terdiri tiga aspek
yaitu:
a. Adekuasi emosi

Aspek ini berhubungan dengan respon emosi, mempunyai sifat baik dan
sehat, oleh karena itu untuk memperoleh kesehatan emosi tidak dengan cara
menahan atau menghilangkan reaksi emosi yang timbul. Sikap tenang dan
dingin merupakan penyesuaian emosi yang baik. Tuntunan kehidupan
membutuhkan reaksi emosi yang memadai atau adekuasi yang isinya tidak
menyulutkan dan tidak merusak penyesuaian personal, sosial dan emosi.
b. Kematangan emosi
Kematangan emosi merupakan kemampuan seseorang untuk melakukan
reaksi emosi sesuai dengan tingkat perkembangan pribadi. Gilmer (dalam Dewi,
2010) mengemukakan bahwa kematangan emosi tidak mempunyai batasan umur,
artinya kematangan emosi seseorang tidak bisa dilihat. Gilmer mengemukakan
indikator kematangan emosi seseorang dapat dilihat dari kemampuan untuk
9
menyesuaikan diri terhadap stress, tidak mudah khawatir atau cemas dan tidak
mudah marah. Definisi tentang kematangan emosi merupakan suatu keadaan
tercapainya tingkat kedewasaan dalam perkembangan emosi.
c. Kontrol emosi
Kontrol emosi merupakan fase khusus dari kontrol diri yang sangat
penting bagi tercapainya kematangan, penyesuaian dan kesehatan mental.
Kontrol emosi ini meliputi pengaturan emosi dan perasaan sesuai dengan
tuntutan lingkungan atau situasi dan standar dalam diri individu yang
berhubungan dengan nilai-nilai, cita-cita serta prinsip. Indikasi kontrol yang
kurang baik dapat di lihat dari timbulnya kegagalan pada hal-hal sebagai berikut,
pengaturan perasaan seksual, pembatasan kesenangan pada materi, penempatan
moralitas diatas kesenangan sementara serta penghindaran diri sedikit dari
stimulus yang menyulitkan individu yang mampu mengekspresikan emosi secara
tepat akan memperoleh kepuasan untuk mengarahkan energi emosi ke dalam
aktivitas yang kreatif dan produktif (Smith, 1955). Kontrol emosi termasuk salah
satu aspek kontrol diri, yaitu dengan menghadapi situasi dengan sikap rasional,
mampu memberikan respon dan mengartikan situasi secara tepat dan tidak
berlebihan.
Aspek diatas menjelaskan bahwa stabilitas emosi kesehatan emosi serta
penyesuaian emosi yang terdiri tiga aspek yaitu: Adekuasi emosi, kematangan
emosi dan kontrol emosi. Apabila ketiga aspek itu berfungsi dengan baik maka
dapat menjadikan penyesuaian, pengaturan emosi dan perasaan sesuai dengan
tuntutan lingkungan atau situasi dan standar dalam diri, kematangan emosi
seseorang dapat dilihat dari kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap
stress, tidak mudah khawatir atau cemas dan tidak mudah marah dan pada
akhirnya mencapai suatu keadaan dengan tercapainya tingkat kedewasaan dalam
perkembangan emosi.

10
2.3. Skizofrenia
2.3.1 Definisi
American Psychiatric Association (1994) mendefinisikan gangguan jiwa sebagai
suatu sindrom atau pola psikologis atau perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada
seseorang dan dikaitkan dengan adanya distress atau disabilitas. Psikotik adalah gangguan
jiwa yang ditandai dengan ketidakmampuan individu menilai kenyataan yang terjadi,
misalnya terdapat halusinasi, waham atau perilaku kacau atau aneh. Orang dengan gangguan
jiwa (ODGJ) berat yaitu orang yang memiliki gengguan jiwa yang dengan ciri psikotik
hingga menganggu fungsi kehidupan, atau dikenal dengan skizofrenia (DMS-IV, 2005).
Skizofrenia adalah sindrom dengan variasi dan perjalanan penyakit yang luas,
ditandai dengan adanya perubahan yang fundamental dan karakteristik persepsi, pikiran,
afek, dan perilaku seseorang. Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang ditandai
dengan berbagai tingkat kepribadian disorganisasi yang mengurangi kemampuan individu
untuk bekerja secara efektif dan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Gejala klinis
skizofrenia sering bingung, depresi, menarik diri atau cemas. Hal ini berdampak pada
keinginan dan kemampuan untuk melakukan tindakan oral hygiene (Maslim, 2003).

2.3.2 Epidemiologi
Insidensi skizofrenia di seluruh dunia adalah 3.000 – 10.000 penderita. Skizofrenia
terjadi paling tinggi pada rentang usia 15 - 35 tahun. Prevalensi global pada usia tersebut
adalah 1,1%, sedangkan di Indonesia adalah 0,3% - 1% (Bhugra, 2005).
Skizofrenia merupakan penyakit mental yang paling menyebabkan suatu
kemunduran. Psikopatologi ini secara tipikal didiagnosis pada usia di antara 20 - 25 tahun,
suatu fase kehidupan di mana hampir setiap manusia memperoleh kebebasan dari orang tua,
menjalin suatu hubungan romantis yang intim, merencanakan pencapaian-pencapaian dalam
hal pendidikan, dan dimulainya kehidupan berkarir pada seseorang. Prevalensi skizofrenia di
Amerika Serikat dilaporkan bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5 persen dengan angka
insidensi 1 per 10.000 orang per tahun. Berdasarkan jenis kelamin prevalensi skizofrenia
adalah sama, perbedaannya terlihat dalam onset dan perjalanan penyakit. Untuk laki laki 15
sampai 25 tahun sedangkan wanita 25 sampai 35 tahun. Di Indonesia angka penderita
skizofrenia 25 tahun yang lalu (PJPT I) diperkirakan 1/1000 penduduk dan proyeksi 25
tahun mendatang mencapai 3/1000 penduduk. Pada tahun 2013, skizofrenia mencapai

11
sekitar 400.000 jiwa atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk (Riskesdas, 2013).

2.3.3 Etiologi
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab
skizofrenia, antara lain:
1. Faktor Genetik
Menurut Baihaqi (2005), faktor keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia.
Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia
terutama anak kembar satu telur/ monozigotik. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 -
1,8%; bagi saudara kandung 7 – 15%; bagi anak dengan salah satu orangtua yang menderita
skizofrenia 7 – 16%; bila kedua orangtua menderita skizofrenia 40 – 68%; bagi kembar dua
telur (heterozigot) 2 -15%; bagi kembar satu telur (monozigot) 61 – 86%. Skizofrenia
melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative trait loci.
Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang
berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan
mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini
(dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi
dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini.
2. Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang disebut
neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi
satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas
neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan
sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa
aktivitas dopamine yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa
neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga memainkan
peranan (Akbar, 2008).
3. Faktor Psikologis dan Sosial
Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin lama semakin
kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang tua-anak yang
patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga (Wiraminaradja& Sutardjo, 2005).

12
Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga mempengaruhi
penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic mother kadang-kadang
digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat dingin, dominan, dan
penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-anaknya (Akbar,
2008). Menurut Coleman dan Maramis (1994 dalam Baihaqi et al, 2005), keluarga pada
masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian. Orangtua
terkadang bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan anak untuk
berkembang, ada kalanya orangtua bertindak terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau
tidak memberi bimbingan dan anjuran yang dibutuhkannya.

2.3.4 Gejala
1. Gangguan positif
a. Delusi/ Waham
Waham merupakan suatu keyakinan terhadap sesuatu yang dialami pasien
yang dihayati dan tidak bisa dirubah. Waham yang muncul pada klinis skizofrenia
khas didapatkan waham yang aneh/ tidak logis seperti waham kebesaran.

b. Halusinasi
Suatu persepsi terhadap panca indera tanpa adanya stimulus, baik itu
halusinasi auditorik (paling sering), halusinasi visual, dan panca indera lainnya,
sehingga muncul hal-hal sebagai berikut:
1) Perilaku aneh, tidak terorganisir.
2) Bicara sendiri, tidak teratur.
3) Gaduh dan gelisah.
4) Penuh kecurigaan dan memiliki rasa permusuhan.
2. Gangguan negatif
Gangguan negatif meliputi (Pakpahin, 2012):
1) Alogia (tidak mau bicara)
2) Emosi tumpul
3) Avolition (kehilangan motivasi)
4) Anhedonia (kehilangan minat)

13
5) Tidak mampu berkonsentrasi
3. Gangguan kognitif
4. Gangguan perhatian
5. Gangguan ingatan

2.3.5 Penegakan Diagnosis


Terdapat tanda dan gejala skizofrenia antara lain (PPDGJ III, 1993):
1. Minimal satu gejala berikut yang sangat jelas, atau minimal dua gejala jika tidak jelas
yaitu :
a. Adanya waham bizarre (thought of echo, thought of insertion, thought of
broadcasting).
b. Adanya delusion of influence, delusion of control, delusion of passivity, delusional
perception.
c. Halusinasi auditorik.
d. Waham menetap jenis lainnya yang dianggap tidak wajar dan mustahil terjadi.
2. Atau paling sedikit dua gejala yang harus selalu ada dengan jelas, yaitu:
a. Halusinasi menetap dari indera apapun, disertai waham maupun ide berlebihan.
b. Adanya arus pikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan (interpolation).
c. Perilaku katatonik.
d. Gejala-gejala negative.
3. Gejala khas tersebut berlangsung minimal 1 bulan.
4. Terdapat perubahan yang konsisten dan bermakna dalam overall quality dari beberapa
personal behavior.

2.3.6 Klasifikasi
Skizofrenia dapat dibedakan menjadi beberapa subtipe yaitu sebagai berikut (PPDGJ
III, 1993).
Tabel 2.1 Klasifikasi Skizofrenia
Skizofrenia Paranoid Skizofrenia Hebefrenik Skizofrenia Katatonik
1. Kriteria umum (+) 1. Kriteria umum (+) 1. Kriteria umum (+)
2. Halusinasi dan 2. Diagnosis pertama 2. Minimal satu dari
waham (control, ditegakkan pada usia berikut

14
influence, 15-25 tahun mendominasi:
passivity, dikejar) 3. Kepribadian stupor, mutisme,
yang amat premorbid: pemalu, gaduh-gelisah,
menonjol. solitary posturing,
4. Selama observasi 2-3 negativism,
3. Gangguan afektif , bulan didapatkan rigiditas,
dorongan perilaku yang tidak fleksibilitas cerea,
kehendak, gejala bertanggungjawab, command
katatonik relatif mannerisme, solitary, automatism
tidak menonjol afek dangkal
inappropriate,
inkoherensi.
5. Gangguan afektif,
dorongan kehendak,
dan gangguan proses
pikir menonjol
Skizofrenia Tak Terinci Skizofrenia Residual Skizofrenia Simplek
1. Kriteria umum (+) 1. Gejala negatif 1. Gejala negatif yang
2. Tidak memenuhi skizofrenia menonjol khas tanpa
kriteria skizofrenia 2. Riwayat satu episode didahului riwayat
paranoid, psikotik yang jelas di halusinasi, waham,
hebefrenik, atau masa lalu maupun manifestasi
katatonik 3. Melalui 1 tahun lain psikotik.
3. Tidak memenuhi dimana waham dan 2. Disertai perubahan
kriteria skizofrenia halusinasi sangat perilaku pribadi
residual atau berkurang, dan telah yang bermakna,
depresi post- timbul sindrom apatis atau seolah
skizofrenia negative tidak memiliki
4. Tidak ada kepentingan untuk
demensia/gangguan dirinya sendiri.
otak organik lain

Berikut ini adalah tipe skizofrenia dari DSM-IV-TR (2000). Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala yang dominan yaitu (Elain, 2010):
1. Tipe Paranoid
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau halusinasi
auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afektif yang relatif masih
terjaga. Waham biasanya adalah waham kejar atau waham kebesaran, atau keduanya,
tetapi waham dengan tema lain (misalnya waham kecemburuan, keagamaan, atau

15
somalisas) mungkin juga muncul. Ciri-ciri lainnya meliputi ansietas, kemarahan,
menjaga jarak dan suka berargumentasi, dan agresif.
2. Tipe Disorganized (tidak terorganisasi)
Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah laku
kacau dan afek yang datar atau inappropriate. Pembicaraan yang kacau dapat disertai
kekonyolan dan tertawa yang tidak erat kaitannya dengan isi pembicaraan.
Disorganisasi tingkah laku dapat membawa pada gangguan yang serius pada berbagai
aktivitas hidup sehari-hari.
3. Tipe Katatonik
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat
meliputi ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility). Aktivitas motor yang berlebihan,
negativism yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan berkomunikasi (mutism),
gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang ucapan orang lain (echolalia) atau
mengikuti tingkah laku orang lain (echopraxia).
4. Tipe Undifferentiated
Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan perubahan
pola simptom-simptom yang cepat menyangkut semua indikator skizofrenia. Misalnya,
indikasi yang sangat ruwet, kebingungan (confusion), emosi yang tidak dapat dipegang
karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi yang berubah-ubah atau salah, adanya
ketergugahan yang sangat besar, autisme seperti mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu
juga ada fase yang menunjukkan ketakutan.
5. Tipe Residual
Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia tetapi
masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti keyakinan-keyakinan
negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak sepenuhnya
delusional. Gejala-gejala residual itu dapat meliputi menarik diri secara sosial, pikiran-
pikiran ganjil, inaktivitas, dan afek datar.
2.3.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis dan terapi
psikososial.
1. Terapi Biologis

16
Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi dengan
menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif, dan pembedahan bagian otak.
Terapi dengan penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan gejala-gejala skizofrenia.
Obat yang digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine decanoate
(prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat phenothiazines, reserpine
(serpasil), dan haloperidol (haldol). Obat ini disebut obat penenang utama. Obat tersebut
dapat menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan tidur yang
lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah
terbangun). Obat ini cukup tepat bagi penderita skizofrenia yang tampaknya tidak dapat
menyaring stimulus yang tidak relevan (Akbar, 2008).
Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock pada
penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir 1930-an, electroconvulsive therapy (ECT)
diperkenalkan sebagai penanganan untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah menjadi
pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. ECT ini
digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk
skizofrenia. Antusiasme awal terhadap ECT semakin memudar karena metode ini
kemudian diketahui tidak menguntungkan bagi sebagian besar penderita skizofrenia
meskipun penggunaan terapi ini masih dilakukan hingga saat ini. Sebelum prosedur
ECT yang lebih manusiawi dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat
menakutkan pasien. Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke
tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita
kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas kekejangan
otot yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai cacat fisik (Akbar, 2008).
Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak memperkenalkan
prefrontal lobotomy, yaitu proses operasi primitif dengan cara membuang “stone of
madness” atau disebut dengan batu gila yang dianggap menjadi penyebab perilaku yang
terganggu. Menurut Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang
dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi, pada
tahun 1950an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan
kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.
2. Terapi Psikososial

17
Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan situasi
pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan
menjemukan. Secara historis, sejumlah penanganan psikososial telah diberikan pada
pasien skizofrenia, yang mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan ini
merupakan akibat masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai pengalaman yang
dialami di usia dini. Pada terapi psikosial terdapat dua bagian yaitu terapi kelompok dan
terapi keluarga (Akbar, 2008).
Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi ini,
beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai
fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Para peserta terapi saling memberikan
feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta diposisikan pada situasi
sosial yang mendorong peserta untuk berkomunikasi, sehingga dapat memperkaya
pengalaman peserta dalam kemampuan berkomunikasi.
Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok.
Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan tinggal
bersama keluarganya. Keluarga berusaha untuk menghindari ungkapan-ungkapan emosi
yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali. Dalam hal ini, keluarga
diberi informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang
positif maupun yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap
persoalan secara bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan penderita
dan cara-cara untuk menghadapinya. Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan
ternyata campur tangan keluarga sangat membantu dalam proses penyembuhan, atau
sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit penderita, dibandingkan dengan
terapi-terapi secara individual.

Pada pasien dengan serangan akut, langkah yang harus dilakukan adalah sebagai
berikut (Kaplan dan Sadock, 2010):
1. Langkah Pertama
Dokter dapat melakukan diskusi dan menenangkan pasien
2. Langkah Kedua
e. Terapi medikamentosa

18
Apabila pasien membahayakan dirinya atau orang lain dapat dilakukan isolasi terlebih
dahulu selama 2-4 jam. Pemberian obat dapat dilakukan secara peroral maupun
injeksi.
1) Obat injeksi digunakan untuk mendapat efek lebih cepat, misalnya haloperidol,
dosis 5 mg setiap injeksi intramuscular dan dapat diulang setiap setengah jam
(dosis maksimum 20mg/hari)
2) Obat antipsikotika oral misalnya klorpromazin dengan dosis 300-1000 mg/hari
atau trihexipenidil 2 mg sebanyak 3 kali sehari
f. Psikoterapi, dilakukan untuk mengurangi stimulus dan stressor yang berlebihan
sekaligus memberikan ketenangan kepada pasien.
g. Terapi kejang listrik (electro compulsive therapy) bagi skizofrenia katatonik dan
skizofrenia refrakter
h. Edukasi pada keluarga dan pasien mengenai gangguan yang terjadi pada pasien,
fungsi terapi, peran keluarga, gejala, penyebab, dan cara mengatasinya.
Pada fase stabilisasi, pasien dapat diberikan terapi sebagai berikut (Kaplan dan
Sadock, 2010):
1. Farmakoterapi dengan dosis optimal selama 8-10 minggu untuk meminimalisasi
konsekuensi kekambuhan, serta optimalisasi fungsi dan recovery.
2. Psikoedukasi untuk meningkatkan keterampilan pasien dan keluarga, serta melatih
pasien dalam menghadapi gejala.
Pada fase rumatan, pasien dapat diberikan terapi antara lain sebagai berikut (Kaplan
dan Sadock, 2010):
1. Farmakoterapi dengan dosis tapering-off hingga didapatkan dosis minimal yang mampu
mencegah kekambuhan. Farmakoterapi dilakukan sampai dua tahun.
2. Psikoedukasi yang dilakukan untuk mempersiapkan pasien kembali pada kehidupan
masyarakat. Terapi ini dilakukan dengan cara modalitas rehabilitasi spesifik dan
pengenalan gejala prodromal kepada pasien dan keluarga
3. Terapi psikososial yang mencakup terapi perilaku, terapi keluarga, dan terapi kelompok.
4. Psikoterapi individual untuk meningkatkan hubungan terapeutik dan rasa aman pasien.
5. Perawatan di rumah sakit dengan indikasi:
a. Tujuan diagnostik

19
b. Menstabilkan medikasi
c. Keamanan pasien (jika ada gagasan bunuh diri atau membunuh)
d. Perilaku yang sangat kacau
e. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar

2.3.8 Prognosis

Beberapa faktor penentu prognosis yang dapat dilihat antara lain kepribadian
pramorbid, gejala klinik, jenis kelamin, usia serangan, frekuensi serangan, jenis serangan,
dan faktor konstitusi fisik (Syamsir, 2006). Sekitar 10-20% pasien skizofrenia menunjukkan
hasil baik, 50% menunjukkan hasil buruk (berupa rawat inap berulang, gangguan mood, dan
usaha bunuh diri) (Kaplan dan Sadock, 2010).
Beberapa peneletian mengemukakan bahwa pasien skizofrenia yang dirawayat pada
masa periode 5 hingga 10 tahun hanya memiliki hasil kekembuhan 10 – 20 % dari selururh
pasien yang mengalami perawatan. 20 – 30 % pasien mengalami penyembuhan namun tidak
sempurna dan 40m- 60 % pasien masih tetap dalam keadaan semula. Prognosis pasien
dengan skizofrenia dapat di bagi atas 2 keompok besar yaitu kelompok dengan prognosis
baik dan prognosis buruk. Hal hal yang menentukan suatu prognosis baik atau buruk yaitu
(Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010):
1. Prognosis baik
a. Onset lambat/ pada usia tua
b. Faktor pencetus jelas
c. Durasi dari awitan bersifat akut
d. Riwayat seksual, sosial dan pekerjaan premorbid baik
e. Adanya gangguan mood
f. Menikah
g. Riwayat keluarga gangguan mood
h. Sistem pendukung yang baik
i. Gejala positif
2. Prognosis buruk
a. Onset muda/ pada usia muda
b. Faktor pencetus tidak jelas

20
c. Durasi dari awitan bersifat kronis
d. Riwayat seksual, sosial dan pekerjaan premodrbid jelek
e. Tidak menikah, bercerai, atau janda/duda
f. Sistem pendukung yang buruk
g. Riwayat keluarga skizofrenia
h. Gejala negative
i. Tanda dan gejala neurologis
j. Riwayat trauma perinatal
k. Tidak ada remisi dalam 3 tahun
l. Banyak relaps
m. Riwayat penyerangan

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan


menggunakan pendekatan kualitatif yaitu metode penelitian yang berlandaskan pada

21
filsafat post positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah,
(sebagai lawannya eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci,
pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowball, teknik
pengumpulan dengan tri-anggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif atau kualitatif,
dan hasil penelitian ini lebih menekankan makna dari pada generalisasi. (Sugiyono, 2011).
Rancangan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran data demografi
keluarga dengan anggota keluarga yang pernah menderita gangguan jiwa berat
(skizofrenia) pada wilayah kerja UPT Puskesmas Pekik Nyaring.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi : Desa Pekik Nyaring, Pasar Pedati, Pondok Kelapa, Sunda Kelapa, Abu
Sakim, Padang Betuah, dan Desa Harapan Wilayah kerja UPT Puskesmas Pekik
Nyaring

Waktu : April – Mei 2021

3.3 Instrumen Penelitian


Penelitian ini mengambil data yang diperoleh dari kuesioner Program Keluarga
Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS - PK) pada setiap Kepala Keluarga (KK) di
Desa Pekik Nyaring, Pasar Pedati, Pondok Kelapa, Sunda Kelapa, Abu Sakim, Padang
Betuah, dan Desa Harapan wilayah UPT Puskesmas Pekik Nyaring.

3.4 Populasi Penelitian


Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:
a) Anggota keluarga yang bertempat tinggal di Desa Pekik Nyaring, Pasar
Pedati, Pondok Kelapa, Sunda Kelapa, Abu Sakim, Padang Betuah, dan
Desa Harapan wilayah kerja Puskesmas Pekik Nyaring.
b) Anggota keluarga yang baru dan/ atau pernah didiagnosis gangguan jiwa
berat (skizofrenia).
c) Anggota keluarga yang sedang dan/ atau pernah dipasung.

22
3.5 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik sampling yang digunakan adalah consecutive sampling yaitu teknik
pengambilan sampel dimana setiap subjek yang memenuhi kriteria inklusi dipilih
sampai ukuran sampel yang dibutuhkan tercapai.
Sampel pada penelitian ini adalah anggota keluarga Desa Pekik Nyaring,
Pasar Pedati, Pondok Kelapa, Sunda Kelapa, Abu Sakim, Padang Betuah, dan Desa
Harapan Wilayah kerja UPT Puskesmas Pekik Nyaring.

3.6 Variabel Penelitian


a. Variabel bebas : Anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa berat
(skizofrenia)
b. Variabel terikat : Angka kepatuhan berobat

3.7 Definisi Operasional Variabel


a. Gangguan Jiwa Berat (Skizofrenia)
Definisi operasional : Orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku,
dan perasaan yang termanifestasi dalam sekumpulan gejala dan atau perubahan
perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam
menjalankan fungsi luhur sebagai manusia dalam keseharian (seperti pekerjaan dan
sosial) dengan onset lebih dari 1 bulan.
Cara ukur :Ditanyakan dengan menggunakan kuesioner, anamnesis,
dan pemeriksaan fisik
Standar : Dibedakan menjadi YA atau TIDAK
Skala ukur : Nominal
b. Angka kepatuhan berobat/ minum obat jiwa
Definisi operasional : Penderita gangguan jiwa berat (skizofrenia) yang berobat
dan meminum obat rutin sesuai anjuran dokter
Cara ukur : Ditanyakan dengan menggunakan kuesioner
Standar : Dibedakan menjadi YA atau TIDAK
Skala ukur : Nominal
c. Kestabilan Emosional

23
Definisi Operasional : Stabilitas emosi merupakan keadaan emosi seseorang yang bila
mendapat rangsangan-rangsang emosional dari luar tidak menunjukkan gangguan
emosional, seperti depresi dan kecemasan.
Cara ukur : Ditanyakan dengan menggunakan kuesioner
Standar : Dibedakan menjadi YA atau TIDAK
Skala ukur : Nominal
3.8 Pengumpulan Data
1. Jenis Data
Penelitian ini menggunakan data primer yaitu berupa data hasil wawancara
menggunakan kuesioner PIS - PK dan data sekunder Laporan Program Kesehatan Jiwa
Puskesmas Pekik Nyaring.
2. Alat pengumpulan data
Alat yang digunakan adalah kuesioner PIS - PK, alat tulis untuk mencatat data,
dan komputer untuk mengolah dan memproses data.
3. Cara pengumpulan data
Peneliti mengumpulkan data primer dan sekunder yang didapat dari PIS - PK
Desa Pekik Nyaring, Pasar Pedati, Pondok Kelapa, Sunda Kelapa, Abu Sakim, Padang
Betuah, dan Desa Harapan di wilayah Puskesmas Pekik Nyaring.

3.9 Tata Urutan Kerja


1. Tahap persiapan meliputi konsultasi dengan pembimbing, studi pustaka, merancang
metodologi penelitian, serta perizinan penggunaan data PIS - PK dan Laporan
Program Kesehatan Jiwa Puskesmas Pekik Nyaring.
2. Merekap data ODGJ dari hasil PIS - PK Desa Pekik Nyaring, Pasar Pedati, Pondok
Kelapa, Sunda Kelapa, Abu Sakim, Padang Betuah, dan Desa Harapan sesuai
kriteria inklusi.
3. Mendapatkan data Laporan Program Kesehatan Jiwa Puskesmas Pekik Nyaring
Tahun 2021.
4. Mengolah data
5. Menganalisis data.
6. Pembuatan laporan penelitian.

24
7. Presentasi hasil penelitian.

25
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap 23 orang dengan gangguan jiwa
berat (Skizofrenia), maka terdapat pengaruh pada tingkat kepatuhan minum obat terhadap
kestabilan emosional pasien di wilayah kerja Puskesmas Pekik Nyaring, yang dapat dilihat
pada tabel dibawah ini:
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Kepatuhan Minum Obat Orang dengan Gangguan
Jiwa Berat (Skizofrenia) di Wilayah Kerja Puskesmas Pekik Nyaring
Tingkat Kepatuhan Minum Frekuensi Presentase
Obat
Tinggi 18 78,2%
Sedang 3 13%
Rendah 2 8,8%
Total 23 100
Berdasarkan Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa Tingkat Kepatuhan minum obat pasien
dengan gangguan jiwa berat (Skizofrenia) di wilayah Kerja Puskesmas Pekik Nyaring baik
dengan presentase Tingkat Kepatuhan Tinggi sebanyak 18 orang (78,2%), Tingkat Kepatuhan
sedang 3 orang (13%) dan Tingkat Kepatuhan Rendah sebanyak 2 orang (8,8%).
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Kestabilan Emosinal Orang dengan Gangguan Jiwa
Berat (Skizofrenia) Di Wilayah Kerja Pekik Nyaring
Kestabilan Emosional Frekuensi Presentase
Stabil 21 91,3%
Tidak Stabil 2 8,7%
Total 23 100
Berdasarkan table 4.2 dapat diketahui bahwa Frekuensi Kestabilan Emosinal Orang
dengan Gangguan Jiwa Berat (Skizofrenia) Di Wilayah Kerja Pekik Nyaring sangat baik dengan
presentase Kestabilan emosional stabil sebanyak 21 orang (91,3%) dan Kestabilan Emosional
tidak stabil sebanyak 2 orang (8,7%).
Tabel 4.3 Pengaruh Tingkat Kepatuhan Minum Obat dengan Kestabilan Emosional
Orang dengan Ganggguan Jiwa Berat (Skizofrenia) di Wilayah Kerja Puskesmas Pekik

26
Nyaring
Tingkat Kepatuhan Minum Kestabilan Emosional
Obat Stabil Tidak Stabil
Tinggi 18 0
Sedang 3 0
Rendah 0 2
Total 21 2
Presentase 91,3% 8,7%
Berdasarkan table 4.3 dapat diketahui bahwa Tingkat kepatuhan minum obat sangat
berpengaruh dengan kestabilan emosional Orang dengan Gangguan Jiwa Berat (Skizofrenia).
Dari 18 orang dengan tingkat kepatuhan minum obat tinggi didapatkan Pasien dengan kestabilan
emosional Stabil sebanyak 18 orang dan Pasien dengan ketabilan emosional tidak stabil 0. Dari 3
orang dengan Tingkat Kepatuhan minum obat Sedang didapatkan pasien dengan kestabilan
emosional stabil sebanyak 3 orang dan kestabilan emosonal tidak stabil 0. Dan dari 2 orang
dengan Tingkat minum obat Rendah didapatkan pasien dengan tingkat kestabilan emotional
Stabil 0 dan pasien dengan Kestabilan Emosional Tidak Stabil sebanyak 2 orang.

4.2 Pembahasan
a. Tingkat Kepatuhan Minum Obat
Berdasarkan Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa Tingkat Kepatuhan minum obat
pasien dengan gangguan jiwa berat (Skizofrenia) di wilayah Kerja Puskesmas Pekik
Nyaring baik dengan presentase Tingkat Kepatuhan Tinggi sebanyak 18 orang
(78,2%), Tingkat Kepatuhan sedang 3 orang (13%) dan Tingkat Kepatuhan Rendah
sebanyak 2 orang (8,8%).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sandriani tahun 2014, tentang
hubungan kepatuhan minum obat dengan tingkat kekambuhan pada pasien
skozofrenia di poli klinik RSJ DIY. Didapatkan hasil 63 (78,8%) responden tidak
patuh dalam minum obat. 17 orang yang patuh 17 (21,2%).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Saputra tahun 2012, tentang
hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan mengkonsumsi obat pada pasien
yang mengalami gangguan jiwa poli rawat jalan RSJD Surakarta.Didapatkan hasil

27
66% responden dengan kepatuhan minum obat.
Terapi obat didefenisikan sebagai suatu cara untuk memodifikasi atau
mengoreksi perilaku, pikiran atau alam perasaan yang patologis menggunakan zat
kimia. Obat harus digunakan dalam dosis efektif untuk periode waktu yang
cukup.Respon terapi dan timbulnya efek samping harus diberikan sesegera
mungkin.Obat yang digunakan untuk mengobati psikosis memiliki banyak sebutan
yaitu obat anti psikotik, neoroleptik, dan mayor trangquiles.Anti psikotik digunakan
untuk mengatasi psikosis, termasuk skzofrenia.Efek terapi dari obat obatan ini terlihat
sewaktu dipakai pada psikosis akut.Efeknya mengurangi gejala positif, antara lain
halusinasi, tidak mau makan, tidak kooperatif dan gangguan pikiran.
Menurut WHO obat pada pasien jiwa dibagi menjadi 5 golongan yaitu:
neuroleptika, antidepresan, antianxietas, psikotimulansia, dan psikodisleptik. Langkah
awal dalam pemilihan obat adalah diagnosis dan identifiasi gejala sasaran.
Penggunaan obat tersebut harus diperhatikan penggunaannya pada anak- anak
dimulai pada dosis minimal, pada pasien lanjut usia diawali dengan dosis rendah
karena metabolisme tubuh lebih lambat.
Selain itu (Ibrahim 2011) juga mengatakan kepatuhan obat juga dilihat pada
diagnosis dan identifikasi gejala sasaran, idealnya harus dilakukan pada saat pasien
bebas obat selama 1-2 munggu.Keadaan bebas obat disini mecakup pedoman dengan
tidak diberikannya medikasi yang berkhasiat tidur, karena kualitas tidur merupakan
pedoman diagnostic penting dan merupakan suatu gejala sasaran. Diantara obat yang
sesuai dengan diagnosis tertentu harus dipilih berdasarkan riwayat respon obat oleh
pasien (kepatuhan,respon terapeutik dan efek merugikan), riwayat respon obat dalam
keluarga pasien, serta efek merugikan dari obat tersebut.
b. Kestabilan Emosional
Berdasarkan table 4.2 dapat diketahui bahwa Frekuensi Kestabilan Emosinal
Orang dengan Gangguan Jiwa Berat (Skizofrenia) Di Wilayah Kerja Pekik Nyaring
sangat baik dengan presentase Kestabilan emosional stabil sebanyak 21 orang
(91,3%) dan Kestabilan Emosional tidak stabil sebanyak 2 orang (8,7%).
Stabilitas emosi merupakan keadaan emosi seseorang yang bila mendapat
rangsangan-rangsang emosional dari luar tidak menunjukkan gangguan emosional,

28
seperti depresi dan kecemasan. Dengan kata lain, individu tersebut tetap dapat
mengendalikan dirinya dengan baik.
Menurut Aleem karakteristik kestabilan emosi meliputi mampu merespon
perubahan situasi dengan baik, mampu menunda respon, terutama respon negatif,
bebas dari rasa takut yang tidak beralasan dan mau mengakui kesalahan tanpa merasa
malu.
c. Pengaruh Kepatuhan Minum Obat Terhadap Kestabilan Emosional
Berdasarkan table 4.3 dapat diketahui bahwa Tingkat kepatuhan minum obat
sangat berpengaruh dengan kestabilan emosional Orang dengan Gangguan Jiwa Berat
(Skizofrenia). Dari 18 orang dengan tingkat kepatuhan minum obat tinggi didapatkan
Pasien dengan kestabilan emosional Stabil sebanyak 18 orang dan Pasien dengan
ketabilan emosional tidak stabil 0. Dari 3 orang dengan Tingkat Kepatuhan minum
obat Sedang didapatkan pasien dengan kestabilan emosional stabil sebanyak 3 orang
dan kestabilan emosonal tidak stabil 0. Dan dari 2 orang dengan Tingkat minum obat
Rendah didapatkan pasien dengan tingkat kestabilan emotional Stabil 0 dan pasien
dengan Kestabilan Emosional Tidak Stabil sebanyak 2 orang.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sandriani tahun 2014, tentang
hubungan kepatuhan minum obat dengan tingkat kestabilan emosional pada pasien
skizofrenia di poli klinik RSJ DIY.didapatkan hasil 40 (50%) responden tingkat
stabilan emosonal tinggi 27 (33,8%) tingkat kestabilan emosonal sedang, dan 13
(16,2%) tingkat kestabilan emosional rendah.
Gangguan jiwa merupakan sekelompok gangguan psikotik, dengan gangguan
dasar pada kepribadian, distorsi khas pada proses pikir. Kadang-kadang mempunyai
perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar.Pada umumnya
ditandai oleh distorsi pikiran dan perasaan oleh efek yang tidak serasi atau tumpul,
dan ternyata kesadaran dan kemampuan intelektual biasanya tetap dipertahankan,
walaupun terjadi deficit kognitif. Pikiran, perasaan dan perbuatan yang paling
mendalam dirasakan seakan diketahui oleh oraang lain, dan waham-waham yang
timbul menjelaskan bahwa kekuatan alam dan supernatural sedang bekerja
mempengaruhi pikran dan perbuatan penderita dengan cara – cara yang tidak masuk
akal atau aneh.

29
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dari data primer dan data sekunder kasus pengaruh
tingkat kepatuhan minum obat orang dengan gangguan jiwa terhadap kestabilan emosional di
wilayah kerja puskesmas pekik nyaring dapat disimpulkan bahwa:
1. Tingkat Kepatuhan minum obat pasien dengan gangguan jiwa berat (Skizofrenia)
di wilayah Kerja Puskesmas Pekik Nyaring baik dengan presentase Tingkat
Kepatuhan Tinggi sebanyak 18 orang (78,2%), Tingkat Kepatuhan sedang 3 orang
(13%) dan Tingkat Kepatuhan Rendah sebanyak 2 orang (8,8%).
2. Kestabilan Emosinal Orang dengan Gangguan Jiwa Berat (Skizofrenia) Di
Wilayah Kerja Pekik Nyaring sangat baik dengan presentase Kestabilan
emosional stabil sebanyak 21 orang (91,3%) dan Kestabilan Emosional tidak
stabil sebanyak 2 orang (8,7%).
3. Terdapat pengaruh antara Tingkat kepatuhan minum obat sangat berpengaruh
dengan kestabilan emosional Orang dengan Gangguan Jiwa Berat (Skizofrenia).
Dari 18 orang dengan tingkat kepatuhan minum obat tinggi didapatkan Pasien
dengan kestabilan emosional Stabil sebanyak 18 orang dan Pasien dengan
ketabilan emosional tidak stabil 0. Dari 3 orang dengan Tingkat Kepatuhan
minum obat Sedang didapatkan pasien dengan kestabilan emosional stabil
sebanyak 3 orang dan kestabilan emosonal tidak stabil 0. Dan dari 2 orang dengan
Tingkat minum obat Rendah didapatkan pasien dengan tingkat kestabilan
emotional Stabil 0 dan pasien dengan Kestabilan Emosional Tidak Stabil
sebanyak 2 orang.
5.2 Saran
Dari seluruh proses penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, dapat
diungkapkan beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
terkait dalam proses penelitian dan bagi masyarakat yang membaca penelitian ini.
Adapun saran-saran tersebut adalah :

1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar untuk meningkatkan
pengetahuan tentang pengaruh tingkat kepatuhan minum obat orang dengan

30
gangguan jiwa terhadap kestabilan emosional sehingga bisa diadakannya
penyuluhan oleh instansi terkait.
2. Perlu adanya penyuluhan/ pemberian informasi oleh tenaga kesehatan kepada
masyarakat tentang gejala dan tanda, faktor risiko, terapi, serta dukungan
terhadap ODGJ.
3. Perlu juga penyuluhan tentang kepatuhan berobat pasien ODGJ kepada
keluarga pasien untuk meningkatkan keberhasilan terapi.
4. Perlu adanya dukungan keluarga yang sangat berpengaruh terhadap
kepatuhan terapi pada pasien ODGJ.
5. Perlu dilakukan home care terutama terhadap pasien dengan kepatuhan
minum obat rendah.

31
DAFTAR PUSTAKA
1. Akbar, M. 2008. Hubungan Dukungan Sosial Keluarga terhadap Tingkat Kekambuhan
Penderita Skizofrenia di RS Grhasia Yogyakarta. Yogyakarta: Penerbit Universitas Islam
Indonesia.

2. Ashturkar, M.D., and Dixit, J.V. 2013. Selected Epidemiological Aspect of


Schizophrenia: A Cross Section Study at Terytyari Care Hospital in Maharashtra.
National Journal of Community Medicine. 4 (1): 65-69.

3. Baihaqi, Sunardi, Riksma, dan Euis. 2005. Pskiatri. Bandung: Refika Aditama.

4. Bhugra, D. 2005. The global prevalence of schizophrenia. PLoS Med. 2 (5): 151.

5. Budiarto, Eko. 2004. Metodologi Penelitian Kedokteran. Jakarta: EGC.

6. Elain, M. E. 2010. Patient’s Perception of Family Involvement and Its Relationship to


Medication Adherence for Persons with schizophrenia and Schizoaffective Disorders.
Journal Social Science. New Jersey: The State University of New Jersey.

7. Hawari. 2014. Skizofrenia Pendekatan Holistik (Bio-Psiko-Sosial). Jakarta: Penerbit FK


UI.

8. Kaplan, H.I., Sadock B.J., and Grebb J.A. 2010. Sinopsis Psikiatri (Alih bahasa: Widjaja
Kusuma). Jakarta: Binarupa Aksara.

9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta:
Kementerin Kesehatan Republik Indonesia.

10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016.Pedoman Umum Program Indonesia


Sehat dengan Pendekatan Keluarga. Jakarta: Kesehatan Kementerin Kesehatan Republik
Indonesia.

11. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Modul Pelatihan Keluarga Sehat:
Pokok Bahasan 2 Kesehatan Jiwa. Jakarta: Badan Pusat Pelatihan SDM Kesehatan
Kementerin Kesehatan Republik Indonesia.

12. Maslim, R. 2003. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ
III. Jakarta: FK Unika Atmajaya.

13. Pakpahan, dan Sri Hertika. 2012. Karakteristik Penderita Skizofrenia Rawat Inap di Rumah
Sakit Jiwa Medan Tahun 2001. Sumatera Utara: FK USU.

14. Towsend, M.C. 2011. Psychiatric Mental Health Nursing: Concepts of Care In Evidence-
Based Practice. Philadelphia: F.A. Davis Company.

15. Videbeck, S.L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

32
16. World Health Organization. 2016. Mental Health. Geneva: World Health Organization.

17. World Health Organization. 2017. Mental Health Atlas. Geneva: World Health
Organization.

33
LAMPIRAN 1

KUISONER KEPATUHAN MINUM OBAT


NO PERTANYAAN YA TIDAK

1 Apakah anda pernah lupa minum obat?

2 Apakah anda sering tidak tepat waktu ketika minum obat?

3 Apakah anda berhenti minum obat ketika keadaan emosional anda merasa
sudah baik?

4 Ketika anda telah meminum obat tetapi tidak ada perubahan, apakah anda
tetap melanjutkan pengobatan?

5 Apakah anda hanya meminum obat ketika sakit?

6 Dalam keadaan emosional anda tidak stabil, apakah obat yang anda minum
dapat mengontrol pikiran dan tindakan anda?

7 Apakah obat yang anda minum dapat menenangkan pikiran anda?

8 Apakah dengan tetap meminum obat, anda dapat mencegah kejadian


kekambuhan anda?

9 Ketika anda tidak meminum obat, apakah anda merasakan ada yang aneh
pada pikiran dan diri anda?

10 Apakah obat yang anda minum setiap hari membuat anda bosan dan lelah?

34
LAMPIRAN 2
DATA PASIEN DENGAN GANGGUAN JIWA BERAT (SKIZOFRENIA) SERTA TINGKAT
KEPATUHAN DAN KESTABILAN EMOSIONAL DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS PEKIK
NYARING

Kepatuhan Kestabilan
NO NAMA Jenis kelamin Usia Diagnosa Minum Obat Emosional
1 RA L 21 Skizofrenia Tinggi Stabil
2 TE P 49 Skizofrenia Tinggi Stabil
3 US P 53 Skizofrenia Tinggi Stabil
4 MA L 41 Skizofrenia Tinggi Stabil
5 AA L 25 Skizofrenia Tinggi Stabil
6 MU L 39 Skizofrenia Sedang Stabil
7 SA L 46 Skizofrenia Tinggi Stabil
8 RO P 50 Skizofrenia Tinggi Stabil
9 ER P 60 Skizofrenia Tinggi Stabil
10 KU L 33 Skizofrenia Rendah Tidak Stabil
11 GN L 44 Skizofrenia Tinggi Stabil
12 SK L 48 Skizofrenia Tinggi Stabil
13 ID P 46 Skizofrenia Tinggi Stabil
14 ZA L 31 Skizofrenia Sedang Stabil
15 RK L 19 Skizofrenia Tinggi Stabil
16 MI P 68 Skizofrenia Tinggi Stabil
17 AD L 24 Skizofrenia Tinggi Stabil
18 EJ L 32 Skizofrenia Tinggi Stabil
19 HD L 65 Skizofrenia Tinggi Stabil
20 PU P 35 Skizofrenia Rendah Tidak Stabil
21 SU P 29 Skizofrenia Sedang Stabil
22 BA L 20 Skizofrenia Tinggi Stabil
23 IH L 41 Skizofrenia Tinggi Stabil

35

Anda mungkin juga menyukai