Anda di halaman 1dari 18

Makalah

Isu Mengenai Permasalahan Gender Yang Mempengaruhi Profesionalisme


Bidan Dan Siklus Kehidupan Perempuan

Oleh:

Novia Putri Widyawati

191520100001

PROGRAM STUDI SARJANA PENDIDIKAN PROFESI BIDAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Di era globalisasi dan demokratisasi yang semakin mengemukakan isu hak asasi
manusia (HAM) dan kesetaraan gender serta kesamaan hak dan kewajiban antara suami
dan istri, saat ini kondisi di atas tidaklah dapat dipertahankan, bahkan secara bertahap
harus diperbaiki. Kesenjangan gender merupakan suatu kondisi ketidakseimbangan
hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan pelayanan KB dan
kesehatan reproduksi, sehingga salah satu pihak merasa dirugikan karena tidak dapat
berpartisipasi dan memperoleh manfaat dari pelayanan tersebut. Ada atau tidaknya
kesenjangan dalam KB dan kesehatan reproduksi dapat dilakukan melalui proses analisis
gender, antara lain dapat dilihat dari faktor akses (jangkauan), manfaat, partisipasi
(keikutsertaan) serta pengambilan keputusan (kontrol). Dalam hal ini tenaga kesehatan
khusus nya bidan yang dianggap dekat dengan masyarakat memiliki peran penting dalam
pemberian pelayanan Keluarga berencana terkait dengan pemberian informasi.
Gender mempunyai pengaruh besar terhadap kesehatan laki-laki dan perempuan.Baik
laki-laki maupun perempuan sama-sama terkena dampak dan gender steriotipi masing-
masing. Misalnya saja sesuai dengan pola perilaku yang diharapkan sebagai laki-laki,
maka laki-laki dianggap tidak pantas memperlihatkan rasa sakit atau mempertunjukkan
kelemahan-kelemahan serta keluhannya. Perempuan yang diharapkan memiliki toleransi
yang tinggi, berdampak terhadap cara mereka menunda-nunda pencarian pengobatan,
terutama dalam situasi social ekonomi yang kurang dan harus memilih prioritas, maka
biasanya perempuan dianggap wajar untuk berkorban.
Isu-isu gender dalam di berbagai siklus kehidupan terdapat 4 (empat) isu gender
dalam berbagai kehidupan, antara lain: Isu Gender Di Masa Kanak-Kanak. Isu gender
pada anak-anak laki-laki, misalnya: pada beberapa suku tertentu, kelahiran bayi laki-laki
sangat diharapkan dengan alas an, misalnya laki-laki adalah penerus atau pewaris nama
keluarga; laki-laki sebagai pencari nafkah keluarga yang handal; laki-laki sebagai
penyanggah orang tuanya di hari tua., Dan perbedaan perlakuan juga berlanjut pada
masa kanak-kanak. Pada masa kanak-kanak, sifat agresif anak laki-laki serta perilaku
yang mengandung resiko diterima sebagai suatu kewajaran, bahkan didorong kearah itu,
karena dianggap sebagai sifat anak laki-laki. Sehingga data menunjukkan bahwa anak
laki-laki lebih sering terluka dan mengalami kecelakaan.
Isu Gender Pada Anak Perempuan. Secara biologis bayi perempuan lebih tahan
daripada bayi laki-laki terhadap penyakit infeksi di tahun-tahun pertama kehidupannya.
Sebab itu jika data memperlihatkan kematian bayi perempuan lebih tinggi dan bayi laki-
laki, patut dicurigai sebagai dampak dari isu gender. Di masa balita, kematian karena
kecelakaan lebih tinggi dialami oleh balita laki-laki, karena sifatnya yang agresif dan
lebih banyak gerak. Data Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI 1991-
2002/2003) menunjukkan : tren kematian bayi lebih tinggi pada bayi laki-laki daripada
bayi perempuan, trend kematian anak balita lebih tinggi pada balita laki-laki dari pada
balita perempuan.
Isu Gender Di Masa Remaja. Isu gender yang berkaitan dengan remaja perempuan,
antara lain : kawin muda, kehamilan remaja, umumnya renmaja puteri kekurangan
nutrisi, seperti zat besi, anemia. Menginjak remaja, gangguan anemia merupakan gejala
umum dikalangan remaja putri. Gerakan serta interaksi social remaja puteri seringkali
terbatasi dengan datangnya menarche. Perkawinan dini pada remaja puteri dapat member
tanggung jawab dan beban melampaui usianya. Belum lagi jika remaja puteri mengalami
kehamilan, menempatkan mereka pada resiko tinggi terhadap kematian. Remaja putreri
juga berisiko terhadap pelecehan dan kekerasan seksual, yang bisa terjadi di dalam
rumah sendiri maupun di luar rumah. Remaja putri juga bisa terkena isu berkaitan
dengan kerentanan mereka yang lebih tinggi terhadap perilaku-perilaku steriotipi
maskulin, seperti merokok, tawuran, kecelakaan dalam olah raga, kecelakaan lalu lintas,
ekplorasi seksual sebelum nikah yang berisiko terhadap penyakit-penyakit yang
berkaitan dengan :IMS, HIV/AIDS.
Isu Gender Di Masa Dewasa. Pada tahap dewasa, baik laki-laki maupun perempuan
mengalami masalah-masalah kesehatan yang berbeda, yang disebabkan karena factor
biologis maupun karena perbedaan gender. Perempuan menghadapi masalah kesehatan
yang berkaitan dengan fungsi alat reproduksinya serta ketidaksetaraan gender. Masalah-
masalah tersebut, misalnya konsekwensi dengan kehamilan dan ketika melahirkan
seperti anemia, aborsi, puerperal sepsis (infeksi postpartum), perdarahan, ketidak
berdayaan dalam memutuskan bahkan ketika itu menyangkut tubuhnya sendiri (“tiga
terlambat”). Sebagai perempuan, dia juga rentan terpapar penyakit yang berkaitan
dengan IMS dan HIV/AIDS, meskipun mereka sering hanya sebagai korban. Misalnya :
metode KB yang hanya difokuskan pada akseptor perempuan, perempuan juga rentan
terhadap kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan ditempat kerja, dan diperjalanan.
ISU Gender Di Masa Tua. Di usia tua baik laki-laki maupun perempuan keadaan
biologis semakin menurun. Mereka merasa terabaikan terutama yang berkaitan dengan
kebutuhan mereka secara psikologis dianggap semakin meningkat. Secara umum, umur
harapan hidup perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Namun umur panjang
perempuan berisiko ringkih, terutama dalam situasi soaial-ekonomi kurang. Secara
kehidupan social biasanya mereka lebih terlantar lagi, terutama yang berkaitan dengan
kebutuhan yang semakin banyak dan semakin tergantung terhadap sumber daya.
Osteoporosis banyak diderita oleh perempuan di masa tua, yaitu delapan kali lebih
banyak dari pada laki-laki. Depresi mental juga lebih banyak diderita orang tua, terutama
karena merasa ditinggalkan
Pemberi pelayanan, yang sering disebut provider, seharusnya peka terhadap isu
gender dalam upaya memenuhi secara seimbang kebutuhan KB dan kesehatan
reproduksi klien laki-laki dan perempuan. Provider disini adalah bidan. Efektivitas
pelaksanaan program kesehatan reproduksi dan KB sedikit banyak tergantung kepada
pemahaman peran gender dari pemberi pelayanan kesehatan, karena merupakan hak
reproduksi bagi setiap akseptor.
Hak kesehatan reproduksi adalah hak asasi manusia yang seharusnya diperoleh
masyarakat khususnya akseptor Keluarga Berencana (KB) melalui pelayanan KB
berkualitas yang menjadi program pemerintah. Pelayanan berkualitas termasuk kualitas
medik, artinya menawarkan metode kontrasepsi yang cocok dengan pelayanan yang
tersedia, ditunjang dengan konseling yang tepat, dan tenaga penyelenggaranya (provider)
yang berkompeten secara teknis. Pelayanan juga harus mengakomodasi harapan
perempuan yang membutuhkan hubungan interpersonal agar dapat diketahui pandangan
dan pendapat perempuan tersebut.
Bidan Praktik Mandiri merupakan tempat pemberi layanan kesehatan pada
masyarakat khususnya KB. Peran tenaga kesehatan sangat dibutuhkan untuk
mewujudkan kesetaraan gender.

1.2 Rumusan masalah


1. Apa yang dimaksud permasalahan gender yang mempengaruhi yang mempengaruhi
profesionalisme bidan dan siklus kehidupan perempuan?
2. Bagaimana mengatasi permasalahan gender yang mempengaruhi yang
mempengaruhi profesionalisme bidan dan siklus kehidupan perempuan?
1.3 Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui permasalahan gender yang mempengaruhi yang mempengaruhi
profesionalisme bidan dan siklus kehidupan perempuan
2. Untuk mengetahui isu permasalahan gender yang mempengaruhi yang
mempengaruhi profesionalisme bidan dan siklus kehidupan perempuan
1.4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Makna Kesetaraan Laki-laki dan perempuan


Istilah kesetaraan dalam kajian isu gender lebih sering digunakan dan disukai,
karena makna kesetaraan laki-laki dan perempuan lebih menunjukkan pada
pembagian tugas yang seimbang dan adil dari laki-laki dan perempuan. Untuk lebih
memberikan pemahaman akan makna kesetaraan antara laki-laki dan perempuan,
yang dalam hal ini sering juga disebut dengan istilah kesetaraan gender, maka
menurut Rianingsih Djohani (1996:7) bahwa yang dimaksud dengan gender adalah :
“pembagian peran, kedudukan dalam tugas antara laki-laki dan perempuan yang
ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang
dianggap pantas menurut norma-norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan
masyarakat”
Berdasarkan definisi di atas, maka yang dikategorikan dengan gender,
misalnya hal-hal berikut :
 perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga, sedangkan laki-laki dianggap
tidak pantas;
 tugas utama laki-laki mengelola kebun, tugas perempuan ‘hanya membantu;
 menjadi pemimpin masyarakat (lembaga adat, kepala desa, dsb) lebih pantas
oleh laki-laki;
 kegiatan PKK dan program kesehatan keluarga, lebih pantas oleh perempuan.

Gender memiliki perbedaan bentuk antara satu masyarakat dengan masyarakat


lain karena norma-norma, adat istiadat, kepercayaan, dan kebiasaan masyarakat yang
berbeda-beda. Misalnya :

 pekerjaan rumah tangga di hampir semua masyarakat manapun dilakukan oleh


perempuan; sedangkan di masyarakat perkotaan, mulai dianggap lumrah laki-
laki dan perempuan membagi tugas rumah tangga karena perempuan juga
bekerja mencari nafkah keluarga
 menjadi tukang batu dianggap tidak pantas dilakukan oleh perempuan, tetapi
di Bali perempuan biasa menjadi tukang batu;
 di kebanyakan masyarakat petani, bekerja kebun adalah tugas laki-laki,
sedangkan di sejumlah masyarakat Irian, kerja kebun merupakan tugas utama
perempuan, karena berburu adalah tugas utama laki-laki.

Gender berubah dari waktu ke waktu karena adanya perkembangan yang


mempengaruhi nilai-nilai dan norma-norma masyarakat tersebut. Misalnya :

 di Jawa Barat, sudah ada perempuan yang menjadi kepala desa karena
meningkatnya pendidikan;
 di Sumba, laki-laki mulai membantu-bantu tugas perempuan di rumah tangga;
 di Indonesia, sekarang sudah mulai banyak perempuan menjadi dokter,
insiyur, dan pengusaha.

Ada satu pertanyaan yang perlu dikaji secara jelas, yaitu apakah gender itu
kodrat ? Jawabannya adalah bukan. Kodrat adalah segala sesuatu yang ditetapkan oleh
Allah Swt., sehingga manusia tidak bisa mengubah maupun menolaknya. Kodrat
adalah sesuatu yang sifatnya universal (tetap sepanjang hayat dikandung badan, pada
setiap waktu, pada setiap tempat). Gender lebih menekankan pada pembagian peran
laki-laki dan perempuan yang diatur oleh manusia (masyarakat). Gender berbeda dari
satu masyarakat ke masyarakat lain, bahkan dalam suatu masyarakat pun senantiasa
mengalami perubahan.

Pembagian tugas ini sebenarnya sulit batasannya, mana tugas bagi laki-laki
dan mana tugas bagi perempuan, karena sebenarnya pembagian tugas gender
kebanyakan bisa dilakukan oleh keduanya.

Dari segi kehambaan antara laki-laki dan perempuan di sisi Allah Swt.,
sesungguhnya Allah tidak membedakan keduanya, yang membedakannya adalah
perbuatan baik dan perbuatan buruk yang dilakukan oleh keduanya. Laki-laki dan
perempuan sama-sama mempunyai kesempatan untuk melaksanakan ibadah kepada
Allah Swt., untuk berlomba-lomba memperoleh kebajikan, untuk mengabdi kepada
masyarakat dan agamanya.

Dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan seperti ditegaskan allah Swt.
Dalam QS An-Nahl:97 yang artinya :
“Barangsiapa mengerjakan amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka dengan pahala yang lebih
dari apa yang telah mereka kerjakan”

Munculnya isu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dilatarbelakangi


adanya ketidakpuasan perlakuan terhadap kaum perempuan. Tidak jarang dijumpai
kasus-kasus yang mendeskriditkan kaum perempuan, bahkan menghilangkan makna
keberadaannya. Akan tetapi apabila melihat kesempatan antara laki-laki dan
perempuan dalam hal mencapai kemuliaan disisi Allah Swt., secara tegas dalam QS
al-Ahzab:35 yang artinya :

“Sesungguhnya Laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan


perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan
perempuan yang memelihara kehormatan, laki-laki dan perempuan yang banyak
menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala
yang besar”

Dengan demikian, jelaslah bahwa kepada laki-laki dan perempuan tidaklah


dibeda-bedakan berdasarkan jenis kelamin untuk memperoleh kedudukan yang mulia
di sisi-Nya. Kedua-duanya mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pahala
maupun keduaduanya dapat tergelincir ke dalam dosa.

Berdasarkan ayat tersebut di atas, timbul pertanyaan apakah jenis kelamin


mempengaruhi gender ? Seringkali muncul kebingungan tentang arti kodrat bagi laki-
laki dan perempuan. Kodrat perempuan menyebabkan ia memiliki tugas tertentu,
begitu juga laki-laki. Sering terjadi kesalahan pemaknaan terhadap perbedaan gender
sebagai kodrat karena beranggapan bahwa perempuan sudah dikodratkan memiliki
tubuh yang lemah, sedangkan laki-laki memiliki tubuh yang kuat, bahkan ada
anggapan bahwa lelaki lebih cerdas dan terampil daripada perempuan. Kenyataannya,
perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan bersifat relatif, belum tentu pasti
bahwa perempuan tidak mampu melakukan pekerjaan berat. Laki-laki juga banyak
yang menyukai pekerjaan yang halus atau lembut. Sering kita jumpai kasus-kasus
berikut ini.
 Di Bali, banyak perempuan yang menjadi kuli bangunan.
 Di Bali yang terkenal dengan kesenian dan tariannya, bukan hanya perempuan
yang menjadi penari tetapi juga laki-laki.
 Di perkotaan, banyak laki-laki bekerja di salon dan menjadi juru masak di
hotel-hotel atau restoran.

Begitu juga dalam hal kecerdasan, perbedaan kecerdasan antara laki-laki dan
perempuan adalah relatif, atau tidak pasti bahwa perempuan lebih rendah
kecerdasannya. Hal ini sudah cukup bukti, misalnya :

 Di Indonesia sudah banyak perempuan yang menjadi dokter, insiyur, peneliti,


dsb.
 Banyak perempuan yang berbakat menjadi pedagang atau pengusaha.
 Di sekolah, banyak anak perempuan yang lebih pintar dari anak laki-laki.

Jenis kelamin bisa saja mempengaruhi gender, tetapi bukan merupakan suatu
keharusan, misalnya :

 Tugas mengasuh anak barangkali akan lebih cocok dilakukan oleh seorang
perempuan/ibu yang mengandung, melahirkan dan menyusuinya. Tetapi bukan
berarti tugas mengasuh anak tidak bisa dilakukan oleh laki-laki, dalam hal ini
bapak. Tugas mengasuh anak sebaiknya merupakan tanggung jawab bersama
antara perempuan dan laki-laki (ibu dan bapak). Begitu juga dalam hal
mendidik anak.
 Tugas mencari nafkah lebih utama dilakukan oleh laki-laki karena tugas
perempuan sudah cukup banyak di dalam mengasuh anak, tetapi bukan berarti
perempuan tidak perlu memperoleh peluang untuk bekerja di luar rumah.
Perempuan juga sebaiknya mampu berdiri sendiri (terutama menghadapi
kemungkinan perempuan menjadi kepala keluarga tunggal).

2.2 Bias Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan (Gender)


Bias gender terjadi apabila salah satu pihak dirugikan, sehingga mengalami
ketidakadilan. Yang dimaksud ketidakadilan disini adalah apabila salah satu jenis
gender lebih baik keadaan, posisi, dan kedudukannya. Bias gender tersebut bisa saja
terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi khususnya di Indonesia, bias
gender ini lebih dirasakan oleh kaum perempuan. Sebenarnya ketimpangan gender
yang merugikan perempuan itu, secara tidak langsung dapat merugikan masyarakat
secara menyeluruh. Apabila perempuan diposisikan tertinggal, maka perempuan tidak
dapat menjadi mitra sejajar laki-laki, sehingga hubungan kedua pihak akan menjadi
timpang. Akibatnya, terjadilah ketidakserasian dan ketidakharmonisan dalam
kehidupan bersama anatara laki-laki dan perempuan, baik dalam lingkungan
kehidupan berkeluarga maupun dalam lingkungan kehidupan masyarakat secara
umum. Lebih jauh lagi dengan semakin tingginya tuntutan, kesadaran, dan kebutuhan
perempuan terhadap pengembangan diri, timbullah konflik, karena perempuan
membutuhkan kesempatan yang sama untuk meningkatkan kualitas dirinya.
Munculnya bias gender ini (lebih banyak menimpa perempuan) diakibatkan
oleh nilai-nilai dan norma-norma masyarakat yang membatasi gerak langkah
perempuan serta pemberian tugas dan peran yang dianggap kurang penting
dibandingkan jenis gender lainnya (laki-laki). Sehingga sdalam pengambilan
keputusan, kepemimpinan, kedudukan yang tinggi, dsb. sedikit sekali diberikan
kepada perempuan.
Lebih jauh para ahli telah mengembangkan empat aspek (kategori) mengenai
kajian kesetaraan gender ini. Secara rinci sebagai berikut :
1) Pembagian kerja perempuan dan laki-laki, meliputi masalah atau kebutuhan
yang dirasakan masyarakat untuk meningkatkan pendapatan keluarga serta
perbedaan masalah/kebutuhan laki-laki dan perempuan.
2) Peluang dan penguasaan laki-laki dan perempuan terhadap sumber daya;
meliputi masalah kebutuhan apa yang berhubungan dengan sumber daya serta
perbedaan masalah/kebutuhan sumber daya menurut laki-laki dan perempuan.
3) Partisipasi laki-laki dan perempuan dalam lembaga formal dan informal;
meliputi masalah/kebutuhan yang muncul mengenai: pengembangan lembaga
yang dianggap penting oleh masyarakat, peran serta masyarakat di dalam
kegiatan lembaga (bail kalilaki/perempuan).
4) Pola pengambilan keputusan di dalam keluarga; meliputi masalah/kebutuhan
yang muncul mengenai: pembagian kerja (beban kerja) di dalam keluarga serta
perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan di
keluarga.
2.3 Menyikapi Isu Mengenai Permasalahan Gender
Munculnya tuntutan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan perlu direspon
secara proporsional baik oleh laki-laki maupun perempuan. Jika tidak maka tetap saja
isu kesetaraan ini hanya menjadi suatu wacana yang tak berujung.
Oleh karena itu sikap yang perlu dilakukan sebagai upaya merespon isu
kesetaraan ini adalah dengan memperjuangkan keseimbangan gender (menghapus
ketimpangan gender), menguntungkan kedua gender, memberikan kesempatan yang
sama pada kedua gender, serta menegakkan keadilan bagi kedua gender.
Perlunya menyikapi isu kesetaraan ini sebagai wujud kepedulian kita terhadap
berbagai aktivitas hidup yang mendukung terwujudnya kesejahteraan masyarakat
secara umum sangatlah bersalah apabila kita melihat kenyataan dan data-data yang
sampai saat ini (khususnya di Indonesia) masih banyak menunjukkan adanya
ketimpangan antara laki-laki dan perempuan terutama pada kondisi negara yang
masih dilanda krisis sejak tahun 1997 ini. Data pada koran harian media massa
terbitan tanggal 19 Agustus 2000 sangat menggugah kita untuk merenungkan kembali
permasalahan kesetaraan laki-laki dan perempuan (gender). Ternyata mendahulukan
laki-laki daripada perempuan untuk melanjutkan studi, sehingga anak perempuan
banyak yang putus sekolah. Kesulitan ekonomi multi dimensi mengakibatkan masalah
pemberdayaan perempuan kurang mendapat perhatian masyarakat luas dan menjadi
prioritas kesekian dari agenda politik para wakil rakyat yang belum sadar ‘gender’.
Kenyataanya kondisi perempuan Indonesia dalam berbagai bidang saat ini masih
sangat memprihatinkan. Adapun kenyataan yang memprihatinkan itu adalah :
1. Dewasa ini terdapat angka buta huruf yang signifikan antara kepala keluarga di
atas usia 45 tahun antara laki-laki dan perempuan, yaitu 43/100 bagi perempuan
dibandingkan 19/100 bagi laki-laki. Selanjutnya terdapat kesenjangan yang cukup
tinggi pada tingkat partisipasi perempuan dan laki-laki dalam berbagai jenjang
pendidikan. Salah satu contoh adalah partisipasi perempuan dijenjang SLTA yang
lebih rendah dari laki-laki, yaitu 11,4% berbanding 15,7%.
2. Masalah utama yang dihadapi dalam bidang kesehatan adalah tingginya angka
kawin muda, serta angka kematian ibu melahirkan. Hampir 42 dari 100
perempuan menikah pertama pada usia 10-16 tahun dibanding dengan 29 dari 100
laki-laki. Kontribusi besar terhadap tingginya angka kematian ibu melahirkan
antara lain disebabkan oleh karena 54% ibu melahirkan dibantu oleh dukun
beranak dan 72% melahirkan di rumah.
3. Dibidang ekonomi, kita semua akan terhenyak dengan betapa rendahnya upah
yang mereka terima. Sebanyak 16% perempuan bekerja menerima upah di bawah
Rp 50.000,- perbulan, sedangkan laki-laki hanya 2,5%. Otak kita yang terbatas ini
tidak akan mampu membayangkan bagaimana perempuan-perempuan “perkasa”
tersebut menyiasati kebutuhan sehari-hari mereka, sungguh memprihatinkan.
Selain itu disparitas upah dialami pula oleh perempuan baik di perkotaan maupun
di perdesaan. Di perkotaan, perbedaan upah antara perempuan dan laki-laki
berkisar Rp. 102.770. Sedangkan di perdesaan perbedaan itu berkisar pada Rp.
70.208,-.

Bias gender juga terlihat secara jelas dalam banyak program intervensi dan
pengembangan usaha kecil yang biasanya cenderung lebih mengutamakan kelompok
laki-laki sebagai pemilik usaha. Sebagai akibatnya, kelompok pengusaha perempuan
lebih diarahkan pada program dan intervensi untuk sektor-sektor yang diasumsikan
sebagai sektor yang feminim. Dalam bidang-bidang kehidupan lainnya, seperti politik,
ekonomi, media massa, pendidikan, dan kemasyarakatan, perempuan masih tetap jauh
ketinggalan dari lalilaki. Dibidang pekerjaan produktif, perempuan masih lebih
banyak yang menekuni bidang-bidang yang dianggap ‘cocok’ dengan perempuan
(feminim), seperti keguruan, keterampilan, kesekretarisan, dsb. Sedangkan dalam
program-program pembangunan, perempuan masih kurang memiliki kesempatan dan
peran, baik sebagai penentu kebijakan, agen pembangunan (pekerja pembangunan),
maupun peserta aktif. Biasanya perempuan hanya menerima manfaat pembangunan
secara tidak langsung, yaitu dari suaminya. Walaupun demikian, perjuangan
kesetaraan gender ditujukan kepada penguatan laki-laki dan perempuan, dengan
kondisi yang dialami dalam suatu masyarakatnya.

Menyikapi permasalahan kesetaraan laki-laki dan perempuan (gender) memang


merupakan suatu keharusan. Memperjuangkan kesetaraan ini merupakan perhatian
yang harus diperjuangkan berbagai pihak, apakah pihak pengambil kebijakan
(pemerintah), lembaga swadaya masyarakat, maupun unsur-unsur lain sebagai
stakeholder (pelaku) itu sendiri melalui pemantapan kelembagaan secara maksimal
demi terwujudkan pembangunan yang adil dan setara bagi laki-laki dan perempuan.

2.4 Peran Bidan Dalam Mewujudkan Kesetaraan Gender Dalam Pelayanan KB


Program KB harus mengedepankan hak-hak reproduksi, pemberdayaan perempuan
dan kesetaraan gender. Hal ini menjelaskan bahwa pelaksanaan program KB di
Indonesia wanita dan pria mempunyai kedudukan yang setara dalam pengambilan
keputusan KB dan kesehatan reproduksi. Pendapat dan keputusan yang dilakukan
oleh suami memberi pengaruh yang kuat dalam menggunakan metode kontrasepsi
oleh istri.
1. Peran Bidan dalam mewujudkan kesetaraan Gender pada pelayanan Keluarga
Berencana
Bidan mempunyai peran penting dalam konseling dan pendidikan kesehatan,
tidak saja untuk perempuan, tetapi juga untuk keluarga. Praktik Mandiri Bidan
(PMB) merupakan pemberi layanan kesehatan dasar yang ada di masyarakat,
bentuk pelayanan kesehatan yang diberikan oleh bidan kepada pasien (individu,
keluarga, masyarakat) sesuai dengan kewenangannya salah satunya keluarga
berencana. Keluarga Berencana (KB) merupakan hal penting dalam kesehatan
reproduksi.
Bidan adalah profesi yang peduli terhadap perbaikan kesehatan reproduksi
perempuan selama siklus hidup mereka. Bidan diakui sebagai seorang profesional
yang bertanggung jawab dan akuntabel, bermitra dengan perempuan dalam
memberikan dukungan, informasi berdasarkan bukti, asuhan dan nasihat yang
diperlukan selama siklus kehidupan wanita. Bidan sebagai provider dalam
pelayanan kebidanan bertanggung jawab terhadap dokumentasi kebidanan, salah
satunya dokumentasi pada pelayanan KB yaitu informed consent.
Peran bidan dalam upaya peningkatan pemakaian KB, yaitu dengan
memberikan informed choice sebelum calon peserta membuat keputusan dan
memilih alat kontrasepsi. Selain memudahkan calon peserta untuk memilih alat
kontrasepsi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi kesehatan pasien,
pemberian informed choice dan informed consent juga secara signifikan dapat
mencegah drop out pemakaian kontrasepsi, sehingga dapat meningkatkan jumlah
peserta KB aktif.
Sesuai dengan PMK No 1464 pasal 12, bidan berperan untuk memberikan
penyuluhan dan konseling kepada pasangan suami istri bahwa tidak hanya
perempuan yang diharuskan memakai KB namun laki-laki pun perlu memakai KB
bila ingin meminimalisir kehamilan dan persalinan. Selain menimpa perempuan,
bias gender juga bisa menimpa kaum pria. Di bidang kesehatan, lebih banyak
perempuan menerima program pelayanan dan informasi kesehatan, khususnya
yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan anak, dari pada laki-laki. Hal
tersebut ada kaitannya dengan stereotip gender yang melabelkan urusan hamil,
melahirkan, mengasuh anak, KB dan kesehatan pada umumnya sebagai urusan
perempuan. Adanya penyuluhan dan sosialisasi yang baik terhadap pasangan
suami istri untuk memberikan pemahaman terhadap kesetaraan gender dan metode
kontrasepsi diharapkan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan tanpa
perlakuan.
Untuk meningkatkan peran laki-laki dalam Program KB, telah dilakukan
pemerintah. Pendekatan yang diterapkan pemerintah adalah menempatkan laki-
laki agar dapat memperoleh informasi tentang KB yang benar. Peran laki-laki
dalam KB diharapkan bukan sekadar sebagai peserta KB pasif atau sekadar
mendukung pasangan menggunakan alat kontrasepsi tertentu, melainkan
diharapkan kaum laki-laki juga berperan dalam kesehatan reproduksi, serta tidak
bias gender dalam menafsirkan kaidah agama, termasuk bersedia menggunakan
kontrasepsi bagi kaum laki-laki.
Program KB tidak hanya tanggung jawab dan urusan perempuan, tetapi
merupakan tanggung jawab bersama keluarga. Arti penting melibatkan dan
mendorong keterlibatan kaum laki-laki dalam Program KB sesungguhnya bukan
hanya sebagai bentuk atau ekspresi dari tumbuhnya kesetaraan gender di kalangan
masyarakat tetapi sekaligus juga merupakan langkah taktis untuk meningkatkan
keberhasilan program pengendalian jumlah penduduk.
Peran bidan mewujudkan kesetaraan gender terkait dengan pelayanan keluarga
berencana pada pasangan usia subur perlu adanya dukungan dari berbagai sektor,
baik pemerintahan melalui lembaga BKKBN maupun masyarakat. Lembaga
BKKBN yang mempunyai misi untuk menyelenggarakan Keluarga Berencana dan
Kesehatan Reproduksi, serta mengembangkan jejaring kemitraan dalam
pengelolaan kependudukan, Keluarga Berencana dan pembangunan keluarga,
strategi yang searah dengan pelayanan kebidanan untuk meningkatakan kesehatan
ibu dan anak.
2. Faktor hambatan mewujudkan kesetaraan gender pada pelayanan keluarga
berencana
Faktor penghambat adalah pendidikan, adat istiadat/budaya, agama,
lingkungan dan lainnya. Laki-laki dan perempuan seharusnya mendapatkan hak
asasi yang sama. Tetapi perempuan memiliki mindset bahwa fungsinya sebagai
istri pengurus keluarga. Dengan demikian tidak memiliki kesempatan untuk
mengenyam pendidikan tinggi, dan lebih diutamakan laki-laki. Pendidikan
merupakan sarana penting untuk mendorong pembangunan dan mencapai keadilan
serta kesetaraan, dimana pendidikan yang tidak diskriminatif akan memberikan
manfaat tidak hanya untuk perempuan namun untuk lakilaki terutama dalam
menyetarakan hubungan diantar keduanya.
Masyarakat masih kuatnya budaya patriarki sehingga belum maksimal dalam
berpartisipasi meningkatkan kualitas hidup perempuan. Patriarki menggambarkan
sistem sosial dimana kaum laki-laki sebagai suatu kelompok mengendalikan
kekuasaan atas kaum perempuan. Budaya patriarki merupakan budaya dimana
lelaki mempunyai kedudukan lebih tinggi dari wanita. Dalam budaya ini,
perbedaan yang jelas mengenai tugas dan peranan wanita dan lelaki dalam
kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam keluarga. Laki-laki sebagai pemimpin
atau kepala keluarga memiliki. Budaya patriarki juga telah memberikan efek
negatif terhadap keadilan penggunaan kontrasepsi.
Wujud nyata suami memiliki kuasa untuk tidak menggunakan kontrasepsi, dan
menyerahkan urusan kontrasepsi dengan memerintah istri untuk menggunakan
kontrasepi. Hal ini terjadi karena sikap egoistik suami yang mengangap
kontrasepsi adalah urusan perempuan.
Dalam halnya agama menjadi penghambat mewujudkan kesetaraan gender
dalam pelayanan keluarga berencana. Hal ini sejalan dengan kebudayaan yang
berlaku di masyarakat, bahwa perempuan harus menurut apa yang disampaikan
oleh suaminya/laki-laki tanpa memandang kondisi fisik atau kesehatan
pasangannya.
3. Cara megatasi hambatan mewujudkan kesetaraan gender pada pelayanan keluarga
berencana
Aktif memberikan sosialisasi tentang alat kontrasepsi, dari tatanan terendah
yaitu keluarga melalui kegiatan pendekatan, pemberian informasi (penyuluhan)
serta komunikasi, informasi dan edukasi secara intensif dan berkelanjutan kepada
para pengambil keputusan. Tidak terlepas peran serta pemangku kepentingan
masyarakat yang dapat memberikan dampak positif untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kesehatan perempuan.
Dukungan pemerintah daerah maupun pusat terkait program KB dalam
memfasilitasi dan meningkatkan akses pelayanan kesehatan bagi laki-laki untuk
turut berperan aktif (kesertaan) dan partisipasi dalam program KB serta
meningkatkan kesadaran gender. Peningkatan kualitas pelayanan promosi dan
konseling KB serta kesehatan reproduksi dengan penekanan bahwa lakilaki ikut
berperan aktif dan tanggungjawab. Serta peningkatan promosi dan konseling
untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masalah kesetaraan dan keadilan
gender.
BAB III

PENUTUP DAN KESIMPULAN

Bidan berperan aktif dalam mewujudkan kesetaraan gender terkait pelayanan KB


melalui berbagai cara sosialisasi alat kontrasepsi beserta efek samping, promosi dan KIE
kepada keluarga akan kesetaraan gender dalam pelayanan KB, melibatkan suami berperan
aktif dalam kesertaan dan persetujuan menggunakan alat kontrasepsi. Hambatan mewujudkan
kesetaraan gender pelayanan keluarga berencana antara lain pendidikan, budaya, agama, rasa
tabu jika seorang laki-laki menggunakan alat kontrasepsi. Cara mengatasi hambatan
mewujudkan kesetaraan gender pelayanan KB melalui tatanan terendah yaitu keluarga
melalui kegiatan pendekatan, pemberian informasi (penyuluhan) serta komunikasi, informasi
dan edukasi secara intensif dan berkelanjutan kepada para pengambil keputusan, peran serta
pemangku kepentingan masyarakat yang dapat memberikan dampak positif untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan perempuan.

Bahasan isu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan memang perlu dikaji secara
utuh oleh kita semua, karena kitalah (laki-laki dan perempuan) yang akan menerima
manfaatnya. Alergi terhadap kajian kesetaraan gender akan memberikan dampak negatif bagi
penyumbatan pembangunan secara utuh. Oleh karenanya apa yang telah dipaparkan secara
global dalam bahasan ini masih perlu perenungan dan kajian spesifik yang sungguh-sungguh.
Semoga apa yang dibahas ini akan memberikan manfaat yang bermakna. Amin
Daftar Pustaka

Rahminawati, Nan. 2001. Isu Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan (Bias Gender). Puskaji
Unisba

Available at : https://media.neliti.com/media/publications/154027-ID-isu-kesetaraan-laki-
laki-dan-perempuan-b.pdf

Wulandari, Amri. Peran Bidan Mewujudkan Kesetaraan Gender Dalam Pelayanan KB Pada
PUS Di Praktik Bidan Mandiri DIY. Media Ilmu Kesehatan

Available at : https://ejournal.unjaya.ac.id/index.php/mik/article/download/542/502

Anda mungkin juga menyukai