Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH MANAJEMEN PENANGGULANGAN DAN

PENCEGAHAN PENYAKIT INFEKSI MENULAR SEKSUAL

DI SUSUN OLEH :

NAMA : SARIPUDIN

NPM : 18220015

PRODI : KESEHATAN MASYARAKAT (S-1)

FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS DEHASEN


BENGKULU

2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah infeksiM enular Seksual (IMS) ini
dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga
terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan
kepada kita selaku umatnya. Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah Infeksi Menular Seksual (IMS)
ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi
internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi
bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan
makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah Infeksi Menular Seksual (IMS) ini
sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah
SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga makalah
Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) ini dapat bermanfaat bagi kita
semuanya.

ii
DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN ......................................................................................... .. 1

a.Latar
Belakang.....................................................................................................................
.........1

b.Rumusan
Masalah......................................................................................................................
..2

c.
Tujuan........................................................................................................................
..................2

d.
Manfaat......................................................................................................................
................2

BAB II
PEMBAHASAN ............................................................................... ................
...................2 Prinsip-Prinsip dan Prioritas dalam Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi Menular
Seksual ................................................................................................................
.................................3 Dinamika Transmisi Infeksi Menular
Seksual .................................. ..................................... 4

Prioritas Program Infeksi Menular


Seksual ...................................... ....................................5 Strategi Pencegahan
dan Pengendalian Infeksi Menular Seksual ........................................ 6
Pencegahan
Primer ............................................................................ ............................... 8

Tantangan dalam Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Menular Seksual


di Negara
Berkembang ..............................................................................................................
.......... 26 2.6.1 Pemanfaatan Sektor
Swasta ............................................................................................... 26 2.6.2
Perubahan Epidemiologi Infeksi Menular
Seksual ............................................................... 27 2.6.3 Integrasi Kolaboratif

iii
Program ............................................................................................. 28 2.6.4
Perluasan Cakupan
Program ........................................................................................................ 29

BAB III
PENUTUP ................................................................................................................
..... 31

a.kesimpulan...............................................................................................................
..............

b.
saran ..........................................................................................................................
...............

DAFTAR
PUSTAKA ...............................................................................................................
... 32

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Infeksi menular seksual (IMS) merupakan sekelompok infeksi yang saat ini
bertanggung jawab terhadap sejumlah besar morbiditas dan mortalitas di negara
berkembang, karena IMS memiliki peran dalam memfasilitasi transmisi human
immonodeficiency virus (HIV) serta memberikan dampak negatif yang signifikan
terhadap kesehatan reproduksi dan anak-anak. Komplikasi dari IMS dapat menyebabkan
infertilitas baik pada laki-laki maupun perempuan, kehamilan ektopik, kanker serviks,
kematian prematur, sifilis kongenital, berat lahir rendah, prematuritas dan oftalmia
neonatorum. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 340 juta kasus
baru dari 4 jenis IMS yang dapat disembuhkan (gonore, infeksi klamidia, sifilis dan
trikomoniasis) terjadi setiap tahunnya, dengan 85% diantaranya terjadi di negara
berkembang.1 Selain itu, berjuta-juta kasus IMS yang disebabkan oleh virus juga telah
dilaporkan di seluruh dunia, terutama infeksi HIV, human herpes simpleks virus (HSV),
human papilloma virus (HPV) dan virus hepatitis B.2,3 Tidak hanya menyebabkan
morbiditas dan mortalitas, secara global IMS juga memberikan beban ekonomi yang
tinggi di negara berkembang dengan menyumbang 17% economic loss di bidang
kesehatan.1,2,4 Surveilans IMS yang sistematis dan komprehensif hampir tidak pernah
dilakukan di negara berkembang, dengan demikian kebanyakan data epidemiologis
diperoleh dari studi prevalensi dan surveilans khusus di tempat-tempat tertentu. Beberapa
faktor yang menyebabkan tinginya prevalensi dan insiden IMS di negara berkembang
diantaranya adalah: (1) faktor demografis (tinginya populasi muda yang aktif secara
seksual), (2) urbanisasi yang diikuti dengan perubahan sosiokultural, (3) tingginya
jumlah prostitusi akibat kesulitan ekonomi, (4) pasangan seksual multipel dan konkuren,
(5) kurangnya akses ke pelayanan IMS yang efektif dan terjangkau, serta (6) tingginya
prevalensi resistensi antibiotik pada beberapa patogen. Sementara itu, upaya
pengendalian IMS di negara berkembang juga masih mengalami hambatan karena
gagalnya implementasi prinsip-prinsip dasar penanganan IMS. Selain itu, upaya advokasi
untuk mendapatkan komitmen politik dan finansial dalam menangani IMS dan
komplikasinya masih terhalang oleh adanya stigma di masyarakat dan kurangnya data
mengenai beban penyakit serta rendahnya pencatatan mengenai efektifitas pengobatan.

1
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan Latar belakang diatas bagaimana strategi yang dapat
dilakukan dalam pencegahan dan pengendalian IMS terutama di negara
berkembang serta tantangan-tantangan dalam meningkatkan upaya tersebut.

C. TUJUAN
Untuk mengetahui bagaimana manjemen pelayanan dalam penanggulanagan
penyakit infeksi Menular seksual ( IMS ).

D. MANFAAT :
Memberikan Manfaat kepada Masyarakat mengenai bahaya penyakit akibat
infeksi menular seksual ( IMS )

2
BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Definisi Infeksi Menular Seksual


Infeksi Menular Seksual di Negara Berkembang adalah negara yang
rakyatnya memiliki tingkat kesejahteraan atau kualitas hidup taraf sedang atau
dalam perkembangan. Negara berkembang dicirikan dengan keadaan ekonomi
yang sedang dalam perkembangan yaitu memiliki pendapatan perkapita
rendah, adanya kesenjangan pendapatan antara penduduk kaya dan miskin,
ketergantungan akan sektor primer (biasanya pertanian), sumber daya alam
yang tidak diolah dengan baik dan adanya keterbatasan modal. Sementara itu
dari sektor penduduk, negara berkembang dicirikan dengan pertumbuhan
penduduk yang cepat dengan angka kelahiran yang tinggi, tingkat
pengangguran yang tinggi serta tingkat pendidikan dan kesehatan yang
rendah. Angka insiden dan prevalensi IMS secara signifikan didapatkan lebih
tinggi di negara berkembang, akan tetapi hal ini dapat bervariasi diantara
berbagai negara.6 Perkiraan global mengenai dampak IMS di negara
berkembang masih belum dapat dihitung dengan pasti karena IMS seringkali
tidak terdiagnosis atau bahkan tidak dilaporkan. Terdapat bukti bahwa angka
IMS yang disebabkan oleh bakteri mengalami penurunan di berbagai negara
sebagai akibat dari implementasi penanganan kasus-kasus IMS, termasuk
penanganan kasus berdasarkan sindrom, bersama-sama dengan berbagai usaha
pencegahan HIV. Namun demikian, angka IMS yang disebabkan oleh virus
semakin mengalami peningkatan.Infeksi menular seksual juga memiliki kaitan
erat dengan infeksi HIV. Selain stadium dari infeksi HIV, IMS merupakan
penentu penting yang dapat meningkatkan penyebaran virus HIV secara
genital. Pengobatan terhadap IMS yang menyertai HIV telah terbukti
menurunkan penyebaran virus HIV pada saluran genital. Infeksi HIV dan IMS
memiliki hubungan timbal balik, dengan infeksi HIV yang menyebabkan
imunokompromais dapat merubah perjalanan penyakit, manifestasi klinis dan

3
mempengaruhi pengobatannya, sementara itu IMS dengan mengakibatkan
ulserasi dan inflamasi, dapat meningkatkan transmisi HIV.
Penanganan IMS di negara berkembang seringkali tidak adekuat karena
berbagai alasan, diantaranya adalah akibat rendahnya prioritas pemerintah
dalam strategi dan perencanaan yang selanjutnya mengakibatkan rendahnya
pendanaan program. Sementara itu hanya sedikit usaha yang dilakukan untuk
melibatkan dan meningkatkan pelayanan pada sektor swasta, padahal mungkin
sebagian besar pasien akan mencari pengobatan sektor swasta pada awalnya.
Rendahnya pembiayaan juga menyebabkan terhambatnya penyediaan alat-alat
diagnostik dan obat-obatan. Seringkali pemerintah juga gagal mengidentifikasi
besarnya permasalahan IMS di populasi akibat kurangnya data. Selain itu,
rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai gejala IMS, adanya stigma
mengenai gejala IMS, perjalanan alamiah IMS yang seringkali asimtomatik
serta kurangnya akses ke pelayanan kesehatan menyebabkan tertundanya
pasien dalam mencari pengobatan IMS.

1.2 Prinsip-Prinsip dan Prioritas dalam Pencegahan dan Pengendalian


Infeksi Menular Seksual
Pencegahan dan pengendalian IMS secara komprehensif di negara
berkembang haruslah mencakup berbagai pendekatan untuk mengatasi IMS
pada semua tingkat sistem kesehatan dan juga mencakup komunitas target
yang sesuai dengan prioritas nasional. Idealnya pendekatan ini harus
dimasukkan ke dalam suatu strategi IMS komprehensif dengan rencana
implementasi yang dengan jelas menuangkan tujuan dan prioritas dari
program. Peran Pemerintah dalam Program Pencegahan dan Pengendalian
IMS Komprehensif Kebijakan pada tingkat nasional.

Tujuan pengaturan dan penjabaran prioritas Alokasi sumber daya untuk:

- Pencegahan dan pengobatan IMS

4
- Kebutuhan data tambahan Advokasi politik untuk satu kebijakan
pendukung dan kerangka hukum Pidato komunitas dari pemimpin untuk
permasalahan seksual, stigma dan diskriminasi Evaluasi program nasional
- Fungsi normatif pada tingkat nasional Pengembangan dan distribusi
panduan kerja
- Panduan penanganan kasus untuk populasi umum dan subpopulasi risiko
tinggi
- Jaminan kepastian laboratorium dan kualitasnya
- Sistem surveilans Perencanaan dan panduan untuk aktivitas spesifik
pengendalian IMS
- Intervensi terpusat untuk subpopulasi risiko tinggi (biasanya bersama
dengan program HIV)
- Skrining dan pengobatan sifilis serta pencegahan komplikasi mata pada
klinik antenatal - Program imunisasi HPV
- Skrining dan pengobatan klamidia untuk wanita
- Kerjasama sektor swasta
- Lain-lain sesuai dengan yang diprioritaskan Kesinambungan rencana
evaluasi dengan indikatornya Pengembangan sistem pengawasan dan
evaluasi

Fungsi operasionalisasi Pengorganisasian pelayanan kesehatan untuk mencapai


tujuan

- Integrasi klinik IMS delivery

- Supervisi oleh pelayanan kesehatan primer dan swasta

- Pengembangan sistem rujukan untuk penanganan yang lebih kompleks


Pengembangan pelayanan khusus untuk memenuhi kebutuhan bagi
kelompok kunci subpopulasi risiko tinggi dan dikaitkan dengan program
pencegahan HIV Pengembangan jaringan dengan pelayanan kesehatan
seksual dan reproduktif, pelayanan HIV dan lain-lainnya sesuai prioritas
Desain untuk komunikasi perubahan perilaku untuk

5
- Mengurangi stigma dan diskriminasi

- Menurunkan perilaku berisiko IMS

– Meningkatkan perilaku dalam mencari pengobatan Pengorganisasian sistem


manajemen logistik untuk memastikan suplai komoditi yang berkelanjutan,
antimikroba, kondom, lubrikan berbasis air dan reagen laboratorium
Pengembangan sistem pelatihan untuk melatih penyedia layanan kesehatan dalam
hal:

- Manajemen klinis termasuk kualitas

- Fungsi infrastruktur klinik - Sistem monitoring Memantau informasi yang


sedang berkembang tentang masalah-masalah teknis Pengembangan sistem
supervisi penunjang dan monitoring balik Membantu pengembangan data yang
didapat untuk digunakan pada semua tingkat

Program pengendalian IMS bertujuan untuk menurunkan angka insiden infeksi


melalui suatu kombinasi strategi pencegahan primer dan pengobatan. Strategi
tersebut termasuk diantaranya adalah perubahan prilaku dalam menurunkan risiko
seksual, meningkatkan penggunaan metode barier dan pengobatan terhadap
individu yang terkena IMS. Upaya pengendalian IMS ini akan semakin meningkat
apabila didukung oleh pengetahuan mengenai dinamika transmisi IMS,
peningkatan teknologi dan pengobatan terbaru seperti terapi supresif atau
profilaksis, peningkatan angka sirkumsisi pada laki-laki, serta pengembangan
vaksin dan mikrobisida untuk IMS.

2.3 Dinamika Transmisi Infeksi Menular Seksual


Pengetahuan tentang dinamika transmisi IMS telah mengalami
perkembangan dalam 20 tahun terakhir sebagai akibat dari pandemi infeksi
HIV dan meningkatnya usaha dalam mengendalikan IMS lainnya. Model
matematika dan penelitian telah menunjukkan pentingnya jaringan seksual
dalam menentukan penyebaran IMS. Peningkatan pengetahuan akan dinamika
transmisi IMS akan berperan dalam menentukan desain intervensi untuk

6
pencegahan dan pengendalian IMS.4,10 Anderson dan May menyampaikan
model klasik dari suatu penyebaran IMS yaitu R0= c x β x D. Intervensi dapat
mencegah penyebaran suatu IMS didalam satu populasi dengan cara:
menurunkan laju pertukaran pasangan (c), mengurangi efesiensi transmisi dari
patogen (β) atau memperpendek durasi infeksius seseorang dengan cara
mengobati IMS yang diderita (D).4,5 Dalam suatu populasi, distribusi
penyebaran IMS tidaklah bersifat statis. Dari waktu ke waktu, epidemi
berkembang melalui berbagai fase yang ditandai dengan perubahan pola
distribusi dan transmisi patogen IMS inter dan antar populasi. Secara umum,
pada awal suatu epidemi di suatu daerah, patogen IMS mulai ditularkan dari
atau di dalam populasi risiko tinggi dengan laju infeksi yang tinggi dan
pertukaran pasangan yang cepat (core group). Seiring dengan berkembangnya
epidemi, patogen mulai disebarkan kepada populasi dengan risiko lebih rendah
(bridging population), yang merupakan penghubung seksual penting antara
core group dengan populasi umum. Berbagai konsidi sosial atau ekonomi dari
kelompok bridging population tersebut akan meningkatkan kerentanan untuk
mendapatkan IMS dan mengelompokkan mereka sebagai populasi
penghubung. Jaringan seksual bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lain,
namun secara umum, pasangan seksual dari individu dengan laju infeksi lebih
tinggi (seperti bridging population) selanjutnya akan menginfeksi pasangan
seksualnya, seperti suami atau istrinya dan pasangan tetapnya yang berada
pada populasi umum. Beberapa intervensi dapat dilakukan untuk mencegah
penyebaran suatu IMS pada satu populasi, diantaranya adalah:
1) mengurangi laju paparan IMS dengan cara menurunkan laju pertukaran
pasangan
2) mengurangi efesiensi transmisi
3) memperpendek durasi infeksius seseorang dengan cara mengobati
infeksinya.
2.4 Prioritas Program Infeksi Menular Seksual
Idealnya penentuan prioritas dalam pengendalian IMS haruslah
berdasarkan pengetahuan tentang bagaimana epidemi IMS di negara tersebut.

7
Pada kebanyakan negara berkembang data yang dimiliki sangat terbatas.
Meskipun demikian, data mengenai prilaku seksual pada tingkat populasi
menjadi semakin tersedia dengan semakin meningkatnya program pencegahan
HIV dan adanya survei-survei khusus yang dilakukan di negara tersebut.
Subpopulasi berisiko tinggi memainkan peran besar dalam transmisi IMS dan
HIV dan sebaiknya menjadi fokus utama dalam program pengendalian dan
pengobatan IMS. Selain itu, individu simtomatik terutama pasien dengan
ulkus genital dan duh tubuh uretra, yang datang mencari pengobatan harus
mendapatkan pelayanan yang efektif. Individu-individu ini juga harus
dilibatkan dalam pencarian dan pengobatan terhadap pasangan seksualnya dan
juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi daerah-daerah berisiko tinggi,
tempat intervensi pencegahan seharusnya difokuskan. Setelah berfokus pada
subpopulasi risiko tinggi, program pengendalian IMS harus memutuskan jenis
IMS apa yang sebaiknya menjadi prioritas program.
Keputusan tersebut akan bergantung pada beberapa faktor diantaranya:
1) bagaimana insiden, prevalensi, distribusi dan dampak kesehatan dari
patogen IMS tersebut;
2) bagaimana karakteristik klinis (misalnya simtomatik atau tidak) dan
komplikasi dari IMS tersebut
3) bagaimana ketersediaan sarana dan teknologi penunjang untuk mengatasi
IMS tersebut, seperti alat diagnostik, obat-obatan dan vaksin;
4) bagaimana kemampuan dari sistem kesehatan dalam menyerap intervensi
terbaru;
5) bagaimana penerimaan intervensi tersebut dari segi politik dan budaya.
Sebagai contohnya, pencegahan sifilis kongenital harus diimplementasikan
oleh setiap program karena tingginya morbiditas dan mortalitas, sementara
itu pemberian vaksin HPV walaupun menawarkan manfaat yang tinggi
dalam mencegah kanker serviks, namun masalah pembiayaan yang tinggi
harus menjadi pertimbangan.

8
2.5 Strategi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Menular Seksual Program
pencegahan dan pengendalian IMS bertujuan untuk:
1) mengurangi morbiditas dan mortalitas berkaitan dengan IMS,
2) mencegah infeksi HIV
3) mencegah komplikasi serius pada kaum perempuan
4) mencegah efek kehamilan yang buruk.

Tujuan program akan dapat dicapai melalui upaya pencegahan primer yang
secara langsung akan menurunkan insiden IMS dan melalui pencegahan
sekunder yang akan menurunkan prevalensi IMS dengan memperpendek
durasi penyakit, sehingga akan menurunkan kemungkinan komplikasi dan
sekuale dari IMS tersebut

a. Pencegahan Primer Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah


didapatnya suatu infeksi atau penyakit melalui perilaku seksual yang aman
atau penggunaan kondom untuk aktivitas seksual penetratif. Hanya
melalui pencegahan primer yang memiliki efek besar terhadap IMS yang
tidak dapat disembuhkan yang terutama disebabkan oleh virus.
Pencegahan primer merupakan komponen penting dalam program
pengendalian IMS terutama pada daerah-daerah yang miskin akan sumber
daya disertai dengan keterbatasan obat- obatan dan alat diagnostik, dan
dalam menghadapi pola perubahan dari IMS bakteri yang dapat
disembuhkan ke IMS virus yang tidak dapat disembuhkan. Selain itu
strategi pencegahan primer dapat menurunkan paparan dari individu
infeksius melalui pengurangan pasangan seksual atau menurunkan
efisiensi transmisi melalui penggunaan kondom atau metode barier
lainnya, yang selanjutnya akan memiliki dampak besar dalam menurunkan
transmisi dari seluruh IMS, jika dibandingkan dengan vaksin, terapi
supresif atau pemeriksaan skrining yang hanya spesifik untuk patogen
tertentu.
b. Program Perubahan Perilaku Salah satu strategi pencegahan primer
bertujuan untuk mengubah perilaku seksual yang dapat dilakukan dengan

9
beberapa cara, diantaranya: menunda aktivitas seksual untuk pertama
kalinya, abstinensia seksual dan setia pada pasangan serta promosi tentang
perilaku seksual yang aman, meliputi penurunan jumlah pasangan seksual,
praktek seksual yang aman tanpa penetrasi genital dan promosi
penggunaan kondom yang benar. Hal ini dapat dilakukan melalui
pemberian komunikasi, informasi dan edukasi atau melalui program
edukasi kelompok. Program perubahan perilaku terutama penting untuk
usia remaja karena kelompok ini memiliki angka IMS yang tinggi serta
lebih mudah mengubah perilaku mereka. Intervensi perubahan perilaku
dapat dilakukan dengan berpusat pada individu, pasangan atau kelompok
kecil, dengan melakukan lokakarya atau program lainnya yang
menyediakan informasi tertentu kepada masyarakat. Intervensi ini juga
dapat mengubah norma sosial karena informasi tersebut didapat dari
pimpinan daerah atau individu yang terpercaya. Informasi melalui media
massa juga dapat dilakukan untuk meningkatkan jangkauan populasi. Saat
memilih metode komunikasi yang akan digunakan untuk menyampaikan
informasi tentang perubahan perilaku, sangat penting untuk mengetahui
metode apa yang akan secara efektif dapat menjangkau populasi tersebut.
Secara umum, upaya yang cukup baik dilakukan untuk intervensi tertarget
adalah melalui edukasi teman sebaya atau melalui opini pimpinan.
Seminar kesehatan pada suatu institusi atau kelompok-kelompok lainnya
juga terbukti efektif. Sementara itu, bagi kelompok subpopulasi risiko
tinggi dan untuk kelompok yang mungkin memiliki akses rendah terhadap
pelayanan kesehatan akibat adanya isu sosial (pekerja seks, laki-laki yang
berhubungan seksual dengan laki-laki), strategi komunikasi melalui
penjangkauan secara aktif dan melalui teman sebaya dapat digunakan
sebagai landasan intervensi untuk mengubah perilaku Metode komunikasi
apapun yang dipilih, sangat penting untuk menggunakan bahasa yang
dimengerti oleh kelompok yang menerima informasi. Selain itu, perlu
kehati-hatian dalam menyampaikan informasi yang sensitif seperti isu
gender dan budaya, yang nantinya akan mempengaruhi norma setempat.

10
Intervensi Struktural

Intervensi strukrural dan lingkungan memiliki potensi untuk mengubah


lingkungan sehingga mendukung program perubahan perilaku, baik di tingkat
pelayanan kesehatan, sosial atau politik. Pendekatan ini dapat berfokus untuk
memastikan ketersediaan komoditas, peralatan dan bahan yang diperlukan untuk
praktek perilaku sehat. Hal ini termasuk diantaranya memastikan ketersediaan
kondom, lubrikan, pelayanan IMS, konseling dan pemeriksaan HIV, atau
membuat kebijakan untuk memastikan kondom bisa diakses di tempat-tempat
yang berhubungan dengan aktivitas seksual. Salah satu contohnya adalah
kebijakan penggunaan kondom 100% di Thailand yaitu kebijakan pemerintah
mewajibkan bahwa kondom harus digunakan pada hubungan seks komersial di
rumah bordil dan memastikan pemilik usaha bertanggung jawab untuk
penggunaan kondom oleh klien mereka. Intervensi struktural lainnya pada tingkat
pembuat kebijakan diantaranya pembuatan undang- undang untuk melegalkan
pekerja seks, namun memberikan denda hukum untuk pemilik hotel atau rumah
bordil jika peraturan pencegahan tidak diimplementasikan.

Teknologi Pencegahan

Saat digunakan dengan benar dan konsisten kondom merupakan salah satu
metode barier yang paling efektif dalam memberikan perlindungan terhadap IMS
dan HIV. Terdapat bukti kuat bahwa kondom lateks laki-laki dapat menurunkan
transmisi HIV hingga 80-85%, infeksi gonorea dan klamidia, virus herpes
simpleks (HSV), HPV dan menurunkan risiko kehamilan yang tidak diinginkan.
Kondom dapat disediakan dalam skala luas melalui distribusi atau pemasaran
dengan harga yang terjangkau.Namun meskipun berbagai upaya telah dilakukan
dalam penyediaan kondom, hanya sebagian kecil populasi yang aktif secara
seksual menggunakan kondom di berbagai negara, dan mereka yang memakai
sekalipun tidak menggunakannya secara konsisten dan hanya digunakan pada
pasangan tertentu. Selain itu, wanita juga sering dipaksa untuk melakukan
hubungan seksual tanpa kondom oleh pasangan seksualnya. Kegagalan kondom

11
terjadi akibat kegagalan metode atau karena kerusakan pada kondom serta
kesalahan penggunaan. Program promosi kondom yang efektif sebaiknya berpusat
untuk memastikan kualitas kondom yang baik, kemudahan akses dan edukasi
mengenai penggunaan kondom yang baik dan konsisten. Sementara itu, metode
barier terkontrol pada wanita yaitu penggunaan kondom wanita juga memberikan
proteksi yang hampir sama dengan penggunaan kondom lateks laki-laki. Akan
tetapi, terdapat beberapa kendala dalam mengimplentasikan penggunaan kondom
wanita dalam skala besar, diantaranya biaya yang lebih tinggi, sulitnya
pemasangan, kurangnya promosi audiovisual dan reaksi yang berbeda-beda dari
pasangannya. Teknologi pencegahan lainnya adalah penggunaan mikrobisida
vagina. Mikrobisida vagina telah mulai dikembangkan sejak awal tahun 1990an.
Suatu bahan kimia berbahan detergen yang memiliki aktivitas virusidal dan
bakterisidal awalnya memberikan harapan yang menjanjikan, namun ternyata
efektivitasnya dalam mencegah HIV tidak memberikan hasil yang baik. Beberapa
bahan juga tidak selalu efektif melawan patogen IMS dan penggunaannya
memiliki dampak terhadap integritas epitel vagina, terutama apabila digunakan
berulang kali, sehingga mungkin menyebabkan patogen lebih mudah masuk ke
dalam tubuh. Namun, sejumlah komponen baru yang lebih aman saat ini sedang
dikembangkan, yang nantinya akan memerlukan evaluasi lebih lanjut.Penggunaan
vaksin yang efektif dan aman sangat berpotensi meringankan beban program
pencegahan dan pengendalian IMS. Namun sayangnya, hanya vaksin hepatitis B
yang saat ini tersedia dan bersifat efektif melawan patogen, walaupun beberapa
penelitian telah melaporkan efektivitas penggunaan vaksin HPV. Vaksin terhadap
HSV masih terus dilakukan pengembangan karena penelitian sebelumnya belum
mendapatkan efektivitas yang baik dalam pengunaannya. Vaksin di negara maju
telah banyak digunakan, namun tingginya pembiayaan menghalangi penggunaan
rutin vaksin di negara berkembang.Sirkumsisi pada laki-laki nampaknya
nampaknya memberikan proteksi terhadap kejadian sifilis, canchroid, infeksi HIV
dan HSV-2, walaupun pada beberapa penelitian hal tersebut tidak terjadi secara
signifikan. Sementara itu, terapi supresif HSV-2 menunjukan penurunan transmisi
ke pasangan heteroseksual yang tidak terinfeksi, dan terapi supresif harian dan

12
kondom sangat direkomendasikan untuk pasangan yang memiliki perbedaan
status HSV-2. Pada laporan terbaru terapi supresif HSV-2 menurunkan kadar HIV
baik pada sekret genital maupun plasma dari wanita yang terinfeksi.

c. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder mengacu pada pengobatan


dan pelayanan terhadap individu yang terinfeksi, dengan aktivitas yang
meliputi:
1. promosi perilaku dalam mencari pengobatan, tidak hanya untuk
mereka yang memiliki gejala IMS, tapi juga untuk mereka yang
berisiko terkena IMS
2. penyediaan pelayanan kesehatan yang mudah diakses, diterima
masyarakat dan efektif baik untuk individu simtomatik maupun
asimtomatik, serta pasangannya
3. menyediakan pelayanan konseling untuk IMS dan termasuk HIV
Pengalaman di beberapa negara dengan pendapatan rendah dan sedang
seperti di Thailand, Nairobi, Botswana dan beberapa bagian di Afrika
Selatan telah menunjukan bahwa sangat memungkinkan untuk
mengendalikan IMS yang dapat disembuhkan, bahkan pada daerah
dengan dinamika transmisi yang tinggi, melalui suatu strategi
pencegahan dan pengobatan yang komprehensif.5 Tujuan pengobatan
kasus IMS adalah: untuk membuat diagnosis yang tepat, menyediakan
pengobatan yang efektif, mencegah/mengurangi perilaku berisiko di
masa yang akan datang, menyarankan ketaatan dalam berobat, promosi
dan penyediaan kondom serta memastikan pasangannya dikenali dan
ditangani dengan baik.8 Bahkan pada klinik IMS dengan peralatan
yang paling lengkap akan memiliki keterbatasan dalam mengendalikan
IMS jika pemanfaatan pelayanan IMS masih buruk. Suatu model
operasional telah dibuat untuk menilai berbagai hambatan dalam
penanganan kasus IMS dan strategi dalam mengatasinya seperti
terlihat pada Penemuan Kasus dan Skrining Infeksi menular seksual
seringkali muncul tanpa adanya gejala, terutama pada wanita. Strategi

13
yang berbeda diperlukan untuk mendeteksi dan menangani infeksi
yang bersifat asimtomatik ini.
Beberapa strategi yang dapat diterapkan diantaranya adalah
penemuan kasus dan skrining, yang diperkuat dengan intervensi dalam
menjangkau pasangan seksual untuk memberikan pengobatan
presumtif IMS serta meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan
terhadap risiko individu.
Penemuan kasus artinya melakukan pemeriksaan terhadap
individu yang mencari pelayanan kesehatan untuk alasan lain selain
IMS. Salah satu aplikasi penting dari penemuan kasus ini adalah
memberikan pelayanan IMS pada klinik antenatal, klinik ibu dan anak
serta klinik keluarga berencana. Sebagai contoh, yaitu melakukan
pemeriksaan rutin sifilis untuk wanita hamil di klinik antenatal.
Sementara itu, skrining berarti melakukan pemeriksaan terhadap
individu yang tidak secara langsung mencari pelayanan kesehatan.
Proses skrining dua tahap dapat dilakukan dengan cara
mengidentifikasi individu dengan risiko tinggi infeksi melalui suatu
penilaian risiko dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan untuk mereka
yang teridentifikasi memiliki risiko tinggi, dengan demikian hal ini
akan mengurangi biaya program skrining IMS. Selain skrining
terhadap individu asimtomatik pasien IMS simtomatik yang mencari
pengobatan juga harus diskrining untuk IMS lainnya. Beberapa jenis
skrining yang didapatkan hemat dari segi biaya dan dapat diterapkan di
negara berkembang diantaranya adalah skrining sifilis antenatal,
skrining kanker serviks dan skrining terhadap subpopulasi risiko
tinggi. Program skrining sifilis antenatal harus diimplementasikan oleh
seluruh program pengendalian IMS karena komplikasi yang tinggi
terhadap bayinya diantaranya lahir mati, kematian perinatal dan infeksi
neonatal serius.3,5 Skrining untuk kanker serviks memiliki manfaat
yang besar karena kanker serviks masih menjadi kanker penyebab
kematian utama pada wanita, dengan 80% kasus terjadi di negara

14
berekembang. Sementara itu, skrining subpopulasi risiko tinggi
bersifat hemat dari segi biaya karena satu kasus yang diobati atau
dicegah dari satu orang dalam subpopulasi ini akan dapat mencegah
penyebaran infeksi ke beberapa orang lainnya. Subpopulasi risiko
tinggi yang perlu dilakukan skrining diantaranya adalah para pekerja
seks wanita ataupun laki-laki, kelompok pelanggan pekerja seks, laki-
laki yang berhubungan seksual dengan laki- laki, pengguna obat
injeksi, serta remaja yang telah aktif secara seksual terutama yang
tidak bekerja dan tidak bersekolah (anak jalanan).

Intervensi Tertarget dan Pengobatan

Presumtif Intervensi tertarget didasari oleh konsep dinamika transmisi IMS


yang terdiri dari core group, bridging population dan populasi umum. Beberapa
intervensi komprehensif yang menargetkan core group telah dilakukan di
beberapa negara berkembang dan menunjukkan dampak yang baik dalam
menurunkan angka IMS dan HIV pada populasi target, dan kadang-kadang
terhadap pasangannya. Suatu kesuksesan intervensi core group pada komunitas
tambang di Afrika Selatan telah dilaporkan, dengan cara menyediakan pelayanan
pengobatan IMS, termasuk pengobatan presumtif periodik (setiap bulan) dengan
azithromisin, dan pemberian edukasi pencegahan terhadap sekelompok pekerja
seks wanita yang tinggal di sekitar area tambang. Intervensi tersebut secara
signifikan menurunkan infeksi gonore, infeksi klamidia dan ulkus genital pada
wanita risiko tinggi dalam jangka waktu pendek. Gejala IMS juga menurun
diantara para pekerja tambang di daerah intervensi dibandingkan dengan daerah
yang tidak dilakukan intervensi. Namun masih belum jelas, berapa lama intervensi
ini dapat mempertahankan hal tersebut. Sementara itu, program pengobatan massa
tertarget dengan menggunakan azithromisin saat terjadi wabah sifilis di
Vancouver Kanada berhasil menurunkan kasus dalam 6 bulan, namun terjadi efek
rebound setelahnya. Hal ini mempertegas bahwa walaupun intervensi massa
tertarget mudah untuk dilakukan, intervensi ini seharusnya tidak dikerjakan secara
rutin dan harusnya hanya dilakukan dengan kehati-hatian.Pengobatan presumtif

15
atau disebut juga pengobatan epidemiologis pada seorang individu atau populasi
diberikan saat terdapat kemungkinan yang tinggi mereka mengalami infeksi.
Pengobatan tidak tergantung dari adanya gejala atau tanda, atau tidak tergantung
dari hasil pemeriksaan laboratorium, tapi berdasarkan adanya peningkatan risiko
yang berhasil diidentifikasi untuk terjadi suatu infeksi.5 Pengobatan presumtif
ditujukan untuk mengatasi permasalahan dari suatu infeksi asimtomatik, terutama
pada wanita dan pasangan seksual yang berisiko.Sebagai contohnya adalah
pengobatan presumtif untuk pasangan seksual dari pasien yang menderita IMS
dengan pasangan tersebut berada pada risiko tinggi memiliki infeksi yang sama.

Pengobatan presumtif saat ini telah diimplementasikan, baik sebagai


intervensi tunggal pada waktu pasien kontak pertama kali dengan pelayanan
kesehatan, atau secara periodik seperti intervensi pengendalian IMS pada
subpopulasi risiko tinggi contohnya pada pekerja seks.

Elemen Lainnya dari Pengobatan Kasus Secara Komprehensif Edukasi Kesehatan


dan Konseling Konsultasi IMS tidak hanya menyediakan kesempatan untuk
mendiagnosis dan mengobati IMS namun juga menyediakan kesempatan untuk
mengedukasi bagaimana cara mencegah infeksi di masa yang akan datang.
Keputusan pasien untuk mendatangi suatu klinik menandakan bahwa mereka akan
lebih bersifat reseptif dan hal ini akan menyediakan kesempatan untuk
berkonsultasi tentang penanganan terhadap pasangannya, mengedukasi
penggunaan kondom, menerima pengobatan dan menerima penjelasan tentang
risiko infeksi HIV.8,25 Sebagai bagian dari konseling untuk menurunkan risiko
IMS dan HIV, masing-masing individu harus diberikan informasi yang
memungkinkan dia untuk memutuskan secara sukarela tentang pemeriksaan HIV.
Mengingat adanya potensi koinfeksi antara IMS dan HIV dan dampak yang besar
dari infeksi HIV akut pada dinamika transmisi seksual, maka pasien dengan IMS
harus di konseling dengan baik agar bersedia melakukan pemeriksaan HIV.
Konseling berbeda dengan edukasi kesehatan, yaitu konseling sangat penting
untuk menurunkan risiko dan penting dalam memberikan dukungan secara
psikososial. Konseling membutuhkan keterampilan khusus dan waktu yang

16
cukup, sehingga seorang penyedia pelayanan kesehatan perlu dilatih untuk dapat
memberikan konseling. Pada beberapa keadaan, individu dari subpopulasi risiko
tinggi juga dapat dilatih untuk menjadi konselor dan mereka seringkali lebih
diterima oleh pasien.

Pengenalan Pasangan Seksual

Pengenalan pasangan seksual juga merupakan komponen penting dalam


penanganan kasus IMS komprehensif namun seringkali sulit untuk dilaksanakan
dan memerlukan biaya yang tinggi.22,27,28 Untuk dapat mengendalikan
transmisi IMS, pengenalan pasangan seharusnya meliputi pengobatan terhadap
semua pasangan seksual dari pasien IMS, setidaknya dalam 3 bulan terakhir dan
mengobati pasangannya dengan pengobatan IMS yang sama dengan pasien.

Pasangan dari index patient, yaitu seseorang yang terindentifikasi mengalami


suatu IMS, dapat dijangkau melalui beberapa strategi:

(1) patient referral, index patient mencari dan merujuk pasangannya (dengan
disediakan kartu rujukan), atau diberikan obat untuk mengobati pasangannya
(2) povider referral, penyedia layanan mengenali pasangan seksual berdasarkan
informasi yang diberikan oleh index pasien
(3) contract referral, index patient diminta untuk mengenali dan merujuk
pasangannya pada tanggal tertentu dan setelahnya penyedia layanan kesehatan
akan dapat mengidentifikasi pasangannya tersebut.8,12,29 Provider referral di
negara berkembang memiliki kelemahan yaitu lebih terbatasnya akses ke
pasangan seksual yang potensial, seperti nomer telepon dan alamat, selain itu
diperlukan biaya program tambahan dan kekhawatiran tentang kerahasiaan
yang membatasi pengungkapan informasi identitas pasangan.30,31 Sementara
itu, untuk paient referral terdapat hambatan yaitu ketakutan terjadinya
perselisihan dengan pasangannya, penghakiman terhadap pasangan multipel
atau pasangan yang dianggap sebagai penyebab, dan penerimaan dari
pasangan seksual untuk datang ke lokasi pengobatan.5,27,31 Pasien yang
diminta untuk mengobati pasangannya seperti yang telah dievaluasi di

17
Uganda, nampaknya menunjukkan efektivitas yang lebih efektif dibandingkan
strategi rujukan oleh index pasient. Pendekatan ini mungkin dapat mengatasi
beberapa hambatan yang telah dijelaskan sebelumnya dan mungkin lebih
diterima oleh index patient. Oleh karena keterbatasan pendekatan sindrom dan
pilihan diagnostik untuk wanita, pengenalan pasangan oleh laki-laki yang
mengalami uretritis, laki-laki dan wanita yang mengalami ulkus genital dan
individu dengan hasil serologi sifilis yang reaktif, haruslah menjadi
prioritas.5,29 Pengenalan pasangan sebaiknya bersifat sukarela dan rahasia,
dan pengobatan dari index patient tidak boleh dihambat dalam upaya untuk
mengobati pasangannya.

Komponen Penunjang Program Infeksi Menular Seksual

Sistem manajemen program yang efektif merupakan hal yang sangat penting
dalam mengembangkan dan mempertahankan suatu pelayanan dan pencegahan
IMS yang efektif. Sangat penting untuk mengadakan koordinasi antara pemerintah
dan komponen penunjang eksternal lainnya untuk menghindari duplikasi program
serta memastikan arah intervensi menuju strategi prioritas yang ditetapkan oleh
negara. Kapasitas pembangun (capacity building) untuk meningkatkan sumber
daya manusia dan kapasitas operasional dari suatu institusi merupakan salah satu
prasyarat untuk dapat menjalankan program IMS yang efektif. Kapasitas
pembangun tidak hanya berarti melatih staf namun juga mengacu pada upaya
penguatan seluruh sistem dan aktivitas penunjang yang memungkinkan staf dapat
bekerja dengan efektif, mulai dari infrastrukstur fisik yang baik, suplai sarana
prasarana yang cukup hingga proses supervisi. Komponen penunjang lainnya
yang diperlukan untuk menunjang program pencegahan dan pengendalian IMS
adalah informasi. Beberapa informasi dari berbagai tingkat program sangat
diperlukan untuk dapat merencanakan, menjalankan serta mengevaluasi suatu
program IMS nasional. Informasi ini dapat digunakan untuk mengambil
keputusan selanjutnya. Informasi tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4 yaitu
informasi saat dilakukan penilaian formatif, proses monitoring, evaluasi
efektivitas dan penelitian khusus.

18
2.6 Tantangan dalam Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
Menular Seksual
Di Negara Berkembang Pemanfaatan Sektor Swasta Pelayanan
kesehatan pemerintah tidak selalu dapat diterima oleh pasien walaupun pasti
tersedia, bahkan di negara yang miskin akan sumber daya. Pilihan pasien
tergantung dari ketersediaan pelayanan, kebutuhan dan persepsi pasien tentang
keseriusan penyakitnya, biaya, kerahasiaan, keramahan dan efikasi serta
dukungan sekitar secara keseluruhan. Telah tercatat beberapa upaya
bagaimana penyedia pelayanan swasta dapat bekerjasama dengan pemerintah
dalam mencapai tujuan kesehatan IMS di masyarakat.4,5 Banyak pengamat
melaporkan bahwa apoteker dan petugas obat adalah sumber daya yang
kurang dimanfaatkan untuk penanganan sindrom IMS, karena sebenarnya
mereka dapat dilibatkan dalam penanganan duh tubuh uretra dan vagina serta
dapat sebagai perantara pesan dalam pencegahan IMS. Beberapa laporan
pemanfaatan apoteker di negara berkembang dalam program pencegahan dan
pengendalian IMS mendapatkan bahwa pemanfaatan apoteker dapat
meningkatkan penanganan kasus IMS, terutama mereka dapat menilai adanya
gejala IMS, mempromosikan pengobatan untuk pasangan dan promosi
penggunaan kondom. Selain itu, intervensi ini juga bersifat hemat dari segi
biaya. Namun penggunaan apoteker sebagai penyedia layanan yang sah akan
membutuhkan modifikasi kebijakan dari pemerintah dengan dibuatnya papan
regulasi farmasi, infrastruktur untuk mendukung diadakannya pelatihan
farmasi, supervisi dan landasan hukum serta persetujuan dari dokter.Selain
apoteker, beberapa pihak yang juga dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan
upaya pencegahan dan pengendalian IMS diataranya adalah mahasiswa
kedokteran, perawat, pegawai laboratorium dan penyuluh kesehatan
masyarakat. Pemanfaatan sektor swasta juga dapat dilakukan melalui
pembentukan sistem franchise kesehatan, yaitu sektor swasta dikelompokan di
bawah satu nama dan ditunjang dengan latihan, supervisi, pengiklanan dan
bantuan-bantuan lainnya. Upaya ini sedang dievaluasi, namun nampaknya
pelayanan franchise ini dapat meningkatkan kepuasan pasien dan juga

19
menunjukan beberapa peningkatan pelayanan kesehatan, walaupun terdapat
beberapa tantangan terkait dengan jaminan kualitas dan pembiayaan.
Tantangan lainnya dalam sistem franchise IMS ini adalah bagaimana
menempatkan pelayanan IMS ini sedemikian rupa sehingga tidak memberikan
stigma bagi praktek swasta tersebut dan mereka dapat berpartisipasi secara
aktif. Intervensi lainnya yang telah diupayakan adalah kerjasama dengan
perusahaan komersial swasta, yang sejumlah besar karyawannya adalah single
atau berada jauh dari rumah sehingga berada dalam risiko tinggi IMS, seperti
perusahaan minyak atau konstruksi.

Perubahan Epidemiologi Infeksi Menular Seksual

Tantangan lainnya dalam program pengendalian IMS adalah meningkatnya


kemampuan patogen untuk menjadi resisten terhadap antibiotik dan meningkatnya
dengan cepat prevalensi beberapa patogen yang menjadi kofaktor penting dalam
transmisi HIV, seperti infeksi HSV-2,. Pada negara berkembang, angka isolat
Neisseria gonorrhoeae yang resisten terhadap antibiotik yang sering digunakan
didapatkan tinggi. Dengan demikian, diperlukan regimen yang dapat mengatasi
hal ini sesuai dengan keadaan lokal masing-masing. Tidak seperti di negara maju
yang rutin mengadakan surveilans terhadap kepekaan N. gonorrhoeae, di negara
berkembang data berkelanjutan jarang diperoleh, dan hal ini masih menjadi
tantangan dalam pengendalian IMS terutama gonore. Sementara itu, saat ini
terjadi perubahan epidemiologis mengenai patogen penyebab dari ulkus genital.
Sebelumnya, sifilis dan chancroid menjadi penyebab utama dari sindrom ulkus
genital, namun saat ini infeksi HSV-2 menyumbang 40- 50% penyebab sindrom
ulkus genital. Hal ini sangat penting karena terjadi pergeseran pola dari patogen
bakteri yang dapat disembuhkan menjadi patogen virus yang tidak dapat
disembuhkan. Oleh karena tingginya angka insiden dan prevalensi infeksi HSV-2
di negara berkembang, maka sangat dibutuhkan intervensi yang menargetkan
secara khusus infeksi HSV-2, seperti pemberian terapi supresif maupun terapi
episodik.

20
Integrasi Kolaboratif Program

Rancangan strategi global yang baru untuk pencegahan dan pengendalian


IMS saat ini sedang dikembangkan untuk diimplementaskan secara kolaboratif
dengan program lainnya. Beberapa program kesehatan yang dapat dikolaborasi
dengan program pencegahan dan pengendalian IMS diantaranya adalah program
keluarga berencana, kesehatan ibu dan anak, kesehatan reproduktif remaja,
imunisasi dan pencegahan HIV.3,4 Terdapat kesepakatan bersama untuk dapat
mengintegrasikan pelayanan IMS dengan pelayanan kesehatan reproduktif.
Pertimbangan untuk hal ini adalah karena program kesehatan reproduktif telah
berjalan dengan baik dan mungkin dapat menarik sponsor dana yang ditujukan
untuk pengobatan IMS. Selain itu, pelayanan terintegrasi ini akan dapat
menjangkau populasi wanita secara lebih luas. Setidaknya, penilaian risiko IMS
dan pelayanan pencegahan dapat disediakan pada seluruh klinik ibu dan keluarga
berencana, dan pelayanan terintegrasi ini harus meliputi pemeriksaan sifilis dan
pengobatannya bagi ibu hamil yang mendatangi klinik antenatal. Namun
demikian, pelayanan IMS dan kesehatan reproduksi terintegrasi ini dapat
kehilangan salah satu populasi target yang penting, yaitu laki-laki. Hal ini menjadi
penting karena perilaku seksual berisiko dan mobilitas pada laki-laki lebih tinggi
dibandingkan wanita. Dengan demikian, sangat dibutuhkan pelayanan IMS dan
reproduktif yang tidak hanya menjangkau kaum wanita, tetapi juga kaum laki-
laki. Keberhasilan implementasi dari sudut pandang ini telah ditunjukkan oleh
keberhasilan upaya integrasi program HIV/IMS dengan program keluarga
berencana serta program kesehatan ibu dan anak, yang mampu meningkatkan
pengendalian dan penyebaran HIV dan IMS serta meningkatkan kesehatan
reproduktif wanita. Analisis dari usaha integrasi ini mendapatkan bahwa
meskipun formulasi kebijakan sudah jelas, pelaksanaanya sering tidak terorganisir
dengan baik, terhalang oleh kegagalan alokasi tanggung jawab secara jelas
diantara staf program terkait ataupun karena kurangnya komunikasi. Selain itu,
hambatan lainnya adalah karena rendahnya komitmen organisasi dalam
meningkatkan kualitas pelayanan.

21
Perluasan Cakupan Program

Banyak dari program pengendalian IMS hanya memiliki sedikit atau bahkan
tidak memiliki dampak karena program hanya menyediakan pelayanan pada
sejumlah kecil populasi. Dengan demikian, diperlukan upaya mendesak dalam
mengoptimalkan cakupan dan intensitas program IMS pada semua tingkat untuk
dapat memberikan dampak yang signifikan. Peningkatan cakupan intervensi
diantaranya dapat dilakukan dengan meningkatkan cakupan geografis dan target,
meraih populasi target tambahan, memperluas lingkup dan intensitas intervensi,
serta melakukan advokasi terhadap kebijakan nasional.4 Peningkatan skala
cakupan program akan memberikan dampak besar apabila berpusat pada populasi
target, seperti populasi yang sangat mempengaruhi dinamika transmisi IMS, dan
menjangkau sebanyak mungkin individu dari populasi ini.4 Pada sebagian besar
negara berkembang terdapat beberapa hambatan besar dalam meningkatkan skala
intervensi yang efektif. Meskipun demikian, pengalaman dibeberapa negara telah
menunjukkan bahwa masih memungkinkan untuk meningkatkan skala cakupan
intervensi yang efektif dan inovatif.

Beberapa komponen kunci yang diperlukan dalam meningkatkan skala cakupan


diantaranya:

1. komitmen politik yang kuat dengan melibatkan multisektor;


2. keterlibatan masyarakat yang memadai dan menggerakkan masyarakat untuk
bekerja secara kolektif dalam memastikan program dimiliki oleh seluruh
lapisan masyarakat;
3. desain teknis intervensi yang dapat diadopsi oleh sektor pemerintah dan
swasta;
4. dukungan teknis dan kapasitas pembangun yang memadai
5. sistem manajemen desentralisasi yang efektif;
6. tujuan jelas dan terfokus.

22
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Infeksi menular seksual masih menjadi permasalahan utama di negara
berkembang, dengan angka insiden dan prevalensi kasus IMS yang tinggi.
Upaya pencegahan dan pengendalian IMS sangat diperlukan untuk dapat
menghambat permasalahan tersebut. Terbatasnya keberhasilan pengendalian
IMS di negara berkembang tidak hanya semata-mata karena kurangnya alat
diagnostik pelayanan, meningkatnya resistensi antibiotik, pergeseran pola
patogen IMS, rendahnya perilaku mencari pengobatan atau dinamika
transmisi yang kompleks, namun secara lebih mendasar, hal ini disebabkan
oleh rendahnya kebijakan politik untuk berinvestasi dalam langkah- langkah
pengendalian yang tepat serta untuk mempertahankan dan memperkuat sistem
kesehatan dasar, dan juga sedikitnya data yang tersedia dalam hal beban
penyakit dan efektivitas program yang telah dijalankan. Beberapa strategi
umum yang dapat dilakukan dalam upaya pencegahan dan pengendalian IMS
di negara berkembang yaitu mulai dari pencegahan primer hingga berbagai
strategi pengobatan. Intervensi pencegahan primer terdiri dari program
perubahan perilaku, intervensi struktural dan penggunaan berbagai teknologi
pencegahan. Sementara itu pendekatan pengobatan yang dapat dilakukan
adalah pengobatan kasus simptomatik dengan pendekatan berdasarkan
sindrom, penemuan kasus dan skrining untuk kasus asimtomatik, serta
intervensi tertarget dan pengobatan presumtif untuk populasi risiko tinggi.
Elemen lainnya yang juga menunjang pengobatan ini adalah pemberian
edukasi dan konseling, pengenalan pasangan seksual dan peresepan antibiotik
yang benar. Saat ini terdapat beberapa tantangan dalam meningkatkan upaya
pencegahan dan pengendalian IMS di negara berkembang, yaitu pemanfaatan
secara efektif sektor swasta, adanya perubahan epidemiologi patogen IMS,

23
mengintegrasikan program secara kolaboratif dan memperluas cakupan
program.

B. SARAN
Penderita penyakit menular seksual sebaiknya tidak melakukan hubungan
seks hingga penyakit dinyatakan sembuh oleh dokter. Hal ini dilakukan
untuk mencegah penularan penyakit kepada pasangan.

24
DAFTAR PUSTAKA

Alam, N., Chamot, E., Vermund, S.H., Streatfield, K., Kristensen, S. Partner
notification for sexually transmitted infections in developing countries: a
systematic review. BMC Public Health. 2010; 10(19): 1-11. Low, N.
Public health benefits of partner notification for sexually transmitted
infection and HIV. ECDC. Stockholm: ECDC; 2013, p. 1-92.

Aral, S.O., Over, M., Manhart, L., Hoilmes, K.K. Sexually Transmitted
Infections. Dalam: Jamison, D.T., Breman, J.G., Measham, A.R.,
penyunting. Disease Control Priorities in Developing Countries. 2nd
edition. Washington DC: The International Bank for Reconstruction and
Development/The World Bank; 2006, p. 311-30.

Australian Government Department of Health. Third National Sexually


Transmissible Infections Strategy 2014-2017. Ministry of Health. 2014; 1-
38.

Barrow, R.Y., Berkel, C., Brooks, L.C., Groseclose, S.L., Johnson, D.B.,
Valentine, J.A. Traditional Sexually Transmitted Disease Prevention and
Control Strategies: Tailoring for African American Communities. Sex
Transm Dis. 2008; 35(12): S30–S39.

Bell, G., Potterat, J. Partner notification for sexually transmitted infections in the
modern world: a practitioner perspective on challenges and opportunities.
Sex Transm Infect. 2011; 87: 34-36.

Centers for Disease Control and Prevention. Current concepts and strategies on
improving STI prevention, treatment, and control. Sexually Transmitted
Infections In Developing Countries. 2008: 1-47.

Dallabetta, G.A., Elvira, T., Neilson, G. Dalam: Holmes, K.K., Sparling, P.F.,
Stamm, W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S., Watts,
D.H., penyunting. Sexually Transmitted Disease. 4th edition. New York:
McGraw Hill; 2008, p. 1957-76.

Genuis, S.J. dan Genuis, S.K. Primary prevention of sexually transmitted disease:
applying the ABC str ategy. Postgrad Med J. 2005 81: 299-301.

Hogben, M. Partner Notification for Sexually Transmitted Diseases. Clinical


Infectious Diseases. 2007; 44: S160–74.

25
Hogben, M., Collins, D., Hoots, B., O’Connor, K. Partner Services in Sexually
Transmitted Disease Prevention Programs: A Review. Sexually
Transmitted Diseases. 2016; 43(1): S53-S62.

Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular


Seksual. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. 2011; 4-6.

Kroeger, K., Torrone, E., Nelson, R. Assessment: A Core Function for


Implementing Effective Interventions in Sexually Transmitted Disease
Control Programs. Sexually Transmitted Diseases. 2016; 43(1): S3-S7.

Marrazzo, J.M. dan Cates, W. Interventions to Prevent Sexually Transmitted


Infections, Including HIV Infection. CID. 2011;53(3): S64–78.

Mayaud, P. dan Mabey, D. Approaches to the control of sexually transmitted


infections in developing countries: old problems and modern challenges.
Sex Transm Infect. 2004; 80:174–182.

Mayaud, P. dan McCormick, D. Interventions against sexually transmitted


infections (STI) to prevent HIV infection. British Medical Bulletin. 2001;
58: 129–153.

Nimalasuriya, K.S. Stepping Up STI Counseling and Prevention. Medscape.


2011; 1-5.

Ogilvie, G., Gilbert, M., Taylor, D., Lester, R., Brownrigg, B., Panessa, C., dkk.
Evidence Review: Prevention of Sexually Transmitted Infections, with a
Focus on Bacterial Sexually Transmitted Infections. Population and Public
Health BC Ministry of Health. 2014; 1-237.

Peterman, T.A dan Carter, M.W. Effective Interventions to Reduce Sexually


Transmitted Disease: Introduction to the Special Issue. Sexually
Transmitted Diseases. 2016; 43(1): S1-2. 24. Ross, J., Ison, C., Carder, C.,
Lewis, D., Mercey, D., Young, H. Sexually Transmitted Infections: UK
National Screening and Testing Guidelines. Clinical Effectiveness Group.
2005; 1-5.

Pidari, D.M.P. 2016. Uji resistensi Neisseria gonorrhoeae terhadap beberapa


antibiotika pada penderita gonore (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.

Rietmeijer, C.A. Risk reduction counselling for prevention of sexually transmitted


infections: how it works and how to make it work. Sex Transm Infect.
2007; 83:2-9.

26
Rompalo, A. Preventing sexually transmitted infections: back to basics. J Clin
Invest. 2011;121(12): 4580-3.

Ross, D.A., Dick, B., Ferguson, J. Preventing HIV/AIDS In Young People A


Systematic Review Of The Evidence From Developing Countries. WHO:
Geneva; 2006, p. 1-347.

Shoveller, J.A., Johnson, J.L., Savoy, Daphné, M. Pietersma, W.A. Preventing


sexually transmitted infections among adolescents: an assessment of
ecological approaches and study methods. Sex Education. 2006; 6(2), 163-
83.

Sonfield, A. For Some Sexually Transmitted Infections, Secondary Prevention


May Be Primary. Guttmacher Policy Review. 2009; 2(2): 2-7.

The US President’s Emergency Plan for AIDS Relief. Guidance for the
Prevention of Sexually Transmitted HIV Infection. 2011, p. 1-52. 20.
Workowski, K.A., Bolan, G. Sexually Transmitted Diseases Guideline.
2014. Available at: http://www.cdc.gov.

Tuneu, M.J., Vallès, X., Carnicer-Pont, D., Barberá, M.J., Godoy, P., Avecilla-
Palau, A., dkk. Pilot study to introduce a notification card for partner
notification of sexually transmitted infections in Catalonia, Spain, June
2010 to June 2011. Euro Surveill. 2013;18(27): 1-8.

Watkins, K. dan Lee, J.E.C. Narrative Review of Barriers to the Secondary


Prevention of Sexually Transmitted Infections: Implication for the Military
Context and Current Research Gaps. Journal of Military and Veterans’
Health. 2014; 22(3): 44-52.

WHO/UNAIDS. Sexually transmitted diseases: policies and principles for


prevention and care. Available at:
www.who,int/hiv.pub/sti/en/prev_care_en.pdf. (Accessed September 24
2016).

World Health Organization (WHO). Global Strategy for the Prevention and
Control of Sexually Transmitted Infections, 2006-2015. WHO: Geneva;
2007, p. 1-60

27
28

Anda mungkin juga menyukai