Skripsi oleh Lila Puspitaningrum ini telah diperiksa dan disetujui untuk
diujikan.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persoalan hidup selalu dialami oleh setiap individu. Beberapa individu mampu
melewati ada pula yang tidak mampu melewatinya. Persoalan individu dialami
oleh semua kalangan baik orang dewasa, remaja maupun anak – anak dan
membuat setiap individu merasakan situasi tidak nyaman. Situasi yang membuat
tidak nyaman bisa dari luar individu misalnya pengabaian, perceraian orang tua,
status ekonomi, bencana alam ataupun kehilangan seseorang yang dicintai.
Sumber lain juga dapat berasal dari dalam individu, misalnya dikucilkan, merasa
bersalah, kegagalan, rasa takut,atau karena diserang penyakit.
Siswa SMP berada pada usia antara 12 – 15 tahun, berarti masuk pada periode
perkembangan di masa remaja awal. Pada masa itu siswa SMP tidak lepas dari
persoalan hidup yang harus mereka hadapi mulai dari yang sederhana hingga yang
rumit. Masa remaja merupakan masa dimana individu merasa dirinya mampu
mengatasi persoalannya sendiri dan menolak bantuan dari orang tua dan guru –
gurunya (Hurlock, 2003). Namun ketika individu merasa tidak mampu
menghadapi persoalan dalam hidupnya akan berakibat pada perilaku yang negatif.
Ketidakmampuan individu dalam menghadapi persoalan hidup yang terjadi akan
mempengaruhi psikologis dan perilakunya yang mengarah ke hal negatif seperti
frustasi, stress, depresi, penyalahgunaan narkoba dan minuman beralkohol,
perbuatan kriminal hingga bunuh diri. Karena ketika dihadapkan pada persoalan,
remaja cenderung menggunakan emosi dalam menghadapinya.
Selain dengan emosi, beberapa individu hanya pasrah dengan keadaan, dan
beberapa lainnya akan menyalahkan orang lain bahkan Tuhan. Pada masa ini
remaja sering disebut berada pada periode “badai dan tekanan”, dimana emosi
semakin meninggi karena perubahan fisik dan kelenjar. Individu usia remaja ingin
mendapatkan pengakuan dan cenderung tidak mau menerima bantuan dari orang
lain. Ketika individu tersebut tidak mampu menghadapi periode tersebut sendiri,
individu akan mengalami stress dan depresi. Dalam mengahadapi situasi tersebut,
perlu kemampuan dari diri individu sehingga tidak membuat individu berperilaku
negatif.
Namun setiap individu juga memiliki ketahanan diri dalam menghadapi hidup.
Ketahanan dalam menghadapi hidup disebut resiliensi. Resiliensi adalah
kemampuan individu untuk bangkit, menghadapi dan mengatasi masalah atau
situasi yang tidak sesuai dengan rencananya (Reivich dan Shatte, 2002).
Grothberg (1995) mengartikan resiliensi sebagai kekuatan atau daya tahan
seseorang untuk menghadapi, mengatasi, menjadi lebih kuat, dan bahkan
mengubah pengalaman tidak menyenangkan.
Reivich dan Shatter (2002) menjelaskan beberapa kemampuan yang dapat
membentuk resiliensi individu, yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls,
optimis, empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri dan reaching out. Reivich
dan Shatter juga berpendapat bahwa hampir tidak ada satupun individu yang
secara keseluruhan memiliki tujuh kemampuan tersebut dengan baik.
Resiliensi menjadi kemampuan yang penting dimiliki oleh setiap individu.
Resiliensi dapat menjadi kunci dari kesuksesan dan kebahagiaan seseorang.
Namun tidak semua individu memiliki resiliensi yang tinggi dalam mengahadapi
persoalan hidup. Sehingga rendahnya Resiliensi pada diri remaja, menjadi salah
satu penyebab munculnya perilaku – perilaku yang kurang sesuai.
Selama peneliti melakukan pengamatan di SMP Negeri 04 Batu, peneliti
menemukan fenomena – fenomena terkait hal yang diteliti. SMP Negeri 04 Batu
merupakan sekolah yang sebagian besar status pekerjaan orang tua siswanya
adalah bekerja. Sehingga intensitas pertemuan antara siswa dengan orang tua
rendah, disebabkan oleh sedikitnya waktu orang tua dirumah. Kebanyakan siswa
merasa kurang senang berada di rumah karena kesepian sehingga sehari – hari
siswa lebih banyak berkegiatan di luar rumah. Setelah pulang dari sekolah
sebagian besar siswa akan ikut bekerja di ladang lalu bermain hingga sore hari
atau mengikuti bimbingan belajar. Tidak jarang beberapa siswa pun memilih
untuk menghabiskan waktu lebih lama di sekolah atau bermain di rumah teman.
Dari fenomena yang didapat peneliti, siswa di SMP Negeri 04 Batu menghadapi
situasi – situasi yang tidak nyaman. Selain kurangnya waktu dengan orang tua
dirumah, permasalahan ekonomi dan perceraian juga dirasakan oleh siswa.
Ketidaknyamanan siswa menjadi potensi untuk bersikap merugikan dirinya dan
orang lain. Sikap individu ini ditentukan pula oleh tingkat resiliensinya.
Tingkat resiliensi siswa di SMP Negeri 04 Batu yang rendah akan
berpengaruh pada sikap dari siswa tersebut. Siswa yang memiliki resiliensi rendah
akan cenderung menyalahkan diri sendiri, orang tua bahkan Tuhan. Siswa yang
memiliki resiliensi rendah akan sulit mencari hal positif dari suatu hal, berfikir
pesimis, menggunakan emosi sebagai dasar apa yang akan dilakukan. Sedangkan
siswa yang memiliki tingkat resiliensi tinggi akan tetap memiliki prestasi yang
baik dan memunculkan perilaku yang menjadi ciri – ciri individu yang memiliki
resiliensi tinggi ketika dalam situasi tidak nyaman.
Reivich dan Shatter (2002) secara khusus menyampaikan bahwa individu
dapat meningkatkan resiliensinya. Salah satu cara meningkatkan resiliensi
individu adalah dengan mengajarkan diri sendiri. Sebuah penelitian yang
dilakukan Shochet dan Wurfl (2016) tentang pembangunan Resiliensi (daya
pegas) untuk menjaga kesehatan mental Remaja, menunjukkan bahwa
mengembangkan Resiliensi pada remaja dapat membuahkan hasil positif bagi
remaja (Geldard, 2009). Penelitian ini mengembangkan program membangun
resiliensi berfokus pada pembangunan kekuatan individu, dan membuahkan hasil
positif bagi remaja bahkan masyarakat umum.
Bimbingan dan Konseling berperan membantu siswa menemukan cara
mengatasi hambatan perkembangannya di sekolah salah satunya mengembangkan
keterampilan resiliensi. Keterampilan resiliensi dapat dikembangkan melalui
layanan bimbingan kelompok. Salah satu teknik yang dapat digunakan yaitu
outbound. Teknik outbound menjadi pola pengembangan potensi sumber daya
manusia melalui pendidikan yang terintegrasi melalui pengembangan media
simulasi di alam terbuka dengan tujuan untuk memberikan ruang belajar serta
pemikiran dan pemahaman yang lebih konsusif kepada siswa.
Menurut M. As’adi (2009: 26) outbound menjadi aktivitas yang fun dan
menantang. Aktivitas berupa simulasi kehidupan lewat permaianan – permainan
atau games yang kreatif, reaktif dan edukatif, baik dimainkan secara individual
maupun kelompok untuk pengembangan personality. Interaksi manusia dengan
alam berjalan alami akan mampu memberikan refleksi yang bermanfaat bagi
pengembangan lembaga, perusahaan, maupun organisasi (Ancok, 2002)
Teknik outbound menjadi salah satu teknik bimbingan yang sesuai untuk
meningkatkan personality seseorang, karena lewat permainan yang tercipta
membuat suasana santai, menyenangkan, serta sesuai keinginan. Penelitian yang
dilakukan oleh Lolang Mariana (2014) dengan subjek penelitian siswa SMK
menunjukkan bahwa teknik outbound efektif untuk mengurangi perilaku agresif
pada siswa SMK dimana siswa SMK mampu mengelola emosi yang merupakan
bagian dari regulasi emosi. Regulasi emosi merupakan faktor dari resiliensi.
Melalui teknik ini siswa akan dilatih mengendalikan emosi dan membuat
pertahanan diri, sehingga mampu melatih siswa untuk menghadapi persoalan
hidupnya.
Menurut Ancok (2002:3) outbound merupakan suatu penambah wawasan
pengetahuan yang didapat dari serangkaian pengalaman berpetualang sehingga
dapat memacu semangat dan kreatifitas seseorang. Outbound dirasa efektif untuk
meningkatkan kemampuan personal dari individu. Penelitian oleh Hetti dan Diana
(2011) menunjukkan bahwa outbound efektif untuk meningkatkan kemampuan
resolusi konflik interpersonal pada remaja.
Teknik outbound pun dirasa tepat dalam meningkatkan resiliensi siswa.
Melalui kegiatan outbound siswa diberi pengetahuan tentang maksud dan tujuan
permainan, termasuk metode yang digunakan dan diberikan gambaran masalah
lingkungan kegiatan secara kelompok. Selama masa outbound, siswa
mendapatkan pengalaman dalam permainan bersama yang kemudian mendukung
munculnya resilien pada diri siswa.
Berdasarkan dari fenomena yang ada dan penelitian sebelumnya, peneliti
bermaksud untuk meneliti dan mengembangkan suatu produk yang dapat
membantu meningkatkan resiliensi siswa. Penelitian ini juga berdasarkan belum
adanya bimbingan mengenai resiliensi menggunakan teknik outbound di lokasi
penelitian. Sehingga peneliti akan melakukan penelitian pengembangan dengan
judul “Pengembangan Paket Pelatihan Bimbingan dengan Teknik Outbound untuk
Mengembangkan Resiliensi Siswa SMP”
B. Tujuan Penelitian dan Pengembangan
Tujuan dilaksanakan penelitian pengembangan ini yaitu menghasilkan suatu
produk berupa panduan paket pelatihan bimbingan dengan teknik Outbound untuk
mengembangkan resiliensi siswa SMP yang sesuai kriteria keberterimaan yaitu
aspek ketepatan, kegunaan, kemenarikan dan kemudahan. Dengan adanya proses
validasi, paket bimbingan ini bisa diterima dan layak untuk digunakan konselor
saat memberikan layanan bimbingan pribadi dan sosial untuk mengembangkan
resiliensi siswa.
C. Spesifikasi Produk yang diharapkan
Penelitian pengembangan ini diharapkan dapat menghasilkan produk berupa
paket pelatihan bimbingan dengan teknik outbound untuk mengembangkan
resiliensi siswa SMP. Produk penelitian adalah sebuah buku paket pelatihan
bimbingan dengan teknik outbound untuk konselor dalam memberikan layanan
bimbingan untuk mengembangkan resiliensi siswa.
1. Deskripsi produk
a. Deskripsi format produk
Produk penelitian yang dikembangkan berupa paket buku panduan
sebagai acuan konselor untuk melaksanakan bimbingan dengan Teknik
Outbound. Paket ini berisi tahapan dan panduan yang akan dilakukan
konselor saat kegiatan bimbingan. Secara fisik buku paket pelatihan
bimbingan ini dikemas dalam bentuk buku berukuran 18,2 cm x 25,7 cm
(B5), dengan menggunakan kertas doff sebagai isi dan kertas glossy sebagai
sampul.
Pada Paket bimbingan dengan teknik Outbound untuk mengembangkan
resiliensi siswa SMP terdiri dari tiga bagian, yaitu 1) Pendahuluan yang
berisi latar belakang, tujuan penggunaan paket, sasaran pengguna, dan
metode yang digunakan. 2) Petunjuk pelaksanaan yang berisi tentang
petunjuk umum, petunjuk khusus, serta peran konselor dan peran siswa. Dan
3) Prosedur bimbingan yang berisi tentang tahapan yang akan dilaksanakan
oleh konselor saat memberikan materi pengait, melaksanakan outbound
sesuai dengan teknik dan prosedur outbound, refleksi setiap selesai
permainan dan pemberian reward.
b. Deskripsi isi produk
Buku panduan dalam produk paket bimbingan ini berisikan materi
resiliensi yang terdiri dari faktor – faktor pembentuk resiliensi yang berupa
tujuh kemampuan seseorang yaitu regulasi emosi, pengendalian dorongan,
optimis, efikasi diri, casual analysis, empati, dan reaching out. Produk ini
berisikan materi untuk mengembangkan resiliensi siswa dalam pencegahan
keputus asaan maupun penurunan prestasi pada siswa. Materi ini yang akan
disampaikan oleh konselor dalam memberikan layanan dengan teknik
outbound.
Dalam produk ini permainan outbound menjadi teknik yang digunakan
dalam mengembangkan resiliensi siswa. Teknik outbound berisikan
permainan – permainan yang membantu siswa mengembangkan
resiliensinya. Karena nantinya dalam teknik outbound dapat
mengembangkan personality individu melalui permainan – permainan yang
didukung dengan refleksi.
2. Kriteria keberterimaan
Produk yang akan dikembangkan memiliki spesifikasi produk
sesuai dengan kriteria keberterimaan yang akan dinilai oleh ahli materi
bimbingan konseling, ahli desain media dan calon pengguna produk. Ada
empat aspek keberterimaan yaitu a) aspek kegunaan, b) aspek
kemenarikan, c) aspek kemudahan, d) aspek ketepatan. Keseluruhan aspek
dijelaskan sebagai berikut:
a. Aspek ketepatan
Produk pengembangan ini memiliki ketepatan diantaranya
ketepatan tema dan judul paket, isi materi permainan outbound, teknik
permainan outbound dan pemberian soal latihan. Ketepatan metode
permainan outbound dengan karakteristik siswa SMP yang masih senang
bermain sehingga materi yaang diberikan dapat dipahami siswa. Paket ini
memiliki ketepatan tujuan dengan materi bimbingan dan permainan, serta
memiliki ketepatan gambar dan ketepatan penggunaan bahasa yang
mudah dipahami
b. Aspek kegunaan
Paket bimbingan ini berguna untuk panduan yang digunakan bagi
konselor dalam pemberian layanan bimbingan dan konseling khususnya
materi meningkatkan resiliensi siswa SMP melalui Teknik outbound
yang telah disesuaikan dengan aspek yang dikembangkan. Aspek
kegunaan terletak pada 1) kegunaan kata pengantar dan pendahuluan
sebagai informasi awal pada buku panduan 2) kegunaan petunjuk
pelaksanaan dan prosedur bimbingan pada buku panduan 3) kegunaan
permainan dalam buku panduan 4) kegunaan alat evaluasi pada buku
panduan.
c. Aspek kemenarikan
Produk pengembangan ini berupa paket bimbingan dengan teknik
outbound untuk meningkatkan resiliensi siswa SMP yang menarik karena
di dalamnya terdapat berbagai macam jenis permainan outbound yang
didesain dan dimodifikasi khusus untuk meningkatkan resiliensi siswa.
Kemenarikan dari permainan ini terletak pada: (1) judul dan tema
permainan yang sesuai dengan siswa SMP, (2) metode permainan
outbound yang menarik untuk diikuti siswa SMP, dan (3) Durasi
permainan yang sesuai untuk diberikan kepada siswa SMP
d. Aspek kemudahan
Produk pengembangan ini memiliki kemudahan dalam
melaksanakan bimbingan dengan adanya langkah-langkah yang
sistematis pada paket. Adanya petunjuk penggunaan secara rinci
membuat konselor lebih mudah dalam menggunakan paket. Permainan
kelompok yang sederhana dan sesuai mudah dilakukan konselor dalam
memberikan bimbingan
D. Pentingnya Penelitian dan Pengembangan
Penelitian ini dilakukan berdasarkan potensi masalah yang ditemukan dari
studi awal di lapangan yaitu tingkat Resiliensi siswa yang rendah sehingga
memicu penurunan prestasi pada diri siswa. Oleh karena itu, konselor
membutuhkan sebuah produk berupa paket bimbingan dengan teknik outbound
untuk meningkatkan resiliensi siswa SMP yang dapat digunakan dalam
memberikan layanan bimbingan.
Adapun pentingnya paket bimbingan ini adalah sebagai berikut.
1. Bagi Konselor
Paket bimbingan ini penting bagi konselor karena dapat dijadikan
sebagai bahan pelatihan sekaligus media dalam memberikan layanan
bimbingan dan konseling untuk meningkat resiliensi dalam pencegahan
keputus-asaan maupun penurunan prestasi pada siswa.
2. Peneliti selanjutnya
Pengembangan paket bimbingan dengan teknik outbound untuk
meningkatkan resiliensi siswa SMP ini dapat digunakan untuk penelitian
selanjutnya dalam menguji efektifitas produk yang telah dihasilkan dari
pengembangan ini. Pengembangan ini juga dipergunakan untuk melakukan
penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan resiliensi siswa.
E. Asumsi dan Keterbatasan Penelitian dan Pengembangan
1. Asumsi
Dalam penelitian dan pengembangan ini, peneliti memiliki beberapa
asumsi :
a. Tingkat resiliensi setiap siswa memiliki perbedaan satu dengan yang
lain.
b. Resiliensi siswa dapat dikembangkan, karena konsep ini merupakan
hasil dari perkembangan kognitif dan hasil belajar individu melalui
pengalaman yang dialami individu
c. Resiliensi dapat ditingkatkan dengan cara melatih dan mengelolanya
melalui strategi – strategi tertentu.
2. Keterbatasan
Beberapa keterbatasan pengembangan paket bimbingan dengan teknik
outbound untuk meningkatkan Resiliensi siswa SMP, yaitu:
a. Pelaksanaan uji coba pengembangan hanya dilaksanakan di satu
sekolah yaitu SMP Negeri 04 Batu
b. Pengembangan produk dalam penelitian ini dibatasi pada
pengembangan paket bimbingan dengan teknik outbound untuk
mengembangkan resiliensi siswa SMP
c. Proses pengembangan paket bimbingan ini hanya dilakukan sampai
dengan uji ahli dan calon pengguna produk
F. Definisi Operasional
1. Resiliensi
Resiliensi adalah kemampuan individu untuk menghadapi dan mengatasi
masalah, serta bangkit dari situasi tidak nyaman. Resiliensi memiliki
beberapa faktor – faktor pembentuk yang berupa tujuh kemampuan yang
dimiliki seseorang yaitu regulasi emosi, pengendalian dorongan, optimis,
efikasi diri, casual analysis, empati, dan reaching out.
2. Teknik Outbound
KAJIAN PUSTAKA
A. Resiliensi
1. Pengertian Resiliensi
Resiliensi berasal dari istilah bahasa Inggris Resilience yang dapat
diartikan sebagai daya pegas atau daya kenyal. Resiliensi diartikan pula
sebagai mempertahankan kebahagiaan. Smet (dalam Desmita, 2006)
menyatakan bahwa resiliensi adalah istilah yang dikenalkan oleh Redl pada
tahun 1969 dan digunakan untuk mendeskripsikan perbedaan respon
seseorang serta bagian positif terhadap stress atau keadaan tidak
menyenangkan. Pada kehidupan sehari – hari individu mengalami tekanan
dalam hidup, rintangan dan perubahan dalam hidupnya. Sehingga resiliensi
menjadi respon individu tersebut dalam menghadapinya. Menurut Grotberg
(dalam Desmita, 2006) resiliensi sebagai kekuatan atau daya tahan
seseorang untuk menghadapi, mengatasi, menjadi lebih kuat, dan bahkan
mengubah pengalaman tidak menyenangkan.
Definisi lain mengenai resiliensi disampaikan oleh Reivich dan Shatte
(2002) yang menjelaskan resiliensi sebagai kapasitas individu agar tetap
gigih dalam menghadapi dan menyesuaikan situasi yang terasa berat atau
tidak menyenangkan dihidupnya (Reivich dan Shatte, 2002). Disini
resiliensi merupakan kemampuan atau kapasitas individu bahkan kelompok,
atau masyarakat yang mencegah atau menghadapi untuk mengubah dampak
dari kondisi yang tidak menyenangkan menjadi hal yang wajar
(Desmita,2006).
Resiliensi menjadi proses kemampuan untuk mengatasi gangguan,
tekanan atau peristiwa dalam kehidupan yang dialami individu dan dirasa
menantang dengan melindungi diri dan mampu untuk kembali pada kondisi
sebelum terjadinya peristiwa. Sebagian Individu yang resilien mampu
menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. (Desmita, 2009)
Menurut Siebert (2005), resiliensi dianggap sebagai kemampuan dalam
mengatasi perubahan yang mengganggu. Individu mampu mempertahankan
kesehatan dan energi ketika berada di bawah kondisi tekanan, individu
mampu bangkit kembali dengan mudah dari masalah, mampu mengatasi
kesulitan, mampu mengubah gaya hidup yang tidak mungkin lagi
digunakan, dan tidak melakukan kemampuan dengan cara yang
disfungsional dan berbahaya.
Dari definisi yang di sebutkan beberapa ahli dapat peneliti simpulkan
bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk bertahan dalam
menghadapi persoalan atau kesulitan sehingga individu dapat menjadi lebih
kuat, berkembang, menjadi percaya diri dan mampu melihat hal tersebut
sebagai keberuntungan bukan hambatan. Resiliensi merupakan kemampuan
yang harus dimiliki individu untuk mempertahankan diri dari kondisi yang
tidak menyenangkan atau kondisi yang sulit, agar menjadi individu yang
mampu berkembang secara optimal. Individu yang resilien akan kembali
segera (to bounce back) dalam menghadapi dan mengatasi situasi yang
penuh tekanan melalui pertahanan diri yang dimiliki serta adaptasi yang
positif terhadap perubahan dari pengalaman.
2. Fungsi Resiliensi
Resiliensi berfungsi sebagai sumber kebahagiaan individu. Individu
yang resilien tidak akan menyesali atau mengeluh atas hal – hal yang terjadi
pada hidupnya. Menurut Reivich dan Shatte (2002) resiliensi merupakan
kunci dari kebahagiaan dan kesuksesan seseorang. Individu dengan
kepribadian resilien akan merasakan bahwa hidup bermakna, memiliki
tujuan, dan penuh harapan.
Dalam penelitian yang dilakukan Reivich dan Shatte (2002) terdapat
empat fungsi dari resiliensi, yaitu :
a. Overcoming (Mengatasi)
Setiap individu terkadang berada dalam situasi yang tidak
menyenangkan, stress, dan bahkan menimbulkan kesengsaraan. Individu
dapat menganalisa atau mengubah cara pandang menjadi hal positif untuk
mengatasinya. Selain itu individu berusaha untuk meningkatkan
kemampuan untuk nantinya mengontrol kehidupannya sendiri. Hal
tersebut dapat membuat individu tetap merasa termotivasi, produktif,
dilibatkan, dan bahagia meskipun berada dalam situasi tidak
menyenangkan ketika beraktivitas.
b. Bouncing back (Memantau ulang)
Beberapa peristiwa yang tidak nyaman menjadi hal yang traumatis dan
menjadi stressor pada diri individu, sehingga dibutuhkan resiliensi yang
untuk menghadapi. Kemalangan yang begitu ekstrim, begitu menguras
emosi, membutuhkan resiliensi dan cara bertahap untuk menyembuhkan
diri. Seseorang dapat kembali mengatasi kemalangannya dengan tiga
karakteristik untuk menyembuhkan diri. Seseorang yakin bahwa dirinya
dapat mengontrol apa yang dihasilkan dari kehidupannya, mampu untuk
kembali ke kehidupannya yang normal dari trauma dengan cepat dan tahu
bagaimana seharusnya berkomunikasi dengan induvidu lain sebagai cara
mengatasi pengalam yang dirasakan. Ketiga hal tersebut merupakan task –
oriented coping style yang ditunjukan dari seseorang dalam proses
penyembuhan.
c. Steering through (Menghadapi)
Individu membutuhkan resiliensi untuk menghadapi suatu masalah,
stress atau tekanan, serta konflik yang sedang terjadi pada dirinya.Salah
satu manfaat menjadi resilien adalah steering through atau
menghadapinya. Individu yang memilki resiliensi tinggi dapat
mengarahkan atau memandu, dan mengendalikan diri dalam menghadapi
masalah yang terjadi. Efikasi diri menjadi salah satu unsur utama steering
through Efikasi diri yang tinggi akan memperngaruhi keyakinan individu
untuk tetap bertahan menghadapi masalah dan tidak menyerah ketika
pemecahan masalah yang dipilih tidak membuahkan hasil, sehingga
individu akan mencari pemecahan masalah baru yang dianggap dapat
membantu dirinya.
d. Reaching out (Menjangkau)
Sebagian orang hidup dengan kehidupan yang sempit. Individu yang
resiliensi tinggi dapat menemukan arti dan makna dari kehidupannya. Ada
tiga karakteristik yang dapat menggambarkan individu yang berkomitmen
dan mempelajari dengan baik pengalaman baru yaitu individu yang dapat
memaknai hidupnya, individu yang dapat menemukan makna dan tujuan
hidupnya, serta individu yang dapat memperkirakan resiko yang mungkin
akan terjadi pada hidupnya.
B. Sumber Resiliensi
Grotberg (dalam Desmita, 2006) menyatakan bahwa sumber untuk
mengembangkan resiliensi yang digunakan untuk mengatasi konflik akibat
keadaan yang tidak menyenangkan terdiri dari tiga sumber yaitu Aku
punya (I have), Aku ini (I am), Aku bisa (I can), dengan penjelasan
sebagai berikut,
1. Aku punya (I have)
Aspek I have merupakan merupakan sumber resiliensi yang
berhubungan dengan pemaknaan remaja terhadap besarnya dukungan
dimiliki oleh lingkungan sosialnya. Atau sumber resiliensi yang berkaitan
dengan apa yang individu miliki selain siapa dirinya (I am) atau apa yang
bisa dia lakukan (I can). Individu membutuhkan dukungan dari luar dirinya
untuk membangun perasaan aman agar dapat mengembangkan ketahanan
dirinya. Beberapa sumber yang mempengaruhi adalah sebagai berikut.
a. Trusting Relationship (Hubungan dengan kepercayaan penuh).
Hubungan individu dengan individu lain memiliki kepercayaan penuh
Sebagai contoh individu memiliki orangtua, anggota keluarga, guru,
dan teman yang mencintai dan mempercayainya. Karena individu
membutuhkan cinta tanpa syarat dari orang tua dan keluarga yang
memberikan kasih sayang dan dukungan emosional. Serta dari orang
lain disekitarnya untuk melengkapinya.
b. Structure and rules at home (Struktur dan aturan di rumah)
Individu tinggal bersama orang-orang yang memberikan batas ketika
melakukan sesuatu yang berbahaya. Misalnya, terdapat aturan – aturan
yang disepakati antara individu dengan orang tua, guru atupun teman.
Batas atau aturan itu menjadikan individu tidak berbuat diluar batas
atau norma yang berlaku ditiap keluarga atau lingkungan. Diharapkan
dengan adanya batas serta aturan tersebut dapat dipahami individu
dengan jelas. Ketika individu melanggar ia akan didorong untuk
memahami kesalahannya.
c. Role models (Model atau tokoh panutan)
Individu memiliki orang di sekitar yang menunjukkan atau memberikan
contoh melakukan sesuatu dengan benar. Individu memiliki teman,
idola, orang tua ataupun guru yang menjadi panutannya. Sehingga ia
memiliki panutan dalam perbuatannya. Orang yang menjadi panutan ini
menunjukkan perilaku yang baik terhadap dirinya dan orang lain lalu
individu menirukan mereka.
d. Encouragement to be autonomous (Dorongan untuk mandiri)
Orang – orang di sekitar individu yang mendorong dan membantunya
untuk melakukan sesuatu secara mandiri. Dorongan dari orangtua dan
guru misalnya agar individu dapat melakukan sesuatu secara mandiri.
Individu didorong untuk melakukan hal – hal mandiri dan mencari
bantuan sesuai kebutuhan.
e. Access to health, education, welfare and security services (Akses
layanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan kesejahteraan)
Sumber ini berupa bantuan kepada individu ketika individu berada
dalam keadaan sakit, situasi berbahaya darn kebutuhan untuk belajar.
Individu mendapatkan akses untuk beberapa layanan dalam kehidupan
sehari – harinya.
2. Aku ini (I am)
I am atau aku ini yaitu sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan
pribadi dari dalam diri individu berupa perasaan, sikap, dan keyakinan dari
individu tersebut. Beberapa faktor atau sumber yang mempengaruhi sebagai
berikut.
a. Lovable and my temperament is appealing (Pantas untuk disukai dan
dicintai oleh banyak orang).
Individu tersebut merasa dirinya memiliki sifat yang pantas untuk
dicintai dan disukai oleh individu lain. Individu sadar bahwa orang
menyukai dan mencintainya begitu pula sebaliknya, ia juga mencintai
dan menyukai orang lain. Individu bisa sensitif terhadap suasana hati
orang lain. Namun individu tersebut juga mampu tenang saat
menanggapi orang lain.
b. Loving, empathic, and altruistic (Mencintai, empati, peduli )
Individu merasa senang dan bangga melakukan hal baik untuk orang
lain. Individu akan ikut merasa tidak nyaman atas penderitaan orang
lain dan ingin melakukan sesuatu untuk membantu mengurangi
penderitaan tersebut.
c. Proud of myself (Bangga dengan diri sendiri)
Individu mampu menghadapi persoalan hidupnya dengan percaya diri.
Ia akan merasa bangga dengan dirinya, apa yang telah ia lakukan, dan
apa yang ia dapatkan. Sehingga individu tersebut tidak akan
membiarkan orang lain untuk meremehkannya.
d. Autonomous and responsible (Mandiri dan bertanggung jawab)
Individu bertanggung jawab dengan cara melakukan sesuatu sendiri dan
dapat menerima konsekuensi dari perilakunya. Individu akan
memahami batas – batas dirinya sehingga mampu bertanggung jawab
atas perilakunya.
e. Filled with hope, faith, and trust (Percaya diri, tangguh, dan penuh
harapan)
Individu itu memiliki kepercayaan diri dan keyakinan pada moralitas
dan kebaikan serta dapat mengekspresikannya. Individu akan bersikap
tangguh atau tidak mudah menyerah dalam menghadapi permasalahan
atau dengan kata lain individu akan menjadi pribadi yang penuh akan
harapan.
3. Aku bisa (I can)
Aspek I can merupakan aspek yang berhubungan dengan apa saja yang
mampu dilakukan oleh dirinya sehubungan dengan keterampilan sosial dan
interpersonal. Keterampilan tersebut meliputi:
a. Communicate (Berkomunikasi)
Individu memiliki kemampuan untuk dapat menyampaikan hal-hal yang
membuatnya cemas atau mengganggunya kepada orang lain. Ia juga
bisa mendengarkan apa yang orang lain sampaikan dan memahami
perasaan orang lain. Komunikasi membantu individu mendamaikan
perbedaan dan mampu memahami dan menindaklanjuti hasil
komunikasi.
b. Problem solve (Memecahkan masalah)
Individu memiliki kegigihan dalam memecahkan masalah. Disini ia
mampu mengetahui sifat dan besarmya masalah yang dia hadapi, lalu
individu paham apa yang harus dia lakukan. Sehingga membuat
individu mengetahui bantuan apa yang dia butuhkan dari orang lain
untuk dapat mengatasi masalahnya, juga mampu menegosiasikan solusi
dengan orang lain dan mungkin menemukan solusi kreatif lainnya.
c. Manage my feelings and impulses (Mengelola perasaan dan impuls)
Individu bisa mengenali perasaannya, menamai emosinya, dan
mengungkapkannya dengan kata-kata serta perilaku yang tidak
merugikan dirinya dan orang lain. Dengan kata lain individu mampu
mengatur emosi dengan memahami emosi tersebut dan selanjutnya
disalurkan atau diungkapkan dengan kata atau perilaku positif.
d. Gauge the temperament of myself and others (Mengukur temperamen
sendiri dan orang lain)
Individu memiliki wawasan tentang temperamennya sendiri (seberapa
aktif, impulsif, dan seberapa berani mengambil risiko, reflektif, dan
seberapa hati-hatinya dia) dan juga mengenai temperamen orang lain.
e. Seek trusting relationships (Mencari hubungan yang penuh
kepercayaan)
Individu dapat menemukan seseorang yang dapat dimintai bantuan dan
membagi perasaan dan keprihatinannya, serta untuk mengeksplorasi
dan mendiskusikan cara-cara untuk memecahkan masalah pribadi dan
interpersonal (Grothberg, 1995).
Resiliensi merupakan hasil perpaduan dari ketiga faktor tersebut.
Untuk menjadi seorang yang resilien, tidak cukup hanya dimiliki oleh
salah satu faktor, tetapi saling menopang dengan factor yang lainnya.
Ketiga faktor tersebut merupakan faktor yang saling berinteraksi satu
dengan yang lainnya.
C. Faktor-faktor yang membentuk resiliensi
Menurut Reivich dan Shatte (2002) resiliensi memiliki tujuh faktor
kemampuan berbeda yang dapat membentuk dan menumbuhkan resiliensi,
dan sebagian besar tidak seorang pun yang menguasai semuanya dengan
baik. Ketujuh kemampuan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Regulasi emosi
Regulasi emosi adalah kemampuan individu untuk tetap tenang, ketika
dirinya berada pada situasi yang tidak nyaman atau menekan (Reivich dan
Shatte, 2002). Individu yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat
mengatasi rasa cemas, marah atau sedihnya sehingga dapat mempercepat
menyelesaikan masalahnya. Individu akan kesulitan membangun atau
menjaga hubungan dengan orang lain jika tidak memiliki kemampuan
mengatur emosi. Emosi yang dirasakan individu tidak semuanya harus
diminimalisir. Mampu mengekspresikan emosi secara tepat merupakan
bagian dari resiliensi. Mengekspresikan emosi yang dirasakan merupakan
hal yang konstruksif dan sehat. Dalam regulasi emosi terdapat dua
ketrampilan yaitu tenang dan fokus yang dapat dipelajari oleh individu
dalam mengelola emosinya. Sehingga individu akan fokus walaupun banyak
hal yang mengganggu pikirannya dan mengurangi stress yang di alaminya.
2. Impuls control (pengendalian dorongan)
Impuls control merupakan Kemampuan individu untuk mengendalikan
dorongan dari dalam dirinya yang berupa keinginan, dorongan,keinginan,
rasa puas serta tekanan. Pada penelitian yang dilakukan Goleman (dalam
Reivich dan Shatte, 2002), membuktikan bahwa siswa yang memiliki
impuls control dapat memiliki prestasi akademik dan kemampuan sosial
yang lebih baik, dibandingkan dengan siswa yang tidak mengendalikan
impuls dari dirinya. Individu yang memiliki pengendalian impuls yang
rendah dapat memunculkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran,
dan berperilaku agresif sehingga menghambat penyelesaian masalahnya.
Individu dapat memberi pertanyaan kepada dirinya sendiri secara rasional
mengenai masalah yang sedang dihadapinya. Kemampuan dari
pengendalian dorongan ini sangat berkaitan dengan kemampuan regulasi
yang dimiliki individu tersebu.
3. Optimisme
Menurut Seibert (2005) terdapat hubungan antara perilaku dan
ekspektasi individu tentang kondisi yang sedang dialami. Optimisme adalah
ketika seseorang dapat melihat masa depannya cemerlang (Reivich dan
Shatte, 2002). Menurut Armina (2008) dalam skripsinya optimisme adalah
sikap individu yang mengharapkan akan terjadi hal-hal baik di masa
mendatang. Individu ini memiliki harapan yang positif terhadap masa
depannya. Ia memiliki kemampuannya memecahkan masalah sendiri dan
memimpin diri sendiri dalam mengatasi kemalangan yang mungkin saja
terjadi pada masa depan. Optimisme yang diiringi dengan keyakinan diri
akan sangat bermanfaat untuk individu karena akan mendorong individu
untuk bekerja keras dan menemukan solusi atas pemasalahannya. Sehingga
kan menciptakan kondisi yang lebih baik di masa depan. Dalam optimisme
individu yang realistic dan memiliki keyakinan di masa depan akan menjadi
kunci resiliensi pada diri individu.
4. Self Efficacy (efikasi diri)
Menurut Bandura (1994) self efficacy atau efikasi diri merupakan
keyakinan individu terhadap kemampuan untuk menghasilkan pekerjaan
atau tugas sesuai dengan harapan. Efikasi diri merupakan kemampuan untuk
dapat menilai tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak
bisa sesuai dengan yang diharapkan atau dipersyaratkan (Alwisol, 2006).
Individu yakin bahwa dirinya mampu memecahkan masalah, dirinya
memiliki keberuntungan dan mampu untuk sukses. Efikasi diri
menggambarkan bentuk keyakinan bahwa individu mampu memecahkan
masalah yang di alami dan mencapai kesuksesannya. Hal ini menjadi faktor
yang sangat penting dalam membentuk resiliensi.
5. Causal Analysis (Analisis penyebab)
Causal Analysis merupakan kemampuan individu untuk menganalisis
penyebab dari permasalahan yang sedang mereka hadapi. Menurut Reivich
dan Shatte (2002), causal analysis adalah istilah yang biasa digunakan
untuk menggambarkan kemampuan individu untuk mengidentifikasi
penyebab permasalahan mereka secara akurat. Jika ia mampu
mengidentifikasikan kesalahan secara akurat maka ia tidak akan mengulang
kesalahan yang sama terus menerus. Individu yang resilien akan menjadi
individu yang memiliki fleksibelitas kognitif, sehingga individu mampu
mengidentifikasikan semua penyebab dari kemalangan yang menimpanya.
Ia tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang dibuat demi
membebaskan diri dari rasa bersalah, sehingga akan fokus dan memegang
kendali penuh untuk menganalisis penyebab dari permasalahan dan mulai
mengatasi, bangkit dan meraih kesuksesannya.
6. Empati
Goleman (1999), menyatakan bahwa empati adalah kemampuan untuk
memahami perasaan/emosi, kebutuhan dan kepentingan orang lain. Empati
adalah kemampuan individu untuk memahami perasaan, kebutuhan, dan
kepentingan orang melalui bahasa verbal dan non verbal orang tersebut.
Individu dapat membaca tanda – tanda kondisi psikologis dan emosional
orang lain untuk kemudian menentukan apa yang difikirkan dan dirasakan
orang lain. Orang yang memiliki empati tinggi cenderung lebih tepat
menentukan sikap dalam bertindak menghadapi orang lain. Individu tersebut
mampu menginterpretasikan bahasa non verbal yang ditunjukan oleh orang
lain melalui intonasi suara, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh. Sehingga
cenderung membentuk individu yang positif dalam hubungan sosialnya.
Individu yang memiliki empati rendah akan cenderung tidak resilien
sehingga menyamaratakan semua keinginan dan emosi dari orang lain.
7. Reaching Out
Reaching out diartikan sebagai peningkatan aspek positif. Namun tidak
sebatas itu, reaching out juga diartikan keluar dari “zona aman” yang
dimiliki seseorang. Beberapa orang tidak mampu melakukan reaching out
karena sejak kecil mereka belajar untuk sebisa mungkin menghindari
kegagalan dan hal-hal yang memalukan (Reivich dan Shatte, 2002).
Individu ini akan memilih memiliki standar hidup pada umumnya
dibandikan harus berhadapan dengan resiko kegagalan dan hinaan
masyarakat. Ia akan memiliki rasa takut untuk mengoptimalkan kemampuan
hingga batas akhir pada dirinya. Sedangkan individu yang mampu reaching
out merupakan Individu yang tidak memiliki batas kaku terhadap
kemampuan yang mereka miliki. Individu tidak terperangkap terhadap suatu
rutinitas, memiliki rasa ingin tahu, ingin mencoba hal – hal baru dan tidak
takut mengalami kegagalan.
D. Outbound
1. Pengertian Outbound
Outbound diartikan sebagai suatu bentuk dari pembelajaran segala ilmu
terapan yang dipraktekkan atau dilakukan di alam terbuka atau tertutup
dengan berbagai permainan yang efektif, yang menggabungkan antara
intelegensi, fisik dan mental. Menurut Ancok (2002) outbound merupakan
suatu penambah wawasan pengetahuan yang didapat dari serangkaian
pengalaman berpetualang sehingga dapat memacu semangat dan kreatifitas
seseorang. Bentuk kegiatannya berupa simulasi kehidupan melalui
permainan – permainan yang menekankan pada pengalaman diri atau
experience learning metode.
Outbound merupakan pola pengembangan potensi sumberdaya manusia
melalui pendidikan yang terintegrasi, melalui pengembangan media
simulasi di alam terbuka dengan tujuan memberikan ruang belajar serta
pemikiran dan pemahaman yang lebih kondusif kepada peserta permainan.
Interaksi manusia dengan alam yang berjalan alami akan mampu
memberikan refleksi yang bermanfaat bagi pengembangan Lembaga
perusahaan maupun organisasi. Salah satu bentuk permainan konsep ini
telah cukup lama dikenal namun mengkombinasikan metode ini dengan
petualangan di alam bebas adalah hal yang relative baru di Indonesia
(Ancok: 2002).
Melalui kegiatan outbound peserta diberi pengetahuan tentang maksud
dan tujuan permainan termasuk metode yg akan digunakan dan diberikan
gambaran masalah lingkungan kegiatan secara kelompok, setelah itu
diberikan ice breaking small group untuk menghilangkan batasan – batasan
diri dan membangun persepsi. Selanjutnya race game diberikan untuk
membangun kepercayaan diri serta kepercayaan kepada orang lain dengan
menciptakan kualitas interaksi yang dinamis. Kemudian dilanjut dengan
problem solving dimana peserta dituntut untuk berpikir positif dan
mengungkapkan komitmen pribadi dalam menjalani aktifitas bersama
kelompok , menggali harapan dan tujuan pribadi dalam permainan yakni
melatih ketrampilan social.
Menurut Asti (2003) kompetensi seseorang bisa ditingkatkan melalui
pengembangan pengetahuan, skill, dan sikap / karakter dari yang
bersangkutan. Outbound bertujuan membangun kecerdasan kolektif melalui
kematangan individu, kemampuan berkordinasi, kepercayaan antar anggota
dan semangat untuk saling mendukung. Dalam permainan outbound perlu
adanya hadiah atau penghargaan atas prestasi dan kemampuan yang
diperoleh peserta selama mengikuti kegiatan outbound. Hadiah atau reward
bukanlah suatu hal yang penting tetapi dapat membantu efektifitas suatu
permainan.
Berapapun usia peserta pasti ada suatu hal yang menarik jika ada hadiah.
Karena dari hal tersebut peserta dituntut untuk bersaing untuk merebutkan
hadiah. Hadiah dapat berupa ucapan terimakasih, penghargaan kepada
peserta dan motivasi kepada peserta untuk mengerjakan tugas. Selain itu
bisa juga merekayasa permainan outbound dengan memberikan hadiah pada
setiap kelompok atau setiap peserta sehingga peserta merasa tidak dibeda –
bedakan.
Melalui simulasi outdoor activity peserta juga akan mampu
mengembangkan potensi diri secara individual (personal development)
maupun dalam kelompok (team development) dalam melakukan interaksi
dalam bentuk komunikasi yang efektif, manajemen konflik, potensi
kepemimpinan, manajemen resiko dan pengambilan keputusan secara
inisiatif (Adventure Indonesia : 2006)
Konsep yang dibangun pada permainan outbound berupa aplikasi praktis
pengembangan sumber daya manusia dalam experiental learning yang
merupakan suatu metode pembelajaran dengan melakukan pendekatan
simulasi terhadap peserta melalui berbagai alur aktivitas yang terstruktur
serta diisi dengan proses diskusi yang efektif dengan menjadikan permainan
outbound sebagai teknik, guna mencapai tujuan dan mengoptimalkan
metode permainan tersebut. Maka media outdoor activity atau yg juga
dikenal outbound merupakan pilihan yang tepat sebagai teknik bimbingan
Melalui teknik outbound siswa akan melatih dan meningkatkan
keterampilan sosial melalui pengalaman sehingga mengenal jati diri dan
mau mendengar orang lain. Selain itu karena teknik ini dilakukan di luar
ruang dengan permainan-permainan, fisik serta mental siswa juga di uji.
2. Tujuan outbound
Outbound memiliki tujuan dalam setiap permainan yang dilakukan oleh
peserta. Individu yang mengikuti outbound tidak hanya dihadapkan pada
tantangan intelegensi, tetapi juga fisik dan mental. Dengan teknik outbound,
potensi diri dan ketrampilan sosialnya akan terus terlatih menjadi sebuah
pengalaman yang nantinya menjadi bekal dalam menghadapi kehidupan
yang lebih nyata dalam sosial masyarakat.
Teknik outbound bertujuan menumbuhkan dan menciptakan suasana
saling mendorong, mendukung dan memotivasi dalam sebuah kelompok.
Selain itu juga memberikan kotribusi dalam memupuk jiwa, kepemimpinan,
kemandirian, keberanian, percaya diri, tanggung jawab, dan empati yang
merupakan nilai dasar yang harus dimiliki setiap orang.
Adrianus dalam Muhammad (2009) mengemukakan tujuan
dilakukannya outbound dalam pendidikan adalah sebagai berikut :
a. Mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan diri siswa.
Melalui permainan dalam teknik outbound siswa akan mengetahui
kapasitas diri yaitu kekuatan dan kelemahan pada dirinya. Sehingga apa
yang menjadi kelebihan bisa siswa kelola dengan baik. Selain itu siswa
mampu melatih kelemahan yang ia miliki.
TAHAP PERSIAPAN
Melakukan
Analisis Menentukan Menyiapkan
Melakukan kajian
kebutuhan dan tujuan bahan yang
pustaka
potensi pengembangan diperlukan
masalah
TAHAP PENGEMBANGAN
Penyusunan prototype produk Desain produk
TAHAP VALIDASI
Uji calon Revisi II dan penyusunan
Uji coba
Revisi I pengguna produk akhir
produk awal
produk
Cara menganalisis :
b. Revisi I
Tahap revisi I ini dilakukan setelah uji ahli awal. Pada tahap uji
ahli awal akan didapatkan kelebihan dan kekurangan dari produk yang
telah di desain. Revisi pada tahap ini dilakukan berdasarkan penilaian
dan evaluasi dari uji ahli materi dan ahli desain produk. Revisi pada
tahap ini bertujuan untuk memperbaiki kekurangan dari produk agar
lebih menarik dan mudah dipahami, sebelum diberikan kepada subjek
calon pengguna yaitu konselor.
c. Uji calon pengguna produk
Uji calon pengguna produk melibatkan konselor sebagai calon
pengguna produk panduan bimbingan dengan teknik outbound untuk
mengembangkan resiliensi siswa. Konselor akan menilai dan
mengevaluasi produk, dari hasil penilaian akan diperoleh data
kuantitatif dan deskriptif. Data penilaian kuantitatif diperoleh dari hasil
pengisian angket oleh konselor dan data deskriptif adalah saran yang
diberikan.
d. Revisi II dan penyusunan produk akhir
Berdasarkan masukan dan penilaian konselor sebagai uji coba
lapangan terbatas, tahap selanjutnya dilakukan revisi sekaligus
penyusunan produk akhir sebagai langkah terakhir dari prosedur
pengembangan ini.
Tabel 3.5 Pengklasifikasian indeks validitas uji ahli dan uji coba calon pengguna (konselor)
HASIL PENGEMBANGAN
Bab ini akan mengurai tiga bagian yang menjadi pokok pembahasan dari
hasil pengembangan. Hasil pengembangan akan diuraikan menjadi empat bagian
yaitu : (1) Deskripsi hasil pengembangan, (2) Penyajian data hasil uji coba, (3)
Analisis data, (4) dan revisi produk. Penjelasan rinci kajian terkait hasil
pengembangan produk adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1 Hasil Penilaian Panduan Paket Pelatihan Bimbingan oleh Ahli materi Bimbingan
dan Konseling
Total 27
Total 30
Total 36
Total 26
No Komentar Saran
Tabel 4.3 Hasil Penilaian Panduan Paket Pelatihan Bimbingan oleh Ahli Desain Produk
Total 22
Total 24
Total 19
Total 30
No Komentar Saran
Tabel 4.5 Hasil Penilaian Panduan Paket Pelatihan Bimbingan oleh Calon Pengguna Produk
No Aspek Hal yang dinilai Nilai
Total 24
Total 44
Total 28
No Komentar Saran
C. Analisis Data
Analisis data dilakukan setelah seluruh data uji coba terkumpul. Tujuan
analisis data adalah untuk mengetahui produk sudah menarik dan efektif
atau belum, sehingga mendapatkan produk layak untuk digunakan sesuai
dengan kriteria yang sudah ditentukan. Data skor setiap aspek penilaian
dijelaskan pada tabel sebagai berikut.
1. Analisis data uji ahli
a. Analisis data kuantitatif
1) Analisis data kuantitatif ahli materi
Hasil analisis data berdasarkan tabel 4.1 didapatkan rata –
rata skor penilaian uhi ahli materi di setiap aspek adalah aspek
ketepatan 3, aspek kemudahan 3,75, aspek kegunaan 3,6, dan
aspek kemenarikan 3,71.
Tabel 4.9 Hasil penilaian keseluruhan aspek oleh calon pengguna produk
Dari hasil uji ahli desain produk pada table 4.4 memperoleh
rekomendasi terkait produk buku panduan yang di jabarkan pada
tabel 4.11
Tabel 4.11 Revisi Produk Uji Ahli Desain Produk
2. Revisi kedua
Revisi kedua merupakan revisi yang dilakukan setelah uji calon pengguna produk
produk. Dari hasil uji ahli calon pengguna produk pada tabel 4.6 memperoleh
rekomendasi terkait produk buku panduan yang di jabarkan pada table 4.12
Pada bab V akan mengurai tentang : 1) kajian produk pengembangan, 2) kesimpulan, dan 3)
saran pemanfaatan dan pengembangan produk lebih lanjut. Penjelasan rinci kajian terkait hasil
pengembangan produk adalah sebagai berikut.