Anda di halaman 1dari 9

1) - Perkembangan Itu Sepanjang Hayat

Perkembangan manusia adalah proses yang terjadi pada individu


sejak dalam kandungan sampai dengan individu tersebut meninggal
dunia. Tidak ada rentang usia yang mendominasi perkembangan.
Walaupun demikian, modul ini hanya membahas periode perkembangan
yang relevan dengan dunia pendidikan, yaitu sejak anak lahir (usia dini)
sampai dengan remaja.

- Perkembangan Itu Multidimensional


Perkembangan bukan semata-mata terkait dengan kondisi fisik
saja atau perkembangan kemampuan berpikir (kognitif) saja.
Perkembangan meliputi berbagai aspek (multidimensi) yang
saling berkaitan dan memengaruhi satu sama lain. Menurut
Santrock (2012), perkembangan terdiri atas dimensi biologi,
kognitif, dan sosioemosional. Di setiap dimensi tersebut, ada
komponen-komponen yang lebih kecil, misalnya dalam
dimensi kognitif, ada perkembangan kemampuan berpikir
abstrak, kemampuan memproses informasi, dan sebagainya.
Aspek perkembangan ini akan dibicarakan lebih lanjut di
bagian lain dalam Kegiatan Belajar 1 ini.
- Perkembangan itu Multiarah
Sepanjang hidup seseorang, sebagian dimensi atau
komponen perkembangan ada yang berkembang dan
meningkat, tetapi ada juga yang memudar dan kemudian
menghilang. Semakin tua, orang biasanya belajar dari
pengalaman masa mudanya sehingga ia lebih bijaksana
dibandingkan ketika mudanya. Ini artinya kemampuan
berpikirnya meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Walaupun demikian kemampuan untuk belajar hal-hal yang
baru, misalnya mempelajari bahasa asing, akan lebih sulit
dilakukan ketika seseorang sudah tua dibandingkan anak yang
masih muda bahkan usia dini

- Perkembangan Itu Seperti Plastisin

Plastisin atau lilin mainan memiliki bentuk yang sangat lentur dan mudah dibentuk.
Begitu juga dengan dimensi dan komponen perkembangan, mereka dapat dibentuk
dan diubah bentuknya. Dengan kata lain, perkembangan terjadi karena ada aspek-
aspek dalam diri manusia yang dapat diubah. Sebagai contoh, orang-orang kerap
berpikir bahwa semakin tua semakin sulit seseorang belajar. Walaupun
demikian, penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan strategi yang tepat,
orang lanjut usia masih dapat mempelajari hal-hal baru.

Sebelum kita lanjutkan pembahasan karakteristik lainnya, mari


kita berefleksi diri terlebih dahulu untuk mengetahui seberapa
pentingnya plastisitas atau kemampuan dimensi perkembangan dalam
diri seseorang untuk berubah dan berkembang.

- Perkembangan Itu Kontekstual


Seluruh perkembangan yang terjadi dalam diri setiap manusia terjadi dalam suatu
konteks atau kondisi. Yang dimaksud dengan konteks di sini adalah keluarga,
sekolah, teman bermain, lingkungan agama (misalnya kelompok pengajian,
organisasi gereja, dan sebagainya), lingkungan tempat tinggal, negara, dan
sebagainya. Kondisi tertentu dalam suatu konteks dapat memengaruhi perkembangan
manusia. Misalnya, wafatnya salah satu orang tua dari anak usia dini, “memaksa”
anak tersebut untuk mempelajari konsep kematian, sesuatu yang mungkin tidak
dipelajari anak-anak lainnya.
2) - Tahap Membangun Kepercayaan (Trust vs. Mistrust)
Tahap pertama ini terjadi dalam rentang bayi berusia usia 0 – 18 bulan.
Tahap ini sangat kritis dalam perkembangan psikososial anak dan sangat dipengaruhi oleh Ibu
dan pengasuh yang menemani anak sehari-hari.
Pada fase ini, anak belajar mengenali apakah dunia sekitar aman dan bisa dipercaya atau tidak.
Ketika orang tua atau pengasuh menanggapi kebutuhan anak dengan cara yang konsisten dan
penuh perhatian, anak akan belajar untuk mempercayai dunia dan orang-orang di sekitarnya.
Anak merasa aman dan melihat bahwa dunia sekitarnya adalah aman.

- Tahap Membangun Otonomi (Autonomy vs. Shame & Doubt)


Tahap psikososial kedua berlangsung dalam rentang usia 18 bulan – 3 tahun.

Dalam fase ini, anak memulai mengembangkan otonomi diri, kemampuan melakukan sebuah hal
secara mandiri. Proses stimulasi kemandirian seperti toilet training, makan minum sendiri, berpakaian,
memilih dan bermain sendiri menjadi stimulasi krusial anak untuk mengembangkan kontrol dirinya.

Jika kemandirian anak dan kontrol dirinya berkembang, anak bisa mengatasi rasa malu dan keraguan
akan kemampuannya.

- Tahap Berinisiatif (Initiative vs. Guilt)


Tahap psikososial ketiga berlangsung dalam rentang usia 3 – 5 tahun.

Dalam fase ini, anak mulai mencoba dan mengembangkan inisiatifnya. Anak banyak bertanya dan
mencoba hal-hal baru yang ada di sekitarnya.

Jika pertanyaan dan keingintahuan ini difasilitasi, anak akan mengembangkan kepercayaan diri untuk
berinisiatif. Sebaliknya, jika keingintahuan anak diabaikan dan anak sering mendapat
larangan/kritikan saat ingin mencoba sesuatu, anak akan merasa bersalah atau inisiatif dan
keingintahuannya.

- Tahap Merasa Mampu (Industry vs. Inferiority)


Tahap perkembangan psikososial anak selanjutnya adalah saat anak mulai masuk usia sekolah: 6 – 11
tahun.

Dalam rentang usia ini, anak-anak mulai berinteraksi dengan temannya di sekolah dan mulai
menjalani kegiatan belajar yang lebih formal. Anak mulai mengembangkan rasa bangga, mampu
memahami/melakukan, dan mencapai prestasi dengan kemampuan mereka.

Dalam tahap ini, anak-anak membutuhkan apresiasi, dukungan dan dorongan untuk mengembangkan
rasa mampu (kompetensi). Sebaliknya, tantangan anak pada fase ini adalah merasa rendah diri
(inferior) karena tidak mampu dan tidak mendapatkan dukungan/apresiasi yang dibutuhkannya.

- Tahap Membangun Identitas (Identity vs. Confusion)


Tahap perkembangan psikososial ke-5 terjadi saat anak mulai menginjak masa remaja (12 – 18 tahun).

Pada fase ini, anak mulai membangun identitas dirinya. Anak bertanya-tanya dan mencari jawaban
untuk pertanyaan: siapa saya? Pada fase membangun identitas pribadi ini, anak remaja
mengeksplorasi perilaku, peran, dan identitas yang berbeda.

Para remaja yang menemukan rasa identitas akan merasa aman, mandiri, dan siap menghadapi masa
depan, sementara mereka yang tetap bingung mungkin merasa tersesat, tidak aman, dan tidak yakin
akan tempat mereka di dunia.

Itulah sebabnya, penting bagi orangtua dan orang dewasa memberikan dukungan yang memberikan
anak agar bisa menemukan identitas dirinya dengan nyaman dan aman.

- Tahap Menjalin Kedekatan (Intimacy vs. Isolation)

Di tahap awal dewasa (19 – 40 tahun), seseorang mulai berada dalam tahap tahap psikososial keenam
yang berfokus pada pembentukan hubungan yang intim dan penuh kasih dengan orang lain.

Seseorang mulai mengenal pacaran, melakukan pernikahan, membentuk keluarga, dan membangun
persahabatan.

Jika berhasil membangun hubungan cinta dengan orang lain, individu dapat mengalami cinta dan
menikmati keintiman. Mereka yang gagal membentuk hubungan yang intim dengan orang lain bisa
merasa terisolasi dan sendirian.

- Tahap Dewasa (Generativity vs. Stagnation)


Tahap dewasa dijalani dalam rentang usia 40 – 65 tahun.

Dalam tahap psikososial berikutnya, tantangan yang dihadapi bergeser menjadi rasa berguna dan
bertumbuh. Seseorang membutuhkan tujuan dan berkontribusi yang melampaui individualitasnya.

Membesarkan keluarga, bekerja, dan berkontribusi pada komunitas adalah contoh cara seseorang
mengembangkan rasa memiliki tujuan. Mereka yang gagal menemukan cara untuk berkontribusi
mungkin merasa terputus dan tidak berguna.
- Tahap Kematangan (Integrity vs. Despair)
Tahap psikososial terakhir dimulai sekitar usia 65 tahun.

Selama periode waktu ini, individu melihat kembali hidupnya. Pertanyaan utama selama tahap ini
adalah, “Apakah saya menjalani kehidupan yang bermakna?”

Mereka yang merasa hidupnya bermakna akan merasakan kedamaian, kebijaksanaan, dan kepuasan,
bahkan ketika menghadapi kematian.

Sebaliknya, seseorang yang merasa gagal dan tidak menjalani hidup dengan baik, mereka akan
merasakan kepahitan, penyesalan, bahkan perasaan putus asa.

3) Seorang ahli psikologi dari Amerika bernama Urie Bronfenbrenner (1917-2005)


merumuskan teori ekologi dalam psikologi perkembangan untuk menjelaskan bagaimana
kualitas yang diwarisi oleh seorang anak dan lingkungan tempatnya berinteraksi dapat
mempengaruhi bagaimana tumbuh kembang anak. Melalui teori ekologinya tersebut,
Bronfenbrenner menekankan pentingnya untuk mempelajari seorang anak dalam konteks
lingkungan yang beragam yang juga dikenal dengan istilah sistem ekologi dalam usaha untuk
memahami proses perkembangannya.
Seorang anak biasanya akan berada dalam ekosistem yang berbeda secara simultan, dari
lingkungan yang paling akrab di rumah menuju lingkungan luar ke sekolah dan ke
lingkungan yang paling luas yaitu budaya dan masyarakat. Setiap sistem ini tidak dapat
dihindari untuk berinteraksi dan saling mempengaruhi setiap aspek kehidupan seorang anak.
Teori ini akan membantu kita untuk memahami mengapa kita dapat berperilaku berbeda di
lingkungan yang berbeda, misalnya perilaku kita ketika di rumah akan berbeda dengan
perilaku yang kita tunjukkan ketika berada di lingkungan luar.

Bronfenbrenner membagi beberapa aspek teori ekologi dalam psikologi perkembangan yang
dapat mempengaruhi perkembangan anak yaitu:

- Mikrosistem
Lingkungan mikrosistem adalah lingkungan yang paling kecil dan langsung dihadapi anak, yaitu
lingkungan dimana ia hidup dan bertemu dengan orang – orang yang berinteraksi secara
langsung. Mikrosistem mencakup rumah, sekolah atau penitipan anak, kelompok teman sebaya
atau lingkungan komunitas dari sang anak. Interaksi didalam mikrosistem biasanya melibatkan
keterlibatan pribadi dengan keluarga, teman sekelas, guru, pengasuh yang memberi pengaruh
kepada anak.

- Mesosistem
Mesosistem meliputi interaksi antar mikrosistem yang berbeda dimana seorang anak
berada. Pada intinya mesosistem adalah suatu sistem yang terbentuk dari mikrosistem dan
melibatkan hubungan antara rumah dan sekolah, teman sebaya dan keluarga atau antara
keluarga dan sekolah dalam psikologi perkembangan. Bermain dengan teman sebaya
dengan relasi yang baik dapat mengurangi tekanan pada anak, meningkatkan
perkembangan secara kognitif, dan lain sebagainya. Contoh lain, ketika seorang anak
diabaikan orang tuanya, ia mungkin akan mengalami kemungkinan kecil untuk
mengembangkan perilaku yang positif terhadap gurunya, merasa canggung dengan teman
sekelasnya dan menarik diri dari pergaulan.
- Eksosistem
Eksosistem berkaitan dengan hubungan yang mungkin terjadi antara dua atau lebih
setting lingkungan, salah satunya kemungkinan bukan lingkungan yang melibatkan
seorang anak namun tetap mempengaruhinya walau bagaimanapun. Orang lain atau
tempat lain yang tidak berinteraksi secara langsung dengan anak namun tetap dapat
mempunyai pengaruh kepada anak meliputi eksosistem tersebut.

- Makrosistem
Lingkungan yang paling besar dan jauh dari orang – orang dan tempat yang masih dapat
memberikan pengaruh signifikan pada anak adalah makrosistem. Lingkungan ini tersusun
akan pola budaya dan nilai – nilai sang anak, khususnya keyakinan dan ide dominan anak
sebagaimana sistem politik dan ekonomi. Konteks budaya akan melibarkan status sosial
dan ekonomi dari seseorang atau keluarganya, etnis atau ras.

- Chronosistem
Chronosistem memberikan kegunaan dari dimensi waktu yang mempertunjukkan
pengaruh akan perubahan dan kontinuitas dalam lingkungan seorang anak. Chronosistem
bisa berupa perubahan, transisi dan tingkatan dalam struktur keluarga, alamat, status
pekerjaan orang tua, perubahan sosial dalam masyarakat seperti ekonomi dan perang.
Mungkin juga melibatkan konteks sosial budaya yang dapat mempengaruhi seseorang.

4) - Menurut teori perkembangan kognitif Jean Piaget, semua manusia mengalami interaksi
antara perkembangan internal dan pengalaman dengan dunia sekitar, yang menciptakan
perubahan dalam kehidupan. Ini terjadi dalam dua cara, pertama melalui penambahan
informasi baru ke ide-ide yang ada yang dikenal sebagai asimilasi dan modifikasi skema
kognitif (pintasan mental) untuk menghubungkan informasi baru yang dikenal sebagai
akomodasi. Menurut Piaget, semua anak melewati empat tahap perkembangan kognitif.
Mereka,

-Tahapsensorimotor
-Tahappraoperasi
-Tahapoperasionalkonkret
- Tahap operasional formal

- Menurut teori perkembangan sosial-budaya, perkembangan kognitif anak sangat dipengaruhi


oleh interaksi sosial dan budaya di sekitarnya. Ketika anak berinteraksi dengan orang lain, nilai-
nilai dan norma-norma yang tertanam dalam suatu budaya ditransmisikan ke anak di mana itu
mempengaruhi perkembangan kognitifnya. Oleh karena itu, memahami perkembangan adalah
memahami konteks budaya di mana anak tumbuh. Vygotsky juga berbicara tentang konsep yang
disebut Perancah yang mengacu pada penyediaan petunjuk kepada seorang anak untuk
menyelesaikan masalah tanpa menunggu anak mencapai kebutuhan yang diperlukan. tahap
perkembangan kognitif. Dia percaya bahwa melalui interaksi sosial anak memiliki potensi tidak
hanya untuk menyelesaikan masalah tetapi juga menggunakan strategi yang berbeda untuk masa
depan.

Vygotsky menganggap bahasa sebagai bagian penting dalam teorinya karena ia memahami
bahwa bahasa memiliki peran khusus dalam perkembangan kognitif. Secara khusus ia berbicara
tentang konsep self-talk. Sementara Piaget percaya ini egosentris, Vygotsky melihat self-talk
sebagai alat pengarahan yang membantu pemikiran dan memandu tindakan individu. Akhirnya,
ia berbicara tentang zona perkembangan proksimal. Sementara Piaget dan Vygotsky setuju
bahwa ada batasan untuk perkembangan kognitif anak-anak, Vygotsky tidak membatasi anak
pada tahap perkembangan. Sebaliknya, ia mengatakan bahwa dengan memberikan bantuan yang
diperlukan anak dapat mencapai tugas-tugas yang menantang dalam zona perkembangan
proksimal.

Perbedaan terori Piaget dan Vygotsky :


- Misalnya, sementara untuk pengembangan Piaget mendahului pembelajaran, Vygotsky
percaya bahwa visa itu sebaliknya. Dia menyatakan bahwa pembelajaran sosial yang
datang sebelum pembangunan

- meskipun Piaget menugaskan perkembangan kognitif ke tahap perkembangan yang


tampaknya agak universal, Vygotsky menggunakan pendekatan berbeda yang
memberikan keunggulan pada interaksi budaya dan sosial sebagai sarana membentuk
pembangunan.

- Perbedaan lain antara kedua teori tersebut berasal dari perhatian yang diberikan pada
faktor sosial. Piaget percaya bahwa belajar lebih merupakan eksplorasi independen
sedangkan Vygotsky melihatnya lebih sebagai upaya kooperatif terutama melalui zona
perkembangan proksimal ketika seorang anak dibantu untuk mengembangkan
kemampuannya.

5) Pada hakikatnya model pembelajaran dengan pemerosesan informasi didasarkan pada teori


belajar kognitif. Model pembelajaran tersebut berorientasi pada kemampuan siswa
memproses informasi dan sistem yang dapat memperbaiki kemampuan belajar siswa.
Pemrosesan informasi menunjuk kepada cara-cara mengumpulkan atau menerima stimulus
dari lingkungan, mengorganisasi data, memecahkan masalah, menemukan konsep-konsep
dan pemecahan masalah serta menggunakan simbol-simbol verbal dan non-verbal.
Proses informasi dalam ingatan dimulai dari proses penyandian informasi (encoding),
diikuti dengan penyimpanan informasi (stroge) dan diakhiri dengan mengungkapkan
kembali informas-informasi yang telah disimpan dalam ingatan (retrival). Teori belajar
pemerosesan informasi mendeskripsikan tindakan belajar merupakan proses internal yang
mencakup beberapa tahapan.

Encoding adalah proses memasukkan informasi ke dalam memori. Sistem syaraf

menggunakan kode internal yang merepresentasikan stimulus eksternal. Dengan cara ini

representasi objek/kejadian eksternal dikodekan menjadi informasi internal dan siap

disimpan.
Stroge adalah informasi yang diambilkan dari memori jangka pendek kemudian diteruskan
untuk diproses dan digabungkan ke dalam memori jangka panjang. Namun tidak semua
informasi dari memori jangka pendek dapat disimpan. Kunci penting dalam penyimpanan di
memori jangka panjang adalah adanya motivasi yang cukup untuk mendorong adanya
latihan berulang hal-hal dari memori jangka pendek.
Retrieval adalah hasil akhir dari proses memori. Mengacu pada pemanfaatan informasi yang
disimpan. Agar dapat diambil kembali, informasi yang disimpan tidak hanya tersedia tetapi
juga dapat diperoleh karena meskipun secara teoritis informasi yang disimpan tersedia tetapi
tidak selalu mudah untuk menggunakan dan menempatkannya.
Teori ini ditemukan oleh Gagne yang didasarkan atas hasil riset tentang faktor-faktor
yang kompleks pada proses belajar manusia. Penelitiannya diamksudkan untuk menemukan
teori pembelajaran yang efektif. Analisanya dimulai dari identifikasi konsep hirarki belajar,
yaitu urut-urutan kemampuan yang harus dikuasai oleh pembelajar (peserta didik) agar
dapat mempelajari hal-hal yang lebih sulit atau lebih kompleks.
Teori pemrosesan informasi umumnya berpijak pada tiga asumsi berikut :[9]
1.      Antara stimulus dan respon berpijak pada asumsi, yaitu pemrosesan informasi ketika
pada masing-masing tahapan dibutuhkan sejumlah waktu tertentu
2.      Stimulus yang diproses melalui tahap-tahapan tadi akan mengalami perubahan bentuk
ataupun isinya
3.      Salah satu tahapan mempunyai kapasitas yang terbatas.

Dari ketiga asumsi tersebut, dikembangkan teori tentang komponen, yaitu komponen


struktur dan pengatur alur pemrosesan informasi (proses kontrol). Komponen-komponen
pemrosesan informasi dipilih berdasarkan perbedaan fungsi, kapasitas bentuk informasi,
serta proses terjadinya ”lupa”. Ketiga komponen tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Sensory Receptor (SR)
Sensory Receptor adalah sel tempat pertama kali informasi diterima dari luar. Di dalam SR
informasi ditangkap dalam bentuk aslinya, informasi hanya bertahan dalam waktu yang
sangat singkat dan mudah tergangu atau berganti.
b.      Working Memory (WM)
Working Memory diasumsikan mampu menangkap informasi yang mendapat perhatian
individu, perhatian dipengaruhi oleh persepsi. Karekateristik Working Memory adalah
memiliki kapasitas terbatas (informasi hanya mampu bertahan 15 detik jika tidak diadakan
pengulangan) dan informasi dapat disandi dalam bentuk yang berbeda dari stimulus aslinya.
Artinya agar informasi dapat bertahan dalam WM, upayakan jumlah informasi tidak
melebihi kapasitas disamping melakukan pengulangan.
c.       Long Term Memory (LTM)
Long Term Memory diasumsikan: 1) berisi semua pengetahuan yang telah dimiliki oleh
individu, 2) mempunyai kapasitas tidak terbatas, dan 3) bahwa sekali informasi disimpan di
dalam LTM, ia tidak akan pernah terhapus atau hilang. Sedangkan lupa adalah proses
gagalnya memunculkan kembali informasi yang diperlukan. Tennyson mengemukakan
proses penyimpanan informasi merupakan proses mengasimilisasikan pengetahuan baru
pada pengetahuan yang telah dimiliki, yang selanjutnya berfungsi sebagai dadar
pengetahuan.
Pada taraf aplikasi, teori sibernetik dalam pembelajaran telah banyak dikembangkan,
diantarannya adalah pendekatan-pendekatan yang berorientasi pada pemrosesan informasi.
Berdasarkan pendekatan ini Reigeluth, Bunderson, dan Merril mengembangkan strategi
penataan isi atau materi pembelajaran berdasarkan empat hal, yakni pemilihan, penataan
urutan, rangkuman dan sintesis.

Anda mungkin juga menyukai