Anda di halaman 1dari 11

LATAR BELAKANG PENELITIAN

“Hubungan Forgiveness Dengan Resiliensi Pada Remaja Di Panti Asuhan”

Diajukan Sebagai Tugas Individu Mata Kuliah Metode Penelitian (Kuantitatif)

Dosen Pengampuh : Syahrul Alim,S.Psi,M.Psi Psikolog

Asisten Dosen : Rachmadanty Mujah Hartika

OLEH :

NYOMAN MULYARTI

(4518091063)

Psikologi D

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR

2020
A. LATAR BELAKANG
Remaja merupakan individu yang berada dalam masa peralihan
perkembangan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa
(Papilia,Olds & Feldman, 2009). Menurut Berk (2004) masa remaja
dimulai pada usia 11 atau 12 tahun dan akan berakhir pada usia 18 tahun
atau hingga usia 22 tahun (Santrock, 2007. Tugas pokok yang harus
dilakukan remaja adalah mempersiapkan diri untuk masuk ke masa
dewasa sehingga idealnya individu bisa memiliki kemandirian secara
pribadi, perkembangan karier dan ekonomi (Santrock, 2007).
Remaja adalah masa transisi dari perilaku masa kanak-kanak menuju
masa dewasa yang umumnya ditandai dengan perubahan yang spesifik
secara fisik dan psikologis (Hurlock, 2003). Pada masa transisi ini remaja
umumnya adalah masa mencari tahu dan juga rentan terkena masalah.
Pernyatan tersebut diperkuat oleh Rienneke dan Setianinggrum (2018)
yang menyatakan bahwa di masa remaja, individu memiliki kesadaran
yang semakin tinggi terhadap lingkungan sosialnya. Namun hal tersebut
juga menyebabkan seorang remaja semakin banyak memiliki tekanan
sosial sehingga remaja dianggap sebagai individu yang rentan untuk
mengalami masalah. Oleh karenanya, penting bagi seorang remaja untuk
mendapat bimbingan dan pemahaman dari orang sekitarnya, salah
satunya dari keluarga.
Keluarga merupakan kelompok sosial dengan beragam karakteristik
yang tinggal bersama, melakukan kerja sama ekonomi dan terjadi proses
reproduksi (Murdock, 1965). Menurut Hill (1998) keluarga adalah rumah
tangga yang memiliki hubungan darah atau perkawinan atau rumah
tangga yang memiliki fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-
fungsi ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam satu
jaringan.
Anak-anak menjalani proses tumbuh dan berkembang dalam suatu
lingkungan dan hubungan. Pengalaman anak sepanjang masa bersama
dengan orang-orang yang mengenal mereka dengan baik dengan
beragam karakteristik dan kecenderungan yang mulai mereka pahami
dapat mempengaruhi perkembangan konsep dan kepribadian sosial anak
(Thompson, 2006). Berdasar pada penjelasan diatas, keluarga
khususnya kedua orangtua memiliki peran yang sangat besar terhadap
perkembangan anak. Tidak hanya untuk pemenuhan ekonomi namun jadi
pemenuhan kasih sayang dan perhatian.
Anak-anak umumnya akan tumbuh lebih baik jika diasuh oleh
orangtua lengkap. Anak-anak yang menetap dengan kedua orangtuanya
umumnya lebih baik secara emosi dan akademik karena mereka
memperoleh perhatian yang lebih baik dari orangtuanya. Kualitas
hubungan yang baik antara orangtua dan anak dapat memberi pengaruh
positif pada perkembangan anak misalnya penyesuaian diri, perilaku
prososial dan transmisi nilai. Sebaliknya kualitas hubungan yang tidak
baik berpengaruh pada masalah perilaku atau psikopatologi pada anak
(Thompson, 2006).
Terdapat beragam keadaan yang menyebabkan orangtua tidak dapat
memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Keadaan tersebut diantaranya
perceraian yang dapat memutuskan hubungan orangtua dan anak, faktor
ekonomi dan kematian. Anak-anak korban perceraian biasanya akan
diasuh oleh salah satu orangtua baik ayah atau ibu mereka sedangkan
anak-anak yang tidak lagi memiliki orangtua akibat kematian disebut
dengan anak yatim piatu. Anak-anak ini biasanya tinggal di panti asuhan
ketika tidak ada lagi sanak saudara yang mau menjadi wali mereka.
Selain itu, orangtua dengan kemampuan ekonomi rendah juga kerap
meletakkan anak-anaknya di panti asuhan (Teja, 2014).
Panti asuhan menurut Departemen Sosial RI (2004: 4) adalah sebuah
lembaga usaha kesejahteraan sosial anak yang memiliki tanggungjawab
untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial pada anak yang
terlantar dengan melakukan penyantunan dan pengentasan anak
terlantar, memberikan pelayanan pengganti orangtua/wali anak dalam
memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial kepada anak asuh sehingga
memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi
pengembangan kepribadiannya sesuai dengan harapan sebagai bagian
dari generasi penerus cita-cita bangsa dan sebagai insan yang turut serta
aktif dalam bidang pembangunan nasional.
Remaja yang tinggal di panti asuhan kerap kali mengalami beragam
kesulitan. Untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan baru, remaja harus
mampu bertahan dalam keadaan sulit yang ia alami. Proses bertahan
dalam keadaan sulit itu disebut dengan resiliensi. Menurut Reivich &
Shatte (2008) resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi, beradaptasi
dan tetap teguh menjalani situasi yang sulit. Sedangkan Masten (2014)
mengatakan bahwa resiliensi adalah kapasitas dari sebuah sistem yang
dinamis pada diri individu untuk berhasil dalam melakukan adaptasi
terhadap gangguan yang mengancam keberfungsian dan kelangsungan
hidup dari suatu pengembangan kehidupan. Individu yang resilien akan
mampu mempertahankan kesehatan fisik dan psikologisnya serta
memiliki kemampuan untuk pulih dari kejadian traumatis yang dialami
(Malkoc dan Yalcin, 2015).
Resiliensi adalah istilah dalam psikologi yang mengacu pada
kemampuan seseorang untuk mengatasi dan mencari makna dalam
setiap peristiwa didalam hidup seperti mengalami tekanan dimana
individu merespon dengan fungsi intelektual yang sehat dan dukungan
sosial (Richardson, 2002). Remaja yang tinggal dipanti asuhan memiliki
resiliensi yang baik ketika mereka dapat bangkit dari kenyataan yang
tidak diinginkan seperti kehilangan orangtua dan permasalahan ekonomi
yang menyebabkan mereka tinggal di panti asuhan.
Resiliensi dapat dikatakan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh
remaja untuk menyesuaikan dirinya dan mampu melakukan beragam
kegiatan dilingkungan masyarakat (Arif, 2011). Resiliensi berfokus pada
pembentukan kekuatan yang dimiliki oleh individu sehingga ia mampu
menghadapi kesulitan. Remaja yang memiliki resiliensi baik dapat
menghasilkan dan mempertahankan sikap positif dalam dirinya sehingga
ia mampu menyelesaikan setiap masalah yang ia hadapi dengan tenang.
Sebaliknya, remaja yang memiliki resiliensi rendah tidak mampu
mengembangkan kemampuan diri yang ia miliki dan tidak mampu
menyelesaikan permasalahan yang ada dengan bijaksana. Ia juga tidak
mampu mencari solusi dari beragam pandangan yang diberikan oleh
orang lain (Cahyaningsih, 2011)
Resiliensi seseorang dapat terbentuk melalui tiga sumber yaitu I
Have, I Am dan I Can (Grothberg dalam Rahmawati dan Siregar, 2012). I
Have merupakan dukungan eksternal dan sumber dalam meningkatkan
resiliensi. Remaja membutuhkan dukungan dari luar dirinya untuk
mengembangkan perasaan aman yang dimilikinya. Dukungan dari luar
berupa trusting relationship (struktur dan aturan dirumah) dan role model
(dorongan untuk menjadi mandiri, sehat, sejahtera dan aman).
I Am adalah kekuatan yang berasal dari dalam diri individu meliputi
perasaan dicintai dan mencintai, empati, altruistik, bangga pada diri
sendiri, otonomi, tanggung jawab dan keyakinan. I Can adalah
kemampuan yang dimiliki individu untuk mengungkapkan perasaan dan
pikirannya dalam melakukan komunikasi dengan orang lain, memecahkan
masalah, mengatur tingkah laku dan mendapat bantuan saat
membutuhkan. Untuk menjadi individu yang resilien, seseorang harus
memiliki minimal dua sumber pembentuk resiliensi (Grotberg, 1995).
Peneliti melakukan wawancara awal terhadap 5 responden pada 8
Juni 2020 di panti asuhan yang ada dikabupaten Luwu Utara. Anak-anak
dipanti asuhan tersebut kerap kali mengalami perundungan dan dijauhi
oleh teman-teman satu panti bahkan salah satu diantaranya pernah
mengalami pelecehan seksual. Karena kejadian tersebut mereka kerap
ingin meninggalkan panti asuhan namun orangtua mereka menginginkan
mereka untuk tetap tinggal dipanti asuhan sehingga mereka tetap
mencoba untuk bertahan. Namun terdapat pula anak panti asuhan yang
mampu beradaptasi dan bergaul dengan baik dengan anak-anak lain di
panti asuhan.
Wawancara yang dilakukan oleh Belatrix Dwi Rahmawati,Dkk dalam
penelitiannya yang berjudul “Resiliensi Psikologis Dan Pengaruhnya
Terhadap Kualitas Hidup Terkait Kesehatan Pada Remaja Di Panti
Asuhan” dapat diketahui bahwa anak-anak di salah satu panti asuhan di
Bekasi dan Jakarta cenderung merasa cemas akan informasi mengenai
sekolah karena tidak adanya alat komunikasi yang memadai untuk
memperoleh informasi dan mereka merasa cemas akan masa depan
mereka karena pihak panti asuhan memberikan batasan waktu untuk
menetap dipanti asuhan dan menerima bantuan secara ekonomi.
Dilansir dari situs sindonews.com sebanyak sembilan orang anak-
anak dipanti asuhan di Surabaya mengalami pencabulan yang dilakukan
oleh pengurus panti selama dua tahun. Dilansir dari situs republika.co.id
anak-anak di salah satu panti asuhan yang berada dikabupaten
Tanggerang mengalami penyiksaan dan penelantaran. Mereka kerap di
pukuli dengan menggunakan gesper, selang, sapu dan hanya diberi
makan mie instant.
Resiliensi sangat penting bagi remaja karena perubahan sosial,
biologis dan psikologis yang remaja alami menuntut mereka untuk dapat
beradaptasi dengan masalah yang mereka hadapi (Khabbaz, Behjati, &
Naseri, 2011 ; Althigi, Althigi, & Althigi, 2015). Seseorang dapat dikatakan
sebagai individu yang resilien ketika ia mampu menghargai diri sendiri,
mencari tempat untuk berbagi dan mencari kekuatan positif untuk bangkit
dari masalah yang ia alami ( Shatte, dalam Ifdil & taufik, 2012). Remaja
dipanti asuhan dapat mengurangi resiko buruk dari tekanan yang ia alami
dengan menjadi individu yang resilien agar ia dapat melindungi diri,
bertahan dan bangkit dari masalah yang ia alami (Napitupulu, 2009).
Selain itu, individu yang resilien dapat bertahan lebih lama dalam
keadaan stress yang dapat menyebabkan berkurangnya gangguan emosi
dan perilaku yang dialami (Aisyah & Listiyandini, 2015).
Individu yang tidak resilien cenderung mengalami kesulitan dalam
bersosialisasi dengan orang lain, rendahnya keterampilan sosial dan
menilai sesuatu, kurang memiliki orang lain yang mendukung dirinya,
memiliki hanya satu bakat, memiliki keyakinan diri yang rendah, kurang
percaya diri serta religiusitas dan spiritualitas rendah (Chung, 2008). Hal
tersebut sejalan dengan hasil wawancara yang dilakukan peneliti. Remaja
yang tinggal di panti asuhan memiliki resiliensi rendah yang ditandai
dengan remaja yang pernah mencoba keluar dari panti asuhan, menyakiti
diri hingga percobaan bunuh diri.
Remaja yang tinggal dirumah bersama orangtua memiliki resiliensi
yang lebih tinggi dibandingkan remaja yang tidak tinggal dirumah (Kaur &
Rani, 2015). Remaja yang tinggal di panti asuhan lebih rentan terhadap
resiko mengalami depresi, keputusasaan dan trauma psikologis
(Coombe, dalam Jameel, dkk, 2015). Remaja di panti asuhan juga kerap
mengalami keadaan sulit yang menyebabkan remaja merasa marah, tidak
percaya diri hingga putus asa. Mereka kerap merasa takut untuk
berhubungan sosial dengan orang lain (Rahmawati, B, dkk, 2019).
Resiliensi yang dimiliki seseorang dipengaruhi oleh tempramen,
intelegensi, budaya, usia dan gender. Tempramen adalah pembawaan
individu bereaksi di sebuah situasi. Intelegensi adalah kemampuan untuk
menyesuaikan diri secara cepat dan efektif dalam sebuah keadaan.
Budaya dapat menjadi pembatas dinamika yang berbeda-beda dalam
pembentukan resiliensi. Usia memiliki pengaruh dalam pembentukan
resiliensi dimana terdapat perbedaan resiliensi antara anak-anak dan
orang dewasa. Perbedaan gender laki-laki dan perempuan juga menjadi
pengaruh perbedaan perkembangan resiliensi (Grotberg, 2004).
Resiliensi juga dapat dipengaruhi oleh kekuatan individu (human
strength) yang dimiliki individu tersebut (Petterson & Seligman, 2004).
Kekuatan individu mengarahkan seseorang pada pencapaian kebaikan
(virtue) atau trait positif yang direfleksikan didalam pikiran, perasaan dan
tingkah laku. Individu dengan strength of character ini memiliki
kemampuan untuk memaafkan orang-orang yang bersikap buruk dan
melakukan kesalahan kepada dirinya sehingga ia dapat melupakan
pengalaman buruk di masa lalunya tanpa ada paksaan dari orang lain.
Pemaafan tersebut memberikan perubahan yang bermanfaat pada
diri seseorang yang pernah di sakiti oleh orang lain. Ketika seseorang
mampu memaafkan maka motivasi dasarnya menjadi lebih positif (baik
hati). Sebaliknya ketika seseorang tidak mampu memaafkan maka
motivasi dasarnya menjadi negatif (memiliki perasaan dendam dan
menghindar). Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk tidak lagi
mengingat rasa sakit adalah dengan memaafkannya (Petterson &
Seligman, 2004).
Menurut Scrull (2015) Pemaafan adalah salah satu metode untuk
melakukan koping dalam menghadapi tekanan hidup. McCullough (2000)
mendefinisikan forgiveness sebagai sebuah perubahan dari beberapa
perilaku dengan cara mengurangi dorongan untuk melakukan balas
dendam, menjauhkan atau menghindari diri dari pelaku dan
meningkatkan dorongan untuk berdamai dengan pelaku. Hal tersebut
dapat mendasari munculnya kemampuan individu untuk dapat
memaafkan dan melanjutkan suatu hubungan dengan memberikan kasih
sayang dan mendekat dengan pelaku. Hal tersebut merupakan respons
positif yang dapat memberikan perasaan aman pada diri individu dan juga
lingkunganya.
Worthington & Scherer (dalam Rismarini, 2016) mengatakan bahwa
forgiveness adalah strategi koping yang berpusat pada emosi yang
merubah emosi negatif menjadi emosi positif melalui pemaknaan kembali
suatu kejadian dan koping yang berpusat pada masalah yang dapat
memperbaiki hubungan interpersonal. Menurut North (dalam Ransley,
2005) orang yang memaafkan adalah individu yang memiliki kemampuan
untuk menunjukan dirinya sebagai seorang manusia yang rasional dan
spiritual dalam memberikan kasih sayang yang tulus bahkan kepada
individu yang tidak pantas.
Thompson dkk (2005) mengatakan bahwa individu yang memaafkan
mendapat pemahaman baru dari proses dialetik mengenai hal-hal yang
menyakitkan, sisa-sisa kesakitan dan potensi diri yang diri sendiri, orang
lain bahkan lingkungan miliki. Hal tersebut akan terjadi terus menerus
selama proses pemaafan berlangsung. Proses pemaafan dapat
membantu individu dalam menghadapi perasaan marah dan kesulitan
karena memiliki rasa berserah pada Tuhan dan semesta (Cayton, 2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Rifda Salsabila, Dkk (2019) yang diikuti
oleh 427 responden yang merupakan penyintas dari terjadinya konflik
pelanggaran hak asasi manusia di Aceh. Hasil penelitian menunjukan
bahwa semakin tinggi forgiveness individu maka semakin tinggi resiliensi
penyintas konflik pelanggaran hak asasi manusia dan sebaliknya semakin
rendah tingkat forgiveness maka semakin rendah pula resiliensi yang
dimiliki.
Astuti, W dan Maretthih, A (2018) melakukan penelitian yang berjudul
“Apakah Pemaafan Berkorelasi Dengan Psychological Well Being Pada
Remaja Yang Tinggal Di Panti Asuhan?”. Penelitian ini melibatkan 78
remaja panti asuhan di kota Pekanbaru. Hasil penelitiannya menemukan
bahwa terdapat hubungan yang positif antara pemaafan dengan
psychological well-being pada remaja yang tinggal di panti asuhan. Tinggi
rendahnya tingkat pemaafan yang dimiliki oleh individu berkaitan dengan
tinggi rendahnya psychological well-being remaja di panti asuhan.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Rienneke, T dan Setianinggrum, M.
dengan judul “Hubungan Antara Forgiveness Dengan Kebahagiaan Pada
Remaja Yang Tinggal Dipanti Asuhan”. Hasil penelitian ini menyebutkan
bahwa forgiveness dan kebahagiaan pada remaja yang tinggal di panti
asuhan memiliki hubungan positif. Semakin tinggi forgiveness remaja
maka semakin tinggi kebahagiaannya. Sebaliknya semakin rendah
forgiveness remaja maka semakin rendah kebahagiaannya.
Sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya, wawancara awal yang
dilakukan peneliti juga menemukan bahwa anak-anak yang tinggal di
panti asuhan kerap merasa sedih dan tertekan dengan keadaan sulit
yang mereka hadapi. Meskipun demikian, anak-anak di panti asuhan
tidak berniat melakukan pembalasan dendam kepada orang-orang yang
menyakitinya. Mereka memilih untuk menenangkan diri dan tetap
menjaga hubungan baik dengan pelaku. Berdasarkan pemaparan diatas,
peneliti melihat adanya kaitan antara forgiveness dan resiliensi. Oleh
karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti apakah ada Hubungan Antara
Forgiveness Dengan Resiliensi Pada Remaja Di Panti Asuhan
Daftar Pustaka
Astuti, W dan Marettih, A. (2018). Apakah Pemafaan Berkorelasi dengan
Psychological Well-Being pada Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan.
Jurnal Ilmu Perilaku. 2(1), 41-40
Calista, D dan Garvin. (2018). Sumber-Sumber Resiliensi pada Remaja Akhir
yang Mengalami Kekerasan dari Orangtua pada Masa Kanak-Kanak.
Jurnal Psibernika. 11(1), 67-78

Habibi, M dan Hidayati, F. (2017). Hubungan antara Pemaafan Diri Sendiri,


Pemaafan Orang Lain, dan Pemaafan Situasi dengan Resiliensi pada
Mahasiswa Baru. Jurnal Emopati. 6(2), 62-69.
Kawitri, A dan Rahmawati, B. (2019). Self Compassion dan Resiliensi pada
Remaja Panti Asuhan. Jurnal Psikogenesis. 7(1), 76-83
Lete, G., Dkk. (2019). Hubungan antara Harga Diri Dengan Resiliensi Remaja Di
Panti Asuhan Bakti Luhur Malang. Nursing News. 4(1), 20-28
Narendra, D dan Indriyani, N. (2017). The Effect Of Five Factorial Model Of
Personality And Religiosity Toward Adolescents’s Resilience Whose
Parents Are Divorced. JP3I. VI(1), 27-41
Pridayati, T dan Indrawati, E. (2019). Hubungan Forgiveness dan Gratitude
dengan Psychological Well Being pada Remaja Dipanti Asuhan X
Dibekasi. Jurnal IKRA-ITH Humaniora. 3(3), 197-2016
Rahmawati, B., Dkk. (2019). Resiliensi Psikologis dan Pengaruhnya terhadap
Kualitas Hidup Terkait Kesehatan pada Remaja dipanti Asuhan. Jurnal
Magister Psikologi UMA. 11(1), 21-30
Rienneke, T dan Setianingrum, M. (2018). Hubungan antara Forgiveness dengan
Kebahagiaan pada Remaja yang Tinggal dipanti Asuhan. Jurnal
Psikologi Indonesia. 7(1), 18-31
Salsabila, R., Dkk. (2019). Hubungan antara Forgiveness dengan Resiliensi
pada Penyintas Pasca Konflik di Aceh. Cognicia. 7(1), 62-76
Saputro, I dan Nashori, F. (2017). Resiliensi Mahasiswa Ditinjau dari Pemaafaan
dan Sifat Kepribadian Agreeableness. Jurnal Psikologi Islam. 4(2),
171-180
Teja, M. (2014). Perlindungan terhadap Anak Terlantar di Panti Asuhan. Jurnal
Info Singkat Kesejahteraan Social. VI (5), 9-12

Anda mungkin juga menyukai