Anda di halaman 1dari 45

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

KONSEP ANAK

A. Definisi Anak

Dalam keperawatan anak yang menjadi individu (klien) adalah anak yang

diartikan sebagai seseorang yang usianya kurang dari 18 (delapan belas) tahun

dalam masa tumbuh kembang, dengan kebutuhan khusus yaitu kebutuhan

fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Anak merupakan individu yang berada

dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga

remaja. Dalam proses berkembang anak memiliki ciri fisik, kognitif, konsep

diri, pola koping dan perilaku sosial. Ciri fisik pada semua anak tidak

mungkin pertumbuhan fisiknya sama, demikian pula pada perkembangan

kognitif adakalanya cepat atau lambat. (Yuliastati & Arnis, 2016)

Perkembangan konsep diri sudah ada sejak bayi akan tetapi belum

terbentuk sempurna dan akan mengalami perkembangan seiring bertambahnya

usia anak. Pola koping juga sudah terbentuk sejak bayi di mana bayi akan

menangis saat lapar. Perilaku sosial anak juga mengalami perkembangan yang

terbentuk mulai bayi seperti anak mau diajak orang lain. Sedangkan respons

emosi terhadap penyakit bervariasi tergantung pada usia dan pencapaian tugas

perkembangan anak, seperti pada bayi saat perpisahan dengan orang tua maka

responsnya akan menangis, berteriak, menarik diri dan menyerah pada situasi

yaitu diam. Dalam memberikan pelayanan keperawatan anak selalu

diutamakan, mengingat kemampuan dalam mengatasi masalah masih dalam

proses kematangan yang berbeda dibanding orang dewasa karena struktur fisik
anak dan dewasa berbeda mulai dari besarnya ukuran hingga aspek

kematangan fisik. (Yuliastati & Arnis, 2016)

Proses fisiologis anak dengan dewasa mempunyai perbedaan dalam hal

fungsi tubuh dimana orang dewasa cenderung sudah mencapai kematangan.

Kemampuan berpikir anak dengan dewasa berbeda dimana fungsi otak dewasa

sudah matang sedangkan anak masih dalam proses perkembangan. Demikian

pula dalam tanggapan terhadap pengalaman masa lalu berbeda, pada anak

cenderung kepada dampak psikologis yang apabila kurang mendukung maka

akan berdampak pada tumbuh kembang anak sedangkan pada dewasa

cenderung sudah mempunyai mekanisme koping yang baik dan matang.

Dalam masa tumbuh kembang setiap anak memiliki kebutuhan dasar

(Yuliastati & Arnis, 2016).

B. Kebutuhan Dasar Anak

Kebutuhan dasar untuk tumbuh kembang anak secara umum digolongkan

menjadi kebutuhan fisik –biomedis (asuh) yang meliputi, pangan atau gizi,

perawatan kesehatan dasar, tempat tinggal yamg layak, sanitasi, sandang,

kesegaran jasmani atau rekreasi. Kebutuhan emosi atau kasih sayang (Asih),

pada tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat, mesra dan selaras antara

ibu atau pengganti ibu dengan anak merupakan syarat yang mutlak untuk

menjamin tumbuh kembang yang selaras baik fisik, mental maupun

psikososial. Kebutuhan akan stimulasi mental (Asah), stimulasi mental

merupakan cikal bakal dalam proses belajar (pendidikan dan pelatihan) pada

anak. Stimulasi mental ini mengembangkan perkembangan mental psikososial


diantaranya kecerdasan, keterampilan, kemadirian, kreativitas, agama,

kepribadian dan sebagainya (Yuliastati & Arnis, 2016).

C. Tingkat Perkembangan

Menurut (Damayanti, Pritasari, & Lestari, 2017), karakteristik anak sesuai

tingkat perkembangan:

1. Usia bayi (0-1 tahun)

Pada masa ini bayi belum dapat mengekspresikan perasaaan dan

pikirannya dengan kata kata. Oleh karena itu, komunikasi dengan bayi

lebih banyak menggunakan jenis komunikasi non verbal. Pada saat lapar,

haus, basah dan perasaan tidak nyaman lainnya, bayi hanya bisa

mengekspresikan perasaannya dengan menangis. Walaupun demikian,

sebenarnya bayi dapat berespon terhadap tingkah laku orang dewasa yang

berkomunikasi dengan caranya non verbal, misalnya memberikan

sentuhan, dekapan, dan menggendong dan berbicara lemah lembut.

Ada beberapa respon non verbal yang bisa ditunjukan bayi misalnya

menggerakan badan, tangan dan kaki. Hal ini terutama terjadi pada bayi

kurang dari 6 bulan sebagai cara menarik perhatian orang. Oleh karena itu,

perhatiaan saat berkomunikaasi dengannya jangan langsung menggendong

atau memangkunya karena bayi akan merasa takut. Lakukan komunikasi

terlebih dahulu dengan ibunya. Tunjukkanlah bahwa kita ingin membina

hubungan yang baik dengan ibunya.


2. Usia pra sekolah (2-5tahun)

Karakteristik pada masa ini terutama pada anak di bawah 3 tahun adalah

sangat egosentris. Selain itu anak juga mempunyai perasaan takut pada

ketidaktahuan sehingga anak perlu diberi tahu tentang apa yang akan

terjadi padanya. Misalnya, pada saat akan di ukur suhu, anak akan merasa

melihat alat yang akan ditempelkan ke tubuhnya. Oleh karena itu jelaskan

bagaimana akan merasakannnya. Beri kesempatan padanya untuk

memegang thermometer sampai ia yakin bahwa alat tersebut tidak

berbahaya untuknya.

Dari hal bahasa, anak belum mampu berbicara fasih. Hal ini disebabkan

karena anak belum mampu berkata kata 900- 1200 kata. Oleh karena itu

saat menjelaskan, gunakan kata kata yang sederhana, singkat dan gunakan

istilah yang dikenalnya. Berkomunikasi dengan anak melalui objek

transisional seperti boneka, berbicara dengan orangtua bila anak malu

malu, beri kesempatan pada yang lebih besar untuk berbicara tanpa

keberadaan orang tua. Satu hal yang akan mendorong anak untuk

meningkatkan kemampuan dalam berkomunikasi adalah dengan

memberikan pujian atas apa yang telah dicapainya.

3. Usia sekolah (6-12 tahun)

Anak pada usia ini sudah sangat peka terhadap stimulus yang dirasakan

yang mengancam keutuhan tubuhnya. Oleh karena itu, apabila

berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan anak di usia ini harus

menggunakan bahasa yang mudah dimengerti anak dan berikan contoh

yang jelas sesuai dengan kemampuan kognitifnya. Anak usia sekolah


sudah lebih mampu berkomunikasi dengan orang dewasa. Perbendaharaan

katanya sudah banyak sekitar 3000 kata dikuasai dan anak sudah mampu

berfikir secara konkret.

4. Usia remaja(13-18 tahun)

Fase remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari akhir masa anak

anak menuju masa dewasa. Dengan demikian, pola pikir dan tingkah laku

anak merupakan peralihan dari anak anak menuju dewasa. Anak harus

diberi kesempatan untuk belajar memecahkan masalah secara positif.

Apabila anak merasa cemas atau stress, jelaskan bahwa ia dapat mengajak

bicara teman sebaya atau orang dewasa yang ia percaya. Menghargai

keberadaan identitas diri dan harga diri merupakan hal yang prinsip dalam

berkomunikasi. Luangkan waktu bersama dan tunjukan ekspresi wajah

bahagia.

D. Tugas Perkembangan Anak

Tugas perkembangan anak adalah tugas yang harus dilakukan dan dikuasai

individu pada tiap tahap perkembangannya (Damayanti, Pritasari, & Lestari,

2017):

1. Tugas perkembangan 0-2 tahun adalah berjalan, berbicara, makan

makanan padat, kestabilan jasmani. Tugas perkembangan anak usia 3-

5tahun adalah mendapat kesempatan bermain, bereksperimen dan

bereksplorasi, meniru, dan mengenal jenis kelamin, membentuk pengertian

sederhana mengenai kenyataan sosial dan alam, belajar mengadakan


hubungan emosional, belajar membedakan salah dan benar serta

mengembangkan kata hati juga proses sosialisasi.

2. Tugas perkembangan usia 6-12 tahun adalah belajar menguasai

keterampilan fisik dan motorik, membentuk sikap yang sehat mengenai

diri sendiri, belajar bergaul dengan teman sebaya, memakai peranan sesuai

dengan jenis kelamin, mengembangkan konsep yang diperlukan dalam

kehidupan sehari hari, mengembangkan keterampilan yang fundamental,

mengembangkan pembentukan kata hati, moral dan skala nilai,

mengembangkan sikap yang sehat terhadap kelompok sosial dan lembaga.

3. Tugas perkembangan anak usia 13 -18 tahun adalah menerima keadaan

fisiknya dan menerima perananya sebagai perempuan dan laki laki,

menyadari hubungan hubungan baru dengan teman sebaya dan kedua jenis

kelamin, menemukan diri sendiri berkat refklesi dan kritik terhadap diri

sendiri, serta mengembangkan nilai nilai hidup

Konsep Meningitis

A. Pengertian

Meningitis adalah peradangan pada selaput yang melapisi otak dan

medulla spinalis dan dapat menginfeksi sistem saraf pusat (Ferasinta, 2022).

Meningitis dapat disebabkan oleh bakteri atau virus seperti streptococcus

pneumoniae, neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae, Listeria

monocytogenes, staphylococcus aureus dan diplococcus pneumonia (CDC, 2019;

Nurarif dan Kusuma, 2016).Meningitis adalah infeksi akut yang mengenai selaput

mengineal yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme dengan ditandai


adanya gejala spesifik dari sistem saraf pusat yaitu gangguan kesadaran, gejala

rangsang meningkat, gejala peningkatan tekanan intrakranial dan gejala defisit

neurologi (Widagdo, 2011).

B. Etiologi

Menurut (Suriadi & Yuliani, 2006) penyebab meningitis yaitu sebagai

berikut :

a. Bakteri, yaitu Haemophilus influenza (tipe B), Streptococcus pneumoniae,

Neisseria meningitidis, Listeria monocytogenes, dan Staphylococcus

aureus.

b. Faktor predisposisi, yaitu jenis kelamin laki-laki lebih sering dibandingkan

dengan wanita

c. Faktor maternal, yaitu ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu

terakhir kehamilan

d. Faktor imunologi, yaitu defisiensi mekanisme imun, defisiensi

immunoglobulin, anak yang mendapat obat-obat imunosupresi.

e. Anak dengan kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang

berhubungan dengan sistem persarafan.

C. Anatomi dan Fisiologi Selaput Otak

Gambar 1. Anatomi Otak


Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti dengan meningea yang

melindungi struktur syaraf yang halus, membawa pembuluh darah dan sekresi

cairan serebrospinal. Meningea terdiri dari tiga lapis, yaitu : (Prince, 2006)

1. Lapisan Luar (Durameter)

Durameter merupakan tempat yang tidak kenyal yang membungkus otak,

sumsum tulang belakang, cairan serebrospinal dan pembuluh darah. Durameter

terbagi lagi atas durameter bagian luar yang disebut selaput tulang tengkorak

(periosteum) dan durameter bagian dalam (meningeal) yang meliputi

permukaan tengkorak untuk membentuk falkas serebrum, tentorium serebelum

dan diafragma sella.

2. Lapisan Tengah (Arakhnoid)

Lapisan tengah ini disebut juga selaput otak. Lapisan tengah merupakan

selaput halus yang memisahkan durameter dengan piameter, membentuk

sebuah kantung atau balon yang berisi cairan otak dengan meliputi seluruh

susunan saraf pusat. Ruangan diantara duramater dan arachnoid disebut

ruangan subdural yang berisi sedikit cairan jernih yang menyerupai getah

bening. Pada ruangan ini terdapat pembuluh darah arteri dan vena yang

menghubungkan sistem otak dengan meningen serta dipenuhi oleh cairan

serebrospinal.

3. Lapisan Dalam (Piameter)

Lapisan piameter merupakan selaput halus yang kaya akan pembuluh

darah kecil yang mensuplai darah ke otak dalam jumlah yang banyak. Lapisan

ini melekat erat dengan jaringan otak dan mengikuti gyrus dari otak. Ruangan

diantara arakhnoid dan piameter disebut sub arakhnoid. Pada reaksi radang
ruangan ini berisi sel radang. Disini mengalir cairan serebrospinalis dari otak

ke sumsum tulang belakang.

D. Patofisiologi

Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit di

organ atau jaringan di dalam tubuh lainnya. Virus atau bakteri yang menyebar

secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya pada penyakit Faringitis,

Tonsilitis, Pneumonia, Bronchopneumonia dan Endokarditis.

Penyebaran bakteri atau virus tersebut dapat juga terjadi secara

perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan yang ada di dekat selaput

otak, misalnya abses otak, otitis media, mastoiditis, thrombosis sinus kavernosus

dan sinusitis. Penyebaran kuman bisa terjadi akibat dari trauma kepala dengan

fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak (Lewis, 2008). Invasi kuman-kuman

ke dalam ruang sub arakhnoid yang menyebabkan reaksi radang pada pia dan

arakhnoid, CSS (Cairan Serebrospinal) dan sistem ventrikulus.

Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami

hiperemi dalam waktu yang sangat singkat, lalu terjadi penyebaran sel-sel

leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang sub arakhnoid kemudian terbentuk

eksudat, dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dalam

minggu kedua sel-sel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan

yaitu bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin serta di

lapisan dalam yang terdapat makrofag.

Proses radang selain pada arteri juga dapat terjadi pada vena-vena di

korteks yang dapat menyebabkan thrombosis, infark otak, edema otak dan
degenerasi neuron-neuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural dengan

fibrino-purulen menyebabkan kelainan kraniales. Pada meningitis yang

disebabkan oleh virus, cairan serebrospinal tampak jernih dibandingkan

meningitis yang disebabkan oleh bakteri (Nur, et al, 2008).

E. Manifestasi Klinis

Gejala klinis yang timbul pada meningitis bacterial berupa sakit kepala,

lemah, menggigil, demam, mual, muntah, nyeri punggung, kaku kuduk, kejang,

peka pada awal serangan, dan kesadaran menurun menjadi koma. Gejala

meningitis akut berupa bingung, stupor, semi koma, peningkatan suhu tubuh

sedang, frekuensi nadi dan pernapasan meningkat, tekanan darah biasanya

normal, klien biasanya menunjukkan gejala iritasi meningeal seperti kaku pada

leher, tanda Brudzinksi (Brudzinki’s sign) positif, dan tanda kernig (Kernig’s

sign) positif (Batticaca, 2008).

F. Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan pungsi lumbal

Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein

cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan

tekanan intrakranial.

a. Pada meningitis serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih,

sel darah putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-)
b. Pada meningitis purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh,

jumlah sel darah putih dan protein meningkat, glukosa menurun, kultur

(+) beberapa jenis bakteri.

2) Pemeriksaan darah

Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, laju endap darah

(LED), kadar glukosa, elektrolit dan kultur.

a. Pada meningitis serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. disamping

itu, pada meningitis tuberkulosa didapatkan juga peningkatan LED.

b. Pada meningitis purulenta di dapatkan peningkatan leukosit.

3) Radiologi

a. MRI/ CT-Scan: CT-Scan dilakuakan untuk menentukan adanya edema

cerebral atau penyakit saraf lainnya. Hasilnya biasanya normal, kecuali

pada penyakit yang sudah sangat parah . CT –Scan dapat membantu

dalam melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak ventrikel, hematom

daerah serebral, hemoragik atau tumor.

b. Rontgen dada/kepala/sinus: Mengidentifikasi adanya infeksi

intrakranial.

c. Elektroensefalografi (EEG), akan menunjukan perlambatan yang

menyeluruh di kedua hemisfer dan derajatnya sebanding dengan

radang.
G. Penatalaksanaan

a) Farmakologi:

1. Pemberian antibiotik IV yang tepat selama sedikitnya dua minggu,

yang kemudian diikuti pemberian anti biotik peroral berdasarkan hasil

kultur dan tes sensitivitas (penanganan yang biasa dikerjakan)

2. Pemberian digoksin untuk mengontrol aritmia.

3. Pemberian manitol untuk mengurangi edema serbri

4. pemberian antikonvulsan (yang biasanya disuntikkan secara IV) atau

pemberian sedatif untuk mengurangi kegelisahan dan mencegah atau

mengendalikan serangan kejang.

5. pemberian aspirin atau asetaminofen untuk meredakan sakit kepala

dan demam.

6. Pembedahan, seperti dilakukan VP shunt ( vertikel peritoneal shunt )

Ventriculoperitoneal shunt adalah prosedur pembedahan tekanan

intrakranial yang diakibatkan oleh terlalu banyak cairan serebrospinal.

Cairan dialirkan dari ventrikel di otak menuju peritoneum. Prosedur

pembedahan ini dilakukan dalam kamar operasi dengan anastesi

umum selama 90 menit. Rambut di belakang telinga dicukur, lalu

dibuat insisi tapal kuda di belakang telinga dan insisi lainnya

didinding abdomen. Lubang kecil dibuat pada tulang kepala, lalu

selang kateter dimasukkan ke bawah kulit melalui insisi di belakang

telinga, menuju ke rongga peritoneum. Sebuah katup diletakan

dibawah kulit di belakang telinga yang menempel pada kedua kateter.


Bila terdapat tekanan intrakranial meningkat, maka CSS akan

mengalir melalui katup menuju rongga peritoneum.

Terapi bedah merupakan pilihan terbaik. Alternatif lain selain

pemasangan shunt antara lain:

a. Choroid pleksotomi atau koagulasi pleksus choroid

b. Membuka stenosis akuaduktus

c. Eksisi tumor

d. Fenetrasi endoskopi.

Jika tidak ada perbaikan pada pasien:

a. Pertimbangkan komplikasi yang sering terjadi seperti abses

serebral

b. Cari tanda infeksi fokal lain yang mungkin menyebabkan

demam seperti selulitis pada daerah suntikan, mastoiditis, artritis

atau osteomielitis.

c. Jika demam masih ada dan kondisi umum pasien tidak membaik

setelah 3- 5 hari, ulangi pungsi lumbal dan evaluasi CSS.

b) Non farmakologi

1. Konsumsi cairan sebanyak mungkin

Gejala awal munculnya penyakit meningitis biasanya adalah dehidrasi

secara berlebihan. Untuk mengatasi gejala konsumsi banyak cairan.

Mulai dari air putih, teh, jus jeruk ataupun minuman yang mengandung

banyak isotonik. Jika biasanya manusia memelukan konsumsi cairan

sebanyak minimal 8 gelas, akan tetapi untuk penderita penyakit


meningitis memerlukan konsumsi cairan yang lebih dari banyak 8

gelas.

2. Istirahat secara total

Terapi non farmakologi penyakit meningitis selanjutnya adalah dengan

istirahat secara total ini sangat diperlukan bagi penderita penyakit

meningitis, terutama istirahat dari aktivitas- aktivitas berat yang

memerlukan banyak tenaga dan pikiran. Istirahat yang terbaik bagi

penyakit meningitis adalah dengan tidur dengan waktu yang lama.

3. Diet makanan

Makanan yang dikonsumsi oleh penderita penyakit meningitis, haruslah

yang berbeda dengan makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat

lainnya. Adapun makanan yang dianjurkan seperti kacang – kacangan,

buah, sayur dan sereal. Untuk makanan lainnya diusahakan untuk

mengurangi atau menghindari.

4. Mandi air hangat

Terapi non farmakologi penyakit meningitis dengan selalu mandi air

hangat. Hal ini bertujuan agar meminimalisir sakit kepala yang

disebabakan oleh peradangan selaput otak. Usahakan untuk mandi air

hangat diatas suhu 35ºC setiap hari.

5. Tirah baring untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial

6. Penurunan suhu tubuh pada keadaan demam untuk mencegah

hipertermia dan peningkatan kebutuhan metabolisme yang dapat

menaikkan tekanan intrakranial


7. Terapi yang tepat untuk mengatasi keadaan lain yang terdapat secara

bersamaan seperti endokarditis atau pneumoni.

H. Komplikasi

Menurut (Riyadi, dkk, 2009) komplikasi yang dapat muncul pada anak

dengan meningitis antara lain, yaitu :

a. Munculnya cairan pada lapisan subdural (efusi subdural). Cairan ini

muncul karena adanya desakan pada intrakranial yang meningkat sehingga

memungkinkan lolosnya cairan dari lapisan otak ke daerah subdural.

b. Peradangan pada daerah ventrikuler otak (ventrikulitis). Abses pada

meningen dapat sampai ke jaringan kranial lain baik melalui perembetan

langsung maupun hematogen termasuk ke ventrikuler.

c. Hidrosepalus. Peradangan pada meningen dapat merangsang kenaikan

produksi Liquor Cerebro Spinal (LCS). Cairan LCS pada meningitis lebih

kental sehingga memungkinkan terjadinya sumbatan pada saluran LCS

yang menuju medulla spinalis. Cairan tersebut akhirnya banyak tertahan di

intracranial.

d. Abses otak. Abses otak terjadi apabila infeksi sudah menyebar ke otak

karena meningitis tidak mendapat pengobatan dan penatalaksanaan yang

tepat.

e. Epilepsi.

f. Retardasi mental. Retardasi mental kemungkinan terjadi karena meningitis

yang sudah menyebar ke serebrum sehingga mengganggu gyrus otak anak

sebagai tempat menyimpan memori.


g. Serangan meningitis berulang. Kondisi ini terjadi karena pengobatan yang

tidak tuntas atau mikroorganisme yang sudah resisten terhadap antibiotik

yang digunakan untuk pengobatan.

KONSEP HIDROSEFALUS

A. Pengertian

Hidrosefalus sering dikenal sebagai Anomali obsesif pikiran yang

menghasilkan cairan serebrospinal yang meluas dan ketegangan intrakranial yang

meluas, menyebabkan pelebaran ventrikel. Pembesaran ventrikel ini dihasilkan

dari kecanggungan antara penciptaan dan retensi cairan serebrospinal.

Hidrosefalus adalah tambahan sepanjang waktu, karena infeksi atau kerusakan

otak. Adanya kelainan tersebut membuat kepala menjadi besar dan terjadi

pelebaran pada jahitan dan mahkota (Krisna Rangga, 2018).

Hidrosefalus yang berkembang sebagai hasil dari gangguan cairan

serebrospinal diotak dikarenakan disfungsi terhadap penyerapan dari peningkatan

produksi terhadap cairan serebrospinal (Zielinska, 2017). Selain itu

hidrosefalusdisuatu keadaan otak menimbulkan cerebrospinalfluid (CSF) Cairan

diseitar tsumsum tulang belakang & otak nir jalan berdasarkan otak

mengakibatkan ada cairan di otak begitu banyak. Hidrosefalus mengkibatkan

bengkak kepala, anak muda berpengalaman yang tulang kepalanya sudah

berkembang dan bergabung menghadapi migrain yang menyiksa karena

ketegangan yang meluas di kepala. Setiap kali tidak diobati, hidrosefalus dapat

menyebabkan kerusakan otak, hilangnya kapasitas mental dan aktual, dan bahkan

kematian. Dengan penemuan dini dan pengobatan yang tepat, bahaya ini dapat
dihindarkan. Ketika semuanya berjalan baik, CSF bergerak lewat ventrikel &

saluran terbatas yang mengisi tulang belakang dan otak juga. Serebrum kemudian

tali tulang belakang berkembang, daripada itu, pada saat itu, CSF digunakan

kembali sistem sirkulasi dengan asumsi ada penyumbatan di salah satu ventrikel,

atau sesuatu yang mengganggu penggunaan kembali, CSF membanjiri dan

menyebabkan hidrosefalus (Mendri dan Prayogi, 2018).

Gambar 1 : Anatomi fisiologi bagian otak manusia

Sumber : Chalik R (2016)

B. Klasifikasi

Terdapat empat pembagian menurut Purwati & Sulastri, 2019 diantaranya

yaitu adalah :

a. Konginetal berdasarkan penyebab.

b. Ada atau tidak sumbatan

c. Non komunikans

Hidrosefalus obstruktif terjadi apabila ada peningkatan cairan

serebrospinal yang disertai dengan penyumbatan pada sistem ventrikel itu sendiri.

Artinya pada hidrosefalus non komunikans, cairan serebrospinal pada ruang


ventrikulus tidak mampu mencapai ruang subarakhnoid karena adanya hambatan

atau sumbatan yang terdapat pada aliran cairan serebrospinal di dalam foramen

Monroe, aquaductus cerebri Sylvii, foramen Magendi dan foramen Luschka

(Purwanti dan Sulastri, 2019).

d. Hidrosefalus komunikans

Hidrosefalus komunikans terjadi apabila ada peningkatan cairan serebrospinal

yang tanpa disertai dengan penyumbatan pada sistem ventrikel itu sendiri. Artinya

pada hidrosefaluskomunikans terdapat hubungan langsung antara cairan

serebropinal sistem ventrikel dan cairan serebrospinal subarakhnoid. Hambatan

aliran cairan serebrospinal pada hidrosefalus komunikans terjadi pada bagian

distal sistem ventrikel yaitu ruang subarakhnoid atau pada granulatio arachnidea.

Hal inilah yang mengakibatkan akumulasi cairan serebrospinal dan pembesaran

ruang ventrikel sehingga terjadilah hidrosefalus komunikans. (Purwanti dan

Sulastri, 2019).

C. Etiologi

Penyebab hidrosefalus pada anak secara garis besar dapat dibagi menjadi 2

menurut Apriyanto, dkk, (2013) :

1) Penyebab prenatal

Sebagian besar anak-anak dengan hidrosefalus telah mengalami ini sejak

lahir atau tidak lama setelah lahir. Beberapa penyebabnya adalah stenosis system

air Sylvius, distorsi Dandy Walker, myelomeningocele, holooprecenpaly, dan

deformitas Arnold Chiari. Terlebih lagi ada dua jenis kelainan bentuk yang

berbeda yang jarang terjadi. Penyebab yang berbeda mungkin ingat untuk
kontaminasi rahim, cedera bencana dan variabel turun-temurun. Stenosis sistem

air sylvius berakibat sepuluh persen untuk kasus bayi. Mutasi menyebabkan

gangguan antara ruang subarachnoid atau dilatasi ventrikel keempat tidak

tercukupi, menyebabkan hidrosefalus. Alasan normal lainnya adalah mutasi

Arnold Chiari (tipe II), kondisi ini adalah korteks frontal vermis, batang otak, dan

ventrikel keempat bergabung dengan kelainan intrakranial. Terkadang

myelomeningocele sedikit kasus menjadi hidrosefalus.

2) Penyebab postnatal

Lessi massa menyebabkan sekitar 20% kasus hidrosefalus kista arachnoid

dan kistaneuropitelial merupakan kedua terbanyak yang mengganggu aliran

likuor. Perdarahan meningitis dan gangguan aliran vena juga merupakan

penyebab yang cukup sering terjadi.

D. Patofisiologi

CSS dibentuk, terutama pada sistem ventrikel dari PleB.css Plexus karena

gradien tekanan antara sistem ventrikel vena. Jarang teradi, jika hidrosefalus dapat

diakibatkan tingkat CSS (Kyle & Carman, 2015).

Gambar 2 : Anatomi aliran cairan serebrospinal


E. Manifestasi Klinis

Pada masa neonatus, manifestasi klinis tidak memuaskan, indikasi paling

terkenal yang dialami adalah sifat pemarah dan anoreksia. Dalam beberapa kasus,

ada penurunan kesadaran yang menyebabkan kelambanan. Bayi pada umumnya

mengeluh sakit otak (ICP yang meningkat) dengan area abnormal dan naik-turun

menjelang awal hari. Selain itu, bergabung dengan keberatan dari dua visi yang

jarang diikuti oleh pengurangan visi. Peningkatan CSF menyebabkan ekspansi

berbahaya dalam ketegangan intrakranial. Perpaduan antaranya membuat

kurangnya nutrisi & oksigen pada otak, salah satu tanda hidroseefalus rata-rata,

walaupun hal itu dapat jika tekanan biasa (Afdhalurrahman, 2013).

Menurut waktu pembentukan

a. Hidrosefalus Kongenital

Hidrosefalus kongenital merupakan hidrosefalus yang berkembang selama

intra-uterin. Hidrosefalus kongenital biasanya sudah ada sejak bayi di dalam

kandungan ibu. Hidrosefalus kongenital biasanya terjadi secara sekunder

akibat kelainan susunan saraf pusat seperti stenosis akuaduktus, dandy

walker, dan myelomeningocele. Hidrosefalus ini biasanya timbul selama

masa neonatus. (Varmezani, 2015).

b. Hidrosefalus Acquired

Hidrosefalus acquired biasanya terjadi ketika ibu mengandung bayi dan

setelah masa kelahiran tiba, tidak tampak gejala apapun yang berhubungan

dengan hidrosefalus. Biasanya disebabkan oleh faktorfaktor lain seperti

infeksi virus, bakteri,atau protozoa (Varmezani, 2015).


F. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan ultrasonografi untuk hidrosefalus dapat mengidentifikasi

hidrosefalus selama periode prenatal, juga dapat digunakan untuk mengukur dan

menyaring ukuran ventrikel, terutama pada bayi prematur. Keluaran CT dapat

digunakan untuk mengukur dilatasi ventrikel secara keseluruhan dan menentukan

sumber obstruksi. CT scan dapat digunakan untuk pemeriksaan secara praktis dan

fisik tetapi lebih buruk daripada MRI tetapi karena evaluasinya begitu lama bayi

dibius (Apriyanto, dkk, 2013).

G. Penatalaksanaan

Penatalaksaan menurut Apriyanto, dkk (2013) adalah sebagai berikut :

1. Terapi sementara

Perawatan medis konservatif berguna untuk mengurangi cairan pleksus

koroid (acetazolamide 100 mg/kg bb/hari; furosemide 0,1 mg/kg bb/hari)

dan hanya dapat diberikan sementara atau tidak dalam jangka panjang

karena risiko pengobatan. hidrosefalus ringan pada bayi dan anak-anak dan

tidak dianjurkan untuk dilatasi ventrikel posthemorrhagic pada anak-

anak.Pada pasien yang rentan terhadap hidrosefalus transien, dapat dipasang

kateter ventrikel atau yang lebih baik. Namun, operasi shunt dilakukan

setelah drainase ventrikel. Di luar ruangan menghadirkan risiko infeksi

tertinggi. Metode lain yang mirip dengan metode ini adalah dengan fungsi

ventrikel yang dapat dilakukan berulang kali.


2. Operasi shunting

Kebanyakan pasien memerlukan prosedur ini untuk membuat saluran baru

antara saluran (ventrikel atau lumbar) dan rongga drainase (seperti

peritoneum, atrium kanan, dan pleura). Menyebabkan infeksi yang dapat

merusak intelektual pada >11% anak pada usia 24 bulan. dan bahkan

kematian.

3. Endoscopic third ventrikulostomy

Teknik ini semakin digunakan akhir-akhir ini dan merupakan pengobatan

keputusan untuk hidrosefalus obstruktif dan ditunjukkan untuk kasus

stenosis saluran air, pertumbuhan ventrikel ketiga belakang, jaringan mati

otak, kelainan Dandy Waker, syringomyelia dengan atau tanpa mutasi

Arnold Chiari tipe 1, hematoma intraventrikular, miemeningokel,

ensefalokel. kanker fossa punggung dan craniosinosis. ETV juga

ditampilkan dalam kasus blok shunt atau kondisi celah ventrikel.

Pencapaian ETV berkurang pada keadaan postdrainase dan post-penyakit

hidrosefalus. Persiapan yang sangat hatihati, penilaian radiologis yang sah,

dan kemampuan spesialis yang hebat serta pertimbangan pasca operasi

dapsssat memperluas pencapaian.

POST VP SHUNT

A. Definisi

Ventriculoperitoneal shunt (VP shunt) adalah alat kesehatan yang dipasang

untuk melepaskan tekanan dalam otak. VP shunt direkomendasi bagi pasien yang

menderita hidrosefalus. Kondisi ini disebabkan oleh cairan serebrospinal (CSF)


berlebih yang membuat perluasan ruang dalam otak (ventrikel) menjadi sangat

cepat, sehingga memicu tekanan yang tak semestinya. Jika tidak segera ditangani,

kondisi ini dapat berujung pada kerusakan otak.

Cairan serebrospinal adalah komponen yang sangat penting dalam sistem

saraf, karena berfungsi menciptakan bantalan bagi jaringan otak dan menyalurkan

zat gizi ke otak. Cairan ini mengalir di antara tulang belakang dan tengkorak

untuk memastikan bahwa volume darah intrakranial dalam kadar yang tepat. CSF

akan terus diproduksi karena mengalir sepanjang ventrikel, menutrisi permukaan

otak dan sumsum tulang belakang. Kemudian, cairan ini keluar melalui bagian

dasar otak dan diserap ke dalam aliran darah. Namun, karena kelainan tertentu,

aliran dan keseimbangan CSF akan terganggu, sehingga terjadi penumpukan.

Ventriculoperitoneal shunt adalah pengobatan utama bagi kondisi

hidrosefalus, yang menyerang satu dari 500 anak. Kondisi ini merupakan kondisi

bawaan (kongenital) atau didapat, dan indikasi yang paling nyata adalah

pertumbuhan lingkar kepala yang tidak wajar. Biasanya, gejala pada anak disertai

dengan mata juling (strabismus) dan kejang-kejang. Sedangkan pada orang

dewasa, gejala hidrosefalus adalah sakit kepala, mual dan muntah, saraf optik

membengkak, penglihatan kabur atau ganda, mudah marah, lesu, dan perubahan

kemampuan kognitif atau ingatan. Penyebab hidrosefalus belum diketahui secara

pasti.

B. Tujuan

1. Untuk membuat saluran baru antara aliran likuor dengan kavitas drainase.
2. Untuk mengalirkan cairan yang diproduksi di dalam otak ke dalam rongga

perut untuk kemudian diserap ke dalam pembuluh darah.

C. Indikasi Dan Kontra Indikasi

1. Indikasi

Ventriculoperitoneal Shunt adalah prosedur pembedahan yang dilakukan

untuk membebaskan tekanan intrakranial yang diakibatkan oleh terlalu

banyaknya cairan serbrospinal (hidrosefalus). Cairan dialirkan dari ventrikel

di otak menuju rongga peritoneum. Sejumlah komplikasi dapat terjadi

setelah pemasangan ventriculoperitoneal shunt untuk manajemen

hidrosefalus. Komplikasi ini termasuk infeksi, blok, subdural hematom,

ascites, CSSoma, obstruksi saluran traktus gastrointestinal, perforasi organ

berongga, malfungsi, atau migrasi dari shunt. Migrasi dapat terjadi pada

ventrikel lateralis, mediastinum, traktus gastrointestinal, dinding abdomen,

vagina, dan scrotum.

Infeksi shunt didefinisikan sebagai isolasi organisme dari cairan ventrikuler,

selang shunt, reservoir dan atau kultur darah dengan gejala dan tanda klinis

menunjukkan adanya infeksi atau malfungsi shunt, seperti demam,

peritonitis, meningitis, tanda-tanda infeksi di sepanjang jalur selang shunt,

atau gejala yang tidak spesifik seperti nyeri kepala, muntah, perubahan

status mental dan kejang. Infeksi merupakan komplikasi yang paling

ditakutkan pada kelompok usia muda. Sebagian besar infeksi terjadi dalam 6

bulan setelah prosedur dilakukan. Infeksi yang terjadi biasanya merupakan

bakteri staphylococcus dan propionibacterial. Infeksi dini terjadi lebih


sering pada neonatus dan berhubungan dengan bakteri yang lebih virulen

seperti Escherichia coli. Shunt yang terinfeksi harus dikeluarkan, CSS harus

disterilkan, dan dilakukan pemasangan shunt yang baru. Terapi shunt yang

terinfeksi hanya dengan antibiotik tidak direkomendasikan karena bakteri

dapat di tekan untuk jangka waktu yang lama dan bakteri kembali saat

antibiotik diberhentikan.

Terapi pada infeksi shunt hanya dengan antibiotik tidak direkomendasikan

karena meskipun bakteri dapat ditekan untuk jangka waktu tertentu, namun

bakteri akan kembali berkembang setelah pemberian antibiotik dihentikan.

Pada pasien ini dilakukan eksternisasi selang VP shunt yang berada di

distal,selanjutnya dilakukan pemasangan ekstraventricular drainage, serta

pemberian antibiotik sesuai hasil tes sensitivitas bakteri. Hal ini dilakukan

agar tetap terjadi drainage dari cairan serebrospinal yang belebihan agar

tidak terjadi peningkatan tekanan intrakranial.

Subdural hematom biasanya terjadi pada orang dewasa dan anak-anak

dengan perkembangan kepala yang telah lengkap. Insiden ini dapat dikurang

dengan memperlambat mobilisasi paska operasi. Subdural hematom diterapi

dengan drainase dan mungkin membutuhkan oklusi sementara dari shunt.

2. Kontra Indikasi

Operasi ventriculoperitoneal shunt merupakan prosedur aman dengan

tingkat keberhasilan tinggi. Namun, sama seperti prosedur bedah pada

umumnya, ada komplikasi dan resiko yang mungkin terjadi. Resiko bedah

VP Hunt adalah infeksi dan pendarahan berat. Sedangkan, komplikasi yang


mungkin muncul adalah reaksi penolakan zat bius, seperti perubahan tingkat

tekanan darah dan kesulitan bernapas.

Komplikasi khusus akibat VP shunt termasuk jarang, namun bisa sangat

serius. Komplikasi ini termasuk:

a) Infeksi implan shunt yang berujung pada infeksi otak

b) Penggumpalan darah

c) Pendarahan di dalam otak

d) Pembengkakan otak

e) Kerusakan jaringan otak karena VP shunt

Sebaiknya, selalu waspada terhadap gejala-gejala, seperti demam, nyeri

perut, sakit kepala, serta kenaikan denyut jantung dan tekanan darah

abnormal, yang merupakan tanda malfungsi shun

D. Penatalaksanaan/ Jenis – Jenis Tindakan.

1. Posisi kepala pasien supine dengan kepala diganjal dengan bantal bulat

(donat).

2. Posisi sedikit head up (15† - 30†)

3. Pasang body strapping (doek steril)

4. Tim operasi melakukan scrubbing, gowning and gloving.

5. Desinfeksi area operasi

6. Drapping area operasi

7. Pasang sterile drapes (opsite)

8. Pasang kauter bipolar, selang suction + canule suction.


9. Injeksi dengan adrenalin 1:200000 pada lokasi insisi.

10. Berikan mess 1 untuk insisi kulit subcutis

11. Berikan mess 2 untuk insisi fat-galea-otot-periosteum

12. Rawat pendarahan dengan kauter bipolar, irigasi dengan larutan NaCl

saat bipolar difungsikan, sambil dilakukan suction.

13. Berikan respatorium untuk menyisihkan periousteum.

14. Tutup luka insisi kepala sementara dengan kassa basah.

15. Berikan mess 1 untuk insisi kulit abdomen bagian atas.

16. Perdalam insisi sampai dengan fasia (sampai kelihatan fasia).

17. Berikan spaner VP-Shunt untuk memasang ventrikel VP Shunt, dari

kepala-leher-abdomen keluar pada daerah insisi di abdomen.

18. Ujung mandrin VP-Shunt diikat dengan benang Seide no 1.

19. Tarik mandrin VP-Shunt ke atas (bagian insisi kepala).

20. Berikan ventrikel VP-Shunt kemudian diikat dengan benang Seide NO 1

yang sudah dimasukkan dalam soft tissue ( dibawah fat diatas fasia).

21. Seide no 1 ditarik ke bagian bawah (insisi pada abdomen) ventrikel VP-

Shunt sudah masuk dan terhubung dari kepala ke abdomen.

22. Pasang konektor VP-Shunt kemudian di spool dengan NaCl sampai

lancar tidak ada hambatan.

23. Berikan bor set craniotomi untuk bor hole kemudian rawat pendarahan

24. Berikan desector dan klem pean bengkok untuk ambil sisa tulang

25. Berikan kauter bipolar untuk cess dura.

26. Berikan speed mess untuk insisi dura.


27. Berikan ventrikel katheter + mandrin dimasukkan ke dalam intra cerebral

sampai keluar cairan (hidrocephalus).

28. Sambung ventrikel katheter dengan ventrikel VP-Shunt.

29. Sambungan difiksasi

30. Tarik ventrikel VP-Shunt ke arah distal (abdomen).

31. Pastikan aliran cairan pada ventrikel lancar.

32. Berikan pinset anatomis 2 buah + gunting metzenbaum untuk insisi

peritonium ± 1 cm.

33. Masukkan ventrikel VP Shunt kedalam peritoneum.

34. Tutup luka insisi.

35. Berikan benang absorbable untuk jahit fasia, fat pada kepala dan

abdomen.

36. Berikan jahitan benang non-absorbable untuk jahit kulit.

37. Bersihkan luka dengan kassa basah kemudian keringkan.

38. Beri sufratul-kassa-hipafic.

39. Bereskan alat.

40. Operasi selesai

E. Pemeriksaan penunjang

1. Rontgen foto kepala

Dengan prosedur ini dapat diketahui hidrosefalus tipe

kongenital/infantile, yaitu: ukuran kepala, adanya pelebaran sutura,

tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial kronik berupa imopressio

digitate dan erosi prosessus klionidalis posterior.Hidrosefalus tipe


juvenile/adult oleh karena sutura telah menutup maka dari foto rontgen

kepala diharapkan adanya gambaran kenaikan tekanan intrakranial.

2. Transimulasi

Syarat untuk transimulasi adalah fontanela masih terbuka, pemeriksaan

ini dilakukan dalam ruangan yang gelap setelah pemeriksa beradaptasi

selama 3 menit. Alat yang dipakai lampu senter yang dilengkapi dengan

rubber adaptor. Pada hidrosefalus, lebar halo dari tepi sinar akan terlihat

lebih lebar 1-2 cm.

3. Lingkaran kepala

Diagnosis hidrosefalus pada bayi dapat dicurigai, jika penambahan

lingkar kepala melampaui satu atau lebih garis-garis kisi pada chart

(jarak antara dua garis kisi 1 cm) dalam kurun waktu 2-4 minggu. Pada

anak yang besar lingkaran kepala dapat normal hal ini disebabkan oleh

karena hidrosefalus terjadi setelah penutupan suturan secara

fungsional.Tetapi jika hidrosefalus telah ada sebelum penutupan suturan

kranialis maka penutupan sutura tidak akan terjadi secara menyeluruh.

4. Ventrikulografi

Yaitu dengan memasukkan konras berupa O2 murni atau kontras lainnya

dengan alat tertentu menembus melalui fontanela anterior langsung

masuk ke dalam ventrikel. Setelah kontras masuk langsung difoto, maka

akan terlihat kontras mengisi ruang ventrikel yang melebar. Pada anak

yang besar karena fontanela telah menutup untuk memasukkan kontras

dibuatkan lubang dengan bor pada kranium bagian frontal atau

oksipitalis. Ventrikulografi ini sangat sulit, dan mempunyai risiko yang


tinggi. Di rumah sakit yang telah memiliki fasilitas CT Scan, prosedur ini

telah ditinggalkan.

5. Ultrasonografi

Dilakukan melalui fontanela anterior yang masih terbuka. Dengan USG

diharapkan dapat menunjukkan system ventrikel yang melebar. Pendapat

lain mengatakan pemeriksaan USG pada penderita hidrosefalus ternyata

tidak mempunyai nilai di dalam menentukan keadaan sistem ventrikel hal

ini disebabkan oleh karena USG tidak dapat menggambarkan anatomi

sistem ventrikel secara jelas, seperti halnya pada pemeriksaan CT Scan.

6. CT Scan kepala

Pada hidrosefalus obstruktif CT Scan sering menunjukkan adanya

pelebaran dari ventrikel lateralis dan ventrikel III. Dapat terjadi di atas

ventrikel lebih besar dari occipital horns pada anak yang besar. Ventrikel

IV sering ukurannya normal dan adanya penurunan densitas oleh karena

terjadi reabsorpsi transependimal dari CSS.Pada hidrosefalus

komunikans gambaran CT Scan menunjukkan dilatasi ringan dari semua

sistem ventrikel termasuk ruang subarakhnoid di proksimal dari daerah

sumbatan.

7. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Untuk mengetahui kondisi patologis otak dan medula spinalis dengan

menggunakan teknik scaning dengan kekuatan magnet untuk membuat

bayangan struktur tubuh.


ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A. Pengkajian

1. Biodata Klien dan penanggung jawab (nama, usia, jenis kelamin, agama,

alamat)

2. Riwayat Kesehatan

a. Keluhan utama

Biasanya klien dirawat dirumah sakit dengan keluhan

b. Riwayat Kesehatan Sekarang

Biasanya klien mengeluh kepala terasa sakit, demam,nyeri dan juga

pusing, berat badan berkurang, klien mengalami

c. Riwayat Kesehatan Dahulu

Kaji adanya riwayat penyakit lain/pernah menderita penyakit seperti

ini sebelumnya

d. Riwayat Kesehatan Keluarga

Kaji adanya keluarga yan menderita penyakit yang sama (penularan).

3. Pemeriksaan Fisik

a. Pengkajian umum

1) Tingkat kesadaran :

Pada tingkat kesadaran dapat di isi dengan tingkat kesadaran secara

kualitif atau kuantitaf yang dipilih sesuai dengan kondisi klien

(Rohmah,2012).

Untuk menilai kesadaran seseorang, menggunakan penilain GCS

2) Keadaan umum :
Mengkaji keadaan atau penampilan klien lemah, sakit ringan, sakit

berat, gelisah, rewel. Biasanya pada klien

3) Tanda-tanda vital :

Pada klien atau anak yang mengalami

b. Pengkajian head to toe

1) Pemeriksaan kulit dan rambut

Kaji nilai warna, turgortekstur dari kulit dan rambut pasien

Pada klien dengan demam typhoid biasanya ditemukan rambut

agak kusam dan lengket, kulit kepala kotor ( Mustaqqin, 2013)

2) Pemeriksaan kepala dan leher

Pemeriksaan mulai darikepala, mata, hidung, telinga, mulut dan

leher. Kaji kesimetrisan, edema, lesi, maupun gangguan pada

indera

Pada klien dengan

3) Pemeriksaan dada

a) Paru-paru

 Inspeksi : kesimetrisan, gerak napas

 Palpasi : kesimetrisan taktil fremitus

 Perkusi : suara paru (pekak, redup, sono, hipersonor,

timpani)

 Auskultasi : suara paru

b) Jantung

 Inspeksi : amati iktus cordis


 Palpalsi : raba letak iktus cordis

 Perkusi : batas-batas jantung

 Auskultasi : bunyi jantung

c) Pemeriksaan abdomen

Pada pemeriksaan klien dengan Meningitis, Hindrocephalus

Dan Post Up Shunt

d) Pemeriksaan ekstremitas

Kaji warna kulit, edema, kemampuan gerakan dan adanya alat

bantu.

Pada klien dengan Meningitis, Hindrocephalus Dan Post Up

Shunt

c. Pemeriksaan pertumbuhan dan perkembangan

1) Riwayat prenatal :

2) Riwayat kelahiran :

3) Pertumbuhan fisik :

4) Pemeriksaan fisik :

d. Riwayat imunisasi

e. Riwayat sosial: bagaimana klien berhubungan dengan orang lain.

f. Pola nutrisi metabolic

Yang perlu dikaji adalah pola makan biasa dan masukan cairan klien,

tipe makanan dan cairan, peningkatan / penurunan berat badan, nafsu

makan, pilihan makan.

Pada klien Meningitis, Hindrocephalus Dan Post Up Shunt

g. Pola eliminasi
Yang perlu dikaji adalah pola defekasi klien, berkemih, penggunaan

alat bantu, penggunaan obat-obatan. Pada klien Meningitis,

Hindrocephalus Dan Post Up Shunt

h. Pola aktivas latihan

Yang perlu dikaji adalah pola aktivitas klien, latihan dan rekreasi,

kemampuan untuk mengusahakan aktivitas sehari-hari (merawat

diri,bekerja), dan respon kardiovaskuler serta pernapasan saat

melakukan aktivitas.

i. Pola istirahat tidur

Yang perludikaji adalah bagaimana pola tidur klien selama 24 jam,

bagaimana kualitas dan kuantitas tidurk lien, apa ada gangguan tidur

dan penggunaan obat obatan untuk mengatasi gangguan tidur.

j. Pola kognitif persepsi

Yang perlu dikaji adalah fungsi indra klien dan kemampuan persepsi

klien.

k. Pola persepsi diri dan konsep diri

Yang perlu dikaji adalah bagaimana sikap klien mengenai dirinya,

persepsi klien tentang kemampuannya, pola emosional, citra diri,

identitas diri, ideal diri, harga diri dan peran diri. Biasanya anak akan

mengalami gangguan emosional seperti takut, cemas karena dirawat di

RS.

l. Pola peran hubungan

Kaji kemampuan klien dalam berhubungan dengan orang lain.

Bagaimana kemampuan dalam menjalankan perannya.


m. Pola reproduksi dan seksualitas

Kaji adakah efek penyakit terhadap seksualitas anak.

n. Pola koping dan toleransi stress

Yang perlu dikaji adalah bagaimana kemampuan klien dalam

manghadapai stress dan juga adanya sumber pendukung. Anak belum

mampu untuk mengatasi stress, sehingga sangat dibutuhkan peran dari

keluarga terutama orangtua untuk selalu mendukung anak.

o. Pola nilai dan kepercayaan

Kaji bagaimana kepercayaan klien. Biasanya anak-anak belum terlalu

mengerti tentang kepercayaan yang dianut. Anak-anak hanya

mengikuti dari orang tua.

B. Diagnosa keperawatan

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif

2. Gangguan ventilasi spontan

3. Pola nafas tidak efektif

4. Resiko perfusi serebral tidak efektif

5. Defisit nutrisi

6. Hipertermis
C. Intervensi Keperawatan

NO Diangnosa keperawatan (DO & DS) Tujuan Dan Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi (SIKI)

(SDKI)

1. Bersihan jalan nafas tidak Pemantauan respirasi


efektif Observasi
Defenisi: 1. Monitor frekuensi,
Ketidakmampuan irama,kedalaman dan
membersihkan sekret atau upayanafas
obstruksi jalan nafas untuk 2. Monitor pola nafas
mempertahankan jalan nafas 3. (seperti bradipnea,takipnea,
tetap paten. hiperventilasi,Kussmaul,
Penyebab: Cheyne-Stokes, Biot, ataksik)
1. Spasme jalan nafas 4. Monitor kemampuanbatuk
2. Hipersekresi jalan nafas efektif
3. Disfungsi neuromuskuler 5. Monitor adanya
4. Benda asing dalam jalan Nafas produksisputum
5. Adanya jalan nafas buatan 6. Monitor adanya sumbatanjalan
6. Sekresi yang tertahan nafas
7. Hiperplasia dinding jalan nafas 7. Palpasi kesimetrisanekspansi
8. Proses infeksi paru
9. Respon alergi 8. Auskultasi bunyi nafas
10. Efek agen farmokologis (mis. anastesi) 9. Monitor saturasi oksigen
Gejala dan Tanda Mayor 10. Monitor nilai AGD
Subjektif: 11. Monitor hasil x-ray toraks
(tidak tersedia) Terapeutik
Objektif: 1. Atur interval pemantauan
1. Batuk tidak efektif respirasi sesuai kondisi
2. Tidak mampu batuk pasien
3. Sputum berlebih 2. Dokumentasikan hasil
4. Mengi, wheezing, dan/atau ronkhi pemantauan
kering Edukasi
5. Mekonium di jalan nafas 1. Jelaskan tujuan dan
(pada neonatus) prosedur pemantauan
Gejala dan Tanda Minor 2. Informasikan hasil
Subjektif: Pemantauan
1. Dispnea
2. Sulit bicara
3. Ortopnea
Objektif:
1. Gelisah
2. Sianosis
3. Bunyi nafas menurun
4. Frekuensi nafas berubah
5. Pola nafas berubah

2. Gangguan ventilasi spontan Dukungan ventilasi


Penyebab Observasi
1. Kelelahan otor pernafasan 1. Identifikasi adanyakelelahan
Gejala dan Tanda Mayor otot bantunafas
Subjektif 2. Identifikasi efekperubahan
1. Dispnea posisiterhadap statuspernafasan
Objektif 3. Monitor status respirasi dan
1. Penggunaan otot bantu nafas oksigenasi (mis.frekuensi dan
meningkat kedalamannafas, penggunaan
2. Volume tidal menurun ototbantu nafas, bunyi
3. PCO2 meningkat nafastambahan,
4. PCO2 meningkat saturasioksigen)
5. SaO2 menurun Terapeutik
Gejala dan Tanda Minor 1. Pertahankan kepatenanjalan
Subjketif nafas
(tidak tersedia) 2. Berikan posisi semiFowler atau
Objektif Fowler
1. Gelisah 3. Fasilitasi mengubahposisi
2. Takikardia senyamanmungkin
4. Berikan oksigenai
sesuaikebutuhan (mis. Nasal
kanul, masker wajah,masker
rebreathing ataunon rbreathing)
5. Gunakan bag-valvemask, jika
perlu
Edukasi
1. Ajarkan melakukanteknik
relaksasi nafasdalam
2. Ajarkan mengubah posisisecara
mandiri
3. Ajarkan teknik batukefektif
Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberianbronchodilator, jika
perluPemantauan
respirasiObservasi
2. Monitor frekuensi,irama,
kedalaman danupaya nafas
3. Monitor pola nafas (seperti
bradipnea
3. Pola nafas tidak efektif Observasi
Penyebab 1. Monitor frekuensi,irama,
1. Depresi pusat pernafasan kedalaman danupaya nafas
2. Hambatan upaya nafas (mis. nyeri saat 2. Monitor pola nafas(seperti
bernafasa, kelemahan otot pernafasan) bradipnea,takipnea,
3. Deformitas dinding dada hiperventilasi,Kussmaul,
4. Deformitas tulang dada Cheyne-Stokes, Biot, ataksik)
5. Gangguan neuromuskular 3. Monitor kemampuanbatuk
6. Gangguan nerologis (mis. efektif
Elektroensefalogram [EEG] positif, 4. Monitor adanya
cedera kepala, gangguan kejang) produksisputum
7. Imaturitas neurologis 5. Monitor adanyasumbatan jalan
8. Penurunan energy nafas
9. Obesitas 6. Palpasi kesimetrisanekspansi
10. Posisi tubuh yang menghambat paru
ekspansi paru 7. Auskultasi bunyi nafas
11. Sindrom hipoventilasi 8. Monitor saturasi oksigen
12. Kerusakan inservasi diafragma 9. Monitor nilai AGD
(kerusakan saraf C5 ke atas) 10. Monitor hasil x-raytoraks
13. Efek agen farmokologis Terapeutik
1. Atur interval
14. Kecemasan pemantauanrespirasi sesuai
Gejala dan Tanda Mayor kondisipasien
Subjektif 2. Dokumentasikan
1. Dispnea hasilpemantauan
Objektif Edukasi
1. Penggunaan otot bantu pernafasan 1. Jelaskan tujuan danprosedur
2. Fase ekspirasi memanjang pemantauan
3. Pola nafas abnormal (mis. takipnea, 2. Informasikan hasilpemantauan
bradipnea, hiperventilasi, kussmaul,
cheyne-stokes)
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif
1. Ortopnea
Objektif
1. Pernafasan pursed-lip
2. Pernafasan cuping hidung
3. Diameter thoraks anterior-posterior
meningkat
4. Ventilasi semenit menurun
5. Kapasitas vital menurun
6. Tekanan ekspirasi menurun
7. Tekanan inspirasi menurun
8. Ekskursi dada berubah

4. Resiko perfusi serebral tidak efektif

5. Defisit nutrisi

6. Hipertemi Manajemen Hipertermia (I.15506 Hal


181)
Penyebab Mengidentifikasi dan mengelola
peningkatan suhu tubuh akibat
1. Dehidrasi disfungsi termoregulasi
2. Terpapar lingkungan panas
3. Proses penyakit (mis. infeksi, kanker) Observasi
4. Ketidaksesuaian pakaian dengan suhu 1. Identifikasi penyebab
lingkungan hipertermia (mis dehidrasi,
5. Peningkatan laju metabolism terpapar lingkungan panas dll)
6. Respon trauma 2. Monitor suhu tubuh
7. Aktivitas berlebihan 3. Monitor kadar elektrolit
4. Menitor haluaran urine
8. Penggunaan inkubator 5. Monitor kompikasi akibat
hipertermia
Gejala dan Tanda Mayor Terapeutik

Subjektif 1. Sediakan lingkungan yang


dingin
1. (tidak tersedia) 2. Longgarkan atau mengganti

Objektif pakaianyang menyerap


keringat
1. Suhu tubuh diatas nilai normal
3. Basahi dan kipasi permukaan
tubuh
Gejala dan Tanda Minor
4. Berikan cairan oral

Subjektif 5. Ganti linen setiap hari jika


mengalami hyperhidrosis
1. (tidak tersedia) (kringat berlebih)
6. Lakukan pendinginan eksternal
Objektif (mis.Selimut hipertermia atau
kompres padadahi, leher, atau
1. Kulit merah
axila)
2. Kejang
7. Berikan oksigen, jika perlu
3. Takipnea Edukasi
4. Kulit terasa hangat 1. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian cairan
Kondisi Klinis Terkait
danelektrolit intavena, jika perlu
1. Proses infeksi
2. Hipertiroid
3. Stroke
4. Dehidrasi
5. Trauma
6. Prematuritas

C. Implementasi

Implementasi merupakan suatu penerapan atau juga sebuah tindakan yang dilakukan dengan berdasarkan suatu rencana yang

telah/sudah disusun atau dibuat dengan cermat serta juga terperinci sebelumnya. Pendapat lain juga mengatakan bahwa

pengertian implementasi merupakan suatu tindakan atau juga bentuk aksi nyata dalam melaksanakan rencana yang sudah

dirancang dengan matang. Dengan kata lain, implementasi ini hanya dapat dilakukan apabila sudah terdapat perencanaan serta

juga bukan hanya sekedar tindakan semata.


D. Evaluasi

Evaluasi adalah suatu proses identifikasi untuk mengukur/menilai apakah suatu kegiatan atau juga program yang dilaksanakan itu

sesuai dengan perencanaan atau tujuan yang ingin dicapai. Terdapat juga yang mengatakan bahwa arti evaluasi ini ialah suatu

kegiatan atau aktivtias mengumpulkan informasi mengenai kinerja sesuatu (metode, manusia, peralatan), yang mana informasi itu

akan dipakai untuk bisa menentukan alternative terbaik didalam membuat keputusan.

Anda mungkin juga menyukai